17 Again ✔️

Lee Juyeon, Go Younjung, Lee Sangyeon, Kevin Moon, Park Hyungsik, Yun Hajeong, Shin Seulki, Kim Jungwoo

Jakarta, 20 April 2023...

“Sudah tiga bulan loh kamu kerja, masa enggak ada perubahan di omzet nya? Saya kan selalu nanya apa saja kendalanya di toko sampai brand kita enggak bisa naik omzetnya!”

Ini sudah kesekian kalinya Karen mendengar omelan dari atasannya itu, dan tiap kali atasannya itu menegurnya dengan cara seperti ini, Karen hanya bisa menunduk dan menyalahkan dirinya dalam hati.

“Pokoknya saya mau bulan depan minimal omzet kita harus naik dua kali lipat dari bulan ini.”

Karen hanya mengangguk, setelah itu wanita dengan paras tegas itu melenggang meninggalkan Karen. Hari ini sudah jam enam sore, harusnya Karen sudah pulang sejak satu jam yang lalu, namun karena atasanya itu ingin membicarakan omzet brand yang ia pegang, Alhasil Karen harus menemui atasanya itu di ruanganya.

Karen berjalan gontai menyusuri lorong yang berisi loker milik karyawan yang bekerja di sebuah mall besar di Jakarta, hatinya selalu tidak nyaman tiap kali ia di tegur dengan cara seperti itu. Tapi, Karen juga enggak bisa menyalahkan atasanya sepenuhnya.

Ini memang salahnya yang tidak becus dalam bekerja, Karen akui itu, ia memang tidak cakap dalam berbicara dengan orang baru. Ia kaku, canggung dan pemalu. Karen terlalu takut di tolak oleh orang lain, bahkan selama tiga bulan bekerja saja Karen belum memiliki seorang teman ia terlalu menutup diri dari orang lain.

Setiap kali jam istirahat, Karen hanya akan berada di loker, Makan sembari mendengarkan lagu atau membaca komik online favorite nya, setelah berganti baju dan mengunci loker nya. Karen keluar melalui pintu karyawan.

Ia masih melamun sampai tidak sadar beberapa orang menabraknya. Bahkan Karen mengabaikan klakson mobil yang menyuruhnya untuk minggir, hari ini Karen tidak ingin pulang. Ia ingin lari dari kenyataan yang menyuruhnya untuk bertahan di saat dirinya ingin sekali menyerah.

Malam itu Karen enggak pulang, ia memilih untuk duduk di gedung yang tidak jauh dari mall tempatnya bekerja. Ia duduk di tepi sembari menikmati semilir angin yang menerbangkan rambut panjangnya, udara sehabis hujan terasa lebih sejuk sampai beberapa kali Karen mengigil. Ia tidak membawa jaket, ia hanya mengenakan cardigan berbahan tipis untuk menutupi kaus yang ia pakai.

loser..” gumamnya sembari tersenyum pahit.

Sepanjang jalan menuju gedung, Karen enggak ada hentinya meruntuki dirinya sendiri. Sembari sesekali ia menimang apakah ia masih bisa bekerja besok, karena jujur saja Karen takut, Karen takut tiap kali teman-teman kerjanya memandangnya dengan pandangan tidak suka. Tapi terkadang Karen berpikir lagi, apa itu karena ia tidak menyapa mereka lebih dulu? Lagi-lagi ia meruntuki dirinya sendiri.

Karen takut tiap kali pelanggan memarahinya karena ia lambat, Karen begitu takut menghadapi situasi dimana ia berada di tengah keramaian orang. Ia ingin lari, tapi rasanya kenyataan menyuruhnya untuk tetap bertahan.

“Bodoh..” lirihnya, isak tangisnya yang menyesakan itu membuat dadanya terasa ngilu.

Kadang Karen berpikir, mungkin ia bisa bertahan sedikit lagi jika ada seseorang yang meyakinkan dirinya jika ia bisa melakukan hal-hal seperti orang normal lainya, Namun nyatanya, seseorang tidak ada yang meyakinkannya bahkan keluarganya sendiri.

Karen meraba tas yang ia pangku, mengambil botol berisi obat penenang yang di resepkan oleh psikiaternya tempo hari. Obat itu masih utuh, Karen belum sempat meminumnya. Ia masih denial untuk mengakui jika ia sakit, padahal jika ingin sembuh seharusnya ia bisa berdamai dengan diri dan masa lalunya sendiri.

Saat libur bekerja, Karen memang sempat berobat ke psikiater. Ia sudah mulai sedikit sadar jika dirinya 'sakit' meskipun sering kali Karen menyangkalnya. Psikiater saat itu mendiagnosa jika Karen mengalami depresi dan kecemasan bersosialisasi.

Psikiater juga sempat menyuruhnya untuk memberi tahu hal ini pada keluarganya, namun sayangnya Karen tidak sanggup memberitahu mereka, Apalagi Mas Kara dan Kevin yang sekarang ini tengah berbahagia, Karen tidak ingin merusak suasana dan kebahagiaan saudaranya itu.

Sedang asik melamun memandangi obat penenang yang ada di tangannya, tiba-tiba saja ponsel Karen berdering. Itu adalah panggilan dari Kevin, adik kembarnya. Dan itu justru membuat tangis Karen semakin menyesakan.

Karen dan Kevin, kembar tidak identik namun memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Bagi Karen, Kevin adalah dirinya yang lain. Apapun yang Kevin rasakan Karen akan merasakannya juga, begitu pun sebaliknya. Mungkin di rumah, Kevin sedang merasakan apa yang saat ini Karen rasakan juga. Makanya Kevin menelponnya.

“Maafin aku, Kev..” ucap Karen.

Mengabaikan panggilan dari ponselnya, Karen berdiri dari tempatnya berpijak. Ia melihat ke bawah dimana jalanan Jakarta malam itu begitu padat. Ia jadi membayangkan seperti apa jika ia meninggalkan dunia ini dengan cara terjun dari atas, apa semua masalah, beban dan rasa sakit yang Karen tanggung selama ini akan lenyap terbawa oleh angin begitu saja?

Karen memejamkan matanya, nafasnya sedikit tercekat dan keraguan akan keputusan terakhirnya itu membuatnya ragu-ragu untuk melepaskan pijakan kakinya dari tempatnya berdiri saat ini. Namun saat Karen mencoba untuk menikmati semilir angin yang hendak berhembus, isi kepalanya terus memutar kejadian-kejadian pahit yang terus ia alami berulang kali.

Kini keputusan Karen sudah bulat untuk mengakhiri ini semua, saat tubuhnya melayang di udara, Karen berulang kali mengucapkan maaf dalam hati pada orang-orang terkasihnya, sampai akhirnya...

BRAKKKKKKKK

Tubuh Karen terhempas, ia juga merasakan sakit yang mendera tubuh dan kepalanya. Bahkan Karen masih bisa mendengar suara ribut-ribut di sekitarnya, bahkan seperti ada seseorang yang memanggil-manggil namanya.

Tapi benarkah? Apa ini hanya perasaanya saja? Apakah ia benar-benar sudah mati? Karen ingin sekali membuka kedua matanya namun ia takut jika ia belum mati dan kembali merasakan sakit.

“Karen!!! Aduhh.. Gimana sih lo Galang hati-hati kek kalo main bola, kalo Karen geger otak gimana?!”

tunggu.. Suara ini? Aku seperti mengenali suara ini..” gumam Karen dalam hati.

sorry Kak gue beneran gak sengaja, udah deh mending kita bawa Kak Karen ke UKS dari pada dia geger otak beneran.”

“Heh sembarangan lo kalo ngomong!” pekik seorang gadis sembari menepuk pundak laki-laki bernama Galang itu.

Karena terlanjur penasaran, Karen membuka kedua matanya. Namun bukan berada di bawa gedung tempatnya terjun tadi, Karen justru berada di sebuah lapangan sekolah. Tunggu.. Ini SMA nya, ini adalah lapangan SMA nya berada.

Seketika Karen bangun dan berdiri dari kerubungan siswa-siswa SMA Orion yang memandanganya dengan pandangan khawatir.

“Karen lo gapapa?” tanya gadis yang berdiri di depan Karen, itu adalah Alifia teman sekelas Karen.

“G...gue dimana? Gue gak jadi mati??” ucap Karen heran, ia meraba dirinya sendiri dan betapa terkejutnya saat ia sadar jika ia memakai seragam SMA nya dulu.

“Kak Karen mana ada ke gebok bola langsung mati?” ucap laki-laki bernama Galang itu.

Galang adalah Adik kelas Karen, cowok itu baru kelas sepuluh. Hobinya memang main bola dan langganan di hukum BK karena bermain bola hingga seragamnya basah dengan keringat.

“GALANGGG INI SEMUA GARA-GARA LO, TUH KAN LIAT KAREN JADI AMNESIA KAYA GINI!!!” pekik Alifia.

Karen hanya diam, ia masih bingung untuk mencerna ini semua. Apakah ini hanya mimpi? Pikirnya, untuk memastikan jika ini benar-benar mimpi, Karen mencubit tanganya sendiri. Namun bukanya merasa terbangun, Karen justru hanya merasakan sakit.

“Bukan mimpi..” lirihnya.

“Karen!!!” pekik seseorang yang membuat Karen menoleh, ternyata itu adalah Kevin. Adik kembar Karen.

“Kev, kok kita bisa disini?” tanya Karen, namun Kevin hanya menatapnya bingung.

“Kita kan sekolah disini, tadi kata Ayu kepala kamu kena bola sampe pingsan. Coba aku liat mana yang sakit?” Kevin memeriksa kepala Karen.

Namun Karen hanya pasrah dan bertambah bingung apalagi saat Kevin bilang kalau mereka sekolah disini. Mereka memang sekolah disini, tapi bukanya mereka sudah lama lulus?

“Kev sekarang tanggal berapa?” tanya Karen.

“Tanggal 20 Januari,” jawab Kevin.

“Tahun?”

“2015, kenapa sih? Ren, kamu gak hilang ingatan cuma karena kena bola kan?”

“2015??! Bu...bukanya 2023?” gumamnya, itu artinya ia kembali ke masa lalu saat trauma nya di mulai.

Hingga jam istirahat telah usai, Karen masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi sebenarnya. Seingatnya, beberapa jam yang lalu ia masih di atas gedung tepat di sebrang mall tempatnya bekerja, kemudian terjun untuk mengakhiri hidupnya. Namun kenapa saat ini dia bisa kembali ke sekolahnya dulu?

Lalu, kata Kevin saat ini adalah tahun 2015. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Bagaimana bisa ia tidak jadi mati lalu kembali ke masa lalu? Pikir Karen. Ia memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya ke tembok yang berada di sebelahnya.

Pak Sutoyo, guru sosiologi sedang menerangkan materi, namun Karen hanya bisa mendengus terus-terusan sampai Widya Anjani teman sebangku nya itu menendang kaki Karen dari bawah kursi. Sontak hal itu langsung membuat Karen menoleh ke arahnya.

“Duduk yang benar anjir... Lo kenapa sih?” tanyanya heran.

Karen hanya menggeleng pelan, ia kemudian menegakkan duduknya dan berusaha konsentrasi untuk mendengarkan materi dari Pak Sutoyo itu. Tapi, sayangnya kepalanya malah mencerna hal-hal lain yang menurutnya tidak masuk akal.

kalau gue kembali ke masa lalu, itu artinya ada hal-hal yang bisa gue ubah supaya di masa depan hidup gue enggak berantakan? Iya kan? Di drama biasanya kaya gitu kan?” pikir Karen.

Matanya kemudian menelisik ke baris kursi lain, dimana Kania Venisa, Muthia Armadi, Selvia Rahayu dan Sello Nelci merundungnya. Ah tidak bisa di bilang merundung, mereka enggak melukai Karen secara fisik. Namun mereka berempat menyerang psikisnya hingga Karen menarik diri dari orang lain.

Tanpa Karen sadari, ia meremas pulpen yang berada di tangannya hingga pulpen itu patah menjadi dua. Baru melihat wajah ke empat temannya itu saja rasanya ia sudah berapi-api, apalagi saat mengingat di masa depan kehidupan mereka jauh lebih baik dari pada Karen.

Mereka menjalani hidup selayaknya manusia normal lainya tanpa rasa berdosa sama sekali, padahal setiap hari rasanya Karen ingin sekali mengakhiri hidupnya hanya karena trauma masa lalu yang mereka buat.

tunggu... Kalau begitu, Arjuna juga masih ada di sekolah ini?” pikir Karen.

Ia kemudian memeriksa ponselnya, melihat tanggalan saat ini. Sekarang tanggal 20 Januari dan hubungannya dengan Arjuna kandas di bulan depan tepat saat mereka pulang study tour dari Dieng dan Jogja. Itu artinya, saat ini Karen masih bisa mengubah itu semua kan? Tapi ngomong-ngomong, Karen belum melihat Arjuna saat istirahat tadi.

mungkin enggak ada salahnya kalau gue meriksa Juna di kelasnya,” pikir Karen ia mengangguk pelan dan mengangkat satu tangannya.

“Ada apa Karen?” tanya Pak Sutoyo saat melihat Karen tiba-tiba mengangkat tangannya.

“Saya mau ke toilet, Pak.”

“5 menit yah,” ucap Pak Sutoyo, kemudian beliau kembali melanjutkan materinya.

