YANG TERJADI HARI ITU
Taksi yang Mevin naiki usai pulang dari Singapore saat Mevin hendak kembali ke rumah dari bandara mengalami kecelakaan dan Mevin langsung dilarikan ke Rumah Sakit dimana tempat ia bekerja oleh orang-orang yang membantu di lokasi kejadian. Mendengar kabar dari Rumah Sakit, Lea dan Jeremy langsung panik dan bergegas ke rumah sakit. Mevin belum sadarkan diri. Tapi pihak dokter sudah mengatakan satu hal yang meremukkan hati Lea dan Jeremy.
“Mevin mengalami kelumpuhan kaki, meski sifatnya sementara, tapi belum bisa dipastikan berapa lama dan kapan akan kembali. Semua tergantung perkembangan keadaan Mevin sendiri.” Kalimat itu disampaikan oleh dokter usai menangani Mevin dan menemui Lea serta Jeremy yang masih menunggu di bangku panjang di koridor Rumah Sakit itu. Alhasil, Lea yang mendengar hal itu langsung menangis di pelukan Jeremy.
“Kenapa harus Mevin? Kenapa anak sebaik itu harus dapet banyak cobaan? Kenapa?!!” tangisnya di pelukan Jeremy sambil mengepalkan tangan dan memukul pelan dada Jeremy. Yang diberi perlakun tidak berkutik karena hati Jeremy sebagai seorang ayah juga hancur.
“Lea―”
“Harus ngomong apa ke Mevin nanti? Harus gimana?!” pekik Lea dengan nada tinggi sambil merenggangkan rengkuh, Jeremy mencoba menenangkan istrinya itu tapi Lea masih kalut. Senja ataupun siang hari selalu terasa gelap selama Lea mendapati keadaan Mevin yang belum kunjung sadar, bahkan bagaimana jadinya jika Mevin harus menerima kenyataan buruk ini setelahnya.
“Harus jujur, jangan ada yang ditutupi. Harus kita terima, sayang.”
“Silahkan kamu yang ngomong ke Mevin, aku nggak sanggup, Jeremy... Nggak sanggup!”
“Terus gimana?” Lea berbalik badan, memijit keningnya dan masih menangis, tak lama brankar rumah sakit didorong keluar, Mevin disana. Dan akhirnya Mevin dipindahkan ke ruang rawatnya, diikuti Lea dan Jeremy. Sepanjang hari itu kedua orang tua Mevin menjagai anak lelakinya itu di Rumah Sakit. Jeremy hanya memandangi Lea dari sofa. Lea masih disana memegang tangan Mevin, mengecupnya, membelai kening Mevin sesekali, lalu terisak lagi bahkan hingga Lea terlelap di sana menjaga Mevin, tiba-tiba Lea terbangun setelah lama waktu berlalu, membenamkan wajah di sebelah tangan Mevin. Lea merasakan Mevin sedikit gusar. Hal itu membuat Lea mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Lea langsung mendekat kepada Mevin.
“Mevin... anak Mama―” kata Lea dengan suara parau.
“Jeremy, Mevin bangun, Jer!” panggil Lea yang membangunkan Jeremy yang juga terlelap di sofa.
“Mama...” ujar Mevin dengan suara beratnya dan mengerjapkan mata menatap Mamanya.
“Iya, Mama disini, nak. Ini Mama sama Papa.” Lea mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Mevin.
“Papa..” ujar Mevin lirih juga saat melihat Papanya ada disana.
“Iya, Mevin, Papa sama Mama disini. Thank God kamu udah sadar, Nak.” Jeremy tersenyum haru. Mevin berusaha bergerak, ia ingin bangun tapi sulit rasanya. Mevin coba gerakkan kakinya, namun tidak bisa. Mevin coba sentuh kakinya dan gerakkan lagi, tapi tidak bisa.
“Ma, Pa, kaki Mevin kenapa nggak bisa gerak?” tanya Mevin sambil menatap nanar kedua orang tuanya yang kini tertunduk. Tidak ada jawaban dari Jeremy ataupun Lea. Mevin yang mulai mengerti keadaan pun mendengus lalu tersenyum pedih.
“Mama sama Papa pulang aja nggak papa. Mevin sendiri nggak papa.” Mevin berkata dengan nada tenang.
“Nggak, Mama mau disini nemenin kamu.” Lea bersikukuh ingin tetap disana.
“Mama pulang aja sama Papa. Mevin mau sendiri.”
“Nak, Papa sama Mama temenin aja,” sela Jeremy. Mevin menatap Papanya dengan tatapan tajam, “Mevin mau sendiri.” kata demi kata ia lafalkan dengan penuh penekanan.
Jeremy pun berbisik kepada Lea, “give him space, sebentar aja.” Lea sempat menepis tangan Jeremy, tapi Jeremy yang paham Mevin ingin diberi ruang sendiri, dan Jeremy yakin Mevin sudah tahu apa yang terjadi kepadanya. Jeremy dan Lea tidak sampai hati mengatakan apapun barang satu kata kepada anak mereka itu. Sulit dan kelu rasanya lidah Jeremy dan Lea. Kini Mevin memalingkan wajah dari kedua orang tuanya itu.
