Apa Yang Sebenarnya Terjadi? O8

Karen di hadapkan dengan situasi cukup membingungkan, dimana kini ia mendengar suara-suara memanggil namanya. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah padang ilalang yang cukup membuat tubuhnya tenggelam, ilalangnya cukup tinggi. Namun udara di sini cukup bersih dan langit senja menampakan warna orange yang sangat cantik. Karen belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.

“Karen..”

Karen menoleh, ia mencari dari mana sumber suara itu. Suara Juna yang selalu ia dengar tiap kali Karen merasa tersesat, Karen berusaha menapaki setiap jalan, mencoba menghalau ilalang yang melebihi tinggi badannya.

“Karen bangun...”

“Ayo kita rayain kemenangan kamu, Ren.”

“Aku udah siapin semuanya.”

“Aku minta maaf karena udah salah paham.”

“Juna..” gumam Karen, hatinya terenyuh. Karen bingung. Ia masih terus berjalan setengah berlari untuk keluar dari halauan ilalang itu.

“KAREN DISINI!!!”

Karen menoleh, ia mendengar suara Kevin tapi tidak mendapati Kevin dimana pun. kemana mereka? Karen tidak ingin menyerah, ia kembali berjalan sampai kakinya tiba di sebuah lorong rumah sakit yang cukup gelap dan tidak ada orang lain di sana selain dirinya.

ini aneh.. Kenapa tiba-tiba di rumah sakit?

Karen hanya mencoba mengikuti kakinya melangkah, sambil dalam hati ia mencoba berharap menemukan seseorang di sana. Karen masuk ke sebuah ruangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding, ruangan dingin dengan bau obat-obatan menyeruak hingga ke tenggorokannya.

Matanya membulat ketika mendapati dirinya di sana, terbaring lemah dengan berbagai alat mengerikan menempel pada tubuhnya.

“Kenapa gue di sana?” ucap Karen bingung.

Tidak lama kemudian pintu ruangan dingin itu terbuka, menampakan Juna di sana yang masuk tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Seolah-olah keberadaanya tidak ada di sana, raut wajah Juna sedih, matanya berkantung dan ia duduk di sebelah ranjang tempat tubuh Karen berbaring.

Juna hanya diam, namun tangannya menggenggam erat jemari Karen yang tidak terhalang oleh selang apapun. Bibir Juna bergetar, seolah ada kata-kata yang tertahan atau ia hendak menangis.

“Juna...” Karen menghampiri Juna, mengusap bahu pemuda itu yang nampak bergetar, Juna menangis?

“Aku disini, Jun. Ayo kita pergi, aku gak suka disini.”

Namun ucapan Karen tidak di gubris oleh Juna, ia masih bergeming dan terus mengusap punggung tangan Karen. Berharap gadisnya itu akan membuka kedua matanya suatu saat nanti.

“Karen!!” panggil seseorang, Karen menoleh ke arah pintu dan mendapati Juna yang lain dengan seragam sekolah tersenyum ke arahnya.

“Juna?”

“Kamu ngapain disitu? Sini!” tangannya melambai, senyum di wajah Juna tidak pudar saat menyuruh Karen menghampirinya.

Ada 2 Juna dan 2 dirinya, Juna yang sedang menangis nampak jauh lebih dewasa. Mengenakan kemeja biru muda dengan celana bahan berwarna hitam, ada arloji di tangan sebelah kirinya. Juna juga mengenakan kaca mata, perawakannya seperti laki-laki dewasa berusia 25 tahun.

Sementara Juna yang memanggilnya seperti Juna yang terakhir ia temui, mengenakan seragam SMA Orion yang tidak ia masukan kemeja putihnya ke dalam celana, nampak seperti Juna muda yang berusia 17 tahun.

“Ren, ayo pulang! Katanya mau makan ayam buatan Ibu?”

“Jun,” Karen menghampiri Juna, ia nampak bingung namun Juna tersenyum dan menggandeng tangannya.

“Kita mampir ke resto Ibu dulu yah, Bapak bikinin makanan buat kita sama yang lain.”

