Penyesalan

Pagi harinya, setelah sarapan dan akan bersiap-siap memulai perjalanan ke Candi Borobudur, mereka di beri waktu bebas sekitar 30 menit. Juna sudah mengirimi pesan ke ponsel Karen untuk menemuinya di dekat kolam renang hotel, Juna ngerasa dia harus minta maaf atas perlakuannya kemarin malam yang membuat Karen terkejut hingga jatuh pingsan.

Juna benar-benar menyesali perbuatanya, dia juga heran kenapa bisa ia seringan tangan itu untuk memukul seseorang. Padahal selama ini Juna memiliki kontrol emosi yang cukup baik. Sekitar 5 menit menunggu, akhirnya Karen sampai juga di kolam renang.

Gadis itu duduk di sebelah Juna, Juna tadi duduk di kursi sembari melihat pantulan dirinya di atas air. Begitu Karen datang, cowok itu langsung menoleh dan tersenyum. Karen masih selalu sama di matanya, cantik dan menawannya sama seperti pertama kali Juna mengenalnya.

Karen tampak cantik hanya dengan mengenakan cardigan berwarna lillac dan rambut panjang yang ia gerai tanpa hiasan apapun di atasnya.

“Mau ngomong apa sih?” tanya Karen, tangan kurusnya menyingkirkan poni Juna yang terlihat menghalangi mata cowok itu. Karen pernah bilang, dia lebih suka melihat Juna memamerkan poni nya. Kening cowok itu bagus, katanya.

“Ren?”

“Hm?”

“Soal kemarin malam,” Juna menarik nafasnya pelan. “Aku rasa aku udah keterlaluan, aku harus minta maaf sama kamu.”

Karen mengangguk, “kamu emang harus minta maaf.”

“Aku minta maaf yah.”

Karen diam sebentar, matanya menelisik mata teduh milik Juna. Mata yang menyiratkan penyesalan dan berharap Karen akan segera memaafkannya. Sungguh, melihat Juna dari dekat seperti sekarang ini membuat Karen semakin penasaran seperti apa Juna di masa depan.

apakah dia baik-baik saja?

apa dia sudah menikah?

apa dia sudah memiliki seorang anak?

bagaimana dia setelah melepas mimpinya sebagai seorang atlet basket?

apa hidupnya bahagia?

Itu yang selalu Karen pikirkan setiap kali melihat Juna dari jarak sedekat ini, setelah ia nanti berhasil kembali lagi ke masa depan. Bagaimana dengan hidupnya disini? Apa dia akan menghilang? Apa Juna akan baik-baik saja? Seperti apa dia setelah menyelesaikan misi nya disini? Atau mungkin Karen sudah meninggal dan ini semua hanya bayangan nya saja yang berharap ia bisa mengubah masa depannya?

“Iya, aku maafin kamu, Jun,” Karen tersenyum. “Jangan kaya gitu lagi yah, aku benar-benar kaget dan takut.”

Juna mengangguk, wajahnya berseri kembali dan tersenyum setelah Karen memaafkannya.

“Aku janji itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”

Karen mengangguk, “aku tau, kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku sama Mas Satya bisa berduaan di sana. Aku juga akan jelasin itu sebelum kamu dapat penjelasan dari orang lain.”

Juna mengangguk samar, rencananya memang ia ingin bertanya soal itu pada Karen. Namun Karen seperti bisa membaca pikirannya dan menjelaskannya lebih dulu pada Juna.

“Jun, tapi aku mau kamu janji 1 hal sama aku kalau aku ceritain ini sama kamu.”

“Apa?”

“Janji yah gak akan marah?”

“Um, kamu udah mau cerita. Aku gak mungkin marah, aku menghargai kejujuran kamu, Ren.”

Karen tersenyum, dia lega mendengarnya.

“Mas Satya emang ngajak aku buat ngomong berdua di sana. Maaf aku gak bilang ke kamu dulu, karna aku tau kamu pasti bakalan marah. Tadinya aku juga enggak mau, tapi Mas Satya bilang di mau ngomongin hal penting”

Karen menarik nafasnya, “Mas Satya, cerita soal perasaanya ke aku.”

Karen menoleh ke arah Juna, ia tau Juna sedikit tidak nyaman. Terlihat dari bagaimana ia menggertakkan giginya, namun ketika sadar Karen melihat ke arahnya. Juna mengangguk kecil, memberi isyarat agar Karen melanjutkan ceritanya kembali.

