Bukan Hanya Aku

“JADI GIMANA BISA LO BALIK KE SINI???!!!” pekik Karen begitu mereka sampai di rooftop perpustakaan nasional, dia sudah menahan rasa penasarannya sejak tadi. Tapi Galang bilang mereka harus membicarakan hal ini di tempat paling aman. Karena, jika ada orang yang mendengarnya mereka bisa di sangka gila. Membicarakan hal-hal tidak masuk akal.

Di perpustakaan nasional mereka enggak ke ruangan komputer atau mencari buku bacaan, mereka lebih memilih ke rooftop setelah membeli Thai tea ke kantin perpustakaan. Karen udah kebelet banget pengen tahu gimana caranya Galang bisa kembali ke tahun 2015 juga.

“Kak, jangan teriak-teriak kenapa sih? Kuping gue pengang,” keluh Galang, cowok itu mengusap telinganya.

“Iy..iya sorry jadi gimana caranya? Gue beneran se kaget itu pas tau gue bukan satu-satunya yang balik ke tahun ini,” cecarnya.

Galang menyesap Thai tea yang ia pesan barusan, matanya menelisik awan yang pagi itu terlihat cerah. Warna nya biru, enggak seperti langit Jakarta seperti yang biasa ia temui di tahun 2023, terlihat mendung walau cuacanya panas. Itu bukan awan yang akan menjatuhkan hujan, melainkan kabut polusi. Jadi awannya tertutup sampai kelihatanya mendung.

Cowok itu menghela nafasnya pelan. Mencoba mengingat-ingat bagaimana caranya ia kembali di tahun ini. Sementara Karen di sebelahnya duduk dengan tidak sabaran.

“Waktu itu Alana meninggal, Kak. Dia bunuh diri karena overdosis obat penenang, gue telat banget buat tau kalo Beni masih suka neror Alana. Di hari ke 3 kepergian Alana, gue naik motor dan kebut-kebutan buat ngilangin rasa bersalah gue. Tapi ternyata gue kecelakaan, dan waktu gue bangun. Gue udah ada di kamar gue”

Waktu itu Galang kaget banget, apalagi saat ia membuka matanya itu karena Alana yang membangunkannya. Awalnya Galang kaget melihat Alana ada di depannya, ia pikir itu adalah mimpi atau arwah Adiknya, tapi Alana muda justru menampar wajahnya waktu Galang bilang Alana gentayangan.

Waktu itu Galang linglung banget, persis seperti anak hilang. Sampai akhirnya ia melihat kalender di tahun 2015 dan sadar kalau ia kembali ke masa lalu, kesempatan itu pun ia gunakan untuk melindungi Alana dari Beni agar Alana enggak meninggal, dengan cara yang tragis. Makanya Galang rela melakukan apa saja, meski taruhannya adalah masa depannya sendiri.

“Gue kaget banget, tapi Alana ada di depan gue. Pakai seragam sekolahnya, waktu sadar gue balik ke masa lalu. Gue gak nyangka tapi juga gue gak mau sia-siain kesempatan ini buat lindungin Alana dari orang gila bernama Beni itu, Kak.” jelas Galang.

Karen mengangguk, jadi itu cara Galang kembali ke masa lalu? Jadi cowok di sebelahnya ini mengalami kecelakaan, apa artinya Galang juga sudah meninggal sama seperti dirinya? Pikir Karen.

“Kalo lo gimana, Kak? Pasti lo balik ke sini karna punya penyesalan kan?”

“Hm..” Karen tersenyum miris, “kaya yang di lakuin Alana, Lang. Gue juga bunuh diri.”

Galang melotot, dia bahkan menutup mulutnya dengan satu tangannya karena kaget dengan apa yang Karen ceritakan. Namun akhirnya cowok itu tetap mendengarkan cerita Karen selanjutnya.

“Malam itu gue habis di marahin sama bos gue karna kinerja gue gak memuaskan, gue lompat dari atas gedung. Dan waktu gue buka mata, ternyata gue ada di lapangan sekolah kita,” Karen terkekeh.

