Yoel and Michelle
Michelle kali ini hanya diam sambil memandangi kakak laki lakinya yang tengah tertidur. Michelle duduk di ranjang Yoel sambil menyentuh perut Yoel lalu memejamkan matanya, ia mulai bergumam pelan, sangat pelan, Michelle merasa mungkin hanya ia yang bisa mendengarnya, “God, please protect my brother, tadi koko muntah muntah, semoga perut koko nggak papa, and give him strength and new healthy, in the name of God, amen.”
Setelahnya ia hendak menyentuh tangan Yoel, tapi ia urungkan lagi. Perlahan Michelle pun mengambil selimut dan mulai menyelimuti kakak laki-lakinya yang masih terpejam itu. “Koko cepet sembuh, aneh banget lihat koko sakit rasanya.” Michelle berkata lirih sebelum menutupkan selimut hingga menutupi bagian dada Yoel. Akhirnya, Michelle beranjak dari sana dengan langkah mengendap dan menutup pintu kamar Yoel.
Saat Michelle keluar kamar, “Dor!” kata Jevin yang tiba-tiba sudah ada di sana saat Michelle berbalik badan.
“Papa!” kata Michelle kaget sambil menepuk beberapa kali lengan Papanya itu. Lalu ia mengerucutkan bibirnya dan berjalan dengan sedikit menghentakkan kakinya lalu duduk di sofa ruang tamu.
“Eh, kok cemberut. Kenapa?” tanya Jevin sambil menyusul Michelle duduk di sebelahnya.
Michelle enggan menatap Jevin, “Michelle?” panggil Jevin lagi, barulah Michelle menoleh ke arah Jevin.
“Papa lama banget pulangnya, Icel bingung tadi harus gimana. Takut tahu, Papa.” Michelle berkata dengan berkaca-kaca. Jevin menjadi bingung, mengapa tiba-tiba anaknya hendak menangis.
“Loh, kenapa? Kok nangis?” tanya Jevin lagi. Tapi, pertanyaan itu malah membuat Michelle meledak dalam tangis keras, tanpa basa-basi lagi Jevin pun memeluk anaknya itu. Michelle memeluk Jevin dan meluapkan tangis di pelukan Papanya itu bahkan sampai punggungnya bergetar hebat.
“Koko tadi muntahnya ada darahnya, Icel takut… kenapa Koko Yoel kayak gitu …” kalimat itu diucapkan Michelle dengan terbata-bata.
“Aduh anak papa… iya nanti Koko Yoel kita bawa ke dokter, ya? Sayang banget ya sama koko ya?”
Michelle mengangguk, “koko Eugene udah sibuk kuliah, cuma koko Yoel yang di rumah terus karena masih sekolah kayak Icel, nanti kalau ko Yoel udah kuliah juga Icel sendirian. Tapi selama ini Icel lebih sering main sama ko Yoel karena ko Eugene juga harus kerja kadang,” balas Michelle sambil perlahan merenggangkan pelukan. Jevin pun mengusap air mata anaknya itu perlahan dan lembut dengan jarinya. Mungkin perkataan Michelle tadi adalah kejujuran dari seorang anak terakhir yang juga takut kalau sesuatu terjadi kepada kakak-kakaknya.
“Koko Yoel masih lama kuliahnya, masih bisa main sama kamu, masih bisa temenin kamu, tapi kalau koko sakit, gantian ya kamu temenin koko, kayak tadi. Papa seneng lihatnya, Michelle adik yang baik buat koko, makasih ya nak, ya…” ucapan Jevin ditutup dengan sebuah kecupan di kening Michelle. Sekali lagi, Ayah dan anak itu saling memeluk.
Sementara, di dalam kamar, Yoel sebenarnya belum tidur. Sedari tadi ia hanya memejamkan mata karena ia merasa sangat pusing. Jadi, setiap hal yang Michelle lakukan ia tahu, bahkan saat Michelle bergumam lirih mendoakannya, Yoel tahu, Yoel mendengarnya. Yoel masih terbaring sambil memegangi perutnya, ia merasa terharu saat mendengar doa sederhana tapi sangat terasa ketulusannya itu dari adiknya. Sampai akhirnya ia memilih untuk keluar kamar, tapi saat ia hendak keluar dan sudah membuka pintu kamarnya pelan, bahkan sangat pelan, yang ia lihat adalah adiknya sedang menangis di pelukan Papanya. Ternyata seperti ini, ya? Meski mereka kadang berdebat tapi tetap saja kakak dan adik juga perasaan sayang di antara mereka tidak bisa berbohong.