Pengakuan 1O

Pagi ini Satya bangun lebih dulu bersama guru-guru yang lain untuk menyiapkan sarapan pagi untuk murid-murid kelas 11, semalaman Satya sulit tidur. selain karena berada di tempat asing, pikirannya itu juga tersita karena semalam ia melihat Karen dan Juna berduaan.

Setelah sarapan pagi ini mereka akan melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata berikutnya. Semalam, Satya sempat mempertimbangkan keputusannya untuk menyatakan perasaanya pada Karen, Satya tau ini gila karena Karen sudah memiliki pacar. Tapi setidaknya, untuk bisa lapang dada dan segera melupakan perasaanya, Satya harus mengaku pada Karen soal perasaanya.

Yang terpenting baginya adalah Karen tahu soal perasaanya, persetan nantinya Karen akan menjauhinya. Ia hanya ingin mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Satya berharap dengan begitu ia bisa melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang Karen di dalamnya.

“Sat, yehh.. Malah ngelamun lo, itu ambil air di dus sebelah sana tuh,” ucap Ditto menyenggol lengan Satya.

Satya enggak banyak ngomong, dia langsung mengambil air mineral kemasan di dalam dus dan membukanya untuk kemudian ia susun di meja. Kebetulan murid-murid sudah mulai mengambil sarapan pagi mereka, ada Karen juga yang hendak mengambil minumannya.

Karena Karen semakin mendekat, Satya berinsiatif untuk mengambil minuman yang ia susun untuk Karen, tapi belum sempat Karen mengambilnya, minuman di tangannya itu justru di ambil lebih dulu oleh Juna.

Satya sempat saling adu tatap dengan Juna yang kini memandangnya nyalang, Karen yang berada di belakang Juna sampai salah tingkah sendiri. Karen paham kalau Juna tampak tidak suka dengan perlakuan Satya.

“Jun, kita duduk di sebelah sana aja yuk.” Karen menunjuk sofa yang ada di dekat jendela aula, kemudian menarik jaket yang Juna pakai agar pacarnya itu mengikutinya.

“Kenapa tuh bocah?” tanya Dito yang sedari tadi juga memperhatikan Satya dan Juna.

“Gue cuma mau ngasih minuman ke Karen.”

“Ah lu, mah..” bahu Ditto merosot, ia memandang Satya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kan udah gue bilang, Sat. Udah lah berhenti, si Karen itu udah punya cowok.”

“To, kayanya buat bikin gue berhenti cuma dengan gue nyatain perasaan gue ke Karen deh.”

“Bego!! Ini lebih sinting lagi, Sat. Udahlah, gue tau lo ngebet banget sama Karen, tapi itu cewek udah punya cowok. Di kampus lo gak ada apa cewek yang menarik sampe harus ngejar-ngejar bocah SMA?” ucap Dito putus asa.

“Gue gak minta dia jadi cewek gue, To. Gue cuma mau Karen tau perasaan gue, Setelah itu gue bakalan lupain dia.”

“Sat..” Dito menarik nafas putus asanya, sungguh ia bingung harus bagaimana lagi menasihati Satya. “Lu mah.. Udah lah.”

“Buat yang terakhir kalinya, To. Gue yakin setelah ini gue bisa lupain perasaan gue sama Karen sepenuhnya. Gue juga bakalan jaga jarak sama dia.”

Dito menggaruk kepalanya dengan putus asa, kepalanya sebentar lagi seperti akan meledak hanya karena menghadapi Satya yang keras kepalanya melebihi batu.

“Terserah lo aja deh, kalo ada apa-apa gue enggak mau ikutan, gue lepas tangan.” Dito mengangkat kedua tangannya dan kembali melanjutkan pekerjaannya lagi.

Disisi lain Juna masih terus menatap Satya dari kejauhan penuh dengan rasa kesal, bahkan sarapan pagi di piringnya itu sudah tidak terlihat menggiurkan lagi sekarang.

“Jun?” panggil Karen.

Juna akhirnya menoleh, ia tersenyum kikuk pada gadis di sebelahnya itu. “Aku jadi gak laper deh.”

“Karena tadi?”

Juna hanya meringis.

“Aku gak bela Mas Satya, tapi dia kan cuma ambilin minum. Kamu liat sendiri kan dia juga belum selesai nyusun botol air minumnya.”

“Kayanya aku aja yang terlalu cemburu,” Juna tersenyum. “Kita makan lagi ya, maaf kalo suasana tadi bikin kamu enggak nyaman.”