Karen tidak menyahut ia hanya menuruti Juna dan mengikuti setiap langkahnya, sampai akhirnya mereka masuk ke sebuah terowongan yang cukup panjang dan menyilaukan matanya. Karen merasa Juna melepaskan pautan tangan mereka, Karen juga tidak merasakan kehadiran Juna lagi di sana sampai akhirnya Karen keluar dari terowongan panjang itu.

Matanya terbuka, Karen telah sadar dan mendapati Juna, Kevin dan Mas Kara berada di depannya. Ketiga laki-laki itu nampak memandangnya penuh khawatir, Karen ingin bangun namun tubuhnya begitu lemas.

“Ren.. Syukurlah, akhirnya kamu bangun juga, Dek.” Mas Kara mengusap pucuk kepala Karen, sementara Karen masih menelah apa yang sedang terjadi sebenarnya?

“Kok aku disini?” itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Karen.

“Ren, kamu pingsan waktu habis lomba, kata Dokter kamu dehidrasi berat dan tekanan darah kamu juga turun,” jelas Juna.

“Kamu sih latihannya di forsir, Ren.” hardik Kevin.

Karen hanya diam, tapi matanya terus memandang Juna. Juna yang tadi menjemputnya, Juna juga mengenakan seragam sekolah persis seperti di mimpi Karen.

“2 hari kamu gak bangun-bangun, Ren.” ucap Mas Kara.

Karen masih bergeming, ia cukup bingung mimpi apa yang sebenarnya ia lihat tadi.

“Mas Kara enggak kerja? Kevin sama Juna enggak sekolah?”

“Gimana Mas mau kerja kalau kamu belum bangun, Mas cuti seminggu sampai kamu pulih.”

Juna tersenyum, “aku udah pulang, Ren. Tiap abis pulang sekolah aku sama Kevin selalu ke sini jenguk kamu.”

Karen hanya mengangguk, setelah merasa lebih baik dan tubuhnya tidak begitu lemas. Karen menyuruh Mas Kara untuk pulang, ternyata Mas Kara belum pulang sejak Karen di pindahkan ke rumah sakit. Mas Kara juga belum mandi sampai-sampai wajahnya lengket dengan minyak.

Kevin juga sedang membeli makan untuk Juna dan menjemput Alifia yang akan menjenguk Karen, dan sekarang hanya ada Juna saja yang menemani Karen sembari mengupas jeruk untuk Karen makan.

“Jun?”

“Hm?” Juna mendongak, ia memberikan 1 jeruk yang sudah ia kupas ke tangan Karen.

“Aku mimpi panjang dan bikin badan aku capek,” ucap Karen.

“Mimpi apa, sayang?”

Karen diam sebentar, matanya menelisik wajah Juna yang kini menatapnya lembut. Apa Juna dewasa di dalam mimpinya adalah gambaran Juna dewasa di tahun 2023? Lalu bagaimana dengan dirinya yang terbaring di ranjang rumah sakit?

Karen menggeleng pelan, lidahnya terlalu keluh untuk mengatakan tentang mimpi yang menyita pikirannya.

“Lupa.”

Juna terkekeh, “mimpiin apa gitu kamu gak ingat? Atau ingatan pacarku ini kaya ikan?”

Karen hanya diam, ia kembali memakan jeruk yang Juna kupas tadi. Karen baru ingat, di tahun 2015 setelah Karen menang dari lomba itu. Ia tidak masuk rumah sakit, ia justru merayakannya di restoran ayam kalasan milik orang tua Juna kemudian berlanjut ke tempat karaokean.

Itu artinya takdirnya berubah di hidupnya yang kedua di tahun ini?

“katanya kamu mau kasih aku hadiah, aku menang kan?”

“Kamu nih, baru siuman udah minta hadiah. Ingat aja lagi,” Juna terkekeh, ia menyuapi Karen jeruk yang sudah ia kupas bersih tadi. “Ada, udah aku siapin. Tapi kamu sembuh dulu deh.”

“Apa, apa hadiahnya Jun?”

“Rahasia lah. Enak aja aku kasih tau sekarang, sembuh dulu baru aku kasih tau.”

Karen cemberut, “dasar pelit.”

“Biarin, ini hukuman bikin kamu penasaran karena gak bangun 2 hari. bikin aku, Mas Kara dan Kevin khawatir. Eng...gak sih, semua orang khawatir waktu kamu pingsan.”

