Isyarat

Karen baru saja selesai membuatkan makan malam untuk Mas Kara dan Kevin, Karen udah biasa masak untuk makan malam mereka, Budhe yang mengajarkannya dulu. Masaknya juga cuma sederhana seperti menggoreng ayam, tumis, membuat sup dan nasi goreng. Kalau kata Budhe yang penting bisa masak yang ringan-ringan dulu aja.

Dari umur 12 tahun, Karen itu udah di tinggal sama Bapak. Kalau Ibu memang sudah berpulang waktu melahirkan Karen dan Kevin, makanya dari kecil Mas Kara, Karen dan Kevin sudah biasa hidup mandiri. Meski Budhe dan Pakdhe yang merawatnya sering memanjakan mereka.

Setelah lulus SMA, Mas Kara kerja dan mengajak Adik-Adiknya itu untuk hidup mandiri, Mas Kara itu enggak kuliah, Mas Kara harus kerja supaya bisa menyekolahkan Karen dan Kevin dengan usahanya sendiri.

“Kevin mana, Ren?” tanya Mas Kara sewaktu laki-laki itu selesai mandi, hari ini Mas Kara masuk pagi. Makanya sore dia sudah pulang dan bisa makan malam bersama dua Adiknya itu.

“Kayanya masih di kamarnya, Mas.”

“Panggil dulu gih, biar Mas Kara aja yang siapin piringnya.”

Karen mengangguk, ia langsung bergegas ke kamar Kevin untuk memanggil Adik kembarnya itu. Sewaktu Karen buka kamarnya, Kevin sedang sibuk dengan laptopnya entah sedang apa tapi ia juga memakai earphone di telinganya.

“Kev,” Karen menyentuh pundak Kevin, membuat cowok itu langsung menoleh ke arahnya dan melepas earphone nya. “Makan malam yuk, Mas Kara udah nunggu di meja makan tuh.”

“Kalian duluan aja deh, Ren. Aku lagi sibuk.”

“Sibuk ngapain?” Karen yang penasaran akhirnya duduk, ternyata Kevin sedang melihat video yang dikirimkan oleh anak-anak club musik.

“Aku lagi nyari vokalis buat The Gifted,” ucap Kevin.

“Emangnya Naura kemana?” Naura itu vokalis The Gifted yang sudah mengundurkan diri.

“Keluar, dia juga ngundurin diri dari club musik,” jawab Kevin tanpa menoleh ke arah Karen.

“Kenapa?”

“Orang tua nya enggak suka dia ikut club musik. Makanya aku lagi nyari vokalis nih, tapi belum nemu yang cocok. Kamu ada saran gak?” tanya Kevin. Lagi-lagi dia melepas earphone nya dan memutar kursinya itu jadi menghadap ke arah Karen.

“Siapa.. Aku gak ada saran kayanya, emangnya gak ada anak club kamu yang cocok apa?”

“Gak ada, Ren. Aku gak bisa bohong sih kalo suara Alina bagus, tapi dia kelas 10 suaranya juga enggak masuk buat warna musiknya The Gifted.”

“Emang harus banget kelas 11 yah, Kev?” Karen mengerutkan dahinya bingung.

“Harus!! Kan kita mau tampil buat acara study tour bulan depan, masa kita ajak anak kelas 10? Terus bayarin mereka gitu? Lagi pula yah, Ren. Ini kan band angkatan, kelas 10 tuh ada band nya sendiri,” jelas Kevin panjang lebar.

Jujur saja Karen baru tahu sistem club musik seperti ini, pantas saja Kevin terlihat pusing sekali mencari vokalis untuk band nya.

“Ayu bukanya bisa nyanyi yah, Kev?” seingat Karen, Suara Ayu itu lumayan bagus. Waktu pelajaran seni musik, Ayu pernah bernyanyi dan guru seni musik memberi pujian untuk suara Ayu.

“Ren, suara Ayu emang bagus tapi tipe suaranya itu soprano enggak masuk sama musiknya The Gifted. Ayu juga enggak cocok bawain lagu-lagunya The Gifted makanya dia enggak mau maksain jadi vokalis.”

Karen jadi menghela nafasnya pelan, dia jadi ikut pusing sama permasalahan Kevin dan club musiknya. Sedang asik melihat video-video rekaman yang di kirimkan oleh anak-anak club musik, tiba-tiba saja pintu kamar Kevin kembali terbuka dan menampakkan Mas Kara di sana.

“Ren, ada tamu nyari kamu,” ucap Mas Kara.