“Kalau lo ingat waktu kepala gue kena bola karena lo? Itu adalah awal mula gue balik ke sini.”

Galang mengangguk, pantas saja waktu itu Karen terlihat sangat bingung dengan keadaan sekelilingnya. Ternyata itu alasannya.

“Gue punya penyesalan, karena gue gak pernah mengungkap kebenaran apa yang Kania lakuin ke gue, Lang.”

“Hah? Maksud nya gimana, Kak?” Galang ini emang enggak perduli sama gosip-gosip di sekolah, yang dia pedulikan cuma futsal dan bermain musik. Makanya dia enggak tahu kalo Karen di masa lalu sempat menjadi topik perbincangan murid-murid lain.

“Gue di bully sama Kania, Lang. Yah, emang bukan fisik gue yang hancur. Tapi dia ngehancurin mental gue, sampe gue sulit ngelanjutin hidup gue, gue kaya terjebak di masa SMA waktu itu. Gue menderita depresi dan Anxiety social, yang bikin gue menutup diri dari orang lain dan susah beradaptasi di dunia kerja, gue beberapa kali pindah kerja karena gak bisa survive sama lingkungannya, gue ngerasa jadi orang gagal banget, gue malu dan mutusin buat lompat dari gedung.”

“Jadi lo ke sini mau balas dendam, Kak?” tebak Galang yang di balas gelengan kepala oleh Karen.

“Gue enggak berniat balas dendam, Lang. Gue cuma mau mengubah masa depan gue aja. Gue mau lurusin kalau gue enggak bersalah, gue masuk seleksi lomba untuk wakilin sekolah kita karna gue mampu, bukan karna Mas Satya suka sama gue, gue juga bukan perusak hubungan Selo dan Kak Anwar, gue juga enggak ada niatan nyari perhatian sama Mas Satya, dan selain itu. Gue gak mau kehilangan Juna,” jelas Karen.

“Sebanyak itu tujuan lo tanpa menyelipkan balas dendam, Kak? Kania kan udah salah sama lo, dia pantes dapat balasannya.”

“Gue gak mikirin itu bahkan, Lang. Gue cuma mau semuanya berubah.” Karen menoleh ke arah Galang yang menyipitkan matanya karena pancaran sinar matahari yang berada di atas mereka.

“Hidup gue, Lang. Gue mau nasib gue berubah kalau ini memang kesempatan kedua buat gue mengubah semuanya.”

Karen sama sekali enggak kepikiran balas dendam sama sekali, dia cuma ingin mengubah masa depannya dan masih ingin bersama dengan Juna. Itu saja sudah lebih dari cukup, urusan Kania biar karma saja yang bekerja untuknya.


Setelah berpisah dengan Galang, Karen menyempatkan diri mampir ke rumah Selo untuk menyerahkan hadiah yang Anwar kasih untuknya. Tapi ternyata Selo belum pulang, di rumah baru ada Adiknya saja. Tapi walau begitu Karen tetap menunggu hingga Selo pulang.

2 jam Karen menunggu, hingga akhirnya gadis berdarah Ambon itu sampai juga. Selo menatap Karen dengan sinis, Karen enggak tahu kenapa tapi Karen tetap tersenyum dengan Selo.

“Ngapain lo disini?” tanyanya ketus.

“Gue nungguin lo balik, Lo. Ada yang mau gue bicarain dan kasih sesuatu buat lo.”

Selo nampak bingung, tapi akhirnya ia mengajak Karen ke belakang rumahnya. Selo gak ngajak Karen untuk masuk ke dalam rumahnya, Adiknya Selo itu suka menguping dan Selo enggak mau Adiknya tau apa yang mereka bicarakan.

“Mau ngomong apa?” tanyanya.

Karen mengambil hadiah yang Anwar titipkan padanya di dalam tas dan memberikan hadiah itu ke Selo, awalnya Selo nampak bingung namun Karen menyuruhnya membuka hadiah itu dan membaca surat yang ada di dalamnya.