Karen mengangguk, tidak lama kemudian Fajri, Ryan, Hadi dan Emily bergabung di meja tempat Juna dan Karen makan. Sementara di meja lainnya ada Kevin, Alifia, Ayu, Safira dan Ino.

“Habis ini kita ke Telaga Warna yah?” tanya Hadi pada Emily.

Gadis itu mengangguk, Emily itu ketua kelas 11 IIS 2 sedangkan Hadi ketua kelas 11 IIS 4 mereka juga membagikan kertas yang berisi proyek yang harus mereka kerjakan selama perjalanan wisata.

“Iya, habis itu ke Dieng Theater. Proyek kita paling banyak disini nih, kalau di Telaga Warna kita cuma jelasin asal usulnya aja sama di foto deh,” jelas Emily.

“Habis dari Theater kita ke mana lagi, Mil?” tanya Karen.

“Ke Candi Arjuna, Ren. Habis itu baru deh makan siang. Ah iya, proyeknya semua tuh bakalan di bikin power point.”

Karen mengangguk, “Mil, kalo semisalnya gue kerjain proyek wawancara sendiri gapapa kali yah?”

“Emangnya kenapa, Ren?”

Karen hanya menggeleng kepalanya.

“Eh iya, gue liat-liat lo udah jarang kumpul sama teman-teman lo yah, Ren? Berantem kalian?” tanya Fajri.

Juna tahu Karen enggak nyaman sama pertanyaan Fajri, maka dari itu Juna yang akan menjawab pertanyaannya.

“Karen tuh sekarang lebih berbaur, Jri. Lagi pula sekarang Karen udah jadi bagian dari The Gifted otomatis waktunya juga lebih banyak sama mereka.”

“Iya juga sih, eh tapi serius deh, Ren. Gue suka banget sama suara lo. Kelihatan masuk banget waktu kita latihan dan bawain lagu-lagu yang di tulis Kevin. Tau gitu dari awal mah vokalisnya elo aja yah.”

“Bener, Ren. Aku juga suka sama suara kamu. Hadi sempat ngajak aku gabung sama The Gifted, tapi ternyata warna vokalku gak cocok bawain lagu-lagu kalian,” jelas Emily, yang membuat Fajri dan Ryan menoleh ke arah cowok itu. Mereka gak nyangka Hadi bakalan nyamperin Emily langsung untuk mengajaknya bergabung.

“Sumpah yah lo, Di. Beneran di ajak gabung si Emily?” pekik Ryan.

“Hehe,” Hadi nyengir. “Gue udah putus asa banget kita enggak dapet vokalis, makanya gue beraniin diri buat ngomong sendiri ke Emily.”

Emily yang berada di tengah-tengah Hadi dan Ryan itu kelihatan sedikit bingung sama yang kedua cowok itu katakan.

“Ada apa sih emangnya?”

“Ini loh, Hadi sempat kepikiran ngajak lo buat gabung bareng The Gifted. Tapi Ayu enggak yakin lo bakalan mau ikut, selama ini lo kan fokus sama akademik dan OSIS makanya waktu Hadi nyaranin Ayu buat deketin lo biar bisa gabung ke kita, Ayu nolak, udah skeptis duluan dia elo bakalan mau,” jelas Fajri.

“Hhmm..” Emily mengangguk-angguk. “Sebenarnya gue kepengen kok gabung ke club musik, tapi sayangnya orang tua gue ngelarang,” Emily meringis, itu membuat Karen merasa sedikit kasihan dengan ketua kelasnya itu.

“Tapi kalo sesekali nyanyi mau kan, Mil? Gimana kalo buat acara nanti malam gue sama Emily nyanyi berdua? Jadi special perfomance dari Emily bareng The Gifted gimana?” usul Karen.

“Eh boleh juga tuh, gila gak kebayang sih bakalan sepecah apa!” pekik Hadi.

Beruntungnya Emily juga langsung setuju pada usul Karen. Gadis itu sebenarnya sudah lama ingin menunjukan penampilannya dalam bernyanyi selain di gereja. Ah, enggak. Lebih tepatnya Emily ingin semua orang tahu kalau ia bisa bernyanyi. Emily ingin sekali menjadi seorang penyanyi.


Ini sudah jam 11 siang dan rombongan kelas 11 masih berada di Candi Arjuna, mereka sesekali mencatat tentang sejarah tentang Candi Arjuna yang di jelaskan oleh guide yang mengantar mereka.

Karen bersama Kevin, Juna, Ayu, Emily dan Alifia berada di barisan belakang rombongan mereka. Meski enggak sekelompok dengan Juna, Karen berbagi tugas dengan cowok itu. Seperti Karen akan mencatat bagian-bagian penting dari informasi yang di berikan, sementara Juna memotret Candi yang ada di sekitar mereka.

