Penyesalan 11

Karen pingsan lumayan lama hingga menjelang pagi, gadis itu baru bangun jam 3 pagi dengan keringat yang bercucuran dan terengah-engah. Waktu dia bangun, Karen enggak berada di kamarnya. Melainkan di kamar lain dengan Kevin yang terduduk di lantai sembari tidur di sebelahnya.

Waktu Karen bangun dengan kondisi terengah-engah dan keringat yang menetes, Kevin juga ikut terbangun. Dia khawatir banget sama Karen, apalagi saat melihat wajah Kakak kembarnya itu pucat.

“Ren, kamu udah bangun?” Kevin mengucak matanya yang terasa perih karena masih mengantuk.

Karen hanya diam, tapi kedua matanya menatap Kevin dengan pandangan bingung sekaligus khawatir. Kevin bisa melihat ekor mata Karen juga seperti bersiap mengeluarkan air mata dari sana.

“Kev? Aku tadi mimpi buruk..” ucap Karen lirih.

“Mimpi apa?”

Karena Karen nampak tidak baik-baik saja, Kevin akhirnya mengambil segelas air di meja yang tadi sudah di siapkan oleh teman-teman yang lain. Kevin sengaja gak membiarkan Juna menjaga Karen meski cowok itu ngotot ingin menjaga Karen malam ini, Kevin tahu kejadian Juna dan Mas Satya yang bertengkar.

Kevin juga menyesal karena dia gak bisa menjaga Karen dengan baik, makanya malam ini Kevin memutuskan untuk menjaga Karen. Di dalam kamar itu mereka enggak berduaan, ada Ayu, Alifia, Fajri dan juga Emily yang tertidur di ranjang.

Ngomong-ngomong soal Juna dan Mas Satya, guru-guru enggak ada yang tahu soal pemukulan ini. Kevin agak sedikit lega karena Mas Satya merahasiakanya, cowok itu hanya bilang kalau ia jatuh terpeleset hingga bibirnya terbentur saat di tanya.

Kevin enggak bisa bayangin, gimana jadinya kali masalah ini terdengar sampao ke telinga guru. Akan lebih merepotkan lagi pastinya dan melibatkan Karen di dalamnya.

“Minum dulu yah.” Kevin memberikan Karen segelas air, namun Karen hanya meminumnya sedikit.

“Mimpi apa?” tanya nya lagi, setelah ia menaruh gelas itu di meja kembali.

Alih-alih menjawab, Karen hanya diam. Matanya sibuk memandangi Kevin dan juga ke sekelilingnya. Karen bermimpi, Kevin dan Mas Kara menangis melihatnya terbujur kaku di dalam peti.

Karen melihat sendiri bagaimana tubuhnya sudah kaku dengan wajah pucat, di iringi oleh sanak saudara dan teman-teman yang datang melayatnya. Tapi yang membuat hati Karen tersayat adalah, dimana Kevin menangis sangat menyesakkan di sebelah petinya.

Berharap Karen akan bangun atau berharap itu adalah mimpi buruknya dan Kevin segera bangun. Makanya waktu Karen sadar, orang pertama yang ia pastikan keadaanya baik-baik saja adalah Kevin. Tapi nyatanya itu hanya mimpi buruk Karen, toh buktinya sekarang ia baik-baik saja.

Karen hanya menggeleng pelan, ia kemudian bersandar pada head board sembari mencoba mengatur degup jantungnya.

“Cuma mimpi buruk, aku gak bisa ceritain. Ada mitos yang bilang kalau mimpi buruk sebaiknya di simpan sendiri,” lanjutnya.

Kevin mengangguk, ia menghargai keputusan Karen buat enggak cerita soal mimpinya.

“Ren, aku minta maaf karena enggak jagain kamu. Maaf aku gak tau Juna sama Mas Satya berantem sampe bikin kamu takut dan pingsan.” Kevin menunduk, menyesali dirinya yang sudah teledor menjaga Karen, Kevin akui memang akhir-akhir ini dia kelihatan sibuk sendiri.

Melihat Adik kembarnya yang terlihat sedih, Karen justru mengusap pucuk kepala Kevin. Ia pingsan bukan karena takut melihat Juna yang tiba-tiba menghajar Mas Satya, Karen justru sudah merasa sesak dan kurang enak badan sebelum kejadian itu terjadi.

“Bukan salah Kevin, aku emang udah sesak aja kayanya karena udaranya dingin. Mas Satya cuma mau nolongin aku, tapi Juna salah paham,” jelas Karen.

“Kev sedih liat Karen sakit-sakit terus akhir-akhir ini, Karen juga gak bagi sakitnya ke Kev.” biasanya setiap kali Karen atau Kevin sakit, keduanya bisa saling merasakan satu sama lain. Tapi akhir-akhir ini, setiap Karen jatuh sakit. Kevin gak bisa ikut merasakannya juga makanya Kevin sedih dan khawatir banget. Dia jadi enggak tahu apa yang Karen rasakan.