Begitu mendapatkan izin dari Pak Sutoyo, Karen langsung bergegas keluar kelasnya dan berjalan ke lorong paling ujung. Kelas Juna ada di lorong paling ujung, dekat tangga menuju ke bawah. Arjuna itu ada di kelas 11 IIS 4 sedangkan Karen ada di kelas 11 IIS 1.

Begitu melewati kelas Juna, Karen gak nyangka kalau kelas itu sedang ribut-ribut karena tidak ada guru yang mengajar. Kelas Juna sedang jam kosong, terlihat beberapa murid ricuh sedang bermain ponsel mereka, bermain kartu, sedang mengobrol bahkan beberapa siswa laki-laki di belakang kelas sedang asik menggendang-gendang meja.

Namun mata Karen tidak menangkap sosok Juna di kelasnya, lalu kemana Juna sebenarnya? Pikir Karen. Karena terlanjur penasaran akhirnya Karen memberanikan diri bertanya pada Hadi, Hadi ini ketua kelas 11 IIS 4 nama lengkapnya Alam Hadi Gunawan. Kebetulan sekali cowok itu duduk di pinggir dekat dengan pintu masuk.

“Hadi.. Hadi!!” panggil Karen yang langsung membuat Hadi menoleh ke arahnya.

“Lah, Karen? Kenapa?” tanya Hadi sambil cengar-cengir.

“Juna mana?”

“Lah lo nanya Juna? Dia kan sakit, gimana sih. Udah 2 hari kali dia gak masuk.”

“2 hari? Gak masuk?” gumam Karen. “Sa..sakit apa?”

“Ren, lo gak geger otak beneran gara-gara kena bola sama Galang kan?”

Karen menggeleng pelan, Hadi ini ribet banget di tanyai. Padahal tinggal jawab saja apa susahnya sih?

“Juna tuh cidera lutut, dia di rawat di rumah sakit. Bahkan dia sampe enggak ikut turnamen basket sama SMA Garuda, masa lo lupa sih, Ren?” jelas Hadi.

Karen terdiam, ia baru ingat akan hal ini. Juna memang akhirnya berhenti bermain basket karena cidera lututnya yang parah. Bahkan Juna harus mengubur cita-citanya sebagai atlet basket saat itu, itu jugalah yang membuat Juna menjadi lebih sensitif hingga berdampak pada hubungannya dulu.

Setelah mendapatkan penjelasan dari Hadi, Karen benar-benar pergi ke toilet. Bukan untuk buang air kecil, ia hanya ingin cuci tangan sambil memikirkan langkah apa dulu yang harus ia ambil untuk memperbaiki keadaan.

“Gue harus mulai dari mana? Sedangkan gue udah mulai lupa sama kejadian-kejadian dulu..” gumamnya.


Jam pelajaran pun telah usai, sembari memasuk-masukkan buku-buku miliknya ke dalam tas, Karen sambil berpikir mungkin setelah ini ia harus menjenguk Juna. Ia lupa, dulu kalau tidak salah Karen melupakan hal ini. Maksudnya, Karen enggak sempat menjenguk Juna di rumah sakit karena ia sibuk, tapi Karen sendiri lupa dia sibuk untuk apa.

“Yuk, Ren. Udah di tungguin sama Mas Satya di ruang paskib,” ucap Kania yang tiba-tiba menghampiri Karen. Bukan hanya Kania tapi ada Sello, Selvi dan juga Muthia.

Karen hanya diam, ia menelisik satu persatu wajah yang sangat ia benci itu. Rasanya hatinya sakit, tubuh Karen juga sedikit bergetar karena menahan amarahnya. Ia tidak boleh meledak disini, ada banyak kejadian yang Karen sedikit lupa atau bahkan belum terjadi saat ini.

tapi apa barusan dia bilang? Ruang paskib?

“Ruang paskib?” tanya Karen to the point.

Kania hanya mengangguk, “iya, kita kan ada latihan buat pemilihan siapa aja yang bakal wakilin Orion buat lomba di SMA Pelita.”

ah, benar juga. Waktu itu gue sibuk dan ambis banget sama lomba ini, sampai-sampai gue enggak jenguk Juna waktu dia sakit. Karena lomba ini juga awal mula fitnah dan rasa percaya Juna ke gue memudar.

“Ahhh,” Karen mengangguk-angguk. “Hhmm.. Kayanya gue enggak bisa ikut latihan dulu, Ni. Ke..pala gue agak pusing gara-gara kena bola tadi,” alibi Karen.

“Tapi lo gapapa kan, Ren?” tanya Sello, gadis berdarah Ambon itu menatap Karen khawatir.

Karen menggeleng pelan, “gapapa kok, Lo. Gue cuma agak pusing aja.”

“Terus lo mau langsung balik, Ren?” kini giliran Muthia, si gadis berbadan gempal yang bertanya. Sebenarnya gadis itu baik, tapi tetap saja ia tetap berpihak pada Kania dari pada Karen.

“Iya.. Gue mau langsung istirahat aja.”

Kania mengangguk, kalau tidak salah Karen lihat. Ada seulas senyum hadir di bibir gadis itu.

“Ya udah kalau gitu, nanti gue kasih tau Mas Satya. bye, Ren.” ucap Kania sebelum gadis itu pergi meninggalkan Karen.

“Hati-hati baliknya, Ren.” ucap Selvi sembari menepuk pundak Karen saat gadis itu melewatinya.

Karen hanya diam saja, ia mengepalkan tangannya. Kemudian memakai tasnya dan keluar dari kelas, kebetulan sekali di tangga ia bertemu dengan Kevin. Kevin dan Karen itu beda kelas, jika Karen berada di jurusan IIS maka Kevin berada di jurusan MIPA.

“Kata Kania kamu sakit?” tanya Kevin khawatir, Adik kembarnya itu memang paling protektif.

“Eng..gak sebenarnya sih, aku cuma alasan aja biar enggak latihan.”

“Kenapa?”

“Aku mau jenguk Juna, Kev.”

Kevin mengangguk, “mau aku anterin aja?”

Karen menggeleng pelan, “gak usah, lagi pula biasanya kamu nganterin Alifia pulang.”

“Iya emang, itu dia udah nunggu di tukang batagor. Tapi kalau kamu mau aku antar kan kita bisa gonjengan bertiga.”

“Ogah ah, mending aku naik bus sekolah aja. Nanti di kira cabe-cabean lagi,” sangkal Karen. Padahal dia enggak mau jadi nyamuk di tengah-tengah Kevin dan Alifia.

“Ya udah kalau gak mau.”

“Kev, tapi kasih tau Mas Kara yah kalau dia hubungin kamu. Bilang aku masih latihan aja.”

“Emang HP mu kemana?”

“Mati, batre nya lowbat.”

Kevin mengangguk-angguk, “oke, bye Karen salam buat Juna,” ucapnya kemudian melenggang pergi begitu saja.

Di depan pagar sekolah itu ada pedagang kaki lima yang berjualan, dan Karen bisa melihat Kevin memakaikan Alifia helm dan memberikan jaketnya demi menutupi kaki Alifia agar tidak terkena panas. Kevin memang semanis itu.

“Cih, bisa-bisa nya dia bucin sama cewek lain di saat anaknya baru lahir.” Karen menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke halte untuk menunggu bus sekolah.

Di tahun 2023 Kevin itu sudah menikah lebih dulu dari Karen, dan sudah memiliki satu anak yang baru saja lahir. Kalau Karen cerita ke Kevin kalau dia yang sekarang berasal dari tahun 2023 Kevin pasti akan mengira Karen ini gila.

To Be Continue

cidera lutut Juna lumayan serius, Buk. Kami menyarankan agar Juna melakukan operasi untuk memperbaiki posterior cruciate ligament (PCL), Operasi rekonstruksi ini berpeluang untuk mengembalikan lebih dari 80 persen fungsi lutut.

tapi anak kami masih bisa bermain basket kan, Dok?

saya tidak bisa menjamin itu, ada kemungkinan cidera nya kembali jika Juna tetap memaksakan diri untuk bermain basket.

Juna menghela nafasnya dengan kasar, kilasan akan pembicaraan Ibu dan Bapaknya oleh Dokter ortopedi tadi pagi cukup menyita pikirannya. Juna itu ambisius, dan kali ini ia kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa bermain dengan hati-hati.

Lututnya masih terasa nyeri, Bapak dan Ibu juga sudah beberapa kali membujuk Juna agar mau melakukan operasi yang di sarankan Dokter, namun Juna masih sedikit ragu. Entah apa yang ia ragukan, padahal saat ini saja untuk mandi dan buang air kecil Juna selalu di papah oleh Bapak.

“Ibu mau ke apotek dulu yah, Jun. Kamu mau titip apa?” ucap Ibu, wanita berusia 43 tahun itu mengambil dompet miliknya yang ia taruh di nakas dekat ranjang Juna berada.

“Gak kepengen apa-apa, buk.”

“Beneran?” tanya Ibu sekali lagi.

Juna hanya mengangguk dan tersenyum kecil, meski Ibu tidak kecewa jika Juna tidak menjadi atlet, tapi tetap saja Bapak menaruh harapan tinggi pada Juna, apalagi Bapak sering memamerkannya sebagai calon atlet basket pada teman-temannya itu.

“Yasudah, Ibu ke apotek sebentar yah.”

Setelah berpamitan, Ibu akhirnya keluar dari ruang rawat Juna. Menyisakan Juna sendirian yang masih memandang gedung-gedung di sekitaran rumah sakit dengan tatapan kosong.

Biasanya sepulang sekolah teman-temannya akan menjenguknya, seperti Hadi, Agung dan Ino. Tapi ketiga nya hari ini sepertinya tidak datang, Hadi ada latihan dengan club futsalnya sementara Agung, cowok dengan club musiknya itu sedang mencari vokalis untuk band yang di buatnya, dan Ino Cowok itu pasti sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pemilihan kapten basket tahun ini.

Juna dan Ino itu kadidat terkuat dalam kualifikasi club basket, tapi sepertinya Juna akan memilih mundur dari club itu. Mengingat ia akan fokus pada pemulihan lututnya, jadi untuk posisi kapten itu Akan Juna serahkan saja pada Ino. Toh, Ino adalah teman baiknya Juna yakin Ino bisa memimpin club basket SMA Orion.

Sedang asik melamun dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja pintu ruang rawat Juna terbuka. Tadinya Juna pikir itu Ibu, namun siapa sangka jika seseorang yang berdiri di depan pintu masuk ruang rawatnya adalah Karen. Pacarnya itu datang sendiri, Karen juga membawa kotak dari toko roti kesukaan Juna.

“Kok sendiri? Ibu kemana?” tanya Karen, gadis itu menutup pintunya lagi dan berjalan ke arah ranjang Juna.

“Aku pikir kamu enggak akan datang,” ucap Juna, mengabaikan pertanyaan dari Karen.

Karen hanya mengulum bibirnya, ia duduk di samping ranjang Juna dan menaruh kotak berisi roti kesukaan Juna di nakas.

“Aku bolos latihan,” gumam Karen.

“Kenapa?”

“Mau jenguk kamu, Jun.”

Diam-diam Juna tersenyum kecil, sungguh Juna itu merindukan Karen, akhir-akhir ini Karen sedikit sibuk apalagi menjelang pemilihan perwakilan dari club yang akan bertanding untuk melawan SMA lain.

“Kamu sendiri?”

“Iy..iya,” Karen memandang Juna, tatapanya menyiratkan kekhawatiran dan sesuatu yang sepertinya sulit ia ungkapkan, Juna juga tidak mengerti apa yang ingin Karen sampaikan dengan tatapan itu.

“Kaki kamu, masih sakit, Jun?”

Juna mengangguk, “Dokter bilang aku harus operasi, Ren. Ligament lututku robek.”

Karen hanya diam, tapi matanya tertuju pada lutut Juna yang di pasangi alat bantu berjalan. Agak sedikit bengkak memang, Karen tidak bisa membayangkan seperti apa rasa sakitnya.

“Kapan, Jun?”

“Enggak tahu, aku bahkan belum mau lakuin itu.”

“Kenapa?” tanya Karen.

Karen ingat, Juna tetap berakhir di operasi saat itu. Namun Karen lupa kapan itu terjadi, kalau tidak salah Juna sempat memaksakan diri untuk tetap basket sebelum berakhir di operasi, atau kejadian itu sudah terjadi? Ah, sialnya memori semasa SMA nya sedikit buruk, Karen seperti memaksa semua yang terjadi saat ia duduk di bangku SMA menghilang dari kepalanya, Ia tidak ingin mengingat traumanya kembali.

“Gapapa,” Juna tersenyum getir.

“Kalau itu bisa bikin cidera lutut kamu sembuh kenapa enggak segera, Jun?”

“Dokter bilang, mereka bahkan gak menyarankan aku kembali ke lapangan setelah operasi itu, Ren. Aku mungkin akan dapat cidera lagi kalau tetap maksain diri buat basket,” jelas Juna, tatapan mata cowok itu agak berbeda, mungkin karena mereka membicarakan cidera dan basket, Dua hal yang agaknya sensitif untuk Juna saat ini.

Setelah perdebatan kecil itu, Karen juga diam. Dia enggak tahu Juna di 2023 itu seperti apa, setelah putus dan lulus dari SMA. Karen enggak pernah nyari tahu tentang Juna dan juga teman-temannya yang lain. Jadi, Karen enggak tahu di masa depan Juna bernasib bagaimana.

