Yoel Beverly

Beverly yang sudah tahu dimana Yoel mengikuti bimbel dan kapan jadwal Yoel pun sengaja menunggu di dekat tempat bimbel itu. Menurut jadwal yang Beverly simpan, Yoel akan selesai sekitar sepuluh menit lagi. Anak laki-laki itu biasanya akan keluar lalu menaiki sepedanya untuk pulang ke rumah. Beverly bolak balik mengecek ponselnya namun pesannya belum juga dibalas oleh Yoel.

Akhirnya saat itu benar saja, beberapa anak nampak keluar dari tempat bimbel itu, Beverly berjalan ke sana dengan sedikit terburu-buru karena sudah melihat Yoel keluar dari sana.

“Yoel!” pekikan Beverly didengar Yoel yang sedang berjalan hendak ke area parkir sepedanya. Yoel sadar betul bahwa itu adalah suara Beverly tapi Yoel tidak menoleh ia tetap berjalan.

Sampai akhirnya, “aww!” rintihan seseorang didengarnya dan membuat Yoel berbalik badan, Yoel melihat Beverly terjatuh di tanah maka dengan cepat Yoel menghampiri gadis itu lalu berlutut di depannya.

“Astaga, pelan-pelan lain kali,” kata Yoel sambil membantu Beverly berdiri dan membantu Beverly berjalan dan duduk di bangku yang ada di sana. Yoel masih belum menatap Beverly tapi tangannya sibuk merogoh tasnya mencari plester yang selalu ia sediakan di tas.

“Yoel,” kata Beverly sambil menahan tangan Yoel.

Yoel melongok menatap Beverly, “Apa?” tanya Yoel.

“Tadi ngomong apa, kamu kalau ngomong sama lihat lawan bicara, aku nggak denger.” Beverly sedikit berbohong, sebenarnya ia mendengar apa yang Yoel katakan tapi Beverly hanya ingin Yoel menatapnya.

Yoel menoleh ke kanan kiri sebelum menatap Beverly sejenak dan berkata, “lain kali hati-hati.”

Beverly pun membiarkan Yoel menempelkan plester luka di lututnya sampai akhirnya Yoel duduk di sebelah Beverly dan bertanya, “ngapain kesini?”

“Ngapain cuekin aku?” kata Beverly.

“Kenapa nggak balas chatku? Kenapa kalau di sekolah kayak orang nggak kenal?” tanya Beverly lagi.

“You already know kan kalau aku nggak naik kelas?”

“Ya and then why?”

Yoel mengernyit, “terus nggak malu atau gimana?”

Beverly menggeleng, “ngapain malu? Itu kan udah lewat, and now kamu udah jadi ranking paralel, terus juga juara satu menpora cup cabang olahraga taekwondo, ikut aktif di lomba olahraga, apa yang harus bikin malu, yo?” Yoel terdiam sejenak, entah dari mana Beverly mengetahui itu semua.

“Tahu dari mana?” tanya Yoel.

“Yoyo kepo!” ledek Beverly.

Yoyo, Beverly masih memanggil Yoel dengan nama panggilan itu.

“Aku salah apa sama kamu, Yo? Kenapa diemin aku?” tanya Beverly.

“Aku malu waktu kamu tahu semua tentang aku yang nggak naik itu.”

“Tapi kan itu udah lewat, kamu udah ganti dengan prestasi kamu yang sekarang. Kamu tuh harus pede kalau kamu yang sekarang beda sama yang dulu, Yoyo yang sekarang itu membanggakan!” kata Beverly dengan penuh senyum.

“Kamu beneran nggak malu temenan sama aku even udah tahu tentang semua ini kan?” tanya Yoel.

Beverly menggeleng.

Yoel bangkit berdiri, ia mengulurkan tangan kepada Beverly.

“Aku anterin pulang dulu kamunya, bisa jalan kan?”

Beverly menggenggam tangan Yoel dan berdiri, “sepeda kamu gimana?” tanya Beverly. Yoel menoleh ke kanan dan kiri dan melihat salah satu temannya, ia berlari ke sana dan nampak berbicara sebentar sementara Beverly menunggu Yoel di sana.

Yoel kembali lagi dengan senyum cerah, “sepedaku aku suruh bawa temenku, kebetulan rumahnya di gang rumahku juga jadi biar dia bawa ke rumahku sekalian. Aku anterin kamu.”

“Kamu nanti pulangnya?”

“Gampang, bisa naik ojol,” balas Yoel. Beverly dan Yoel pun akhirnya berjalan beriringan, obrolan kecil mulai terjalin lagi, senyum dan tawa di wajah Yoel kembali bisa Beverly lihat.

“Yo, jangan cuek lagi ya? Nggak ada yang salah sama kamu. Okay?” kata Beverly sambil berjalan dan sesekali menatap Yoel. anak lelaki itu mengangguk, Beverly pun menghentikan langkah, mengacungkan jari kelingking kepada Yoel, “promise?” tanya Beverly, Yoel menghentikan langkahnya juga lalu menautkan jari kelingkingnya dengan Beverly dan mengangguk. Tawa dan senyum di wajah keduanya terulas sangat cerah, “iya, janji,” kata Yoel.

“Tapi kaki kamu masih sakit nggak?” tanya Yoel lagi. Beverly menggeleng.

“Lain kali jangan lari-lari, jangan sampai jatuh lagi, jang⎯” belum selesai Yoel mengatakan kalimatnya Beverly sudah mengangguk cepat , “iya, Yoyo.. iyaaa.” Kalau boleh jujur di dunia ini yang memanggil Yoel dengan sebutan “YOYO” mungkin hanya Beverly. Hal kecil itu kembali mengundang senyum di wajah Yoel lagi.