“Mevin mau sendiri.” Mevin berkata lalu memejamkan mata. Lea masih ingin tinggal disana, Lea sedikit terisak saat Jeremy memaksanya keluar dari sana. Tapi pada akhirnya Lea menurut saja. Jeremy dan Lea hancur hati saat menutup pintu ruangan itu. Saat Mevin memastikan kedua orang tuanya sudah meninggalkan ruangan itu, ia berusaha sekuat tenaga memaksa dirinya sedikit bangun lebih keras hingga ia ada di posisi setengah duduk dan bersandar. Mevin mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana―sendirian.
“Nggak berguna!” gumamnya lirih. Matanya terasa panas, sejenak ia melihat ponselnya yang ada di atas nakas, ponselnya menyala dan berdering, nama Grace terpampang disana. Mevin menundukkan kepalanya, kini matanya tidak bisa lagi menahan antrean air mata yang hendak tumpah ruah. Ia terisak disana, mengabaikan panggilan Grace, bahkan ia meraih ponselnya dan membantingnya ke lantai keras-keras.
“Arghhhh!” teriak Mevin saat itu juga sambil melepas paksa dengan gerakan kasar infus yang terpasang di punggung tangannya, dadanya sesak, Mevin memaksakan diri bergerak memaksa kakinya untuk bergerak, ia layangkan beberapa pukulan ke kakinya sendiri, benar-benar Mevin tidak bisa menggerakkan kakinya kali ini.
Mevin menyerakkan bantal dan selimutnya hingga ia ikut terjatuh tersungkur ke lantai, hal itu membuat Jeremy dan Lea yang sebenarnya masih menunggu di luar di balik pintu langsung masuk dan mendapati Mevin menangis di lantai dengan keadaan kacau.
“Mevin!”
“Nak!” Pekik Jeremy dan Lea hampir bersamaan lalu berlutut langsung menghampiri Mevin.
“Mevin!” Jeremy memegang kedua pundak Mevin tapi anaknya itu memberontak.
“Lepasin Mevin!” teriak Mevin nyaring.
“Nak, jangan kaya gini, Mevin... anak Mama...” Lea kini mencoba memeluk Mevin dari belakang dan menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya. Mevin juga masih memberontak, bahkan sekarang tangisan Mevin mengeras.
“Dunia Mevin―Grace, udah hancur, dunia Mevin sendiri juga hancur!” Teriak Mevin histeris.
“Everything’s gonna be okay, Mevin!” sela Jeremy.
“Apa yang mau diharapin dari Mevin yang nggak bisa apa-apa lagi ini? Mevin nggak bisa jalan, nggak berguna, nggak bisa apa-apa!”
“Mevin... jangan gitu, anak Mama....” Lea menyandarkan tubuh Mevin di tubuhnya dan mendekap anaknya itu serta mengecup puncak kepala Mevin beberapa kali berharap Mevin sedikit tenang.
Mevin memukuli kakinya sendiri lagi, tapi Jeremy mencegahnya, Mevin malah mendorong tubuh Papanya itu, Jeremy sekarang menjadi bisu, segala perasaannya diberingkus oleh rasa sakit yang melanda hatinya. Melihat anaknya yang paling kuat dan ikhlas harus mengalami hal seperti ini.
“Anak Mama, nggak ada yang nggak berguna, Mevin hebat, Tuhan nggak akan biarin Mevin jatuh, Mevin special, Mevin bisa, ya ... yang kuat sayang, ada Mama sama Papa. Mama yakin Grace juga akan ngerti keadaan.”
“Mevin nggak mau Grace tahu!” kata Mevin nyaring.
“Kenapa?” tanya Jeremy dengan nada lesu.
“Grace nggak boleh tahu!” balas Mevin mendelik menatap ayahnya itu, Jeremy hanya bisa diam dan menundukkan wajahnya menahan rasa pilu.
“Iya sayang, iya. Kalau itu maunya Mevin, iya, nggak boleh Grace tahu. Tapi Mevin jangan kaya gini, Mama sedih. Mama, Papa, semua keluarga bakalan ada buat Mevin.” kata Lea. Setelahnya, Mevin sedikit tenang setelah mendengar perkataan Lea, lalu Mevin bersandar di tubuh Lea, kini Mevin juga memegang erat lengan Lea yang melingkar di tubuhnya. Mevin masih menangis tapi tidak sekeras tadi. Napasnya terasa berat seketika.
“Kuat sayang, kuat―” Lea mengecup puncak kepala anaknya itu. Jeremy melihat anaknya itu terpejam dan wajahnya memucat. Perlahan pegangan tangan Mevin terhadap tangan Lea terlepas, “Mevin!” pekik Jeremy panik saat mendapati Mevin terkulai lemas tidak sadarkan diri.