Apakah terulang? 14

“Permisi, Buk.” Ucap Kevin setelah masuk ke ruangan tata usaha.

Tadi Hadi bilang, Kevin di panggil oleh Buk Suri ke ruangan tata usaha. Ada yang ingin di sampaikan oleh Buk Suri mengenai beasiswa Kevin. Makanya begitu Hadi menyampaikannya, Kevin langsung bergegas ke ruang tata usaha.

“Ada apa, Kevin?” Tanya salah satu karyawan tata usaha di sana.

“Saya nyari Buk Suri, Buk.”

“Duduk dulu aja, Kevin. Buk Suri lagi di ruangan kepala sekolah.”

Kevin mengangguk, ia duduk di salah satu kursi di sana dan menunggu hingga Buk Suri kembali. Sebenarnya bukanya hanya Kevin yang di panggil, tapi Karen juga. Tapi berhubung Karen enggak masuk, jadi lah ia ke ruang tata usaha sendiri.

Rasanya gugup sekali jika sudah membahas beasiswa begini, Kevin takut nilai-nilai nya turun sampai-sampai di panggil begini. Namun ia yakin, ini bukan perihal nilai. Mungkin ada data nya yang kurang lengkap yang harus di kumpulkan.

5 menit Kevin menunggu akhirnya Buk Suri datang juga, wanita itu melirik Kevin dengan sinis dan memberi isyarat untuk duduk di kursi depan meja Buk Suri.

“Kembaranmu kemana?” Tanya Buk Suri, waktu Kevin baru saja menempelkan bokongnya di kursi.

“Karen enggak masuk, Buk. Lagi enggak enak badan, surat dokternya besok dia bawa kok.”

Karen tadi pagi mengabari Kevin karena gak bisa masuk, dia mengalami kecelakaan kecil katanya. Awalnya Kevin panik dan ingin pulang, namun setelah mendapat menjelaskan dari Karen kalau ia baik-baik saja dan ada urusan dengan Galang, akhirnya Kevin membatalkan niatnya untuk pulang. Biar nanti Kevin akan menginterogasi Karen setelah pulang nanti.

Buk Suri mendengus, namun akhirnya dia mengangguk pelan.

“Begini yah, Kevin. Kamu tau kan apa saja persyaratan murid yang berhak mendapatkan beasiswa? Kebetulan beasiswa yang kamu dan Karen dapat dari sekolah bukan beasiswa prestasi, yah walau kamu sama Karen cukup berprestasi.”

Kevin mengangguk, “tahu kok, Buk. Beasiswa murid yang tidak mampu.”

“Betul, saya baru saja mendapat laporan tentang kamu dan Karen. Kebetulan kalau kasus kamu, saya melihat sendiri dengan mata kepala saya waktu kita study tour. apa benar kamera yang kamu bawa itu milik kamu?”

“Yah, kebetulan saya mendapatkan laporan kalau katanya itu milik kamu. Pihak sekolah hanya ingin tahu saja demi memastikan kalau beasiswa ini enggak salah sasaran,” lanjutnya.

Jujur saja, Kevin kaget. Siapa yang memberi laporan seperti itu pada Buk Suri? Kevin memang membawa kamera, tapi itu bukan miliknya. Itu milik Budhe dan Pakdhe yang Kevin pinjam demi kepentingan tugas-tugasnya.

Lagi pula saat mau mendapatkan beasiswa dulu, Mas Kara sempat di wawancarai jika ia adalah pengganti orang tua Karen dan Kevin, bahkan pihak sekolah tau kalau Karen dan Kevin adalah yatim piatu. Dan tergolong murid tidak mampu, karena gaji bulanan yang di dapat dari Mas Kara masih tergolong kecil, untuk membayar biaya sekolah Karen dan Kevin.

“Bukan, Buk. Kamera itu memang saya bawa, tapi itu milik Pakdhe dan Budhe saya. Saya bisa kasih bukti itu, apa saya perlu bawa Budhe dan Padhe saya buat ngasih bukti dan penjelasan kalau itu memang benar-benar punya mereka?” Jelas Kevin, dia bisa membuktikan itu jika Buk Suri menyuruhnya.

Buk Suri menggeleng pelan, bisa di lihat jika wajah Kevin terkejut. Bocah itu bahkan bisa memberikan bukti jika ia memintanya, Kevin sama sekali enggak menunjukan gelagat aneh seperti terlihat mencari-cari alasan. Ia bicara dengan spontan, seperti mengungkapkan sebuah kejujuran tanpa ada yang di tutup-tutupi. Dan itu sudah cukup membuat Buk Suri percaya.

