YOUR VOICE TO HEAR
Siang yang panas dan terik ini, Mevin tengah berada di parkiran rumah sakit ia menunggu di mobil dan berniat langsung mengendarai mobilnya menghampiri Shallom jadi Shallom tidak perlu menyusulnya ke area parkir. Sementara Shallom masih berada di dalam karena setelah menebus resep obat yang ia butuhkan, ia berkata hendak ke toilet terlebih dahulu, hal itu pun disetujui Mevin. Tapi, saat Mevin menunggu di mobilnya, ia melihat seseorang yang tak asing. Area parkir ini terbuka jadi siapa saja bisa lewat di sana.
Mata Mevin tertuju kepada seorang anak lelaki yang sudah sangat ia kenal wajahnya, dengan wajah sayu, berjalan dengan sedikit tertunduk dengan beberapa luka di wajahnya, dan juga perban di kepalanya.
“Sammy?” batin Mevin. Kala itu, saat Mevin keluar dari mobil, ia melihat Sammy yang berjalan dengan sedikit terhuyung hingga tubuhnya hampir ambruk, Mevin pun langsung berlari menghampiri anak lelaki itu.
“Sam? Kamu kenapa?” tanya Mevin.
Sammy masih memegangi kepalanya dan beberapa kali memejamkan matanya lalu menatap sosok pria yang membantunya itu, “Om Mevin?”
“Sini, Om bantu, kita ke mobil Om aja dulu,” kata Mevin lalu meraih satu tangan Sammy dan ia bantu memapah Sammy berjalan dan Mevin membantu Sammy masuk ke mobilnya dan mencoba menghubungi Shallom, benar saja, ternyata Shallom menunggu pesan dari Papanya itu. Tapi Mevin sudah memberitahu agar Shallom langsung menuju ke parkiran ke mobilnya.
Sementara itu, Mevin pun membiarkan pintu mobil terbuka dan sedikit memundurkan jok mobil tengahnya, ia mendudukkan Sammy di sana yang masih merintih kesakitan. “Sam, kenapa bisa kayak gini?” tanya Mevin sambil mencoba memeriksa keadaan Sammy.
“T.. tadi berantem sama adek,” kata Sammy terbata-bata.
“Terus? Kok bisa separah ini?”
“Tadi sampai pukul-pukulan sama adek, tapi saya sempat jatuh dari tiga atau empat anak tangga gitu setelah adek keluar dari rumah. Jadi tadi langsung ke sini aja karena deket sama rumah sebelum Mama lihat, karena tadi kepala saya berdarah dan jadi pusing.” Sammy berkata lirih.
Hati Mevin berdesir ikut merasakan sakit, apalagi ia mengetahui bagaimana keadaan keluarga Sammy dari apa yang Shallom ceritakan.
“Sam, ke rumah Om dulu, ya? Nanti Om yang anterin kamu pulang, ya?” tanya Mevin lirih.
Sammy menggeleng, “nggak usah, Om, nggak papa.”
Tapi tiba-tiba seseorang datang dengan berlari dan menubruk tubuh Mevin dari belakang, sigap Mevin menoleh, mendapati Shallom di sana. Mevin mengedikkan kepala memberi isyarat kepada Shallom agar melihat ke dalam mobil. Shallom pun mendekat dan betapa terkejutnya gadis itu saat melihat Sammy dengan keadaan luka di ujung bibir, dan di kepala.
“Astaga, Sam!” Shallom membungkam mulutnya sendiri.
“Shall, duduk di sebelah Sammy ya, kita ke rumah dulu aja, oke?” kata Mevin. Shallom pun mengangguk, sementara Sammy sudah seperti kehabisan tenaga yang membuatnya hanya bisa menurut dan sesekali memegangi perut dan kepalanya. Akhirnya Shallom pun masuk dan menutup pintu mobil, ia duduk di sebelah Sammy, Mevin duduk di bangku kemudi dan langsung mengendarai mobilnya menuju ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Mevin membantu membukakan pintu mobil untuk Shallom dan Sammy. Mevin juga mengambil alih menuntun Sammy sementara Shallom langsung bergerak mengambil tas Sammy dan membuka pintu rumah. Saat itu bersamaan dengan Grace yang baru saja keluar dari kamar.
