Breathe O1

Jakarta, 20 April 2023...

“Sudah tiga bulan loh kamu kerja, masa enggak ada perubahan di omzet nya? Saya kan selalu nanya apa saja kendalanya di toko sampai brand kita enggak bisa naik omzetnya!”

Ini sudah kesekian kalinya Karen mendengar omelan dari atasannya itu, dan tiap kali atasannya itu menegurnya dengan cara seperti ini, Karen hanya bisa menunduk dan menyalahkan dirinya dalam hati.

“Pokoknya saya mau bulan depan minimal omzet kita harus naik dua kali lipat dari bulan ini.”

Karen hanya mengangguk, setelah itu wanita dengan paras tegas itu melenggang meninggalkan Karen. Hari ini sudah jam enam sore, harusnya Karen sudah pulang sejak satu jam yang lalu, namun karena atasanya itu ingin membicarakan omzet brand yang ia pegang, Alhasil Karen harus menemui atasanya itu di ruanganya.

Karen berjalan gontai menyusuri lorong yang berisi loker milik karyawan yang bekerja di sebuah mall besar di Jakarta, hatinya selalu tidak nyaman tiap kali ia di tegur dengan cara seperti itu. Tapi, Karen juga enggak bisa menyalahkan atasanya sepenuhnya.

Ini memang salahnya yang tidak becus dalam bekerja, Karen akui itu, ia memang tidak cakap dalam berbicara dengan orang baru. Ia kaku, canggung dan pemalu. Karen terlalu takut di tolak oleh orang lain, bahkan selama tiga bulan bekerja saja Karen belum memiliki seorang teman ia terlalu menutup diri dari orang lain.

Setiap kali jam istirahat, Karen hanya akan berada di loker, Makan sembari mendengarkan lagu atau membaca komik online favorite nya, setelah berganti baju dan mengunci loker nya. Karen keluar melalui pintu karyawan.

Ia masih melamun sampai tidak sadar beberapa orang menabraknya. Bahkan Karen mengabaikan klakson mobil yang menyuruhnya untuk minggir, hari ini Karen tidak ingin pulang. Ia ingin lari dari kenyataan yang menyuruhnya untuk bertahan di saat dirinya ingin sekali menyerah.

Malam itu Karen enggak pulang, ia memilih untuk duduk di gedung yang tidak jauh dari mall tempatnya bekerja. Ia duduk di tepi sembari menikmati semilir angin yang menerbangkan rambut panjangnya, udara sehabis hujan terasa lebih sejuk sampai beberapa kali Karen mengigil. Ia tidak membawa jaket, ia hanya mengenakan cardigan berbahan tipis untuk menutupi kaus yang ia pakai.

loser..” gumamnya sembari tersenyum pahit.

Sepanjang jalan menuju gedung, Karen enggak ada hentinya meruntuki dirinya sendiri. Sembari sesekali ia menimang apakah ia masih bisa bekerja besok, karena jujur saja Karen takut, Karen takut tiap kali teman-teman kerjanya memandangnya dengan pandangan tidak suka. Tapi terkadang Karen berpikir lagi, apa itu karena ia tidak menyapa mereka lebih dulu? Lagi-lagi ia meruntuki dirinya sendiri.

Karen takut tiap kali pelanggan memarahinya karena ia lambat, Karen begitu takut menghadapi situasi dimana ia berada di tengah keramaian orang. Ia ingin lari, tapi rasanya kenyataan menyuruhnya untuk tetap bertahan.

“Bodoh..” lirihnya, isak tangisnya yang menyesakan itu membuat dadanya terasa ngilu.

Kadang Karen berpikir, mungkin ia bisa bertahan sedikit lagi jika ada seseorang yang meyakinkan dirinya jika ia bisa melakukan hal-hal seperti orang normal lainya, Namun nyatanya, seseorang tidak ada yang meyakinkannya bahkan keluarganya sendiri.

Karen meraba tas yang ia pangku, mengambil botol berisi obat penenang yang di resepkan oleh psikiaternya tempo hari. Obat itu masih utuh, Karen belum sempat meminumnya. Ia masih denial untuk mengakui jika ia sakit, padahal jika ingin sembuh seharusnya ia bisa berdamai dengan diri dan masa lalunya sendiri.

Saat libur bekerja, Karen memang sempat berobat ke psikiater. Ia sudah mulai sedikit sadar jika dirinya 'sakit' meskipun sering kali Karen menyangkalnya. Psikiater saat itu mendiagnosa jika Karen mengalami depresi dan kecemasan bersosialisasi.

Psikiater juga sempat menyuruhnya untuk memberi tahu hal ini pada keluarganya, namun sayangnya Karen tidak sanggup memberitahu mereka, Apalagi Mas Kara dan Kevin yang sekarang ini tengah berbahagia, Karen tidak ingin merusak suasana dan kebahagiaan saudaranya itu.

Sedang asik melamun memandangi obat penenang yang ada di tangannya, tiba-tiba saja ponsel Karen berdering. Itu adalah panggilan dari Kevin, adik kembarnya. Dan itu justru membuat tangis Karen semakin menyesakan.