Karen dan Kevin saling melempar pandangan bingung satu sama lain.

“Siapa, Mas?” tanya Karen.

“Namanya Satya, katanya dia pelatih kamu di paskibra. Sana temuin dulu, dia nunggu di teras. Mas suruh masuk tapi dia enggak mau.”

Karen hanya mengangguk pelan, namun sebelum Karen beranjak dari kamar Kevin. Adik kembarnya itu justru menahan tangan Karen.

“Kamu yakin mau mundur dari seleksi dan keluar dari club, Ren?” tanya Kevin.

Sebelum cerita soal ini sama Juna, Karen lebih dulu cerita sama Kevin. Dan Kevin sama kagetnya dengan Juna saat mengetahui hal ini. Karen enggak jawab, dia cuma diam sembari memperhatikan ujung jari kakinya di bawah sana.

“Aku nemuin Mas Satya dulu yah, Kev. Cepetan keluar Mas Kara kasian makan malam sendirian,” jawab Karen sebelum akhirnya ia keluar dari kamar Kevin dan menghampiri Mas Satya yang menunggunya di teras.

“Mas satya..” sapa Karen.

Mas Satya yang melihat Karen itu jadi sedikit kaget, cowok itu tadi memang sedang melamun.

sorry, Ren. Aku ganggu kamu malam-malam begini, tapi ada hal yang benar-benar mau aku bicarain sama kamu.”

Karen menghela nafasnya pelan, ia sudah tahu pasti ini tentang club. Tapi Karen akan memilih pura-pura tidak tahu untuk memastikannya. “Soal apa, Mas?”

Satya enggak langsung menjawab, ia justru merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan ponselnya di sana. Satya menunjukkan akun sosial media milik Ino yang memposting foto mereka hari ini. Itu adalah Karen yang berada di tengah-tengah teman-teman Juna waktu menjenguk Juna sehabis operasi.

“Kamu bohongin saya yah, Ren? Kamu enggak jagain budhe kamu di rumah sakit kan? Tapi kamu bolos latihan demi jenguk Arjuna?” tanya Satya to the point.

Karen yang sudah tertangkap basah seperti itu akhirnya menunduk, jujur saja dia jadi merasa tidak enak sama Mas Satya. Karen itu enggak pintar berbohong, dia juga enggak punya alasan lain buat menyangkal.

Karena Mas Satya juga sudah terlanjur tahu soal hal ini, sekalian saja Karen jujur kalau ia memang mau mundur dari club paskibra sekolah. Karen enggak ingin bohong terlalu jauh lagi dan mengecewakan Mas Satya untuk kedua kalinya.

“Maafin Karen, Mas Satya. sejujurnya Karen enggak bermaksud buat bohong kaya gitu. Karen memang dari awal mau menjenguk Juna, tapi alasan Karen gak ikut latihan beberapa hari ini bukan Karena Juna,” ucap Karen, ia meremas jemarinya sendiri dengan gugup.

“Ada apa, Ren? Kamu kesulitan sesuatu?”

Karen menggeleng pelan, “sebenarnya Karen berniat mundur dari club dan seleksi, Mas.”

Mas Satya yang mendengar hal ini bohong tidak terkejut, ia bahkan bingung harus bereaksi seperti apa saat Karen bilang akan mundur.

“Ke..kenapa, Ren?”

“Karen mau fokus sama akademik Karen, Mas. Ada hal lain yang harus Karen kejar.”

“Kamu yakin udah pikirin ini matang-matang, Ren?” Satya memijat pelipisnya, ia menghela nafas ke putus asaanya itu.

“Udah, Mas. Lagi pula banyak anak-anak club yang lebih baik dari Karen.”

“Saya tahu itu, Ren. Tapi saya sangat berharap sama kamu. Saya yakin, Pak Yasir juga berpikiran sama kaya saya.”

Karen enggak menjawab lagi, dia hanya diam dan mengalihkan pandanganya ke arah lain. Karen tidak berani menatap orang lain saat ia merasa telah membuat kecewa orang tersebut.

“Saya bakalan setuju kamu mundur setelah perlombaan ini, Ren.”

“Tapi, Mas—”

“Untuk terakhir kalinya, Ren. Saya minta bantuan kamu buat bawa kembali piala itu. Setelah itu saya janji gak akan menahan kamu kalau kamu memang mau fokus sama akademik kamu,” jelas Satya, matanya penuh harap menatap Karen dan itu justru membuat Karen bertambah bingung dengan keputusan yang dia sudah pilih.

To Be Continue