“Karen justru senang kalo Kev gak ikutan sakit.”

“Jangan ngomong gitu!! Lebih bagus kalo tubuh kita saling terhubung satu sama lain, bukanya itu yang jadiin kita lebih istimewa dari anak kembar lainnya?” hardik Kevin, ia menyentil kening Karen pelan. Sangat pelan namun membuat Karen terkekeh karena wajah cemberutnya, Kevin sedang merajuk.

“Aku cuma kecapekan aja kayanya, Mas Kara enggak tahu kan kalo Karen pingsan?”

Kevin menggeleng, dia memang enggak ngabarin Mas Kara. Takut Kakaknya itu khawatir, pasalnya Mas Kara juga sama paniknya seperti Kevin. Kevin masih bisa menghandle nya sendiri, Kevin gak mau menganggu pekerjaan Mas Kara.

“Besok waktu di bus perjalanan ke Jogja, Karen duduk sama Kevin aja yah. Biar Kev bisa jagain terus.”

“Terus Alifia?”

“Biarin sama Juna.”

“Emang kenapa?”

“Aku mau hukum Juna karena udah bikin Karen pingsan, sama ada sih satu hal lagi yang bikin aku kesel kalo liat Juna,” Kevin mengulum bibirnya.

“Apa?”

Kevin menoleh ke arah teman-temannya, ternyata aman, Semuanya masih tidur dengan pulas nya di ranjang mereka, walau begitu tetap saja Kevin bicara setengah berbisik ke Karen.

“Juna nyium Karen di rumah sakit kan?”

Karen melotot, dia kaget setengah mati. bagaimana bisa Kevin tahu? apa dia ngeliat waktu itu?

“N..gg..ak ngaco kamu!”

“Serius, orang Kev sama Alif liat kok. Karen udah sering yah kaya gitu sama Juna? Kev bilangin ke Mas Kara nih,” godanya.

“Enggak!! Gak pernah, udah ah, kamu keluar sana aku mau tidur!” Karen menarik selimut miliknya dan menenggelamkan dirinya di dalam selimut.

“Keluar ke mana? Ini tuh kamarku.”

Di dalam selimut Karen semakin meremas bantal yang ia pakai karena malu Kevin menggodanya. jadi dia melihatnya waktu itu? sialan, bocah 17 tahun ini benar-benar mengujinya.

Pagi nya mereka kembali berkeliling ke tempat-tempat wisata di Dieng, selama perjalanan dan mengerjakan proyek. Kevin selalu mengekori Karen, bahkan cowok itu gak membiarkan Juna berduaan saja dengan Karen. Iya, Kevin berubah menjadi si paling overprotektif ke kembaranya itu. Kevin gak mau Karen sakit lagi, bahkan lauk makan siang Kevin pun Kevin bagi sebagian ke Karen. Katanya supaya Karen lebih kuat dan enggak sakit-sakit lagi.

Sama hal nya saat mereka melakukan perjalanan ke Jogja, Kevin juga menyuruh Karen untuk duduk di kursi sebelahnya menggantikan Alifia. Sementara itu, Alifia ia biarkan duduk di belakang kursinya bersama dengan Juna.

“Mau susu coklat gak, Ren? Atau mau roti? Mau coklat? Mau biskuit?” Kevin mengeluarkan semua cemilan yang ia bawa dan menaruhnya di pangkuan Karen.

“Kev, aku tuh udah kenyang. Kamu gak inget lauk kamu tadi, kamu kasih sebagian ke aku. Sekarang kamu suruh aku makan lagi?”

“Biar kamu sehat.”

Juna yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala saja, “lo mah mau bikin Karen diabetes kayanya, Kev.”

“Apasih! Diam deh, gue masih marah sama lo yah,” hardik Kevin.

“Liat itu makanan sama minuman manis semua.”

Kevin baru sadar semua yang dia tawarkan ke Karen memang makanan dan minuman manis semua, Kevin itu pecinta makanan manis sementara Karen pecinta makanan padas dan gurih. Selera mereka saling berlawanan, makanya jenis snack yang mereka beli juga sangat berbeda.

“Udah yah, simpan lagi aja. Atau kamu bagi ke teman-teman yang lain, jangan di makan sendirian,” ucap Karen, ia meletakan cemilan-cemilan itu kembali ke tas yang Kevin bawa.

“Tapi nanti kamu makan yang banyak lagi yah, Ren.”

Karen mengangguk, ia tersenyum dan menyandarkan kepalanya di jendela bus. Namun, kaca jendela yang harusnya terasa keras itu berubah menjadi lebih empuk. Membuat Karen mengangkat kepalanya kembali untuk memastikan apa yang menjadi alasnya bersandar, ternyata itu adalah tangan Juna. Tangannya masuk melalui celah kursi mereka, dan mencegah kepala Rachel menempel pada kaca jendela bus yang keras.

