Memulai O2

cidera lutut Juna lumayan serius, Buk. Kami menyarankan agar Juna melakukan operasi untuk memperbaiki posterior cruciate ligament (PCL), Operasi rekonstruksi ini berpeluang untuk mengembalikan lebih dari 80 persen fungsi lutut.

tapi anak kami masih bisa bermain basket kan, Dok?

saya tidak bisa menjamin itu, ada kemungkinan cidera nya kembali jika Juna tetap memaksakan diri untuk bermain basket.

Juna menghela nafasnya dengan kasar, kilasan akan pembicaraan Ibu dan Bapaknya oleh Dokter ortopedi tadi pagi cukup menyita pikirannya. Juna itu ambisius, dan kali ini ia kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa bermain dengan hati-hati.

Lututnya masih terasa nyeri, Bapak dan Ibu juga sudah beberapa kali membujuk Juna agar mau melakukan operasi yang di sarankan Dokter, namun Juna masih sedikit ragu. Entah apa yang ia ragukan, padahal saat ini saja untuk mandi dan buang air kecil Juna selalu di papah oleh Bapak.

“Ibu mau ke apotek dulu yah, Jun. Kamu mau titip apa?” ucap Ibu, wanita berusia 43 tahun itu mengambil dompet miliknya yang ia taruh di nakas dekat ranjang Juna berada.

“Gak kepengen apa-apa, buk.”

“Beneran?” tanya Ibu sekali lagi.

Juna hanya mengangguk dan tersenyum kecil, meski Ibu tidak kecewa jika Juna tidak menjadi atlet, tapi tetap saja Bapak menaruh harapan tinggi pada Juna, apalagi Bapak sering memamerkannya sebagai calon atlet basket pada teman-temannya itu.

“Yasudah, Ibu ke apotek sebentar yah.”

Setelah berpamitan, Ibu akhirnya keluar dari ruang rawat Juna. Menyisakan Juna sendirian yang masih memandang gedung-gedung di sekitaran rumah sakit dengan tatapan kosong.

Biasanya sepulang sekolah teman-temannya akan menjenguknya, seperti Hadi, Agung dan Ino. Tapi ketiga nya hari ini sepertinya tidak datang, Hadi ada latihan dengan club futsalnya sementara Agung, cowok dengan club musiknya itu sedang mencari vokalis untuk band yang di buatnya, dan Ino Cowok itu pasti sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pemilihan kapten basket tahun ini.

Juna dan Ino itu kadidat terkuat dalam kualifikasi club basket, tapi sepertinya Juna akan memilih mundur dari club itu. Mengingat ia akan fokus pada pemulihan lututnya, jadi untuk posisi kapten itu Akan Juna serahkan saja pada Ino. Toh, Ino adalah teman baiknya Juna yakin Ino bisa memimpin club basket SMA Orion.

Sedang asik melamun dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja pintu ruang rawat Juna terbuka. Tadinya Juna pikir itu Ibu, namun siapa sangka jika seseorang yang berdiri di depan pintu masuk ruang rawatnya adalah Karen. Pacarnya itu datang sendiri, Karen juga membawa kotak dari toko roti kesukaan Juna.

“Kok sendiri? Ibu kemana?” tanya Karen, gadis itu menutup pintunya lagi dan berjalan ke arah ranjang Juna.

“Aku pikir kamu enggak akan datang,” ucap Juna, mengabaikan pertanyaan dari Karen.

Karen hanya mengulum bibirnya, ia duduk di samping ranjang Juna dan menaruh kotak berisi roti kesukaan Juna di nakas.

“Aku bolos latihan,” gumam Karen.

“Kenapa?”

“Mau jenguk kamu, Jun.”

Diam-diam Juna tersenyum kecil, sungguh Juna itu merindukan Karen, akhir-akhir ini Karen sedikit sibuk apalagi menjelang pemilihan perwakilan dari club yang akan bertanding untuk melawan SMA lain.

“Kamu sendiri?”

“Iy..iya,” Karen memandang Juna, tatapanya menyiratkan kekhawatiran dan sesuatu yang sepertinya sulit ia ungkapkan, Juna juga tidak mengerti apa yang ingin Karen sampaikan dengan tatapan itu.

“Kaki kamu, masih sakit, Jun?”

Juna mengangguk, “Dokter bilang aku harus operasi, Ren. Ligament lututku robek.”

Karen hanya diam, tapi matanya tertuju pada lutut Juna yang di pasangi alat bantu berjalan. Agak sedikit bengkak memang, Karen tidak bisa membayangkan seperti apa rasa sakitnya.

“Kapan, Jun?”

“Enggak tahu, aku bahkan belum mau lakuin itu.”

“Kenapa?” tanya Karen.

Karen ingat, Juna tetap berakhir di operasi saat itu. Namun Karen lupa kapan itu terjadi, kalau tidak salah Juna sempat memaksakan diri untuk tetap basket sebelum berakhir di operasi, atau kejadian itu sudah terjadi? Ah, sialnya memori semasa SMA nya sedikit buruk, Karen seperti memaksa semua yang terjadi saat ia duduk di bangku SMA menghilang dari kepalanya, Ia tidak ingin mengingat traumanya kembali.

“Gapapa,” Juna tersenyum getir.

“Kalau itu bisa bikin cidera lutut kamu sembuh kenapa enggak segera, Jun?”