“Ren, ma..maaf aku enggak bermaksud kasar ke kamu,” ucap Juna tidak enak hati.

Karen hanya tersenyum kecil, ia mengenggam jemari cowok itu demi menguatkan Juna. Itu kan tujuanya datang ke rumah sakit selain ingin memperbaiki hubunganya, Pikir Karen.

“Aku paham, Jun. Tapi sebaiknya kamu pikir-pikir lagi yah, menurut aku yang terpenting saat ini buat kamu itu kesehatan diri kamu sendiri. Aku yakin Bapak dan Ibu juga sependapat sama aku.”

“Tapi kalau aku enggak bisa main basket lagi gimana, Ren?” tanya Juna lirih.

Karen tahu, secinta itu Juna pada basket. Dan sebesar itu ambisinya untuk menjadi seorang atlet, Juna pernah bilang jika ia bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah lewat jalur prestasinya di club basket.

Juna memang tidak terlalu pandai di akademik, cowok itu enggak bodoh juga. Yah standar lah, nilainya enggak jeblok-jeblok amat. Tapi memang beberapa kali Juna mendapat teguran dari wali kelasnya untuk tetap mengutamakan akademiknya dulu.

“Kamu tahu gak, Jun. Di dunia ini ada banyak jalan lain yang bisa kamu lalui. Mungkin, yang ada di pikiran kamu sekarang tanpa basket bakalan terdengar buruk. Tapi siapa tahu, ada jalan yang lebih baik dari basket buat kamu, Jun.”

Juna terdiam, ucapan Karen ada benarnya. Meski saat ini Juna masih belum tahu mau melakukan apa jika ia tidak bermain basket lagi.

“Kamu kok jadi dewasa gini sih?” tanya Juna, ia agak sedikit kaget sama ucapan Karen barusan.

“Jun, umur kita kan udah 25 ta—” Karen menahan ucapanya sebentar, ia sadar jika saat ini ia kembali ke usinya 17 tahun.

“25?” tanya Juna bingung.

“Ma..maksud aku 17.”

“17 ke 25 itu jauh tau, Ren.”

“Hah?” Karen tersenyum kikuk, dia gak punya alasan lain buat mengelak. Namun sepertinya dewi fortuna sedang berada bersamanya, pintu ruang rawat Juna terbuka dan menampakan Ibu yang baru saja datang.

“Loh ada Karen ternyata?” ucap Ibu.

Dan ucapan Karen barusan teralihkan oleh Ibu yang baru saja datang, Juna sempat terhibur dengan kehadiran Karen hari ini. Bahkan saat Karen ingin pulang, cowok itu langsung bisa mengambil keputusan untuk secepatnya melakukan operasi pada lututnya.


Malamnya saat Karen tidur di kamarnya, gadis itu merasakan kedinginan yang cukup membuat seluruh tubuhnya menggigil, beberapa bagian tubuhnya juga terasa sakit terutama di bagian tangan dan tulang rusuknya. Bahkan Karen sempat merasakan sesak nafas dalam tidurnya.

Ia ingin bangun atau berteriak meminta tolong, namun keabsahannya dalam berbicara seakan memudar. Tubuhnya juga sulit bergerak, Karen sempat mengira jika mungkin ia akan segera mati. Namun siapa sangka jika telinganya masih mendengar seseorang memanggil namanya, itu jelas, bahkan sangat jelas. Itu bukan suara Kevin maupun Mas Kara, Melainkan suara Juna.

“KAREN!!!”

Suara Juna yang semula terdengar halus di telinganya itu semakin lama terdengar seperti teriakkan dan mampu menyadarkan Karen dari tidurnya. Mata gadis itu terbuka dengan nafas terengah-engah.

“Hah..hah..”

Karen langsung bangun dari ranjangnya, tubuhnya tidak lagi sakit, nafasnya juga sudah tidak sesak dan ia juga tidak merasakan dingin lagi. Ia masih berada di kamarnya dengan lampu menyala dan buku geografi di atas ranjangnya, Karen baru ingat ia sedang belajar kemudian ketiduran.

Karen memang lebih suka belajar di atas kasur dari pada di meja belajar, menurut nya lebih santai dan nyaman saja jika di atas kasur walau kadang itu membuatnya sedikit ketiduran.

“Juna? Kenapa ada suara Juna?” gumamnya.

Karen menoleh ke arah jam dinding yang berada di dekat lemari bajunya, saat ini sudah jam 3 subuh. Enggak mungkin Juna berada di rumahnya kan? Lagi pula Juna sedang sakit, tapi kenapa rasanya begitu nyata suara Juna di telinganya barusan?

Jam istirahat pertama itu, di ruang club musik Agung tampak bingung untuk mencari pengganti vokalis band sekolah mereka. The Gifted namanya, Kevin yang mencetus nama itu. Kevin merasa semua member berbakat di bidangnya masing-masing. The Gifted itu terdiri dari 4 member, sebenarnya 5 sih, hanya saja vokalis mereka mengundurkan diri.

4 member yang tersisa terdiri dari Kevin sebagai seorang pianis, Fajri seorang gitaris, Ayu seorang basis, dan Ryan seorang drummer.

Contohnya saja Ayu, namanya Ayusita Kinandra. Gadis itu pandai sekali bermain bass, waktu audisi untuk bisa masuk ke club musik, Ayu bahkan di tantang ketua club untuk battle. Ayu pernah cerita kalau dia sudah tertarik pada musik sejak Ayahnya mengajaknya menonton sebuah konser saat umurnya 4 tahun.

Sama seperti Ayu, Kevin juga memiliki bakat dalam bermain piano. Walau enggak semuda Ayu waktu memulai mengenal musik, tapi Kevin benar-benar mencintai musik dan ia memilih piano untuk ia tekuni.

Kalau Fajri Deep, gak usah heran sama cowok dengan penampilannya yang serampangan itu Cowok itu memiliki darah musisi dari sang Ibu, Kakaknya juga seorang musisi. Walau band yang di bentuk tahun 2010 oleh Kakaknya itu harus berakhir bubar.

Nah drummer The Gifted itu ada Ryan, si cowok berwajah imut. Kalau Ryan memang sudah langganan di club musik sejak SMP awalnya Ryan mengikuti audisi dengan menjadi seorang gitaris, namun saat The Gifted di bentuk, cowok itu memilih untuk menjadi seorang drummer. Ryan lumayan menguasai banyak alat musik, makanya dia enggak akan ragu kalau di pindahkan posisi nya di band.

Dan yang terakhir itu ada Agung sebagai manager The Gifted. Waktu audisi, Agung lolos karena suaranya. Yup, Agung itu sebenarnya bisa jadi seorang vokalis di The Gifted tapi karena alasan yang enggak pernah dia ungkapkan, Agung memilih untuk berhenti bernyanyi. Cowok itu bahkan pernah ingin keluar dari club kalau tidak Kevin tahan.

Waktu itu Agung ngerasa dia udah gak ada sangkut pautnya lagi dengan club karena sudah memutuskan untuk tidak bernyanyi, namun saat The Gifted di bentuk. Posisi seorang manager kosong dan Kevin menyarankan jika Agung yang mengambil posisi itu.

“Terus gimana dong? Atau kita mau rekrut anak kelas 10 aja? Si Galang tuh suaranya lumayan loh,” tanya Ryan.

Sudah 15 menit mereka berunding dan urung mendapatkan jawaban, mereka harus berlatih untuk penampilan mereka di Dieng bulan depan. Siswa kelas 11 itu bulan depan akan ada study tour ke 2 kota. Yaitu, Dieng dan Jogja. Mereka wajib membuat pertunjukan dan The Gifted sudah memutuskan untuk tampil.

“Berarti anak kelas 10 ikut kita ke Dieng gitu? Kan gak mungkin, Yan.” Ayu mendengus.

“Lo gak ada kenalan siapa gitu, Kev? Harus anak kelas 11 yah!” Fajri yang tadinya sedang sibuk mencari lagu yang akan mereka bawakan itu akhirnya angkat bicara.

“Siapa yah... Gue sejujur nya bingung sih, apalagi posisi vokalis pertama kita di isi sama cewek. Mau gak mau harus rekrut cewek juga kan?” jawab Kevin.

“OHHH GUE TAU!!” pekik Agung, cowok itu buru-buru menghampiri Ayu yang sedang memakan batagornya dan duduk di atas meja.

“Apaan lo?” tanya Ayu waktu Agung tiba-tiba berdiri di depannya.

“Lo sekelas sama Emilly kan?”

Ayu mengangguk.

“Emilly di gereja itu anak padus udah pasti dia bisa nyanyi, ajak dia aja!” ucap Agung penuh semangat.

“GAK!!” Ayu yang mendengar itu menepis tangannya di depan wajah Agung. “Percuma juga, Gung. Milly enggak akan mau. Emilly calon ketua OSIS gitu mana mau dia gabung ke band kita. Lagian yah, gue sama dia beda circle.

“Terus siapa dong?” bahu Agung merosot, ia merasa harapannya itu pupus begitu saja.

“Lagian, lo kok tau Emilly di gereja anak padus? Lo udah pindah agama apa gimana?” tanya Kevin.

“Gue waktu itu ketemu dia waktu Bokap gue di rawat, rumah sakitnya sampingan sama gereja tempat Emilly ibadah. Terus kita sempet ngobrol-ngobrol dan disitu Emilly cerita dia itu anak padus di gerejanya,” jelas Agung.

Tidak terasa hanya untuk berdiskusi mencari vokalis band mereka saja sudah memakan waktu 40 menit. Diskusi itu berakhir tanpa jawaban, dan Agung memutuskan untuk melanjutkannya setelah pulang sekolah.

Setelah dari ruang club musik, Ayu mampir dulu ke toilet sebelum masuk ke dalam kelasnya. Dia pikir tidak ada orang di toilet saat ia buang air besar dengan begitu brutalnya, namun siapa sangka waktu Ayu membuka bilik toiletnya, ada Karen kembaran Kevin sedang mencuci tangan. Ayu sempat canggung dan malu, itu artinya Karen mendengarnya kan?

Meski Karen enggak menunjukan reaksi apa-apa tetap saja Ayu merasa ia harus meminta maaf, ia tidak enak pada Karen pasti terdengar menjijikan barusan.

sorry yah, Ren.” cicit Ayu.

Karen hanya mengangguk, ia sempat menoleh ke arah Ayu yang sedang mencuci tangannya. Gadis itu juga menyempatkan diri untuk menyisir rambut panjangnya dan memakai lip tint nya lagi.

Karen itu enggak dekat sama Ayu, di kelas, Ayu itu di cap sebagai gadis nakal karena sempat ada gosip kalau Ayu sering bergonta-ganti pacar, pulang malam, merokok dan bermain di club malam dan Karen sangat menghindari gadis-gadis bermasalah seperti itu. Meski kembar, Karen dan Kevin punya lingkup pertemanan yang sangat berbeda. Kevin itu enggak pilih-pilih teman, ia akan berteman dengan siapa saja. Berbeda dengan Karen yang justru hanya ingin berteman dengan anak-anak yang ia anggap baik dan berprestasi saja.

Karen jadi ingat, di masa depan Kevin pernah cerita kalau kabar Ayu sekarang sudah menikah. Ayu juga memiliki 2 orang anak laki-laki dan hidup bahagia dengan suaminya di Bandung. Yup, Ayu pindah ke Bandung setelah lulus SMA.

Karena terus merasa di perhatikan oleh Karen, akhirnya Ayu melambaikan tangannya di depan Karen hingga gadis itu sedikit tersadar.

“Ren? Sehat kan?” tanya Ayu.

“Ah, sorry.” Karen mengangguk. “Sehat kok.”

“Hhmm...bagus deh, gue pikir kenapa liatin gue sampe enggak mengedip.”


Siang ini sepulang sekolah Karen berniat untuk menjenguk Juna kembali. Tadi pagi dia dapat kabar dari Ibunya Juna jika Juna menjalani operasi ligament nya pagi ini. Sebenarnya, lagi-lagi Karen harus bolos latihan paskibra nya. Dia bahkan enggak ngasih alasan apa-apa waktu Kania bertanya, dia cuma bilang kalau enggak bisa latihan aja.

Sebenarnya, Karen udah memutuskan kalau dia mungkin akan keluar dari club itu. Ini demi menghindari pemicu Kania mulai menyebarkan fitnah atas dirinya, dengan begitu nasibnya di masa depan akan berubah kan? Karen sudah memikirkan ini semalam. Semua rencana-rencana untuk mengubah nasibnya.

“Mana sih lama banget...” gumamnya saat Karen menunggu bus sekolah di halte.

Karen sudah susah payah keluar dari sekolah agar tidak ketahuan sama Mas Satya. Dia takut di tanya-tanyai kenapa sudah dua hari tidak latihan, namun sialnya. Mas Satya itu senior sekaligus Kakak pembina nya di club, Mas Satya sudah lulus dari SMA Orion tahun kemarin. Cowok itu sekarang berkuliah sembari mengajar paskibra di sekolah. Namun sayangnya, Orang yang Karen hindari itu justru mengikuti Karen diam-diam hingga ke halte bus sekolah.

“Ren, kamu mau kemana?” tanya Mas Satya.

Karen kaget, dia gak nyangka kalau dia bakalan ketemu sama Mas Satya di halte. Padahal Karen sendiri enggak tahu, kalau Mas Satya memang mengikutinya diam-diam.