“Dia bilang udah suka sama aku dari awal aku daftar ke club, tapi enggak berani ungkapin perasaanya ke aku. Sampai akhirnya dia dapat kabar kalo kita udah jadian, Jun. Mas Satya gak ada niat merebut aku dari kamu, dia sama sekali gak ada niat buat hancurin hubungan kita.”

“Kalau gitu kenapa dia harus ngomong gitu ke kamu?”

“Dia mau berdamai sama keadaan, caranya dengan bilang ini ke aku. Setidaknya aku harus tau, itu katanya. Mas Satya bahkan mau ngajuin surat pengunduran diri setelah ini, dia benar-benar mau melupakan perasaanya sama aku, Jun.”

Juna diam, dia sibuk melihat pantulan dirinya di atas air. Hatinya masih agak kesal setiap mendengar nama Satya, tapi Juna juga lega karena Karen mau bercerita. Setidaknya tidak ada yang di tutup-tutipi oleh pacarnya itu.

“Waktu kami mau pisah buat kembali ke aula, tiba-tiba aja aku sesak nafas. Mas Satya cuma mau nolongin aku, dan kamu datang—”

“Sambil mukul dia,” lanjut Juna.

Karen mengangguk pelan.

“Maaf yah, sayang. Pikiran aku malam itu kalut banget nyariin kamu. Aku juga sempat ketemu Kania, waktu dia bilang liat kamu berduaan sama Satya. Pikiran aku langsung kacau,” jelas Juna, waktu Kania bilang gitu, sejujurnya Juna sudah berpikiran yang tidak-tidak, seperti Satya yang mencuri-curi kesempatan untuk bisa berduaan dengan Karen. Dan Karen yang diam-diam menikmati kebersamaan mereka, makanya Juna bisa menjadi se emosi itu.

“Iya gapapa, Jun. Kamu cuma salah paham, tapi aku berharap kamu mau minta maaf sama Mas Satya karena udah mukul dia yah.” menurut Karen, Juna tetap salah karena sudah memukul Mas Satya. Beruntung guru-guru tidak ada yang melihat, Karen enggak bisa bayangin kalau guru-guru sampai tahu hal ini, Juna pasti akan di hukum dan di marahi habis-habisan.

“Harus yah, sayang?”

Karen mengangguk, “karena kamu salah.”

Juna menarik nafasnya kasar, meski begitu. Ia akan melakukanya. “Iya, nanti aku minta maaf sama Satya.

“Mas Satya, Arjunandra.” Karen mengoreksi.

“Iya Mas Satya.”

Karen tersenyum, ia kembali menyingkirkan poni Juna agar tidak menghalangi keningnya lagi. Namun siapa sangka, kalau kesempatan itu di pakai Juna untuk mengecup bibir Karen secepat kilat.

“Jun.. Ih kalau ada yang liat gimana?” pekik Karen.

Juna terkekeh pelan, “gak ada kok tadi aku udah tengok kanan kiri.”


Kevin gak pernah bayangin kalau di Candi Borobudur akan seterik ini, ia masih membantu kelompok Alifia untuk mewawancarai turis asing. Kevin yang membantunya merekam dengan kamera yang ia pinjam, Itu kamera yang Kevin pinjam dari Budhe dan Pakdhe.

Untungnya kelompok proyeknya Alifia itu cukup pengertian, mereka membelikan Kevin minuman dan snack karena sudah mau membantunya. Lumayan sekali, persediaan snack milik Kevin sudah habis. Kelompok proyeknya Alifia juga mudah di atur, hanya saja mereka sedikit kesulitan menemui turis asing yang mau di interview.

Ada turis yang tidak mau di ganggu sama sekali, ada juga yang tidak mau di rekam. Dan kebanyakan turis yang datang hari ini berasal dari Asia, seperti Jepang, Singapore, Malaysia dan Thailand. Bahkan ada beberapa turis yang enggak bisa bahasa Inggirs, jarang sekali Kevin menemui turis dari Eropa.

“Panas banget sumpah gakuat,” keluh Alifia, gadis itu mengipasi wajahnya dengan buku berisi daftar pertanyaan miliknya.

“Mau sewa payung gak babe?” tanya Kevin, matanya masih fokus merekam Safira yang sedang mewawancarai turis.

“Enggak ah, sayang. Mending uangnya buat beli oleh-oleh aja.”

Alifia duduk di tangga, sesekali ia berselfie dan memotret teman-temannya secara candid. Ini untuk kedua kalinya Alifia ke Candi Borobudur, makanya dia udah enggak se excited teman-temannya yang baru datang pertama kali.