Juna memang duduk di pojok dekat dengan jendela, sementara Alifia duduk di kursi pinggir. Sesekali gadis itu juga jalan-jalan ke kursi lain untuk merekam atau memotret teman-temannya.

Waktu Karen menoleh ke arah kursi Juna, cowok itu tersenyum, Membuat senyuman yang Juna berikan itu menular ke Karen, ia juga tersenyum.

“Sandaran lagi di tangan aku. Biar kepala kamu enggak sakit,” ucapnya.

“Tapi nanti tangan kamu pegal.”

“Gapapa, asalkan kepala kamu enggak sakit.”

Karen terkekeh, ia kemudian mengusap tangan Juna dan kembali bersandar di sana. Sesekali Karen memejamkan matanya, menikmati usapan lembut tangan Juna di kepalanya yang membuatnya terasa nyaman.


Sesampainya di Jogja, mereka sampai sudah agak malam. Sekitar jam 9 malam mereka sampai, Karen langsung masuk ke kamarnya bersama dengan Selo, Kania dan 3 anak kelas MIPA yang lain.

Waktu Karen selesai mandi, Kania sudah menguasai ranjang bawah. Karen ingat, dulu Kania cerita ke teman-temannya yang lain kalau Karen yang menyuruh Kania tidur di ranjang bawah. Padahal saat itu Karen sudah menyuruh Kania untuk tidur di ranjang atas bersama dengannya dan Selo.

Ranjang di hotel ini cukup luas, tubuh mereka bertiga juga kurus dan tidur di ranjang bertiga enggak akan terasa sempit. Namun Kania justru memilih tidur di bawah, sejak itu teman-teman yang lain jadi menilai kalau Karen tega membiarkan Kania tidur di kasur bawah sendirian dan Karen di kenal sebagai teman yang egois saat itu.

“Ren, lo tidur di ranjang atas aja sama Selo. Gue mau di bawah,” ucapnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Karen, Selo juga diam saja. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya.

“Kalau gitu kita tidur berdua aja di kasur bawah,” ucap Karen, itu juga berhasil membuat Kania menoleh ke arahnya.

“Ih jangan, bakalan sempit. Lo di atas aja sama Selo.”

“Oh tenang aja, gue kalo tidur enggak berubah posisi sampe bangun kok. Gue bisa tidur menyamping biar lo gak kesempitan.”

Tanpa menunggu persetujuan Kania, Karen langsung tiduran di atas kasur sembari memeriksa kembali daftar pertanyaan yang besok akan ia pakai untuk mewawancarai turis asing.

“Ren, sumpah gapapa lo di atas aja, di bawah tuh kasurnya keras,” ucap Kania lagi.

“Gapapa,” Karen tersenyum. “Gue kan gak mau lo ngerasain kasur keras ini sendirian.” karen menepuk ranjang yang mereka tiduri saat ini, kemudian kembali pada ponselnya.

Kania jadi geram sendiri, mau enggak mau akhirnya ia tidur di ranjang atas bersama dengan Selo. Padahal Kania sudah punya rencana sendiri kalau ia tidur di kasur bawah, tapi Karen justru mengacaukannya.

“Loh, Ni. Kok di atas?” tanya Karen bingung.

“Gue di atas aja. Disitu sempit kalau berdua,” jawab Kania ketus.

Karen hanya mengangguk pelan, gadis itu kemudian memasang earphone di telinganya tanpa memutar lagu. Ia ingin tahu apa yang akan Kania bicarakan bersama dengan Selo.

“Nyebelin banget!” gumam Kania.

“Eh, Ni. Kita kan belum bikin daftar wawancara buat turis asing besok,” ucap Selo.

Kania masih memandangi Karen dari ranjang atas dengan perasaan kesalnya, “liat punya kelas lain aja lah, sekalian kita bikin kelompok wawancara sendiri bareng Muthia sama Selvi.”

“Kan harus ber 5, Ni. Karen gimana?”

“Gak usah ajak dia, lo mau sekelompok sama orang problematic? Gue sih males banget, tukang bikin masalah,”

“Masukin aja Syarif ke kelompok gitu biar jadi ber 5 beres kan?” lanjutnya.

“Iya sih.. Tapi karen speaking nya pinter banget, Ni. Kita bisa suruh dia yang wawancarain abis itu kita cuma rekam sama foto aja.”

“Yaudah kalo gitu lo berdua aja sama dia!!” sentak Kania kesal.

“Ihhh, Ni. Jangan gitu, ya..yaudah deh kita sama Syarif aja. Gue masukin Syarif ke kelompok kita,” ucap Selo pada akhirnya.

Tanpa keduanya sadari, Karen masih mendengar percakapan mereka. Karen enggak masalah harus mengerjakan proyek final ini sendirian, toh sekelompok dengan mereka Karen hanya akan di manfaatkan saja.