Karen dan Kevin, kembar tidak identik namun memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Bagi Karen, Kevin adalah dirinya yang lain. Apapun yang Kevin rasakan Karen akan merasakannya juga, begitu pun sebaliknya. Mungkin di rumah, Kevin sedang merasakan apa yang saat ini Karen rasakan juga. Makanya Kevin menelponnya.

“Maafin aku, Kev..” ucap Karen.

Mengabaikan panggilan dari ponselnya, Karen berdiri dari tempatnya berpijak. Ia melihat ke bawah dimana jalanan Jakarta malam itu begitu padat. Ia jadi membayangkan seperti apa jika ia meninggalkan dunia ini dengan cara terjun dari atas, apa semua masalah, beban dan rasa sakit yang Karen tanggung selama ini akan lenyap terbawa oleh angin begitu saja?

Karen memejamkan matanya, nafasnya sedikit tercekat dan keraguan akan keputusan terakhirnya itu membuatnya ragu-ragu untuk melepaskan pijakan kakinya dari tempatnya berdiri saat ini. Namun saat Karen mencoba untuk menikmati semilir angin yang hendak berhembus, isi kepalanya terus memutar kejadian-kejadian pahit yang terus ia alami berulang kali.

Kini keputusan Karen sudah bulat untuk mengakhiri ini semua, saat tubuhnya melayang di udara, Karen berulang kali mengucapkan maaf dalam hati pada orang-orang terkasihnya, sampai akhirnya...

BRAKKKKKKKK

Tubuh Karen terhempas, ia juga merasakan sakit yang mendera tubuh dan kepalanya. Bahkan Karen masih bisa mendengar suara ribut-ribut di sekitarnya, bahkan seperti ada seseorang yang memanggil-manggil namanya.

Tapi benarkah? Apa ini hanya perasaanya saja? Apakah ia benar-benar sudah mati? Karen ingin sekali membuka kedua matanya namun ia takut jika ia belum mati dan kembali merasakan sakit.

“Karen!!! Aduhh.. Gimana sih lo Galang hati-hati kek kalo main bola, kalo Karen geger otak gimana?!”

tunggu.. Suara ini? Aku seperti mengenali suara ini..” gumam Karen dalam hati.

sorry Kak gue beneran gak sengaja, udah deh mending kita bawa Kak Karen ke UKS dari pada dia geger otak beneran.”

“Heh sembarangan lo kalo ngomong!” pekik seorang gadis sembari menepuk pundak laki-laki bernama Galang itu.

Karena terlanjur penasaran, Karen membuka kedua matanya. Namun bukan berada di bawa gedung tempatnya terjun tadi, Karen justru berada di sebuah lapangan sekolah. Tunggu.. Ini SMA nya, ini adalah lapangan SMA nya berada.

Seketika Karen bangun dan berdiri dari kerubungan siswa-siswa SMA Orion yang memandanganya dengan pandangan khawatir.

“Karen lo gapapa?” tanya gadis yang berdiri di depan Karen, itu adalah Alifia teman sekelas Karen.

“G...gue dimana? Gue gak jadi mati??” ucap Karen heran, ia meraba dirinya sendiri dan betapa terkejutnya saat ia sadar jika ia memakai seragam SMA nya dulu.

“Kak Karen mana ada ke gebok bola langsung mati?” ucap laki-laki bernama Galang itu.

Galang adalah Adik kelas Karen, cowok itu baru kelas sepuluh. Hobinya memang main bola dan langganan di hukum BK karena bermain bola hingga seragamnya basah dengan keringat.

“GALANGGG INI SEMUA GARA-GARA LO, TUH KAN LIAT KAREN JADI AMNESIA KAYA GINI!!!” pekik Alifia.

Karen hanya diam, ia masih bingung untuk mencerna ini semua. Apakah ini hanya mimpi? Pikirnya, untuk memastikan jika ini benar-benar mimpi, Karen mencubit tanganya sendiri. Namun bukanya merasa terbangun, Karen justru hanya merasakan sakit.

“Bukan mimpi..” lirihnya.

“Karen!!!” pekik seseorang yang membuat Karen menoleh, ternyata itu adalah Kevin. Adik kembar Karen.

“Kev, kok kita bisa disini?” tanya Karen, namun Kevin hanya menatapnya bingung.

“Kita kan sekolah disini, tadi kata Ayu kepala kamu kena bola sampe pingsan. Coba aku liat mana yang sakit?” Kevin memeriksa kepala Karen.

Namun Karen hanya pasrah dan bertambah bingung apalagi saat Kevin bilang kalau mereka sekolah disini. Mereka memang sekolah disini, tapi bukanya mereka sudah lama lulus?

“Kev sekarang tanggal berapa?” tanya Karen.

“Tanggal 20 Januari,” jawab Kevin.

“Tahun?”

“2015, kenapa sih? Ren, kamu gak hilang ingatan cuma karena kena bola kan?”

“2015??! Bu...bukanya 2023?” gumamnya, itu artinya ia kembali ke masa lalu saat trauma nya di mulai.