“Gak usah – gak usah, kalau itu memang bukan milik kamu, yasudah. Tapi untuk 3 bulan ke depan dan seterusnya saat kamu dan Karen naik ke kelas 12 saya dan tim penyelidik akan tetap memantau. Kalau kalian berdua terbukti tidak masuk ke kategori siswa miskin, maka maaf saya harus mencabut beasiswa kamu dan Karen.”

“Silahkan, Buk.”

“Kamu boleh kembali ke kelas kamu, tolong sampaikan panggilan saya untuk Karen besok. Sebelum jam masuk, Karen harus menghadap ke saya.”

Kevin mengangguk, namun sebelum pergi dari sana. Ia sempat berpikir siapa orang yang sudah membuat laporan mengada-ngada seperti itu, Kevin ingin tahu orangnya. Mungkin saja Buk Suri mau memberitahunya, pikir Kevin.

“Buk, saya boleh tahu gak siapa orang yang membuat laporan tentang saya dan Karen?” tanya Kevin.

“Mau kamu apakan memang orangnya?”

“Saya cuma mau tau, Buk.”

Buk Suri mendengus, kemudian menggeleng kepalanya pelan. “Gak bisa Kevin, saya dan tim penyelidik beasiswa harus merahasiakan hal ini demi kebaikan bersama.”

Kevin mengangguk, ia akhirnya keluar dari ruang tata usaha dengan tangan yang terkepal. Sungguh, jika Kevin tahu siapa orang yang membuat laporan yang mengada-ngada seperti itu. Ia akan memberikan orang itu pelajaran.


Keesokan hari nya, Selo berjalan dari lorong kelas menuju ke kelasnya dengan perasaan kesal dengan langkah kaki besar yang terburu-buru. Ia tidak sabar untuk melampiaskan kemarahannya pada Kania yang sudah membuat cerita mengada-ngada tentang Karen dan Anwar.

Kebetulan hari ini adalah jadwal piket kelas Kania, jadi gadis itu pasti datang lebih awal dari pada biasanya. Dan benar saja dugaannya kalau Kania sudah datang dan sedang menghapus papan tulis yang penuh coretan.

Begitu Selo datang, ia langsung melempar paper bag berisi hadiah dari Anwar kemarin ke depan Kania hingga gadis itu kaget dan beringsut memungut paper bag itu demi melihat apa isinya.

“Itu kan yang lo bilang Karen dapat hadiah dari Kak Anwar?” sentak Selo.

Kania masih terlihat bingung, dia masih mencerna apa yang Selo lakukan padanya. Semalam, Selo mencoba untuk menghubungi Anwar kembali demi mengatakan terima kasih pada cowok itu meski lewat telfon.

Mereka berbicara cukup lama, bahkan Selo mencoba menerima jika gadis yang bersama Anwar sekarang mungkin lebih baik dari pada dirinya. Namun, justru Anwar menjelaskan pada Selo jika gadis itu adalah sepupunya, Selo salah paham. Dia agak menyesal mendengarkan ucapan Kania jika Anwar berselingkuh hanya dari postingan sosial medianya saja, salah juga waktu itu Anwar tidak menyangkal apapun juga hingga Selo percaya pada dugaan itu.

Tapi semalam pada akhirnya Selo mendapatkan penjelasan soal kenapa Anwar bersikap acuh padanya. Ternyata ini semua karena Anwar sadar lebih dulu jika mereka berbeda, Anwar enggak ingin semakin lama hubungan mereka nantinya akan semakin susah untuk melepas satu sama lain karena perbedaan ini.

Selain itu sebenarnya dari pihak keluarga Anwar, menentang Anwar menjalin hubungan dengan gadis yang berbeda keyakinan dengan mereka. Itu lah kenapa Anwar memilih mundur, namun, meskipun begitu Anwar masih menganggap Selo adalah teman baiknya.

Mereka masih bisa berhubungan baik layaknya seorang teman meski sudah tidak terikat hubungan apa-apa. Dan Selo sepakat soal itu, meski perasaanya dengan Anwar masih utuh hingga saat ini.

“Apaan sih maksud lo, Lo? Gue enggak ngerti,” ucap Kania bingung, ia sempat menarik tangan Selo untuk keluar dari kelas dan berbicara di tempat sepi. Soalnya murid-murid kelas mereka mulai berdatangan dan kelas mulai ramai, sehingga mereka menjadi pusat perhatian di kelas.

