Potongan Ingatan

Setelah selesai latihan, Mas Satya langsung menunggu Karen di parkiran motor. Tadi Karen bilang dia ada urusan sebentar, begitu Karen menyusulnya, betapa bingungnya Mas Satya waktu Karen kembali sembari menyeret Kevin kembaranya.

“Hai, Kev?” sapa Mas Satya.

Kevin hanya mengangguk pelan sembari tersenyum kikuk. Cowok itu masih berusaha melepaskan tangan Karen yang memegangi hoodie yang Kevin pakai.

“Mas, kita perginya sama Kevin juga yah. Saya ajak dia boleh kan? Soalnya Mas Kara bilang kami harus pulang berdua,” ucap Karen.

Mas Satya awalnya ragu, namun akhirnya ia mengangguk pelan. “Oh, gapapa dong. Ajak aja.”

Karen tersenyum, saat Mas Satya ingin memberikan helm miliknya pada Karen. Gadis itu sudah memakai helm yang di berikan Kevin padanya.

“Saya sama Kevin aja yah, Mas? Gapapa kan?” Karen mengigit bibir terdalamnya, sejujurnya dia juga enggak enak sama Mas Satya. Tapi Karen harus melakukan ini, ini semua demi kebaikan mereka bersama. Karena rumor itu bukan hanya tentang Karen, tapi ada Mas Satya juga yang terkena imbasnya.

“Um,” Mas Satya mengangguk, ia langsung memakai helm miliknya dan menaiki motornya.

Mereka pun pergi dengan beriring-iringan, motor Mas Satya yang melaju lebih dulu dan Kevin mengikutinya dari belakang.

“Kamu tuh enggak sopan tau, Ren. Kaya gitu ke Mas Satya, dia tuh kelihatan gak nyaman karna aku ikut,” ucap Kevin saat di perjalanan.

“Aku cuma gak mau ada yang salah paham, Kev.”

“Siapa sih yang bakalan salah paham memangnya?” Kevin melirik Karen dari kaca spion miliknya.

“Juna?” tebaknya.

“Udah lah, kalo aku cerita juga kamu enggak akan percaya.”

“Ren, kamu cerita aja belum.”

“Masalahnya kalau aku cerita kamu pasti bilang ini semua enggak masuk akal.”

Kevin mendengus, Karen dan Kevin itu jarang sekali berdebat seperti ini. Mereka kebanyakan selalu kompak dalam hal apapun itu.

“Aku aja sering jalan berdua buat urusan club sama Ayu, tapi Alifia gak cemburu karena dia percaya sama aku,” ucap Kevin lagi.

“Karena urusanku enggak semudah kamu dan Alifia, Kev.” andai ia bisa cerita semuanya pada Kevin tentang masa depan, apa Kevin akan percaya? Atau Kevin akan menganggap Karen ini ngibul? Rasanya memendam rahasia ini sendirian membuat Karen sedikit gila.

“Kamu jadi aneh tau, Ren. Sejak kejadian kepalamu kena bola.”

“Aneh gimana?“dahi Karen mengkerut.

“Alifia cerita, kamu udah gak pernah main lagi sama teman-temanmu, Kania, Selvi, Selo sama Muthia. Kamu juga jadi sering ngelamun di kelas, kemana-mana juga sendirian.”

Karen mengulum bibirnya sendiri, jujur saja ia memang menjauhi ke empat teman-temannya itu. Karen lebih sering kemana-mana sendirian, ini semua karena ia sembari memikirkan hal-hal yang terjadi dan mencari cara untuk menghindarinya.

“Apalagi waktu kamu bilang Mas Kara sakit usus buntu, aku gak ngerti gimana caranya kamu bisa tau.”

“Aku cuma baca-baca buku aja ciri-ciri orang terkena usus buntu.”

Sedetik kemudian Kevin hanya mendengus, mereka pun akhirnya sampai di sebuah toko sepatu. Masih seperti saat di sekolah, Karen masih menggandeng tangan Kevin agar Kevin tidak berjalan jauh darinya, sesekali Karen juga mengedarkan pandanganya. Memastikan tidak akan ada yang mengikutinya diam-diam.

“Ini bagus, Ren. Mau coba yang ini gak?” tanya Mas Satya, matanya tertuju pada pantofel hitam yang bahanya tidak begitu kaku. Ia yakin sepatu itu akan terlihat nyaman saat di pakai Karen.

“Boleh,” Karen mengangguk, ia mengambil sepatu itu dan memakainya.

“Sempit yah?” tanya Mas Satya, ia mendongak karena laki-laki itu berjongkok di depan Karen yang duduk di kursi.

“Kayanya 1 nomer lagi deh, Mas.”

“Aku minta ke staff nya dulu yah,” Mas Satya mengambil sepatu itu kembali dan menghampiri staff nya untuk meminta nomer sepatu lebih besar.

“Ren, lepasin tanganku ah, aku gak akan kabur juga,” keluh Kevin, sungguh Kevin lama-lama kesal karena sikap aneh Karen ini.

please cuma sampai di toko sepatu aja, Kev.”

“Ya ada apa sih emangnya? Kamu mau di culik? Mas Satya mau nyulik kamu sampe kamu nempel-nempel sama aku terus?”

“Ck!” Karen berdecak, ia akhirnya melepaskan pautan tangan mereka karena Kevin begitu rewel.

Tidak lama kemudian, Mas Satya kembali. Membawakan sepasang sepatu pantofel untuk Karen.

“Coba pakai dulu, Ren.” ucapnya.

