Isyarat O3

Siang itu Satya sedikit tidak fokus untuk melatih junior-juniornya saat latihan paskibra, mood nya berantakan banget beberapa hari ini, apalagi saat Karen tidak ikut berlatih 2 hari belakangan ini.

Kandidat terkuat sebagai tim yang akan di kirim untuk lomba melawan SMA lain itu Karen. sungguh, Satya sangat berharap pada gadis itu. Meski enggak bisa dia pungkiri jika kemampuan murid-murid yang lain juga tidak kalah bagus dengan Karen.

Sudah beberapa kali Dito memperingati Satya untuk tidak mengikut campuri urusan pribadi dengan urusan club, namun tampaknya Satya tidak mendengarkn peringatan itu.

Saat murid-murid yang lain sedang beristirahat, Satya mengambil tempat duduk tepat di bawah tiang bendera. Kebetulan tiang benderanya dekat dengan pohon yang lumayan rindang, jadi Satya enggak kepanasan jika duduk di bawahnya.

Cowok itu mendengus pelan, menyandarkan punggungnya pada tiang bendera. Sontak, hal itu membuat Dito kawannya itu menoleh ke arah Satya seraya menggelengkan kepalanya heran.

“Satya..Satya kenapa sih lo?” tanya Dito heran.

“Gapapa, To.”

“Yakin? Dari kemarin loh, elo kelihatan suntuk banget,” Dito kemudian menyeringai, sepertinya ia tahu alasan kenapa akhir-akhir ini wajah Satya selalu terlihat masam.

“Apa gara-gara Karen enggak latihan 2 hari ini?” tebaknya.

Satya hanya diam, dia justru melirik Dito kemudian membuang pandanganya ke arah lain. Satya itu suka sama Karen, cowok itu sendiri yang cerita sama Dito. Satya bahkan enggak bisa membuang perasaanya pada Karen walau sudah tahu kalau Karen punya pacar. Satya malah bilang kalau dia akan nunggu Karen sampai putus dengan pacarnya.

“Tuh kan bener dugaan gue,” Dito menggeleng-geleng. “Udah berapa kali sih, Sat. Gue bilang ke lo kalo Karen tuh udah punya cowok.”

“Apaan sih lo, To. Kok jadi bahas itu?”

“Tapi bener kan lo kusut gini karna Karen gak latihan?”

“Iya emang, tapi itu karena gue berharap banyak sama dia buat jadi perwakilan SMA Orion.”

Dito menghela nafasnya pelan, Dito akui jika Karen memang kandidat terkuat. Tapi enggak di pungkiri jika gadis itu juga bukan satu-satunya yang terbaik, jika Karen enggak memilih mundur toh masih banyak kandidat lain yang bisa mereka pilih.

“Tapi lo gak boleh tutup mata kalo murid-murid lain juga lebih baik, Sat. Lomba tinggal 2 minggu lagi, kalau Karen emang banyak gak latihanya. Terpaksa kita harus diskualifikasi dari pemilihan perwakilan,” jelas Dito.

“Gue yakin kok dia masih bakalan latihan. To, dia itu cuma lagi jagain Budhe nya yang sakit. Dia bilang sendiri ke gue tadi.”

“Budhe?” tanya Dito yang di jawab anggukan oleh Satya.

“Kenapa?”

“Yakin Budhe nya yang sakit?”

“Yakin, buat apa juga Karen bohong?”

Dito terkekeh pelan, ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukan akun sosial media milik Ino pada Satya.

“Itu Karen kan?” tanya Dito.

Satya yang melihat foto Karen, Ino, Agung dan Hadi yang sedang menjenguk Juna di rumah sakit itu sedikit terkejut, jadi Karen membohonginya? Jadi, Karen ke rumah sakit sampai bolos latihan paskibra itu semata-mata untuk menemani Juna di rumah sakit alih-alih menjaga Budhe nya?

“Sat, Karen itu nemenin cowoknya yang habis operasi bukan jagain Budhe nya,” jelas Dito.