“Dari Kak Anwar? Kok bisa sama lo?” tanya Selo, masih dengan nada yang ketus.

“Kak Anwar kasihin hadiah itu waktu kita baru balik dari Jogja, kebetulan gue lewat depan kedai ice cream nya.”

“Dia ngomong apa aja sama lo, Ren?”

Karen menghela nafasnya pelan, dia akan tetap memberi tahu Selo apa yang diamanahkan oleh Anwar tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi kok.

“Kak Anwar tadinya mau kasih hadiah ulang tahun lo secara langsung, tapi waktu kalian putus. Lo bilang kalo enggak mau ketemu dia lagi?”

Selo mengangguk pelan, hadiah yang tadi Karen kasih ia peluk. Seolah-olah itu adalah Anwar, Selo masih sesayang itu dengan mantan pacarnya, namun rasanya tahu kalau Anwar selingkuh juga sangat menyakitinya. Saat ini Selo masih dalam proses melupakan cowok itu.

“Gue emang gak mau liat dia lagi, Ren.” kali ini nada bicara Selo berubah menjadi lebih halus, enggak seketus tadi.

“Makanya dia titipin ini ke gue, karena dia tahunya kita dekat.”

“Dia ngomong apa lagi?”

“Gak ada, setelahnya gue langsung pulang. Hari ini gue emang mau kasih itu di sekolahan, tapi pas berangkat ada kecelakaan kecil yang bikin gue malah bolos.”

Selo mengangguk, ia kemudian menyiapkan dirinya untuk sebuah permintaan maaf karena sudah bersikap ketus ke Karen barusan.

“Maafin gue yah, Ren.” ucap Selo.

“Untuk?”

“Karena udah ketus banget ke lo tadi, gue udah salah sangka.”

Karen menyipitkan matanya, dia enggak ngerti apa yang Selo bicarakan. Salah sangka? Selo salah sangka apa dengannya? Pikir Karen.

“Maksudnya gimana, Lo?”

Sebelum menjawab, Selo mengambil ponselnya yang menampakan foto Karen dan Anwar di kedai ice cream. Itu foto yang di ambil waktu Karen di beri amanah untuk memberikan hadiah pada Selo, benar-benar di ambil secara candid dan dari jarak yang agak jauh. Entah siapa yang mengambilnya, tapi itu berhasil membuat Karen berasumsi jika Selo salah sangka dengan foto ini.

“Ini Kania yang ambil dan kasih ke gue, kata dia lo diam-diam ketemu sama Kak Anwar. Kania juga bilang kalau bisa aja Kak Anwar lagi ngedeketin lo, dan Kania juga bilang kalau Kak Anwar kasih lo hadiah. Gue marah banget pas tahu, Ren. Sampe gue berniat buat ngelabrak lo hari ini di sekolah. Tapi ternyata lo gak masuk dan malah ada di rumah gue,” jelas Selo.

Karen mendengus, tangannya terkepal kuat menahan amarah yang memuncak. Apa Kania mengikutinya? Bisa-bisanya dia mengambil fotonya secara diam-diam dan mengarang cerita seperti itu.

“Gue sama sekali gak pernah ada niatan buat deketin siapapun itu, Lo. Asal lo tahu, bagi gue Juna udah lebih cukup,” ucap Karen tegas.

“Iya, Ren. Maaf yah, gue minta maaf udah mikir lo kaya gitu. Kalau bukan karena Kania yang ngomong gitu, gue juga gak akan berprasangka buruk ke lo kok.”

Karena sudah terlanjur kecewa dan sakit hati mendengar penjelasan Selo, Karen akhirnya berdiri dari tempatnya duduk dan berpamitan untuk pulang. Rasanya ia ingin berteriak kencang untuk melampiaskan kemarahannya pada Kania, namun yang ia lakukan kali ini hanya bisa meratap dan menangis sepanjang jalan.

Karen berusaha introspeksi setiap kali Kania melakukan hal-hal jahat padanya, tapi nyatanya? Karen enggak mendapati kesalahan yang ia lakukan hingga menyakiti hati Kania.

To Be Continue