Sedang asik melihat-lihat foto-foto di ponselnya, tiba-tiba saja Alifia kaget karena ada seseorang yang memakaikan topi di kepalanya. Alifia langsung menoleh, ternyata itu adalah Kevin. Kevin memang tadi memakai topi.

“Kev...”

“Biar pacar aku gak kepanasan,” ucapnya, Kevin duduk di sebelah Alifia dan melihat hasil rekamannya.

“Tapi nanti kamu kepanasan gimana?”

“Gapapa, yang penting kamu gak kepanasan. Lagian aku udah biasa kepanasan waktu main futsal kan.”

“Ihhh, Kev. Romantis banget sih.” Alifia langsung menggandeng lengan Kevin.

“Proyek kelompok kamu udah beres nih, nanti aku kirim file nya satu-satu kalau udah sampai Jakarta yah.”

Alifia mengangguk, “punya aku sama kamu, kita kerjain bareng aja mau gak?”

“Boleh,” Kevin tersenyum, ia mengusap-usap punggung tangan Alifia.

“Habis ini temenin aku nyari Karen yuk, babe.” Kevin masih tetap harus mengawasi Karen, dia gak mau Kakak kembarnya itu pingsan lagi.

“Karen sama Juna tadi ke arah sana,” Alifia menunjuk ke arah lain. Karen tadi memang sempat berpamitan padanya kalau mau mengerjakan proyeknya berdua dengan Juna, Karen di keluarkan dari kelompoknya.

“Kok sama Juna?” dahi Kevin mengkerut bingung, setahunya Karen itu punya kelompok untuk mengerjakan proyek ini secara bersama.

“Iya, Juna yang bantu dia ngerjain proyek final ini. Karen bilang dia di keluarin sama kelompoknya, Kania juga bikin kelompok sendiri kayanya deh. Tadi aku liat dia, Selo, Muthia, Selvi sama Syarif pergi ke atas.”

“Orang gila!” hardik Kevin, bisa-bisa nya Kania bikin kelompok sendiri dan membiarkan Karen bekerja sendiri.

babe, Kania tuh kayanya gak suka sama Karen deh,” Alifia menjeda kata-katanya sebentar. “Gak-gak, dia tuh muka dua deh. Kalo depan Karen dia kaya baik-baik aja, tapi kalau di belakang Karen, Kania sering banget jelek-jelekin Karen.”

“Di kelas dia kaya gitu?” tanya Kevin.

Alifia mengangguk, “aku suka ngumping kalo dia lagi ngobrol sama geng nya.”

“Brengsek!!” Kevin bangun, dia menyimpan kameranya dan hendak menaiki tangga untuk mencari Kania, namun Alifia mencegahnya. “Kenapa? Aku mau samperin dia!”

“Kev, gak ada gunanya juga ngomong sama Kania sekarang, mending kita cari Karen sama Juna deh.”

“Tapi dia tuh harus di kasih pelajaran, babe. dia gak bisa perlakuin Karen seenak jidatnya, Karen tuh Kakak kembarku dan aku gak terima.”

“Ck,” Alifia berdecak. “Iya, Kev. Iya, aku tau, tapi kamu tau kan. Kania itu pinter banget nyari muka dan bikin orang-orang berpihak sama dia. Apalagi kalau udah bawa-bawa keluarganya, orang-orang pasti bakalan gak tega liatnya.”

“Kenapa bawa-bawa keluarga? Dia mau adu nasib kalo dia gak punya Ayah?” Kevin mendengus. “Aku sama Karen dari bayi gak pernah liat wajah orang tua kami bahkan, Lif. Tapi aku sama Karen enggak pernah jual cerita sedih kami ke orang-orang.”

Bagi Kevin, nasib menyedihkan yang di alaminya dan Karen. Cukup berhenti di mereka, Kevin dan Karen enggak suka di kasihani orang-orang. Apalagi di lihat dengan sorot mata iba hanya karena mereka tidak memiliki orang tua.

Bagi Kevin, Tuhan mengambil orang tua mereka namun Tuhan juga menitipkan Kakak sebaik Mas Kara, Mas Kara lebih dari cukup untuk Kevin dan Karen.

“Kev, aduh bukan gitu maksud aku.” Alifia menggaruk kepalanya, dia jadi pusing sendiri. “Pokoknya jangan sekarang, aku yakin kalo kamu labrak Kania sekarang nantinya bakalan bikin Karen kenapa-napa lagi. Udah yah, aku kan sekelas sama Karen. Aku janji bakalan jagain dia kok.”