Karen menahan tangan Juna, cowok itu berhenti mengupas jeruk dan kini menatap Karen. Mata teduh yang selalu membuat hati Karen menghangat itu kini menatapnya, sungguh, Karen sangat penasaran seperti apa keadaan Juna sekarang.

“Makasih udah antar aku bangun yah, Jun.”

“Anterin kamu ke rumah sakit maksudnya?”

Karen menggeleng, “aku bisa bangun karena di mimpi aku, kamu anterin aku pulang.”

Juna terkekeh, ia menjawil hidung Karen dengan gemas. “Kamu yah, tidur 2 hari aja masih bisa mimpiin aku.”

“Aku selalu mimpiin kamu tiap tidur, Jun.”

“Gombal yah kamu?” pekik Juna, kupingnya sudah merah seperti tomat, Juna salah tingkah banget. Karen enggak gombal, dia mengatakan hal yang sebenarnya.

“Serius.”

“Gombal ah, tapi kamu bangun-bangun kenapa jadi gombal gini sih?”

“Aku gak gombal.”

“Gombal itu pasti, pokoknya kamu gombal.”

“Enggak.”

“Gombal.”

“Enggak.”

“Gombal, gombal, gombal.”

Karen mendengus, ia mencubit pipi Juna kencang karena kesal. “Enggak!!”

“Gombal itu, aaahhh lepasin, Ren. Sakit tau nanti pipi aku melar gimana?” Juna sudah setengah berdiri karena pipinya di tarik.

Karena tidak tega akhirnya Karen melepaskannya, namun kedua nya baru sadar jika jarak mereka sedekat ini. Apalagi tangan kiri Juna kini bertumpu pada ranjang Karen, membuat wajah cowok itu berada di atas wajah Karen.

“Ren?”

“Hm?”

Jemari Juna kini mengusap wajah Karen dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya besar dan selalu hangat, itu yang selalu Karen ingat tentang Juna.

“Jangan sakit lagi yah.”

Karen hanya mengangguk, namun kedua tangannya menangkup wajah Juna semakin mendekat ke arahnya. Keduanya saling memejamkan mata, dan memiringkan kepala mereka berlawanan arah. Sampai akhirnya Karen bisa merasakan bibir Juna mendarat di atas bibirnya.

Tidak ada lumatan, hanya kecupan kecil penuh kehati-hatian namun sangat membuat Karen mendamba. Karen ingat ciuman pertamanya memang di curi oleh Juna, tapi bukan di rumah sakit, melainkan di taman saat Karen merasa kecewa waktu Mas Kara merahasiakan sakitnya pada Karen dan Kevin.

Bibir Juna masih mengecup, Karen juga turut mengecup bibir Juna sembari meremas blazer yang di pakai laki-laki itu.

Tanpa keduanya sadari, Kevin dan Alifia sudah berada di depan pintu ruang rawat Karen. Termenung di sana tanpa berani membuka pintunya ketika keduanya melihat Karen dan Juna tengah berciuman.

“Aku gak nyangka Juna seberani itu...” gumam Karen.

“Ck,” Kevin berdecak. “Kita masuknya nanti aja, dari pada ganggu.”

Kevin melangkah menjauh dari ruang rawat Karen, kemudian langkahnya disusul oleh Alifia yang nampak bingung, namun penasaran bagaimana Juna dan Karen bisa memulai ciuman mereka, Alifia belum pernah mendapatkan ciuman pertama, bahkan setelah satu tahun berpacaran dengan Kevin.

“Ihhh, Kev. Mau kemana sih?”

“Beli es krim.”

“Ihhh... Aku gak mau es, maunya ciuman.”

“Nanti aku kasih, tapi enggak di rumah sakit.”

“Ih beneran yah, Kev.” gadis itu mensejajarkan langkahnya dengan Kevin, sementara itu Kevin justru salah tingkah sendiri dengan ucapannya barusan.

memangnya dia berani mencium Alifia? Kevin memang bucin banget sama Alifia, tapi batas pacaran mereka hanya sampai berpelukan dan gandengan saja, walau sering kali Alifia bilang dia ingin merasakan ciuman pertamanya.