Satya hanya terdiam, kali ini bukan hanya kecewa yang menderanya. Namun Karen juga berhasil mematahkan hatinya, terakhir kali Satya sempat mendengar rumor jika hubungan Karen dengan pacarnya itu sedikit renggang. Satya sempat melambungkan harapannya tinggi untuk bisa mendekati gadis itu, namun siapa sangka jika hubungan keduanya membaik.

“Udah lah, Sat. Karen tuh kelihatan sayang banget sama cowoknya, cowoknya juga kelihatan bucin mampus sama Karen. Lo tuh udah kaya buang-buang waktu buat ngejar Karen terus-terusan.”

Satya hanya diam, alih-alih mendengarkan ceramah Dito yang terdengar seperti kumbang di telinganya. Satya justru melarikan diri ke kantin sekolah, ia memesan minuman untuk setidaknya meluruhkan ketidaknyamanan di hatinya.

Namun saat sedang melamun memikirkan kekecewaanya pada Karen, tiba-tiba saja Kania duduk di kursi tepat di depannya.

“Mas Satya sendirian aja, Nia temenin yah? Dari pada nanti kesambet setan kantin,” ucap gadis itu, Nia datang sendiri enggak sama teman-temannya yang lain. Gadis itu juga membawa sepiring siomay dan es jeruk yang ia pesan.

Sementara itu, Satya hanya bergeming di tempatnya sembari sesekali meminum es kopi yang tadi ia pesan.

“Ngomong-ngomong Mas Dito tadi ngasih unjuk seragam yang bakalan kita pakai buat lomba loh, Mas. Jadi enggak sabar mau cepat-cepat fitting.

“Emang kamu yakin bakalan kepilih?” tanya Satya, nadanya sedikit ketus namun itu justru membuat Kania tersenyum.

“Yakin lah, kenapa enggak? Mas Dito aja ngakuin kok kalo Nia bagus.”

“Bagus deh kalo kamu sepercaya diri itu.” Satya mengangguk-angguk.

Kania tersenyum, “kalo Mas Satya punya pilihan gak siapa yang bakalan di pilih sama Pak Yasir nanti?”

Pak Yasir itu adalah ketua pembina club paskibra, beliau yang berhak memilih siapa saja yang akan menjadi perwakilan untuk lomba melawan SMA lain nanti.

“Saya berharap sama Karen.”

Mendengar nama Karen membuat Kania kehilangan nafsu makannya, gadis itu meremas tanganya penuh dengan rasa kesal. Selalu saja Karen, apa enggak bisakah Mas Satya melihat kemampuanya juga? Kenapa harus selalu Karen yang terlihat di matanya?

“Tapi Karen aja bahkan enggak ikut latihan, udah dua hari loh, Mas. Yakin Mas Satya dia bakalan di pilih Pak Yasir?”

“Saya yakin, saya yang akan memastikan Karen akan segera latihan kembali besok.”

“Tapi yang lainya juga enggak kalah bagus loh, Mas. Karen disiplin juga enggak, saya malah punya firasat kalo Karen bakalan di keluarin dari seleksi ini.”

“Saya juga akan pastiin Karen enggak akan di keluarkan dari seleksi ini kalau begitu,” ucap Satya. Ia kemudian berdiri dan berlalu dari sana meninggalkan Kania yang masih terlihat kesal di mejanya.

“Arghhhhhh!!! Selalu aja Karen Karen Karen, apa bagusnya sih cewek sialan itu!!” pekik Kania.

Sungguh Kania benar-benar kesal dan membenci Karen, rasanya seluruh dunia di sekelilingnya hanya melihat ke arah Karen saja. Padahal, Kania juga merasa dirinya jauh lebih baik dari pada Karen.


Setelah teman-teman Juna pulang, kini tinggal Karen dan Juna di dalam kamar rawat Juna. Tadinya Juna di jaga oleh Bapak, namun Bapak pulang untuk bergantian menjaga restauran ayam kalasan dengan Ibu.

Orang tua Juna itu punya restoran ayam kalasan. Restoranya selalu ramai setiap hari sampai kadang karyawan kuwalahan dan Bapak sering menyuruh Juna untuk bantu-bantu di sana.