Kadang dengan jahilnya Juna suka memotret Karen secara candid, selain menyukai basket sebenarnya Juna menyukai photografi juga. Hasil bidikan cowok itu lumayan bagus, sebenarnya dulu Juna ingin masuk club photografi tapi kala itu pilihanya lebih condong ke basket.

“Jun, ih jangan foto aku terus. Tadi kamu denger gak aku suruh foto apa aja?” tanya Karen, dia gak mau Juna meremehkan proyek ini hanya karena tugas yang di beri lebih mudah.

“Ih dengerin aku mah, ini udah selesai aku foto tau. Lagian, banyak yang foto-foto juga, kamu gak mau foto-foto apa?”

Karen hanya menggeleng seperlunya saja, ia sibuk memilah informasi mana saja yang akan ia masukan ke dalam proyeknya dan juga proyek Juna.

“Kenapa sih kamu gak suka di foto? Padahal cantik tau.”

Karen menghela nafasnya berat, Karen itu merasa cantik jika di depan cermin saja. Tapi enggak jika di foto atau depan kamera, kepercayaan dirinya langsung terjun bebas. Karen bahkan enggak menemukan angle foto yang cocok untuknya. Makanya kadang dirinya di lihat langsung dan di foto itu suka berbeda.

“Aku tuh enggak photogenic,” jelas Karen

Juna yang mendengar itu langsung mengerutkan keningnya bingung, Juna baru mendengar istilah itu.

“Apaan tuh photogenic aku kok baru dengar?”

“Masa kamu gak tau sih, Jun?” satu detik berikutnya Karen terdiam, dia baru sadar jika istilah itu baru di kenal di tahun 2019, jadi pantas saja jika Juna tidak tahu.

“Apa sih? Kok diem kamu?”

“Mmh...”

Tidak lama kemudian Kevin datang sembari menepuk pundak Juna yang lebih tinggi darinya, wajahnya sedikit panik.

“Jun, anterin gue ke toilet yuk,” ucap Kevin, kedua kakinya mengapit seperti ia sedang menahan sesuatu.

“Gak mau ah, ke toilet aja ngajak-ngajak lo. Sendiri aja sana, manja banget heran,” keluh Juna.

“Aahhh jauh toiletnya, please ayo temenin gue udah gak tahan banget, udah di ujung tanduk ini.” Kevin menarik-narik jaket yang di kenakan Juna.

“Udah anterin dulu, Jun. Kasian Kevin nanti gak lucu kalo dia ngompol disini,” ucap Karen demi mengalihkan perhatian Juna.

“Ihhhh, yaudah deh. Ayo buruan!”

Juna jalan lebih dulu kemudian di susul Kevin yang berjalan sembari mengapit kedua kakinya. Sementara itu Karen baru bisa bernafas lega, teman-temannya yang lain sedang sibuk berfoto di dekat Candi, Karen enggak tertarik buat foto-foto. Dia justru lebih tertarik liat hasil bidikan Juna yang ada di kamera.

Karen duduk di sebuah gazebo sembari sesekali ia mencoba memotret teman-temannya atau pemandangan asri sekitar, namun saat kedua matanya terfokus pada objek di depannya. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menghalanginya hingga membuat Karen meletakan Kameranya.

“Mas Satya?” ucap Karen.

“Aku boleh duduk disini, Ren?” tanya Mas Satya.

Karen hanya mengangguk pelan, mau melarang pun ini tempat umum. Karen enggak punya hak buat melarang Mas Satya duduk di mana ia mau.

“Saya boleh ngomong sesuatu sama kamu gak, Ren?”

“Soal apa, Mas?” Karen enggak natap Mas Satya. Ia memilih pura-pura sibuk dengan note book yang ia bawa.

“Saya gak bisa ngomong sekarang, nanti malam. Setelah penampilan kamu sama The Gifted, tolong temuin saya di taman belakang guest house yah.”

“Gak bisa sekarang aja yah, Mas?” tanya Karen.

Mas Satya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya pelan.

“Ya Udah deh kalau gitu.”

“Saya janji gak akan lama, Ren. Mungkin untuk yang terakhir kalinya kita ngobrol berdua kaya gitu.”

Ucapan Mas Satya barusan berhasil mengalihkan atensi Karen, kini gadis itu menatap laki-laki di sebelahnya.

“Saya gak bisa kasih tau sekarang, maka dari itu kamu temuin saya nanti malam yah,” jelas Mas Satya.