“Eh anak mama udah pulang?” tanya Grace lembut. Shallom mengangguk tapi tanpa tersenyum, wajahnya sudah menyiratkan kepanikan.
“Kenapa?” tanya Grace menghampiri Shallom yang menaruh beberapa barang di meja dan menata bantal yang ada di kursi.
Saat itu juga Mevin masuk ke sana dengan membantu Sammy berjalan, “Sammy?” Grace bingung tapi ia mengenal sahabat laki-laki anak gadisnya itu. “Grace, sayang, ambilin minum ya,” kata Mevin sambil membantu Sammy duduk. Grace pun langsung menuju ke dapur dan membawakan minuman hangat dan kembali ke ruang tamu.
Sammy kini duduk di sofa di antara Mevin dan Shallom. Mevin juga langsung mengambil obat untuk ia oleskan di bagian wajah Sammy yang terdapat luka terbuka. Sementara Shallom terdiam, ia terlalu takut, baru kali ini ia melihat Sammy terluka seperti ini, kalau boleh jujur bahkan Shallom hendak menangis sebenarnya.
Tak lama, Grace kembali dengan secangkir minuman hangat, Shallom pun membantu Sammy untuk minum dan ia letakkan lagi gelas itu di atas meja, sementara Grace duduk di sofa yang ada berhadapan dengan mereka.
“Sammy kenapa bisa kayak gini?” tanya Grace. Sammy masih tertunduk. “Sam?” tanya Shallom sambil menyentuh pundak Sammy.
Sammy menoleh menatap Mevin sejenak, lalu Mevin mengangguk dan tersenyum memberi isyarat agar Sammy menceritakannya.
“Saya berantem sama adik di rumah, Tante. Terus tadi jatuh dari tangga makanya kepala saya diperban, karena jarak rumah sakit yang nggak terlalu jauh, saya langsung ke rumah sakit karena tadi takut banget udah berdarah dan ngerasa pusing.” Sammy berkata dengan sedikit ketakutan. Grace dan Shallom kaget bukan main.
“Adik kamu nggak nganterin? Nggak ada orang di rumah?” tanya Grace khawatir.
“Adik saya keluar dari rumah sebelum saya jatuh, Mama lagi kerja jadi nggak ada orang di rumah. Ya jadinya saya ke rumah sakit sendiri, nggak papa kok, Tan. Tadi ketemu Om Mevin juga, terima kasih banyak ya, Om, Tante, Shallom. Keluarga Om Mevin selalu bantuin saya, keluarga ini selalu baik sama saya. Sekali lagi… terima.. ka…sih,” kata Sammy dengan sedikit terisak. Shallom dan Mevin hampir bersamaan mengusap punggung Sammy.
“Kenapa berantem sama adik? Hansen kan? Kenapa, Sam?” tanya Shallom pelan.
“Beda pendapat tentang keputusan Mama yang mau menikah lagi, aku belum bisa bilang setuju, karena aku nggak mau. Tapi Hansen bilang aku egois. Dan ada hal lain yang aku tahu dari dia, kalau hansen pernah bolos, beberapa kali. Tadi aku omongin sekalian ke dia, kalau dia bolos lagi aku bakalan aduin ke Mama, karena aku kasih tahu udah nggak mempan,” kata Sammy. Shallom menghela napas panjang, mendengarkannya saja terasa sesak.
“Mama belum tahu kalau Hansen bolos bolosan, ya?” tanya Mevin.
“Belum, Om. Mau ngobrol sama Mama aja kayak ada jarak, karena saya nggak pernah bilang iya sama permintaan mama untuk menikah lagi. Jadi saya di rumah kebanyakan diem, sekalinya ngomong malah ribut sama Hansen, I just did my best as brother, Om, Tante.” Sammy tertunduk lagi setelahnya, jelas ia menghapus air matanya yang berjatuhan.