“Mas Satya.. Maaf, Karen ada urusan mendadak,” alibinya.

“Urusan apa? Udah dua hari loh kamu gak latihan, kan saya pernah bilang kalau mau izin harus ketemu saya dulu.”

“Karen.. Mau ke rumah sakit, Mas.”

“Kamu sakit? Saya antar aja yah?”

Buru-buru Karen menggeleng kepalanya, “engg..gak bukan Karen. Itu.. Maksudnya, Karen harus ke rumah sakit karena Budhe Karen masuk rumah sakit.”

Sungguh, Karen merasa berdosa sekali sudah berbohong seperti ini. Tapi demi apapun dia enggak berniat menyumpahi Budhe masuk rumah sakit beneran kok, ucapan itu spontan saja tiba-tiba keluar dari mulutnya.

“Maksudnya kamu yang jagain?” tanya Mas Satya.

Karen mengangguk.

“Ren, tapi kamu masih tetap di club kan? Waktu perlombaan kita tinggal dua minggu lagi. Saya benar-benar berharap kamu bisa menjadi perwakilan Orion.”

Karen menunduk, sebenarnya Karen masih ingat bagaimana ia dan pasukan paskibra SMA Orion berhasil membawa pulang piala bergilir itu. Namun, kali ini ambisinya bukan lagi soal piala dan paskibra. Ini tentang nasibnya di masa depan.

“Ren.. Saya harap besok kamu masih bisa latihan yah. Saya benar-benar mengandalkan kamu,” Mas Satya memegang kedua bahu Karen.

“Hati-hati yah, kalau gitu saya balik ke sekolah dulu,” ucapnya lagi sebelum cowok itu meninggalkan halte bus.

Jujur saja, Karen gamang. Ia merasa akan segera mematahkan harapan Mas Satya yang selama ini sudah sangat baik padanya.

To Be Continue

Siang itu Satya sedikit tidak fokus untuk melatih junior-juniornya saat latihan paskibra, mood nya berantakan banget beberapa hari ini, apalagi saat Karen tidak ikut berlatih 2 hari belakangan ini.

Kandidat terkuat sebagai tim yang akan di kirim untuk lomba melawan SMA lain itu Karen. sungguh, Satya sangat berharap pada gadis itu. Meski enggak bisa dia pungkiri jika kemampuan murid-murid yang lain juga tidak kalah bagus dengan Karen.

Sudah beberapa kali Dito memperingati Satya untuk tidak mengikut campuri urusan pribadi dengan urusan club, namun tampaknya Satya tidak mendengarkn peringatan itu.

Saat murid-murid yang lain sedang beristirahat, Satya mengambil tempat duduk tepat di bawah tiang bendera. Kebetulan tiang benderanya dekat dengan pohon yang lumayan rindang, jadi Satya enggak kepanasan jika duduk di bawahnya.

Cowok itu mendengus pelan, menyandarkan punggungnya pada tiang bendera. Sontak, hal itu membuat Dito kawannya itu menoleh ke arah Satya seraya menggelengkan kepalanya heran.

“Satya..Satya kenapa sih lo?” tanya Dito heran.

“Gapapa, To.”

“Yakin? Dari kemarin loh, elo kelihatan suntuk banget,” Dito kemudian menyeringai, sepertinya ia tahu alasan kenapa akhir-akhir ini wajah Satya selalu terlihat masam.

“Apa gara-gara Karen enggak latihan 2 hari ini?” tebaknya.

Satya hanya diam, dia justru melirik Dito kemudian membuang pandanganya ke arah lain. Satya itu suka sama Karen, cowok itu sendiri yang cerita sama Dito. Satya bahkan enggak bisa membuang perasaanya pada Karen walau sudah tahu kalau Karen punya pacar. Satya malah bilang kalau dia akan nunggu Karen sampai putus dengan pacarnya.

“Tuh kan bener dugaan gue,” Dito menggeleng-geleng. “Udah berapa kali sih, Sat. Gue bilang ke lo kalo Karen tuh udah punya cowok.”

“Apaan sih lo, To. Kok jadi bahas itu?”

“Tapi bener kan lo kusut gini karna Karen gak latihan?”

“Iya emang, tapi itu karena gue berharap banyak sama dia buat jadi perwakilan SMA Orion.”

Dito menghela nafasnya pelan, Dito akui jika Karen memang kandidat terkuat. Tapi enggak di pungkiri jika gadis itu juga bukan satu-satunya yang terbaik, jika Karen enggak memilih mundur toh masih banyak kandidat lain yang bisa mereka pilih.

“Tapi lo gak boleh tutup mata kalo murid-murid lain juga lebih baik, Sat. Lomba tinggal 2 minggu lagi, kalau Karen emang banyak gak latihanya. Terpaksa kita harus diskualifikasi dari pemilihan perwakilan,” jelas Dito.

“Gue yakin kok dia masih bakalan latihan. To, dia itu cuma lagi jagain Budhe nya yang sakit. Dia bilang sendiri ke gue tadi.”

“Budhe?” tanya Dito yang di jawab anggukan oleh Satya.

“Kenapa?”

“Yakin Budhe nya yang sakit?”

“Yakin, buat apa juga Karen bohong?”

Dito terkekeh pelan, ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukan akun sosial media milik Ino pada Satya.

“Itu Karen kan?” tanya Dito.

Satya yang melihat foto Karen, Ino, Agung dan Hadi yang sedang menjenguk Juna di rumah sakit itu sedikit terkejut, jadi Karen membohonginya? Jadi, Karen ke rumah sakit sampai bolos latihan paskibra itu semata-mata untuk menemani Juna di rumah sakit alih-alih menjaga Budhe nya?

“Sat, Karen itu nemenin cowoknya yang habis operasi bukan jagain Budhe nya,” jelas Dito.

Satya hanya terdiam, kali ini bukan hanya kecewa yang menderanya. Namun Karen juga berhasil mematahkan hatinya, terakhir kali Satya sempat mendengar rumor jika hubungan Karen dengan pacarnya itu sedikit renggang. Satya sempat melambungkan harapannya tinggi untuk bisa mendekati gadis itu, namun siapa sangka jika hubungan keduanya membaik.

“Udah lah, Sat. Karen tuh kelihatan sayang banget sama cowoknya, cowoknya juga kelihatan bucin mampus sama Karen. Lo tuh udah kaya buang-buang waktu buat ngejar Karen terus-terusan.”

Satya hanya diam, alih-alih mendengarkan ceramah Dito yang terdengar seperti kumbang di telinganya. Satya justru melarikan diri ke kantin sekolah, ia memesan minuman untuk setidaknya meluruhkan ketidaknyamanan di hatinya.

Namun saat sedang melamun memikirkan kekecewaanya pada Karen, tiba-tiba saja Kania duduk di kursi tepat di depannya.

“Mas Satya sendirian aja, Nia temenin yah? Dari pada nanti kesambet setan kantin,” ucap gadis itu, Nia datang sendiri enggak sama teman-temannya yang lain. Gadis itu juga membawa sepiring siomay dan es jeruk yang ia pesan.

Sementara itu, Satya hanya bergeming di tempatnya sembari sesekali meminum es kopi yang tadi ia pesan.

“Ngomong-ngomong Mas Dito tadi ngasih unjuk seragam yang bakalan kita pakai buat lomba loh, Mas. Jadi enggak sabar mau cepat-cepat fitting.

“Emang kamu yakin bakalan kepilih?” tanya Satya, nadanya sedikit ketus namun itu justru membuat Kania tersenyum.

“Yakin lah, kenapa enggak? Mas Dito aja ngakuin kok kalo Nia bagus.”

“Bagus deh kalo kamu sepercaya diri itu.” Satya mengangguk-angguk.

Kania tersenyum, “kalo Mas Satya punya pilihan gak siapa yang bakalan di pilih sama Pak Yasir nanti?”

Pak Yasir itu adalah ketua pembina club paskibra, beliau yang berhak memilih siapa saja yang akan menjadi perwakilan untuk lomba melawan SMA lain nanti.

“Saya berharap sama Karen.”

Mendengar nama Karen membuat Kania kehilangan nafsu makannya, gadis itu meremas tanganya penuh dengan rasa kesal. Selalu saja Karen, apa enggak bisakah Mas Satya melihat kemampuanya juga? Kenapa harus selalu Karen yang terlihat di matanya?

“Tapi Karen aja bahkan enggak ikut latihan, udah dua hari loh, Mas. Yakin Mas Satya dia bakalan di pilih Pak Yasir?”

“Saya yakin, saya yang akan memastikan Karen akan segera latihan kembali besok.”

“Tapi yang lainya juga enggak kalah bagus loh, Mas. Karen disiplin juga enggak, saya malah punya firasat kalo Karen bakalan di keluarin dari seleksi ini.”

“Saya juga akan pastiin Karen enggak akan di keluarkan dari seleksi ini kalau begitu,” ucap Satya. Ia kemudian berdiri dan berlalu dari sana meninggalkan Kania yang masih terlihat kesal di mejanya.

“Arghhhhhh!!! Selalu aja Karen Karen Karen, apa bagusnya sih cewek sialan itu!!” pekik Kania.

Sungguh Kania benar-benar kesal dan membenci Karen, rasanya seluruh dunia di sekelilingnya hanya melihat ke arah Karen saja. Padahal, Kania juga merasa dirinya jauh lebih baik dari pada Karen.


Setelah teman-teman Juna pulang, kini tinggal Karen dan Juna di dalam kamar rawat Juna. Tadinya Juna di jaga oleh Bapak, namun Bapak pulang untuk bergantian menjaga restauran ayam kalasan dengan Ibu.

Orang tua Juna itu punya restoran ayam kalasan. Restoranya selalu ramai setiap hari sampai kadang karyawan kuwalahan dan Bapak sering menyuruh Juna untuk bantu-bantu di sana.

Restoranya enggak buka cabang lain, restoran itu juga sudah cukup legendaris karena sudah berdiri dari tahun 2000. Restoran itu adalah restoran peninggalan Eyang putri dari pihak Bapaknya Juna, jadi semacam kedua orang tua Juna lah yang meneruskan usaha itu.

“Kamu hari ini enggak latihan lagi yah Ren demi nemenin aku?” tanya Juna.

Karen hanya tersenyum, “sejujurnya aku bosen latihan.”

“Kenapa gitu? Bukanya kamu berambisi banget buat balikin piala bergilir itu ke SMA kita lagi?”

Karen menunduk, itu ambisinya dulu. Sekarang ambisi Karen adalah mengubah takdirnya di masa depan.

“Aku udah gak berambisi sama piala itu lagi, Jun. Bahkan aku mikir buat keluar dari club.”

“Hah?!” pekik Juna, cowok itu sampai mengangkat kepalanya saking kagetnya. “Kenapa?”

“Kayanya aku mau fokus sama akademik ku aja, aku ada rencana buat kuliah dan nyari beasiswa supaya enggak membebani Mas Kara.”

“Tapi enggak belajar dengan benar juga kamu udah pintar, Ren.”

Karen terkekeh, jujur saja. Karen itu memang pintar, ia selalu langganan ranking 1 di kelasnya. Meski sibuk berlatih paskibra, tapi Karen juga pintar membagi waktunya untuk belajar agar nilai akademiknya tidak menurun. Semuanya imbang, makanya Karen itu menjadi panutan di kelasnya.

Karen pernah bercita-cita untuk bisa mengibarkan bendera di istana merdeka suatu hari nanti, makanya dia kerja keras sekali untuk berlatih paskibra. Karen bahkan merelakan kulitnya yang cerah itu jadi sedikit belang karena paparan sinar matahari setiap kali ia berlatih.

“Gak gitu juga dong, Jun. Aku enggak sepintar itu juga kalo enggak belajar.”

“Tapi kamu serius, Ren? Terus gimana soal pasukan paskibraka di istana? Kamu udah enggak berniat sama hal itu lagi?”

Karen hanya menggeleng kepalanya pelan, “aku cuma mau fokus belajar aja, Jun.”

Jujur, Juna bingung kenapa keputusan Karen terkesan semendadak ini untuk mundur. Tapi Juna juga tetap harus menghargai keputusan Karen kan? Ia yakin Karen sudah berpikir matang-matang untuk membuat pilihan ini.

“Yaudah, kalo gitu kita harus sering-sering belajar bareng yah. Biar bisa masuk di kampus yang sama nanti, kamu mau kan ngajarin aku?”

“Mau lah.”

“Tapi, Ren. Sebenarnya kamu malu gak kalo punya pacar bodoh kaya aku? Nilai akademik aku tuh kadang suka jeblok,” ucap Juna.

Sebenarnya Juna enggak sebodoh itu, dia cuma terlalu sering tidak mengikuti jam pelajaran hanya untuk berlatih basket, apalagi kalau sedang mau tanding. Bukan hanya Juna, Ino pun sama, mereka akan banyak menghabiskan waktu di lapangan basket alih-alih mengikuti jam pelajaran, Alhasil Juna sering ketinggalan pelajaran.

“Kan nanti aku ajarin biar enggak bodoh lagi,” ucap Karen.

“Jadi enggak malu?” Juna menaikan satu alisnya, membuat Karen tidak tahan untuk tidak tertawa.

“Malu kalo kamu bodohnya terus-terusan.”