“Dokter bilang, mereka bahkan gak menyarankan aku kembali ke lapangan setelah operasi itu, Ren. Aku mungkin akan dapat cidera lagi kalau tetap maksain diri buat basket,” jelas Juna, tatapan mata cowok itu agak berbeda, mungkin karena mereka membicarakan cidera dan basket, Dua hal yang agaknya sensitif untuk Juna saat ini.

Setelah perdebatan kecil itu, Karen juga diam. Dia enggak tahu Juna di 2023 itu seperti apa, setelah putus dan lulus dari SMA. Karen enggak pernah nyari tahu tentang Juna dan juga teman-temannya yang lain. Jadi, Karen enggak tahu di masa depan Juna bernasib bagaimana.

“Ren, ma..maaf aku enggak bermaksud kasar ke kamu,” ucap Juna tidak enak hati.

Karen hanya tersenyum kecil, ia mengenggam jemari cowok itu demi menguatkan Juna. Itu kan tujuanya datang ke rumah sakit selain ingin memperbaiki hubunganya, Pikir Karen.

“Aku paham, Jun. Tapi sebaiknya kamu pikir-pikir lagi yah, menurut aku yang terpenting saat ini buat kamu itu kesehatan diri kamu sendiri. Aku yakin Bapak dan Ibu juga sependapat sama aku.”

“Tapi kalau aku enggak bisa main basket lagi gimana, Ren?” tanya Juna lirih.

Karen tahu, secinta itu Juna pada basket. Dan sebesar itu ambisinya untuk menjadi seorang atlet, Juna pernah bilang jika ia bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah lewat jalur prestasinya di club basket.

Juna memang tidak terlalu pandai di akademik, cowok itu enggak bodoh juga. Yah standar lah, nilainya enggak jeblok-jeblok amat. Tapi memang beberapa kali Juna mendapat teguran dari wali kelasnya untuk tetap mengutamakan akademiknya dulu.

“Kamu tahu gak, Jun. Di dunia ini ada banyak jalan lain yang bisa kamu lalui. Mungkin, yang ada di pikiran kamu sekarang tanpa basket bakalan terdengar buruk. Tapi siapa tahu, ada jalan yang lebih baik dari basket buat kamu, Jun.”

Juna terdiam, ucapan Karen ada benarnya. Meski saat ini Juna masih belum tahu mau melakukan apa jika ia tidak bermain basket lagi.

“Kamu kok jadi dewasa gini sih?” tanya Juna, ia agak sedikit kaget sama ucapan Karen barusan.

“Jun, umur kita kan udah 25 ta—” Karen menahan ucapanya sebentar, ia sadar jika saat ini ia kembali ke usinya 17 tahun.

“25?” tanya Juna bingung.

“Ma..maksud aku 17.”

“17 ke 25 itu jauh tau, Ren.”

“Hah?” Karen tersenyum kikuk, dia gak punya alasan lain buat mengelak. Namun sepertinya dewi fortuna sedang berada bersamanya, pintu ruang rawat Juna terbuka dan menampakan Ibu yang baru saja datang.

“Loh ada Karen ternyata?” ucap Ibu.

Dan ucapan Karen barusan teralihkan oleh Ibu yang baru saja datang, Juna sempat terhibur dengan kehadiran Karen hari ini. Bahkan saat Karen ingin pulang, cowok itu langsung bisa mengambil keputusan untuk secepatnya melakukan operasi pada lututnya.


Malamnya saat Karen tidur di kamarnya, gadis itu merasakan kedinginan yang cukup membuat seluruh tubuhnya menggigil, beberapa bagian tubuhnya juga terasa sakit terutama di bagian tangan dan tulang rusuknya. Bahkan Karen sempat merasakan sesak nafas dalam tidurnya.

Ia ingin bangun atau berteriak meminta tolong, namun keabsahannya dalam berbicara seakan memudar. Tubuhnya juga sulit bergerak, Karen sempat mengira jika mungkin ia akan segera mati. Namun siapa sangka jika telinganya masih mendengar seseorang memanggil namanya, itu jelas, bahkan sangat jelas. Itu bukan suara Kevin maupun Mas Kara, Melainkan suara Juna.

“KAREN!!!”

Suara Juna yang semula terdengar halus di telinganya itu semakin lama terdengar seperti teriakkan dan mampu menyadarkan Karen dari tidurnya. Mata gadis itu terbuka dengan nafas terengah-engah.

“Hah..hah..”

Karen langsung bangun dari ranjangnya, tubuhnya tidak lagi sakit, nafasnya juga sudah tidak sesak dan ia juga tidak merasakan dingin lagi. Ia masih berada di kamarnya dengan lampu menyala dan buku geografi di atas ranjangnya, Karen baru ingat ia sedang belajar kemudian ketiduran.

Karen memang lebih suka belajar di atas kasur dari pada di meja belajar, menurut nya lebih santai dan nyaman saja jika di atas kasur walau kadang itu membuatnya sedikit ketiduran.

“Juna? Kenapa ada suara Juna?” gumamnya.

Karen menoleh ke arah jam dinding yang berada di dekat lemari bajunya, saat ini sudah jam 3 subuh. Enggak mungkin Juna berada di rumahnya kan? Lagi pula Juna sedang sakit, tapi kenapa rasanya begitu nyata suara Juna di telinganya barusan?