Kevin mengepalkan tangannya kuat, kalau saja Alifia tidak menahannya. Mungkin saat ini Kevin sudah mencari Kania dan memberi gadis itu pelajaran, tapi yang di katakan Alifia ada benar nya juga. Karen pasti akan menjadi sasaran empuk lagi untuk Kania dan teman-temannya. Apalagi mereka enggak membully Karen secara terang-terangan, ini sulit. Karena Kevin harus melawan orang picik.

Keduanya akhirnya memutuskan untuk mencari Karen dan Juna, mereka berkeliling belum begitu lama. Namun sudah menemui Karen dan Juna yang sedang melihat orang mencoba memasukan tangan ke dalam Stupa berongga Candi untuk menyentuh Archa Budha.

“Eh, itu Karen sama Juna, Kev.” Alifia menunjuk ke arah Juna dan Karen yang sedang serius melihat ke arah orang yang mencoba memegang Archa Budha. “Tapi mereka lagi ngapain yah?”

“Kayanya mereka mau mencoba peruntungan buat nyentuh Archa Budha yang ada di dalam Stupa deh. Apalagi jari Arca Budha nya,” jelas Kevin.

“Hah? Biar apa?” meski sudah kali kedua Alifia ke Borobudur tapi gadis itu enggak tahu soal mitos ini.

“Mitos Kunto Bimo, katanya, siapa aja yang merogoh ke dalam stupa berongga di Candi Borobudur, terus nyentuh jari Arca Buddha yang ada di dalamnya, bakalan dapat keberuntungan atau terkabul keinginannya,” jelas Kevin.

“Ih kok aku baru tau? Kita mau coba juga gak?” Alifia excited banget, dia mau nyoba dan buat keinginan di sana.

“Boleh.”

Kevin dan Alifia menghampiri Karen dan Juna, ternyata proyek Karen sudah beres dan Juna yang membantunya. Karen juga bilang dia gak masalah di keluarkan dari kelompoknya, malahan Karen lebih nyaman mengerjakan proyek ini sendiri dari pada harus sekelompok sama Kania yang hanya akan memanfaatkannya saja.

Kali ini yang mencoba peruntungan lebih dulu adalah Alifia, tapi sayangnya tangannya enggak sampai. Alifia bahkan mencoba beberapa kali sampai akhirnya ia menyerah.

“Sekarang giliran gue,” ucap Kevin.

Ia memasukan tangannya ke dalam Stupa, bersusah payah untuk bisa menyentuh Archa Budha, Kevin awalnya berpikir itu akan mudah. Tapi nyatanya sulit sekali, Archa Budha nya berada cukup jauh dari jangkauannya. Kevin akhirnya menyerah dengan 2 kali percobaan.

“Kamu mau coba sayang?” tanya Juna, yang di balas anggukan oleh Karen.

“Doain yah.”

Juna mengangguk.

Karen memasukan tangannya untuk mencoba menyentuh Archa Budha di sana, wajahnya bahkan sampai menempel pada Stupa. Namun rasanya sulit sekali menyentuhnya, bahkan beberapa kali Karen sampai mencobanya dengan tangan kiri nya, namun akhirnya ia menyerah. Archa Budha nya terlalu jauh rasanya.

“Sekarang giliran aku,” Juna tersenyum, ia mulai memasukan tangannya ke rongga Stupa, dan ternyata enggak sesulit itu untuk Juna menyentuh jari Archa Budha di dalam Stupa. Tidak sampai 1 menit Juna berhasil menyentuhnya, itu juga yang mengundang teriakkan kaget dari Alifia.

“WAHHHH SUMPAH JUNA NYENTUH JARI ARCHA BUDHA NYA!!” pekik Alifia.

Juna tersenyum, ia kemudian memejamkan matanya untuk membuat permohonan.

gue mau hubungan gue sama Karen baik-baik aja, langgeng sampai kami memutuskan untuk menikah, gue mau Karen bahagia selalu dan semua keinginannya terkabul, gue mau restoran Bapak dan Ibu semakin ramai, dan yang terakhir. Gue mau cidera ini cepat pulih.

Setelah mengucapkan permohonan dalam hati, Juna melepaskan jarinya dari sana.

“Kamu buat permohonan apa?” tanya Karen, dia penasaran banget karna Juna kelihatan serius sekali waktu membuat permohonan.

“Rahasia!” ucapnya.

“Ihh pelit,” Karen cemberut, namun sedetik kemudian ia tersenyum ketika Juna merangkulnya dan mengajakknya untuk turun ke bawah.

To Be Continue