Keduanya saling tersenyum, sebenarnya ada hal yang ingin Karen ceritakan pada Juna soal suara yang beberapa hari yang lalu Karen dengar di kamarnya. Namun rasanya belum tepat waktunya untuk ia membicarakan hal ini pada Juna, jadi untuk sekarang ini Karen akan menyimpan hal itu sendiri sampai setidaknya Juna pulih dan kembali bersekolah.

Karen baru saja selesai membuatkan makan malam untuk Mas Kara dan Kevin, Karen udah biasa masak untuk makan malam mereka, Budhe yang mengajarkannya dulu. Masaknya juga cuma sederhana seperti menggoreng ayam, tumis, membuat sup dan nasi goreng. Kalau kata Budhe yang penting bisa masak yang ringan-ringan dulu aja.

Dari umur 12 tahun, Karen itu udah di tinggal sama Bapak. Kalau Ibu memang sudah berpulang waktu melahirkan Karen dan Kevin, makanya dari kecil Mas Kara, Karen dan Kevin sudah biasa hidup mandiri. Meski Budhe dan Pakdhe yang merawatnya sering memanjakan mereka.

Setelah lulus SMA, Mas Kara kerja dan mengajak Adik-Adiknya itu untuk hidup mandiri, Mas Kara itu enggak kuliah, Mas Kara harus kerja supaya bisa menyekolahkan Karen dan Kevin dengan usahanya sendiri.

“Kevin mana, Ren?” tanya Mas Kara sewaktu laki-laki itu selesai mandi, hari ini Mas Kara masuk pagi. Makanya sore dia sudah pulang dan bisa makan malam bersama dua Adiknya itu.

“Kayanya masih di kamarnya, Mas.”

“Panggil dulu gih, biar Mas Kara aja yang siapin piringnya.”

Karen mengangguk, ia langsung bergegas ke kamar Kevin untuk memanggil Adik kembarnya itu. Sewaktu Karen buka kamarnya, Kevin sedang sibuk dengan laptopnya entah sedang apa tapi ia juga memakai earphone di telinganya.

“Kev,” Karen menyentuh pundak Kevin, membuat cowok itu langsung menoleh ke arahnya dan melepas earphone nya. “Makan malam yuk, Mas Kara udah nunggu di meja makan tuh.”

“Kalian duluan aja deh, Ren. Aku lagi sibuk.”

“Sibuk ngapain?” Karen yang penasaran akhirnya duduk, ternyata Kevin sedang melihat video yang dikirimkan oleh anak-anak club musik.

“Aku lagi nyari vokalis buat The Gifted,” ucap Kevin.

“Emangnya Naura kemana?” Naura itu vokalis The Gifted yang sudah mengundurkan diri.

“Keluar, dia juga ngundurin diri dari club musik,” jawab Kevin tanpa menoleh ke arah Karen.

“Kenapa?”

“Orang tua nya enggak suka dia ikut club musik. Makanya aku lagi nyari vokalis nih, tapi belum nemu yang cocok. Kamu ada saran gak?” tanya Kevin. Lagi-lagi dia melepas earphone nya dan memutar kursinya itu jadi menghadap ke arah Karen.

“Siapa.. Aku gak ada saran kayanya, emangnya gak ada anak club kamu yang cocok apa?”

“Gak ada, Ren. Aku gak bisa bohong sih kalo suara Alina bagus, tapi dia kelas 10 suaranya juga enggak masuk buat warna musiknya The Gifted.”

“Emang harus banget kelas 11 yah, Kev?” Karen mengerutkan dahinya bingung.

“Harus!! Kan kita mau tampil buat acara study tour bulan depan, masa kita ajak anak kelas 10? Terus bayarin mereka gitu? Lagi pula yah, Ren. Ini kan band angkatan, kelas 10 tuh ada band nya sendiri,” jelas Kevin panjang lebar.

Jujur saja Karen baru tahu sistem club musik seperti ini, pantas saja Kevin terlihat pusing sekali mencari vokalis untuk band nya.

“Ayu bukanya bisa nyanyi yah, Kev?” seingat Karen, Suara Ayu itu lumayan bagus. Waktu pelajaran seni musik, Ayu pernah bernyanyi dan guru seni musik memberi pujian untuk suara Ayu.

“Ren, suara Ayu emang bagus tapi tipe suaranya itu soprano enggak masuk sama musiknya The Gifted. Ayu juga enggak cocok bawain lagu-lagunya The Gifted makanya dia enggak mau maksain jadi vokalis.”

Karen jadi menghela nafasnya pelan, dia jadi ikut pusing sama permasalahan Kevin dan club musiknya. Sedang asik melihat video-video rekaman yang di kirimkan oleh anak-anak club musik, tiba-tiba saja pintu kamar Kevin kembali terbuka dan menampakkan Mas Kara di sana.

“Ren, ada tamu nyari kamu,” ucap Mas Kara.

Karen dan Kevin saling melempar pandangan bingung satu sama lain.

“Siapa, Mas?” tanya Karen.

“Namanya Satya, katanya dia pelatih kamu di paskibra. Sana temuin dulu, dia nunggu di teras. Mas suruh masuk tapi dia enggak mau.”

Karen hanya mengangguk pelan, namun sebelum Karen beranjak dari kamar Kevin. Adik kembarnya itu justru menahan tangan Karen.

“Kamu yakin mau mundur dari seleksi dan keluar dari club, Ren?” tanya Kevin.

Sebelum cerita soal ini sama Juna, Karen lebih dulu cerita sama Kevin. Dan Kevin sama kagetnya dengan Juna saat mengetahui hal ini. Karen enggak jawab, dia cuma diam sembari memperhatikan ujung jari kakinya di bawah sana.

“Aku nemuin Mas Satya dulu yah, Kev. Cepetan keluar Mas Kara kasian makan malam sendirian,” jawab Karen sebelum akhirnya ia keluar dari kamar Kevin dan menghampiri Mas Satya yang menunggunya di teras.

“Mas satya..” sapa Karen.

Mas Satya yang melihat Karen itu jadi sedikit kaget, cowok itu tadi memang sedang melamun.

sorry, Ren. Aku ganggu kamu malam-malam begini, tapi ada hal yang benar-benar mau aku bicarain sama kamu.”

Karen menghela nafasnya pelan, ia sudah tahu pasti ini tentang club. Tapi Karen akan memilih pura-pura tidak tahu untuk memastikannya. “Soal apa, Mas?”

Satya enggak langsung menjawab, ia justru merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan ponselnya di sana. Satya menunjukkan akun sosial media milik Ino yang memposting foto mereka hari ini. Itu adalah Karen yang berada di tengah-tengah teman-teman Juna waktu menjenguk Juna sehabis operasi.

“Kamu bohongin saya yah, Ren? Kamu enggak jagain budhe kamu di rumah sakit kan? Tapi kamu bolos latihan demi jenguk Arjuna?” tanya Satya to the point.

Karen yang sudah tertangkap basah seperti itu akhirnya menunduk, jujur saja dia jadi merasa tidak enak sama Mas Satya. Karen itu enggak pintar berbohong, dia juga enggak punya alasan lain buat menyangkal.

Karena Mas Satya juga sudah terlanjur tahu soal hal ini, sekalian saja Karen jujur kalau ia memang mau mundur dari club paskibra sekolah. Karen enggak ingin bohong terlalu jauh lagi dan mengecewakan Mas Satya untuk kedua kalinya.

“Maafin Karen, Mas Satya. sejujurnya Karen enggak bermaksud buat bohong kaya gitu. Karen memang dari awal mau menjenguk Juna, tapi alasan Karen gak ikut latihan beberapa hari ini bukan Karena Juna,” ucap Karen, ia meremas jemarinya sendiri dengan gugup.

“Ada apa, Ren? Kamu kesulitan sesuatu?”

Karen menggeleng pelan, “sebenarnya Karen berniat mundur dari club dan seleksi, Mas.”

Mas Satya yang mendengar hal ini bohong tidak terkejut, ia bahkan bingung harus bereaksi seperti apa saat Karen bilang akan mundur.

“Ke..kenapa, Ren?”

“Karen mau fokus sama akademik Karen, Mas. Ada hal lain yang harus Karen kejar.”

“Kamu yakin udah pikirin ini matang-matang, Ren?” Satya memijat pelipisnya, ia menghela nafas ke putus asaanya itu.

“Udah, Mas. Lagi pula banyak anak-anak club yang lebih baik dari Karen.”

“Saya tahu itu, Ren. Tapi saya sangat berharap sama kamu. Saya yakin, Pak Yasir juga berpikiran sama kaya saya.”

Karen enggak menjawab lagi, dia hanya diam dan mengalihkan pandanganya ke arah lain. Karen tidak berani menatap orang lain saat ia merasa telah membuat kecewa orang tersebut.

“Saya bakalan setuju kamu mundur setelah perlombaan ini, Ren.”

“Tapi, Mas—”

“Untuk terakhir kalinya, Ren. Saya minta bantuan kamu buat bawa kembali piala itu. Setelah itu saya janji gak akan menahan kamu kalau kamu memang mau fokus sama akademik kamu,” jelas Satya, matanya penuh harap menatap Karen dan itu justru membuat Karen bertambah bingung dengan keputusan yang dia sudah pilih.

To Be Continue

Untuk terakhir kalinya, Ren. Saya minta bantuan kamu buat bawa kembali piala itu. Setelah itu saya janji gak akan menahan kamu kalau kamu memang mau fokus sama akademik kamu.

Kata-kata Mas Satya terus berputar di kepala Karen belakangan ini, Karen belum kembali berlatih. Dia masih bimbang untuk melanjutkannya atau tidak, tapi kalau boleh jujur, Karen tidak enak karena Mas Satya begitu memohon padanya, dia bilang juga ini untuk terakhir kalinya kan? Pikir Karen.

“Haa...” gadis itu menghela nafasnya pelan.

“Apa kalau gue tetap masuk seleksi, di masa depan semuanya bakalan berakhir sama?” gumam Karen, gadis yang sudah rapih dengan seragam sekolahnya itu jadi termenung kembali di depan cermin.

“Atau kalau memang rumor itu di buat, gue harus buktiin kalau gue enggak bersalah? Gue harus berani kali ini kan? Gue udah tau kaya apa hidup gue di masa depan, harusnya gue bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang udah gue alami, iya kan?”

“KARENNNNNNNN,” teriak Kevin dari depan pintu kamar Karen, teriakan Kevin itu membuat lamunan Karen jadi buyar.

“Iya sebentar,” ucapnya.

Karen akhirnya mengambil tas miliknya dan bergegas keluar dari dalam kamarnya, Karen enggak membuat sarapan hari ini. Semalam Mas Kara bilang kalau dia shift siang, jadi pagi ini Mas Kara yang membuat sarapan.

Mas Kara itu kerja di restoran Mandarin. tadinya, jabatannya hanya sebagai waitress, namun karena kerja Mas Kara baik dan lelaki itu memiliki disiplin yang tinggi. Atasan Mas Kara menaikan jabatannya menjadi leader, waktu itu Mas Kara senang banget menceritakannya.

Dia juga bilang kalau gajinya naik, bahkan atasan Mas Kara itu bilang jika dalam satu tahun ini kinerjanya tidak menurun dan rating restoran tetap stabil, atasannya itu akan mempromosikan Mas Kara sebagai supervisior. Bahkan, Mas Kara sempat di tawari untuk kuliah. Makannya Mas Kara berusaha untuk mempertahankan itu semua.

“Mas, Buk Rosa udah nanya ke Kevin kapan Kevin mau lunasin uang cicilan study tour, Mas Kara kira-kira mau lunasinya kapan, Mas?” tanya Kevin.

Karen yang hendak menyantap sarapannya itu jadi menoleh ke arah Mas Kara, laki-laki itu tampak bingung, tapi Mas Kara berusaha untuk tetap bersikap tenang di depan Adik-Adiknya.

“Waktu kalian berangkat tinggal berapa hari lagi sih?” tanya Mas Kara.

“Tinggal 20 hari lagi, Mas.”

Mas Kara mengangguk pelan, kemudian secercah senyum hadir di wajahnya. “Nanti Mas usahain minggu ini Mas lunasin semua yah.”

Kevin hanya mengangguk, ia kemudian menyantap nasi goreng buatan Mas Kara itu dengan lahap, sementara Karen, ia hanya termenung di kursinya sembari memperhatikan Mas Kara yang kini nampak tidak nafsu lagi dengan sarapannya.

Di masa depan, Karen baru mengetahui betapa Mas Kara bekerja keras hingga mencari sampingan sebagai antar jemput anak SD demi bisa membayar biaya sekolah Karen dan Kevin. Mas Kara juga enggak pernah ngeluh dan cerita sama apa yang dia rasain selama ini.

Mas Kara benar-benar pengganti orang tua bagi Karen dan Kevin, bahkan Mas Kara sempat enggak kepikiran menikah. Dulu, Mas Kara bilang kalau dia baru mau menikah jika Adik-Adiknya sudah lulus kuliah.

“Ren? Kok gak di makan?” tanya Mas Kara, laki-laki itu membuyarkan lamunan Karen tentang Mas Kara di masa depan.

“Um,” Karen hanya mengangguk.

Sebelum berangkat, Karen sempat memperhatikan Mas Kara yang tengah mencuci motornya di teras rumah mereka. Karen baru sadar kalau wajah Mas Kara itu agak sedikit pucat, dan kali ini Karen baru ingat. Jika dulu, Mas Kara memang sempat masuk rumah sakit karena usus buntu. Mas Kara sempat di operasi.