“GUE MAU KITA NGOMONG DISINI BIAR SEMUA ORANG TAHU KALO LO TUKANG FITNAH!!” teriak Selo, ia juga menangis saking marahnya.

“SELO APAAN SIH? KOK LO BEGINI?!” pekik Selvi yang baru saja datang.

“Diem gue gak ada urusan sama lo!” sentak Selo sembari memunjuk wajah Selvi.

“Lo kok tega udah fitnah Karen sih, Ni? Lo bilang Kak Anwar deketin Karen, Kak Anwar selingkuh, Kak Anwar ngasih hadiah buat Karen dan mereka ketemu diem-diem di belakang gue waktu gue habis putus. Foto yang lo kasih ke gue itu waktu Kak Anwar ngasihin hadiah buat gue yang dia titip ke Karen!!” jelas Selo.

“Karen pasti udah cerita yang enggak-enggak ke lo kan? Dia pasti nyangkal soal ini, mana ada sih maling yang mau ngaku—”

“Kak Anwar sendiri yang bilang ke gue, dia juga jelasin kalo cewek yang di foto itu namanya Zahira. Dia sepupunya Kak Anwar, oh bukan cuma itu. Kak Anwar juga ngejelasin sikap dingin dia dan alasan kenapa dia kaya gitu!”

Kania kaget bukan main, tangannya bergetar dan keringat bercucuran dari kening hingga turun ke dagu nya. Matanya bergerak dengan gelisah, dia enggak punya pembelaan apapun tentang ucapannya kemarin.

Kania juga enggak nyangka kalau hadiah itu untuk Selo yang di titipkan oleh Anwar ke Karen, Kania hanya berasumsi saja jika Anwar memberi hadiah itu untuk Karen. Makanya dia langsung memotret mereka waktu tidak sengaja lewat kedai ice cream Anwar dan memberikan foto itu ke Selo. Memang niat Kania saja sudah jelek, dia ingin menjatuhkan Karen dan membuat Selo membenci Karen.

“Te..terus kenapa harus di titip ke Karen? Kenapa Kak Anwar gak langsung ngasih aja ke elo?” tanya Kania, dia masih berusaha menyangkal. Berpikir keras agar Karen lah yang tetap terlihat sebagai penjahatnya disini.

“Itu karena gue sempat bilang ke Kak Anwar kalo gue enggak mau ketemu dia lagi, makanya dia enggak berani kasih hadiah ini langsung ke gue.”

“Ni, benar apa yang di bilang Selo?” tanya Muthia, gadis itu terlihat bingung sekaligus enggak menyangka jika yang di ucapkan Selo adalah sebuah kebenaran. Apalagi gadis itu jarang sekali terlihat marah.

“Gak gak gini...” ucap Kania panik.

Tidak lama kemudian Karen datang, dia berdiri di depan kelas dengan wajah bingungnya. Namun saat melihat Karen, Kania langsung menghampiri gadis itu dan mendorong bahu Karen dengan membabi buta nya. Karen terjatuh, namun Juna buru-buru membantunya untuk bangun.

“LO NGOMONG APA KE TEMEN GUE SAMPE SELO KAYA GINI HAH?!” teriak Kania.

“Gue cuma jelasin apa yang Kak Anwar sampain ke gue, hadiah itu benar-benar buat Selo kok. Harusnya gue tanya ke lo, apa yang lo omongin ke Selo sampai dia bisa bilang kalau gue ketemu Kak Anwar diam-diam dan Kak Anwar deketin gue?!” sentak Karen. Tangannya bergetar, sungguh. Ini untuk pertama kalinya ia terlihat marah seperti ini.

“EMANG BENAR KAN? LO SAMA KAK ANWAR CUMA SEKONGKOL BUAT BIKIN GUE YANG KELIHATAN JAHAT DI SINI KAN? JUN LIAT, CEWEK LO INI JAHAT. DIA CEWEK CENTIL YANG MAU DEKETIN BANYAK CO—”

“Ada apa ini?! Masuk kalian semua ke kelas, enggak dengar bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi? Budeg kuping kalian yah?!” teriak Pak Rusli, tanpa mereka sadari bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pantas saja Pak Rusli sudah datang.

Kania diam, ia bersungut-sungut berjalan menuju kursinya. Begitu juga murid-murid yang lain, mereka pun bubar begitu Pak Rusli datang.