Restoranya enggak buka cabang lain, restoran itu juga sudah cukup legendaris karena sudah berdiri dari tahun 2000. Restoran itu adalah restoran peninggalan Eyang putri dari pihak Bapaknya Juna, jadi semacam kedua orang tua Juna lah yang meneruskan usaha itu.

“Kamu hari ini enggak latihan lagi yah Ren demi nemenin aku?” tanya Juna.

Karen hanya tersenyum, “sejujurnya aku bosen latihan.”

“Kenapa gitu? Bukanya kamu berambisi banget buat balikin piala bergilir itu ke SMA kita lagi?”

Karen menunduk, itu ambisinya dulu. Sekarang ambisi Karen adalah mengubah takdirnya di masa depan.

“Aku udah gak berambisi sama piala itu lagi, Jun. Bahkan aku mikir buat keluar dari club.”

“Hah?!” pekik Juna, cowok itu sampai mengangkat kepalanya saking kagetnya. “Kenapa?”

“Kayanya aku mau fokus sama akademik ku aja, aku ada rencana buat kuliah dan nyari beasiswa supaya enggak membebani Mas Kara.”

“Tapi enggak belajar dengan benar juga kamu udah pintar, Ren.”

Karen terkekeh, jujur saja. Karen itu memang pintar, ia selalu langganan ranking 1 di kelasnya. Meski sibuk berlatih paskibra, tapi Karen juga pintar membagi waktunya untuk belajar agar nilai akademiknya tidak menurun. Semuanya imbang, makanya Karen itu menjadi panutan di kelasnya.

Karen pernah bercita-cita untuk bisa mengibarkan bendera di istana merdeka suatu hari nanti, makanya dia kerja keras sekali untuk berlatih paskibra. Karen bahkan merelakan kulitnya yang cerah itu jadi sedikit belang karena paparan sinar matahari setiap kali ia berlatih.

“Gak gitu juga dong, Jun. Aku enggak sepintar itu juga kalo enggak belajar.”

“Tapi kamu serius, Ren? Terus gimana soal pasukan paskibraka di istana? Kamu udah enggak berniat sama hal itu lagi?”

Karen hanya menggeleng kepalanya pelan, “aku cuma mau fokus belajar aja, Jun.”

Jujur, Juna bingung kenapa keputusan Karen terkesan semendadak ini untuk mundur. Tapi Juna juga tetap harus menghargai keputusan Karen kan? Ia yakin Karen sudah berpikir matang-matang untuk membuat pilihan ini.

“Yaudah, kalo gitu kita harus sering-sering belajar bareng yah. Biar bisa masuk di kampus yang sama nanti, kamu mau kan ngajarin aku?”

“Mau lah.”

“Tapi, Ren. Sebenarnya kamu malu gak kalo punya pacar bodoh kaya aku? Nilai akademik aku tuh kadang suka jeblok,” ucap Juna.

Sebenarnya Juna enggak sebodoh itu, dia cuma terlalu sering tidak mengikuti jam pelajaran hanya untuk berlatih basket, apalagi kalau sedang mau tanding. Bukan hanya Juna, Ino pun sama, mereka akan banyak menghabiskan waktu di lapangan basket alih-alih mengikuti jam pelajaran, Alhasil Juna sering ketinggalan pelajaran.

“Kan nanti aku ajarin biar enggak bodoh lagi,” ucap Karen.

“Jadi enggak malu?” Juna menaikan satu alisnya, membuat Karen tidak tahan untuk tidak tertawa.

“Malu kalo kamu bodohnya terus-terusan.”

Keduanya saling tersenyum, sebenarnya ada hal yang ingin Karen ceritakan pada Juna soal suara yang beberapa hari yang lalu Karen dengar di kamarnya. Namun rasanya belum tepat waktunya untuk ia membicarakan hal ini pada Juna, jadi untuk sekarang ini Karen akan menyimpan hal itu sendiri sampai setidaknya Juna pulih dan kembali bersekolah.