Dan bisa-bisanya Mas Kara enggak cerita ke Karen dan Kevin, itu pun Karen tahu Mas Kara operasi setelah Karen dan Kevin pulang dari Dieng dan Jogja. Waktu itu, Mas Kara izin tidak bekerja karena luka bekas operasinya sedikit bengkak.

“Kev, sebentar yah,” ucap Karen, ia memberikan helm miliknya ke Kevin kemudian kembali dan menghampiri Mas Kara.

“Ren, mau ngapain? Cepetan udah mau setengah tujuh nih.”

Karen enggak menjawab ucapan Kevin, ia justru buru-buru menghampiri Mas Kara yang kini tengah memegangi perut nya sembari jongkok.

“Mas?” panggil Karen yang membuat Mas Kara menoleh ke arahnya.

“Hm? Ada apa, Ren?”

“Mas sakit?”

“Eng..gak,” Mas Kara menggeleng. Namun matanya menangkap mata Karen yang tengah melihat ke arah tangannya yang ia taruh di atas perutnya sendiri. “Hm, ini Mas Kara agak sembelit, mules gitu. Kayanya kurang makan sayur.”

“Kita ke Dokter aja yuk, Mas?”

“Gak usah, Mas tuh emang akhir-akhir ini susah buang air besar, Ren. Udah sana gih kamu berangkat, nanti terlambat gimana?”

“Tapi Mas Kara sakit,” Karen benar-benar khawatir sama Mas Kara, apalagi saat peluhnya menetes dari kepala hingga dagunya. Seperti laki-laki itu tengah menahan rasa sakitnya untuk tetap terlihat baik-baik saja.

“Ren, Mas gapapa—”

“Mas Kara tuh sakit!! Ini tuh usus buntu kalau gak di tangani nanti bisa pecah gimana?! Kalau makin parah gimana? Apa susahnya sih bilang kalau sakit? Apa susahnya cerita kalau Mas Kara kesulitan? Kita ini keluarga!!” sentak Karen, ia juga menangis. Karen jadi benar-benar sensitif pagi ini.

Ini semua karena Karen ingat, betapa ia merasa menjadi Adik yang buruk untuk Mas Kara karena tidak tahu waktu Mas Kara sakit. Waktu itu, setelah operasi Mas Kara tidak ada yang menemani di ruang rawat. Semua ia lakukan sendiri, bahkan setelah pulang dari rumah sakit, Mas Kara kembali bekerja seolah-olah sakitnya bukan apa-apa baginya.

“Usus buntu?” ucap Kevin, entah sejak kapan Kevin sudah ada di belakang Karen.

“Kamu tahu dari mana kalau ini usus buntu, Ren? Mas cuma sembelit.”

Karen yang masih menangis itu jadi terlihat nampak bingung, bahu kecilnya naik turun menahan tangisnya sendiri.

“Pp..pokoknya Mas Kara harus periksa ini ke Dokter!” setelah bicara seperti itu. Karen masuk ke dalam rumahnya. Ia sudah memutuskan untuk tidak masuk sekolah demi mengantar Mas Kara ke Dokter hari ini.

“Mas? Karen tuh kenapa sih?” tanya Kevin.

Mas Kara hanya menggeleng kepalanya pelan, ia sendiri juga bingung dengan sikap Karen pagi ini.

“Kamu cepetan berangkat gih, biar Karen Mas yang ngurus.”

Kevin mengangguk, tapi dia jadi kepikiran sama ucapan Karen barusan. “Tapi bener apa yang di bilang Karen kalau Mas Kara sakit usus buntu?”

Mas Kara hanya diam, ia meremas selang yang tadi ia pakai untuk mencuci motornya itu. Ia sendiri enggak tahu dia sakit apa, Mas Kara belum memeriksakan perihal sakit perutnya ini ke Dokter. Selain belum sempat, Mas Kara mikir kalau uang yang ia pakai untuk pergi ke Dokter bisa di gunakan untuk tambah-tambah biaya Karen dan Kevin study tour.

“Mas cuma sembelit aja, Kev.”


“Wid, Karen kemana?” tanya Emilly.

Widya yang juga enggak tahu Karen kemana itu hanya mengangkat bahunya dengan bingung, pasal nya Karen enggak mengiriminya pesan apa-apa kalau dia enggak masuk hari ini.

Biasanya, jika Karen enggak masuk, Karen akan mengirimi Widya pesan. Tapi hari ini Karen enggak mengiriminya pesan apapun.

“Enggak tahu, Mil.”

Emilly hanya mengangguk pelan, Emilly itu sekertaris di kelas. Tugasnya setiap pagi memang menulis di buku absen setiap siswa yang hadir dan tidak masuk.

“Fia, kemana tuh calon Adik ipar elo gak masuk masa enggak tahu?” ledek Kania pada Alifia.

Sekelas itu sudah tau betapa bucinnya Kevin dan Alifia, bahkan sampai ada yang meledeknya dan memanggil keduanya dengan sebutan pasutri. Kevin dan Alifia juga kerap menjadi bahan ledekan guru-guru.

“Mana gue tau, Kevin aja enggak bilang ke gue,” ucap Alifia.

Kania hanya menyeringai saja, akhir-akhir ini Kania merasa senang melihat Karen enggak latihan lagi. Bahkan di club Karen kerap menjadi buah bibir, terutama sama Mas Dito yang mulai menyinggung kedisiplinan Karen.

Semua anak-anak club sudah tahu kalau Karen bolos latihan demi menemani Juna di rumah sakit, bahkan Pak Yasir juga sudah tahu hal ini. Itu artinya Kania akan dengan mudah menyingkirkan Karen dari seleksi perlombaan ini.

“Karen tuh udah berapa hari enggak ikut latihan deh?” tanya Muthia tiba-tiba.

“Sekitar 5 harian, parahnya dia tuh malah ketahuan jenguk Juna,” jawab Kania.

“Hah? Jenguk Juna? Tau dari mana lo?” pekik Selvi.

“Dari postingan Instagram nya Arino,” Kania menunjukan ponselnya yang menampilkan postingan Arino tempo hari dan ia tunjukkan ke teman-temannya.

“Ih kok parah banget sih? Demi cowok doang.” gumam Muthia.

“Ya emang kalo lo punya cowok terus cowok lo sakit lo gak akan jenguk dia apa, Mut?” tanya Selo.

Muthia yang di tanya begitu hanya mendengus pelan. “Ya jenguk, tapi gue juga enggak akan bela-belain bolos latihan demi jenguk, kaya enggak ada waktu lain aja. Pacaran tuh boleh, tapi kudu ngerti yang mana yang harus lebih di prioritasin.”

“Dengerin tuh, Lo. lo sih bucin mampus sama Kak Anwar. Kaya dia bucinin lo balik aja,” ledek Selvi yang akhirnya mengundang gelak tawa Kania dan Muthia.

“Dih, biarin. Lagian Kak Anwar itu tipe cowok yang gak bisa nunjukin bucinnya depan orang banyak.”

“Serah lo deh ya.”

“Eh berarti kalo gini caranya Karen bisa di tendang dari seleksi gak sih, Ni?” tanya Muthia.

“Ya, bisa aja. Ini aja kalau dia masuk tuh bakalan di panggil ke ruangan club sama Pak Yasir.”

“Kalo Karen di keluarin, udah sih fix ini elo bakalan yang wakilin SMA Orion!!” pekik Selvi.

Kania hanya senyum-senyum masam saja, dia juga berharap Pak Yasir akan segera membuat keputusan kalau Karen akan segera di keluarkan dari seleksi perlombaan.

“Nanti makin klepek-klepek deh Mas Satya sama Kania,” ledek Selo.

Mereka itu tahu kalau Kania naksir sama Mas Satya. Di mata Kania, Selo, Selvi dan Muthia juga Mas Satya itu adalah cowok keren, pintar dan tampak dingin. Seperti cowok-cowok yang susah di taklukan, makanya waktu Kania bilang dia naksir Mas Satya teman-temannya itu langsung mendukungnya habis-habisan.

Mereka ingin Kania menjadi satu-satunya gadis di sekolah yang berhasil menaklukan Mas Satya.

“Apaan sih lo, ngaco deh.”

“Tapi seneng kan kalo akhirnya Mas Satya klepek-klepek?” tanya Muthia sembari menaik turunkan alisnya.

“Ya.. Iya sih,” cicit Kania.

“YEEEYYYYY MALU-MALU KUCING LO!” pekik Muthia, Selo dan Selvi bersamaan.

Karena memutuskan untuk izin tidak bersekolah hari ini, akhirnya Karen memaksa Mas Kara untuk ke rumah sakit. Tadinya, Mas Kara enggak mau. Tapi Karen benar-benar merajuk agar Mas Kara mau memeriksakan keadaanya ke Dokter. Untungnya Mas Kara luluh dan mau mengikuti saran dari Karen.

Dan disinilah Kakak beradik itu sekarang, di ruang tunggu poli umum rumah sakit universitas Prasmulya. Hari ini pasien di poli umum lumayan ramai, Mas Kara itu agak tidak sabaran kalau soal berobat. Ini sudah terhitung 3 kali Mas Kara mengatakan ia ingin pulang.

“Antrean nya masih panjang, Ren. Bisa selesai jam berapa ini,” keluh Mas Kara lagi. Jujur saja, Karen ingin sekali menyumpal mulut Mas Kara agar setidaknya diam.

“Ya kan yang berobat bukan Mas Kara aja, sabar dong. Ini sisa 10 antrean lagi nanti nama Mas Kara juga di panggil.”

Karen cemberut, sembari membalas satu persatu pesan dari teman sekolahnya yang bertanya kenapa ia tidak masuk, Karen juga membalas pesan dari Mas Satya yang masih menanyakan keputusannya.

Karen masih mempertimbangkan untuk kembali ke club, seandainya ia kembali, ia juga harus siap menghadapo kemarahan Pak Yasir karena ia mangkir dari latihan.

“KAREN!” panggil seseorang yang membuat Karen menoleh ke arah sumber suara itu.

Ternyata itu Juna, cowok itu memang di rawat di rumah sakit ini. Juna sudah lebih baik, meski ia masih harus menggunakan kruk sebagai penyanggahnya untuk berjalan. Tadi, Karen memang mengabari Juna jika ia ada di rumah sakit untuk menemani Mas Kara berobat, makanya Juna menyusul demi menemui Karen dan juga Mas Kara.

Karen berdiri, ia menghampiri Juna dan membantu cowok itu berjalan. Juna ingin menghampiri Mas Kara, begitu sampai di kursi Mas Kara, cowok itu menyalami Mas Kara dan tersenyum. Juna dan Mas Kara sudah saling kenal, Karen yang menengenalkanya.

Karen dan Kevin itu terbuka sekali soal hubungan asmaranya dengan Mas Kara, dan beruntungnya Mas Kara mendukung dengan catatan mereka harus tetap fokus belajar.

“Mas, apa kabar?” tanya Juna.

“Lagi kurang sehat, Jun. Ah iya, gimana kakimu?”

Juna duduk di sebelah Mas Kara, ia memperhatikan kakinya yang masih di balut perban itu. Masih terasa sedikit ngilu, tapi Juna bosan berada di kamar. Lagi pula, Dokter juga menyuruh Juna untuk berlatih berjalan mengenakan kruk. Benda itu yang nantinya akan menemaninya selama pengobatan.

Mungkin akan memakan waktu lama bagi Juna untuk terus mengenakan kruk, walau masih belum terbiasa. Tapi Juna akan terus mencobanya sampai ia setidaknya terbiasa dengan benda itu.

“Yah udah lumayan sih, Mas. Walau masih suka ngilu, penyembuhannya agak makan waktu,” Juna terkekeh. “Mas Kara sendiri gimana? Kata Karen, Mas Kara sakit?”

Mas Kara menghela nafasnya pelan, ia melirik Adik perempuannya itu kemudian tersenyum kikuk.

“Cuma sembelit aja, tapi Karen ini khawatir banget. Dia sampai gak masuk sekolah demi bujuk Mas buat periksa, Jun.”

“Ya gapapa, Mas. Jangan remehin penyakit, Mas. Lebih baik langsung segera di obati sebelum makin parah.”

Mas Kara mengangguk, “kamu kapan bisa pulang, Jun?”

“Kemungkinan 2 hari lagi, Mas. Juna nunggu jahitanya di buka dan pemeriksaan lebih lanjut dari Dokter ortopedi,” jelas Juna.

“Atas nama Tuan Karasaka Budhihartono.”

Seorang perawat memanggil nama Mas Kara dan itu sontak membuat Mas Kara dan Karen menoleh secara bersamaan, ini sudah saatnya Mas Kara masuk ke ruang pemeriksaan.

“Biar Mas masuk sendiri aja ya?” ucap Mas Kara.

“Gak, pokoknya Karen harus ikut. Kenapa sih? Karen kan mau tau kondisi Mas Kara.”

“Kamu di sini aja nemenin Juna—”

“Gapapa, Mas. Karen biar ikut aja, Juna nunggu di sini.”

Mau enggak mau akhirnya Mas Kara mengangguk, mereka pun akhirnya masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Selama pemeriksaan Karen beberapa kali melihat Mas Kara sempat merintih ketika Dokter sedikit menekan bagian perutnya untuk di periksa.