“Menerima anggota keluarga baru apalagi orang tua nggak segampang itu buat saya, banyak ketakutan dan ini terlalu cepat untuk saya. Tapi selalu saya dibilang nggak dukung kebahagiaan Mama. Tapi kalau saya nggak bahagia, itu egois juga ya? Kalau kayak gitu apa saya masih egois, Om, Tante?” Bahkan saat mengucapkan kalimatnya dan menatap Grace dan Mevin bergantian pun Sammy masih menangis. Shallom? Diam seribu bahasa, hatinya ikut terasa sakit dan sesak, buliran kristal bening sudah jatuh di pipi Shallom saat ini.
“Selama ini juga saya memikirkan mereka, tapi tetap saja saya di cap egois. Bukannya dalam keluarga itu harus saling mengerti, ya, Om, Tante?” tanya Sammy sambil menatap Mevin dan Grace dengan mata yang memerah.
“Sam, kamu nggak egois. Terima kasih ya, Nak udah mikirin keluarga selama ini, apalagi anak pertama yang punya adik. Pasti nggak mudah kan? Nanti coba diobrolin lagi sama Mama sama Hansen, tapi tanpa emosi ya nak, ya? Diobrolinnya kalau udah mendingan aja. Sekarang fokus ke keadaan kamu dulu.” Mevin berkata dengan tulus.
“Menerima anggota baru di keluarga memang nggak mudah, tante pernah ada di posisi itu. Tante paham betul gimana perasaan Sammy. Apalagi sosok ayah, sama, tante dulu juga nggak langsung bisa menerima sosok ayah baru bagi tante, dulu juga tante selalu menentang keputusan Mama tante. Tapi, semua berlangsung bertahun-tahun, penerimaan itu berlangsung setelah bertahun-tahun sampai ke pernikahan mereka pun tante nggak mau dateng. Tapi, setelah bertahun-tahun berlalu, rasa sayang dan penerimaan itu mulai bisa muncul. Tante juga bergumul dan berdoa sama Tuhan selama itu. Pokoknya Sammy berdoa terus buat keluarga dan keputusan Mama Sammy ya, so God can give your mom a wisdom, buat hansen juga, nggak boleh benci dan dendam sama siapapun. Ingat, ini keluarga sendiri, ya?” Grace kini mengutarakan kalimatnya sesuai dengan kenyataan hidup yang sudah ia lewati. Sesuai dengan apa yang ia alami dan ia hadapi.
Sammy langsung terisak saat itu juga, tak sanggup melihat Sammy menangis seperti ini, Shallom juga ikut menangis, ia mengusap lengan Sammy perlahan. Mevin? Ia tidak diam saja, sebuah peluk ia berikan bagi anak laki-laki yang ada di sampingnya. Mevin seperti menilik ke masa lalu, ia seperti melihat Grace di masa lalu, Grace yang akhirnya ia pilih untuk jadi kawan sepenanggungan selama hidupnya. Sesaat mata Grace dan Mevin saling beradu. Grace mengangguk dan tersenyum terharu melihat Mevin merangkul dan membiarkan Sammy menangis di pelukannya. Hati Sammy antara hancur dan terenyuh, hancur karena keadaan keluarganya, terenyuh karena ia merasakan pelukan dari sosok seorang ayah meski bukan ayah kandungnya.
“Makasih Om, makasih Tante, makasih Shallom. Maaf kalau Sammy merepotkan, makasih buat semua bantuan dan petuahnya. Mata hati dan pikiran Sammy benar-benar terbuka. Tapi satu yang pasti, kasih sayang di keluarga ini benar-benar ia rasakan meski ia bukan anggota keluarga ini. Tapi selama berteman dengan Shallom dan mengenal keluarganya, Sammy sadar dan paham bahwa keluarga Shallom pasti sudah melalui banyak hal berat tapi tetap mengutamakan Tuhan di setiap langkah. Akhirnya saat Sammy merenggangkan pelukan dan merasa sedikit tenang ia bisa tersenyum lagi, tangisnya sudah pecah memberi kelegaan bagi Sammy sendiri.