“Ini usus buntu, Mas. Harus segera di operasi ini kalau enggak nanti bisa makin parah,” ucap Dokter Helmi yang memeriksa Mas kara.

Karen sebenarnya udah enggak kaget sama hal ini, dan ketika Dokter Helmi menjelaskan perihal operasi yang akan Mas Kara jalani. Karen jadi menyadari sesuatu, bahwa ada hal yang tidak bisa di ubah namun bisa ia perbaiki. Salah satunya adalah mengetahui tentang penyakit Mas Kara lebih dulu.

Mungkin, kali ini juga dia gak bisa menghindari bahwasanya ia harus tetap menjadi perwakilan dari SMA Orion. Tapi di sisi lain, ia bisa mencegah dan meluruskan hal-hal yang akan menimbulkan rumor mengenai dirinya.

Kali ini, dia enggak boleh kalah sama keadaan. Dan kali ini juga, Karen enggak boleh membuat Kania merasa menang atas apa yang ia lakukan padanya.

Hari itu juga, Mas Kara masuk ruang rawat inap. Besok pagi, Mas Kara akan segera di operasi. Karen juga sudah mengabari Kevin jika sudah pulang sekolah cowok itu harus segera ke rumah sakit untuk bergantian menjaga Mas Kara.

Setelah di pindahkan ke ruang rawat, Karen izin ke kantin sebentar sama Mas Kara karena ini sudah jam makan siang. Perutnya juga sudah terasa lapar, Juna juga seharian ini ikut dengannya. Cowok itu sudah enggak di infus makanya Juna bisa berjalan-jalan ke sana kemari, cowok itu juga bilang kalau hari ini Bapak dan Ibu nya sedang sibuk di restoran dan baru bisa menjenguknya malam hari.

“Oh iya,” Karen mengeluarkan catatan miliknya yang memang sengaja ia bawa. “Ini buku catatan punyaku, geografi, sosiologi sama matematika.”

“Ren, belajarnya sekarang banget?” tanya Juna memelas, ia memang minta di ajari oleh Karen. Tapi apa harus sekarang juga?

“Enggak, itu aku suruh kamu seenggaknya baca-baca, Jun. Atau kamu catat juga boleh. Guru mata pelajaran geografi, sosiologi sama matematika kita kan sama otomatis materi yang di kasih pasti sama, jadi aku cuma bisa kasih catatan itu supaya kamu enggak ketinggalan pelajaran. Sisanya nanti aku minta sama Bella yah, dia kan teman sekelas kamu. Atau kamu mau aku mintain sama Hadi?”

“Sama Bella aja, nanti kalo kamu minta sama Hadi dan dia tau itu buat aku, aku bisa di ketawain sama dia.”

“Kenapa? Kok di ketawain?” tanya Karen.

“Yah, dia pasti anggap aku ini aneh karna tiba-tiba belajar. Udah yah, mintain sama Bella aja.”

Saking jarang mengikuti jam pelajaran, Juna sampai takut temannya itu meledeknya. Juna baru akan mengikuti kegiatan belajar di kelas jika tidak ada pertandingan apa-apa saja. Sisa nya? Ia lebih banyak di lapangan basket untuk berlatih.

Karen hanya mendengus, namun akhirnya dia mengangguk pelan.

“Oh iya, Jun. Kemarin malam, Mas Satya ke rumahku.”

“Satya? Ngapain?” tanya Juna, Juna memang agak tidak bersahabat kalau sudah menyinggung Mas Satya, Juna suka cemburu kalau Mas Satya dekat-dekat sama Karen.

“Jun.. Mas Satya,” ucap Karen memperingati, dia enggak mau Juna jadi enggak sopan. Biar bagaimana pun juga Mas Satya itu senior mereka.

“Iya, iya maaf.”

“Dia minta aku bua pertimbangin lagi soal keputusan aku buat mundur dari seleksi sama club,” jelas Karen, ia kepikiran untuk menuruti keinginan Mas Satya, apalagi saat mengingat Mas Kara sakit.

Ada hadiah yang yayasan sekolah janjikan jika tim bisa membawa kembali piala bergilir itu, uang tunai sebesar 5 juta untuk tim mereka. Jika Karen menang, uang itu bisa dia pakai untuk melunasi biaya study tour dan ongkos nya. Jadi, uang Mas Kara untuk melunasi biaya study tour bisa Mas Kara gunakan untuk biaya pengobatanya.

“Terus gimana? Apa keputusan kamu berubah?”

Karen menghela nafasnya pelan, jus jeruk dan pecel ayam di depannya itu sudah tidak kelihatan menggiurkan lagi sekarang. Karen sibuk memikirkan apa keputusannya saat ini sudah tepat atau belum.

“Kayanya aku mau tetap maju, Jun. Seenggaknya aku harus bisa balikin piala itu ke sekolah.”

Juna mengangguk, ia senang dengarnya. Karen nya yang ambis untuk selalu menang itu telah kembali.

“Selain itu, hadiah dari lomba itu juga lumayan kalau aku menang. Hadiahnya bisa buat biaya aku lunasin cicilan study tour dan uang jajan aku sama Kevin.”

“Tunggu.. Hadiah?” Juna mengerutkan keningnya bingung, dia enggak tahu kalau lomba ini ada hadiahnya.

“Um,” Karen mengangguk. “Pemilik yayasan yang kasih hadiahnya kalau tim kami berhasil bawa kembali piala bergilir itu.”

“Bagus dong, sayang? Kalo gitu aku bakalan dukung kamu!” ucap Juna penuh semangat.

“Beneran?”

Juna mengangguk, “kenapa gak? Pacarku ini hebat banget, menang atau enggak nya kamu nanti. Kamu tetap Karen pacar Juna yang hebat.”

“Tapi kalau aku gak menang gimana, Jun?”

“Gapapa, kalau ini karna hadiah. Nanti aku yang kasih kamu hadiah karena semua usaha kamu.”

Karen tersenyum, Juna memang paling bisa membuatnya tenang. Cowok itu selalu mendukungnya dan membuatnya merasa kalau ada seseorang yang memihaknya.

To Be Continue

“Gimana kalo kita bikin audisi terbuka khusus anak kelas 11?” pekik Kevin.

Hari ini The Gifted kembali mengadakan diskusi lagi di ruang club musik, kemarin ada beberapa siswa kelas 11 dari club musik yang mengirimkan rekaman mereka bernyanyi untuk mencari vokalis The Gifted, tapi sayangnya enggak ada yang sesuai sama keinginan member lainya.

“Keburu gak yah? Gue beneran takut enggak keburu,” ucap Ayu lirih, dia bulak balikin kalender yang ada di atas meja.

Pasalnya, waktu keberangkatan mereka ke Dieng dan Jogja tinggal beberapa hari lagi. Belum lagi mereka harus berlatih agar bisa menampilkan penampilan sebaik mungkin dengan vokalis The Gifted yang baru.

“Kalo mau ngadain audisi mau kapan emangnya?” tanya Ryan.

“Harusnya sih dalam minggu-minggu ini yah?” timpal Fajri, dia sendiri udah bingung banget. Bahkan Fajri sempat meminta tolong pada vokalis mereka yang lama, untuk setidaknya tampil bersama The Gifted untuk acara study tour saja. Tapi sayangnya ia menolak, bahkan di iming-imingi hadiah saja tidak mempan.

“Duh, tugas di kelas gue juga lagi banyak-banyaknya lagi. Bakal keburu gak yah?” Hadi sang manager itu melihat ke note di HP nya untuk memeriksa kembali tugas dan jadwal-jadwalnya bimbel.

“Seenggaknya kosongin 1 hari buat audisi ini aja,” ucap Kevin, dia mengambil kalender yang ada di tangan Ayu untuk mencari tanggal yang tepat.

“Hari kamis, kamis ini kita harus bikin audisi terbuka buat anak kelas 12. Gimana?”

“Mepet banget, Kev.” keluh Ayu.

“Terus mau kapan? Kita ke Dieng sama Jogja juga udah mepet, belum lagi harus latihan full kalo udah ada vokalisnya.”

“Bener juga sih,” Ryan mengangguk-angguk. “Kalo gitu nanti gue bikin pamfletnya biar anak-anak yang lain tau.”

“Nanti gue nitip siaran juga ke Alifia supaya banyak yang tau dan tertarik buat ikutan.”

Alifia itu ada di club radio sekolah, banyak siswa yang menitipkan promosi jika club lain sedang mengadakan acara.

Setelah keputusan soal audisi terbuka itu telah di tentukan, mereka semua kembali karena jam pelajaran akan segera di mulai. Ini sudah memasuki jam pelajaran terakhir, sebelum masuk ke dalam kelasnya, Kevin sempat memeriksa ponselnya dulu.

Karen mengirimi list apa saja yang harus Kevin bawa ke rumah sakit, Mas Kara sudah di operasi tadi pagi. Karen yang menjaganya, gadis itu enggak masuk sekolah lagi dan menitipkan surat izin tidak masuk ke Kevin.

Dan setelah pulang sekolah nanti, Kevin harus bergantian menjaga Mas Kara dengan Karen, karena Karen harus ke sekolah untuk menyelesaikan urusannya dengan club paskibra.

“Kev, kamu sudah tanya ke Kakak mu kapan dia mau melunasi cicilan study tour kamu dan Karen?” tanya Bu Rosa, Bu Rosa ini adalah wali kelas Kevin, beliau juga yang memegang kendali mengenai pembayaran uang study tour.

“Saya belum tau kapan, Bu. Kakak saya juga lagi di rawat di rumah sakit,” ucap Kevin jujur. Kevin ini sebenarnya sedikit pemalu, terlihat bagaimana ia menunduk saat beberapa pasang mata menatapnya dengan iba.

“Harus segera yah, Kev. Kamu paham kan study tour ini penting sekali, Pak Haryadi juga sudah memberi tahu kalau study tour ini wajib bagi kelas 11. Jangan sampai menunggak apalagi tidak ikut.”

Kevin tidak menyahut lagi, ia hanya menunduk dan mengambil buku mata pelajarannya di dalam laci meja nya. Kevin enggak enak mau bertanya hal ini sama Mas Kara, apalagi hari ini Mas Kara baru saja selesai di operasi.

Kevin sempat kepikiran untuk meminta bantuan pada Budhe dan Pakdhe nya, tapi ia sungkan sekali mengatakannya, apalagi penghasilan kedua nya hanya mengandalkan uang pensiunan Pakdhe saja, yang mana uang pensiun itu di pakai untuk kebutuhan hidup keduanya.


Siang ini setelah pulang sekolah Kania kembali berlatih di lapangan lagi, besok adalah hari penentuan siapa yang akan mewakili SMA Orion untuk lomba paskibraka di SMA lain. Kania sudah percaya diri sekali karena Karen sepertinya enggak kembali hadir untuk berlatih.

Karena hari ini Karen enggak masuk lagi, itu artinya Karen juga enggak akan kembali berlatih kan?

“Kak Nia udah denger belum sih?” tanya Cindy siswi kelas 10 pada Nia.

“Dengar apa?”

“Katanya Kak Karen hari ini datang latihan, tadi ada yang liat Kak Karen di ruangan club lagi di marahin sama Pak Yasir, tapi ada Mas Satya juga.”

“Hah? Balik latihan lagi?” kedua alis Kania menyatu, ia merasa tidak nyaman sama kabar itu.

“Iya, kasian deh Kak dengar dia di bentak-bentak sama Pak Yasir karena kemarin bolos latihan demi jenguk pacarnya.”

“Tapi Mas Satya belain, kayanya juga Kak Karen enggak jadi di diskualifikasi dari seleksi ini.” timpal yang lainya.

Kania yang merasa kesal mengepalkan tangannya dengan kuat, ia buru-buru merapihkan baju seragamnya dan meninggalkan ruang ganti baju dengan terburu-buru. Ia harus memastikan apa benar Karen kembali.

Dan begitu kakinya tiba di ruangan club, benar saja apa yang di katakan siswi kelas 10 barusan. Jika Karen benar-benar kembali, gadis itu kini tengah di kerumungi oleh anak-anak club lainya yang senang ketika Karen kembali.

“Lo—lo balik latihan, Ren?” tanya Kania.

Karen tersenyum, wajah tenang yang selalu ia benci itu menatapnya penuh percaya diri.

“Iya gue balik.”

“Kok bisa? Kemarin Pak Yasir mau diskualifikasi lo padahal.”

“Ni, Karen ini bahkan ngasih jaminan kalo dia di perbolehkan balik lagi. Dia bisa pastiin piala bergilir itu balik lagi ke sekolah,” jelas Stefany.

“Terus Pak Yasir ngizinin lo balik?” tanya Kania tidak percaya.

Karen mengangguk, “gue bisa pastiin SMA Orion menang kalau gue masuk tim,” ucap Karen dengan sedikit seringaian di sudut bibirnya.

Melihat wajah Kania yang berubah drastis, Karen merasa puas. Apalagi saat melakukan latihan Kania banyak di tegur karena melakukan kesalahan. Kania seperti merasa keberadaanya terancam dengan kembalinya Karen ke dalam tim.

Setelah berlatih hingga pulang sedikit larut, Kania masih dalam keadaan hati yang kesal melihat Karen kembali. Apalagi, saat berlatih tadi Mas Satya banyak sekali memuji Karen dan itu membuat hatinya semakin panas.

“NIAAAAAA MANA SAYURNYA? ANGETIN SAYUR AJA LAMA BANGET LO!” pekik Dika saudara Kania.

Kania ini tinggal di rumah Neneknya, bersama dengan Sepupu, Tante, Nenek, Ibu dan juga Kakaknya. Dari kecil, Kania enggak pernah tau keberadaan Ayahnya di mana. Ibu enggak pernah cerita soal Ayahnya lebih banyak, selain mengatakan jika Ayahnya berasal dari Kalimantan.

Bahkan melihat wajah Ayahnya saja Kania belum pernah, setelah di teriaki oleh Sepupunya itu, Kania mematikan kompornya dan membawa sayur untuk makan malam mereka ke meja makan.

“Lama banget lo!! Lelet banget jadi orang,” timpal Tante Farida pada Kania.

“Tadi sambil cuci piring dulu di dapur,” ucap Kania, ia kemudian duduk dan mengambil piring miliknya.

Kania menunggu Nenek, Tante dan juga Dika untuk mengambil makannya lebih dulu. Baru setelah itu Kania yang mengambil makanannya, dan sialnya malam itu ia hanya kebagian sedikit nasi dan kuah dari sayur yang ia hangatkan barusan.

Sungguh, sejujurnya Nia kesal. Tapi mau bagaimana lagi, kalau ia protes yang ada hanya akan menimbulkan keributan di meja makan.

“Habis ini lo yang cuci piring kan?” tanya Dika, Kania hanya diam saja.

“Jangan lupa jemuran di depan sekalian angkatin tuh, Ni. Udah dari kemarin gak di angkatin,” timpal Tante Farida.

Kania hanya mengangguk saja, ia harus patuh dengan perintah Tante dan Neneknya jika masih ingin tinggal di rumah itu. Ibu nya Kania itu bekerja, wanita itu menjadi staff cleaning service di sebuah kantor, sedangkan Kakak Kania bekerja sebagai pelayan restoran.

Gaji keduanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, makanya Ibu belum bisa mengajak Kania dan Kakaknya untuk menyewa rumah. Selain itu, enggak ada yang menjaga Nenek di rumah. makanya mereka memutuskan untuk bertahan di sana dengan segala cacian dari Tante Farida dan juga Dika.

Setelah selesai makan malam dan mencuci piring, Kania naik ke balkon rumah untuk mengangkat jemuran. Namun sialnya ternyata di luar gerimis, membuat Kania harus ekstra cepat mengangkat semua jemuran milik orang rumah.

“Sial!!” pekiknya kesal.

Namun penderitaannya belum berakhir sampai situ saja, saat akan hendak menuruni tangga kaki Kania terpeleset karena lantai balkon yang licin akibat lumut, semua jemuran yang ia angkat itu jatuh ke genangan air dan basah.

“Aaarghhhhh!!!” Kania menangis, ia benar-benar kesal dengan hari ini, saat mencoba untuk bangun tiba-tiba saja pergelangan kakinya terasa linu.

“BRENGSEKKKK!! INI SEMUA GARA-GARA KAREN!!!” teriaknya, Kania mengepal tangannya dengan kuat. Dalam hati, ia tidak akan membiarkan Karen mendapatkan semua apa yang seharusnya menjadi milik Kania.

Pagi ini Karen bangun di jam 5 pagi seperti biasa, tapi entah kenapa rasanya pagi ini terasa berbeda dari pagi kemarin. Karen ngerasa seluruh tubuhnya nyeri hingga untuk bangun dari ranjangnya saja ia meringis.

Begitu Karen menyalakan lampu kamarnya, betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa ada lebam di sekitaran lekuk tangannya. Lebam kebiruan nyaris ungu, seperti lebam yang di dapat ketika kamu terkena pukulan atau jatuh.

“Ini kenapa...” lirihnya, Karen sendiri bingung.

Seingatnya ia tidak melakukan aktifitas berat apapun hingga menimbulkan lebam, ini untuk pertama kalinya dalam hidup Karen ia mendapat lebam-lebam misterius seperti ini.

“Hari ini pemilihan perwakilan..” Karen mendadak panik, tapi untungnya seragam sekolahnya panjang jadi lebam-lebam ini akan tertutup, Begitu juga dengan seragam latihan paskibranya.

Karen berusaha untuk tetap tenang, bisa jadi lebam ini muncul karena ia kecapekan kan? Seharian kemarin ia sibuk menjaga Mas Kara dan berlatih hingga sedikit larut di sekolahan.

Karen sempat membuatkan roti bakar, susu dan juga bubur untuk sarapan ia Kevin dan Mas Kara. Oh iya, Mas Kara sudah di perbolehkan pulang karena kondisinya sudah jauh lebih baik.

“Ren, biar Mas bantuin sini.”

Tiba-tiba saja Mas Kara keluar dari kamarnya, laki-laki itu langsung mengambil alih beberapa pekerjaan Karen. Seperti membuat susu dan teh manis hangat, namun saat ingin mematikan kompor dan mengangkat teko. Mas Kara kaget bukan main waktu melihat tangan Karen memiliki banyak lebam.

“Ren, tangan kamu kenapa?” tanya Mas Kara khawatir.

Laki-laki itu menarik tangan Adiknya dan menyuruh Karen untuk duduk di kursi meja makan, sementara itu ia memeriksa lebam-lebam di tangan Karen.

“Gak tau, Mas. Udah kaya gini waktu Karen bangun tidur.”

“Kepentok? Kamu kemarin kepentok apa gitu? Atau jatuh?” tanya Mas Kara.

Karen hanya menggeleng pelan, seingatnya ia tidak kepentok apapun apalagi jatuh.

“Kecapekan? Kamu pasti capek jagain Mas sama latihan.”

“Tapi harusnya enggak sebanyak ini gak sih, Mas?” ucap Karen lirih. Ia memperhatikan lebam-lebam itu bukan hanya ada di lipatan tangannya, tapi juga di punggung tangannya.

“Ada apa, Mas?” Kevin yang baru saja selesai mandi pagi itu bertanya, waktu lihat Mas Kara dan Karen terlihat panik.

Belum sempat Mas Kara atau Karen menjawab, Kevin sudah melihat lebam-lebam di tangan Karen lebih dulu. Ia pun langsung berjongkok di depan Karen, sama seperti yang di lakukan Mas Kara.

“Ini kenapa, Ren?” tanya Kevin panik.

Karen hanya menggeleng pelan.

“Udah kaya gitu waktu Karen bangun tidur katanya, Kev.” jelas Mas Kara.

“Badanku juga sebenarnya sakit banget,” timpal Karen, ia menunduk. Merasakan nyeri-nyeri di tubuhnya kembali menjalar.

“Tapi aku gak ngerasain apa-apa, Ren.” ucap Kevin, biasanya kalau Karen sakit Kevin akan ikut sakit juga. Tubuh mereka seperti terhubung satu sama lain, pernah waktu itu Karen sakit perut karena nyeri datang bulan yang tidak seperti biasanya. Dan Kevin sedikit ikut merasakan apa yang sedang Karen rasakan saat itu, perutnya juga sakit hingga akhirnya keduanya tidak masuk sekolah.

“Mungkin kali ini memang cuma Karen yang sakit, Kev.” kata Mas Kara.

“Aku kompres yah? Tunggu sebentar,” Kevin langsung melesat mengambil baskom kecil dan handuk untuk mengompres lebam di tangan Karen.

Sementara Mas Kara, laki-laki itu mengambil alih seluruh pekerjaan Karen hari ini. Sembari menyiapkan sarapan, sesekali Mas Kara memperhatikan Kevin yang tengah mengompres kembaranya itu.

“Sakit gak, Ren?” tanya Kevin, yang hanya di jawab anggukan kecil oleh Karen.

Sembari mengompres lebam Karen, sesekali Kevin meniup-niup lebam nya agar sakitnya hilang.

“Kamu izin aja yah, Ren. Nanti Mas yang telfon ke wali kelas kamu.”

“Jangan, Mas. Hari ini Karen ada pengumuman siapa yang bakal jadi perwakilan sekolah untuk lomba paskibra.”

“Tapi kamu sakit, Ren.” sambung Kevin.

“Aku gapapa, Kev. Aku janji kalau badanku makin sakit aku bakalan izin pulang. please ini penting banget buat aku.”

Karena melihat Karen memelas seperti itu, akhirnya Mas Kara menyetujui Karen untuk tetap masuk sekolah. Lagi pula, ada Kevin yang menjaga Karen. Mas Kara juga bilang ke Kevin kalau mereka harus pulang bersama, Mas Kara gak mengizinkan Karen pulang sendiri naik bus.


Hari ini Juna di perbolehkan pulang dari rumah sakit, jahitan di kakinya sudah di lepas dan keadaanya juga makin membaik. Namun Dokter tetap menyarankan agar Juna tetap vakum dari basket dulu untuk jangka waktu yang sangat lama.

Mendengar penjelasan langsung dari Dokter ortopedi yang menanganinya, membuat Juna kembali berkecil hati. Apalagi Bapak menyarankan agar Juna berhenti bermain basket, Bapak bilang enggak apa jika Juna enggak menjadi atlet. Yang terpenting saat ini adalah kesehatan Juna lebih utama untuk Bapak dan Ibu.

Saat semua barang-barangnya sudah rapih dan ia siap meninggalkan rumah sakit, Juna termenung memandangi jendela besar yang menampilkan pemandangan gedung-gedung dan pepohonan di depannya. Pemandangan yang dalam waktu dua minggu ini menemaninya saat ia membuka mata.

Saking lama nya Juna di rumah sakit, di bahkan sudah mengenal perawat, security serta beberapa pasien lainya dari bangsal lain. Juna itu aslinya kelewat ramah dan mudah sekali mengobrol dengan orang lain.

“Jun, yuk. Pulang, taksinya sudah datang kata Bapak,” ucap Ibu sembari mengusap punggung Juna agar Juna berhenti melamun.

“Juna mau ngapain yah, Buk. Kalau enggak bisa main basket lagi?” lirihnya.

“Juna bisa sekolah yang benar, lulus, kuliah, bantu-bantu Ibu sama Bapak ngurus restoran, lalu bekerja. Juna tetap jadi anak hebat Ibu dan Bapak walau sudah gak bermain basket,” jelas Ibu.

Juna hanya bergeming, ia masih betah meratapi kemalangan dirinya. Menatap kosong pada pemandangan di hadapannya saat ini, sama seperti sebagian hidupnya yang hilang saat Dokter menyarankannya untuk vakum dari basket.

“Tapi Bapak kecewa kan, Buk. Karena Juna gak jadi atlet?”

Ibu hanya meringis, kemudian menunduk dan menggeleng kepalanya pelan. Bapak memang sempat bekecil hati akan hal itu, apalagi saat beberapa rekannya bertanya kapan Juna akan mengikuti turnamen lagi.

“Gak ada yang kecewa, nak. bagi Ibu sama Bapak yang terpenting itu Juna sehat. Enggak sakit-sakit lagi kakinya.”

Juna hanya menghela nafasnya pelan, di perjalanan pulang ia tidak bicara sedikit pun meskipun Bapak sibuk menceritakan restoran mereka yang akhir-akhir ini cukup ramai.

Suasana hati Juna benar-benar tidak baik, apalagi saat sampai rumah. Ia melihat ring basket dan bola basket miliknya masih ada di keranjang dekat rak sepatunya berada. Juna tidak ingin melihat benda itu, ia tidak ingin kekecewaannya terhadap dirinya sendiri bertambah.

Jadi, Juna buru-buru melangkahkan kakinya menuju kamarnya. sialnya di kamarnya justru ada foto pemain basket favoritnya dan beberapa piala serta mendali kejuaraan basket Juna dari SD, SMP hingga SMA. Semua masih tersusun rapih di atas lemari, ada fotonya juga dan tim basket sekolah saat mereka menang melawan SMA lain.

Juna memejamkan matanya, ia kemudian duduk di atas ranjangnya untuk memeriksa ponselnya. Dari tadi ponselnya itu terus bergetar, Juna takut Karen mengabarinya atau ada hal penting lainya dari sekolahan.

Namun ternyata ponselnya ramai di banjiri notifikasi dari grup club basket di sekolahnya, topik yang sedang hangat jika Ino menjadi kapten basket sekolah yang baru. Mereka juga banyak memberi ucapan selamat pada Ino, meski merasa sedih karena tidak menjadi kapten, Juna tetap merasa bahagia karena Ino yang menyandang sebagai kapten basket SMA Orion.

Namun sedetik kemudian, raut wajah Juna berubah ketika coach mereka membagikan turnamen berikutnya yang akan di adakan. Juna meringis, harusnya ia bisa ikut turnamen itu jika kakinya tidak sakit, Kan?

Karena kesal, akhirnya Juna melempar ponselnya hingga terpental ke sela-sela ranjang.

“ARGHHHHHH!!!” erangnya.

Juna kemudian bangkit dari duduknya, dan melepas poster, foto-fotonya dan beberapa mendali dari dinding kamarnya dan melemparnya asal.

“Jun? Juna? Buka pintunya, Jun. Kamu kenapa?” teriak Bapak panik dari depan pintu.

Namun Juna tidak menggubris dan masih terus menyingkirkan seluruh benda yang berhubungan dengan basket, setelah puas menyingkirkan itu semua. Ia terduduk lemas di lantai dan menangis, ternyata enggak semudah itu untuk bisa mengikhlaskan jika dirinya mungkin tidak bisa bermain basket lagi.

To Be Continue