“Ya udah, Sammy istirahat dulu disini ngobrol ditemenin Shallom. Habis ini Tante siapin makan, kita makan bareng, ya?” kata Grace.
“Iya. Nanti om yang anterin Sam pulang, nanti om bawain obat luar juga biar lukanya cepet kering, ya?” Mevin mengusap lembut puncak kepala Sammy.
“Iya Om, Tante. Terima kasih banyak, maaf kalau saya ngerepotin. Tuhan yang balas kebaikan Om Mevin sama Tante Grace, ya. God bless this family.” Sammy tersenyum sambil mengusap pipinya yang basah.
“Amen, makasih anak baik.” Grace tersenyum lalu beranjak dari sana bersama Mevin.
Kini, tinggal Shallom dan Sammy yang ada di sana. Keduanya masih diam karena Shallom masih sibuk menyeka air matanya.
“Shall?” tanya Sammy. Shallom memalingkan muka, dan masih menggerakkan punggung tangannya menyeka butiran air mata yang jatuh.
“Shallom, you okay?” tanya Sammy. Shallom menoleh, “kamu kenapa nggak pernah cerita? Sampai kayak gini, pasti sakit, ya? Sakit banget, ya?” tanya Shallom sambil menahan tangis, tangannya terulur menyentuh kepala Sammy.
“Enggak, udah nggak sesakit tadi waktu sendirian, makasih ya. Udah membuka pintu buat aku, aku selalu berdoa buat keluarga kamu, makasih udah baik ke aku.” Sammy tersenyum tipis.
“Kalau ada apa-apa kamu bisa sharing ke aku, ya? Janji ya kalau ada apa-apa cerita aja, ya?” kata Shallom sambil mengacungkan jari kelingking. Sammy mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan Shallom. Keduanya tersenyum. Sammy juga melihat gelang yang ia berikan untuk Shallom masih terpasang di tangan gadis itu.
“Makasih udah selalu pakai gelangnya,” kata Sammy.
“Nggak akan pernah aku lepas karena ini dari kamu,” balas Shallom sambil tersenyum dan menunjukkan lengannya dimana gelang itu terpasang disana.
“Shall, kenapa kamu selalu mau dengerin keluh kesahku?” tanya Sammy tiba-tiba.
“Because you deserve, I also can learn a lot of things from you. Sam, it’s okay to cry, sometimes blessings can come through raindrops and tears, sometimes we need to cry in anger to explain all of our feelings. Aku bersedia jadi tempat kamu luapin itu semua.” Shallom berkata tanpa melepaskan tautan pandangannya dari mata Sammy. Samuel Greyson, anak laki-laki dengan sejuta beban di pundak dan dengan sejuta hal yang sulit untuk diselami. Tapi bersama Sammy, Shallom merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri, begitu juga sebaliknya.
“Kamu juga, ya? Jadiin aku tempat kamu cerita dan luapin semua perasaan kamu. Aku mau jadi orang itu.” Sammy menarik satu sudut bibirnya.
Shallom mengangguk, “you are the only one, you are the one for me to share, exactly.”
Jantung Sammy sempat berdegup saat mendengar perkataan Shallom. Hingga akhirnya keduanya sedikit salah tingkah, terlebih Sammy. Sempat membeku saat Shallom mengusap pipi Sammy pelan guna mengeringkan jejak air mata yang ada.
“Bareng-bareng terus, ya, Sam?” ujar Shallom lagi. Sammy sempat terdiam, melipat bibirnya, hingga beberapa detik belum memberikan jawaban atas pertanyaan Shallom.
“Samuel Greyson, answer me, please?” kata Shallom lagi. Sammy menatap manik mata teduh di depannya itu, menarik napas panjang dan mengembuskannya. “Iya, Imanuella Shallom Gravianne Adrian anak Om Mevin dan Tante Grace adiknya Ko Miracle.” Sammy membubuhi senyuman di akhir kalimatnya.