Karen memakai sepatu itu kembali, dan ternyata sangat nyaman di kenakan. Tidak seperti pantofel lamanya yang bahan dasarnya agak kaku, kaki Karen sering sekali lecet dengan sepatunya dulu.

“Bagus, Mas. Pas juga di kaki aku.”

“Suka?” tanya Mas Satya, senyum di wajahnya tidak pernah luput saat menatap Karen yang terlihat bahagia itu.

“Suka!!”

“Kita ambil yang ini yah.”

Setelah selesai membayar sepatu milik Karen, Mas Satya langsung memberikan paper bag berisi sepatu milik Karen itu padanya.

“Makasih sekali lagi yah, Mas Satya. Karen janji gak akan bikin Mas Satya kecewa buat lomba ini,” ucap Karen.

“Saya percaya sama kamu, Ren.” Mas Satya tersenyum, “ah iya, karena udah disini gimana kalau sekalian aja kita makan? Kebetulan saya udah ngelewatin jam makan siang, kalian juga belum makan kan?”

“Belum, Mas.” ucap Kevin semangat. Namun tidak lama kemudian ia meringis karena Karen mencubit lengannya. “Sakit tau, Ren!!”

“Gak..gak usah, Mas. Kita langsung pulang aja, lagi pula Mas Kara belum masuk kerja, pasti dia masak kok,” alibi Karen.

“Gapapa, Ren. Nanti kita bawain sekalian buat Mas Kara, ya? Temenin saya makan, Kevin juga kasian, udah nemenin kamu tapi gak saya beliin apa-apa.”

“Beneran, Mas. Gak usah ngerepotin.”

Mas Satya terkekeh, “Karen, saya enggak ngerasa di repotin. Sebentar yah, sehabis makan kita langsung pulang.”

Kevin yang berdiri di sebelah Karen itu menyenggol lengan Karen, memberi isyarat pada Kakak kembarnya itu untuk mengiyakan saja ajakan Mas Satya. Dan akhirnya Karen pun mengangguk.

Mereka akhirnya masuk ke mall yang tidak jauh dari ruko-ruko tempat toko sepatu tadi berada, Sembari mencari restoran yang tidak begitu ramai, sesekali mata Karen menelisik ke beberapa tempat. Setakut itu Karen di mata-matai seseorang.

kayanya enggak ada yang mencurigakan, tapi gue harus tetap hati-hati kan?

“Ren? Karen?” panggil Mas Satya, Karen melamun saat Mas Satya bertanya ia ingin makan apa. Mereka sudah berada di sebuah restoran ayam hainan yang terkenal enak di kota itu, kadang antreannya sampai keluar dari restoran. Tapi beruntung sore ini restorannya tidak terlalu ramai.

“I..iya kenapa, Mas?” jawabnya gelagapan.

“Kamu mau makan apa?”

Karen melihat-lihat menu di atas meja mereka, tapi tiba-tiba ekor matanya menangkap sosok yang agak sedikit ia kenali. Apalagi saat dua orang itu mengarahkan kamera ponselnya ke arah kursi Karen, Mas Satya dan Kevin.

“Sama aja kaya yang Kevin pesan, Mas.” ucapnya pada akhirnya. Karen sudah tidak fokus pada menu yang ada di depannya.

“Oke biar saya pesanin dulu yah.”

kemana mereka?” mata Karen kembali berpendar ke sudut-sudut restoran, Karen enggak menemuka dua orang mencurigakan yang tadi dia cari.

apa mereka udah keluar?

“Ma..Mas Satya, Karen izin ke toilet dulu yah. Mau buang air kecil sebentar,” alibi Karen, padahal dia mau keluar restoran sebentar untuk mencari dua orang mencurigakan tadi.

“Oh ya udah, Ren.”

Begitu ia keluar dari restoran Karen langsung mengedarkan pandanganya, sampai akhirnya ia mendapatkan dua orang mencurigakan tadi berjalan ke arah eskalator untuk turun ke lantai 3. Karen enggak mungkin bisa mengejarnya dari eskalator yang sama, akhirnya ia turun lewat jalan lain dengan sedikit berlari.

Karen harus sampai lebih dulu dari 2 orang tadi ke lantai 3, tapi, kalau di lihat lagi mereka memang siswa dari SMA Orion. Terlihat dari seragam yang mereka kenakan, meskipun Karen enggak tahu mereka siapa karena keduanya memakai masker dan topi.

Dan begitu sampai di lantai 3, Karen langsung menghampiri keduanya dan menjegal jalan mereka. Keduanya pun kaget saat melihat Karen ada di depan mereka, ternyata itu adalah Syarif dan Selvi, Karen bisa mengenali keduanya dari mata mereka.

“Karen?” pekik Syarif saat melihat Karen di depan mereka.

“Lo berdua ngikutin gue?” ucap Karen to the point.

“Gak ada! Gue sama Syarif lagi jalan berdua kok, kita mau nonton,” sangkal Selvi.

“Bohong!! Gue liat kalian berdua ada di restoran ayam hainan. Kalian foto ke arah meja gue kan?”

“Dih apaan sih lo, Ren.”

“Itu apa?” dagu Karen menunjuk ke arah ponsel Syarif, cowok itu pun langsung menyembunyikan ponselnya.

“Orang gue lagi liat-liat jadwal film dari HP,” ucap Syarif.

“Bohong!! Coba gue liat.” Karen ingin mengambil ponsel Syarid namun tanganya di tepis kasar oleh Selvi.

“Ren, lo apa-apaan sih?” karena kesal, Selvi sampai mendorong bahu Karen.

“Kalo kalian berdua enggak ngefoto dan ngikutin gue, harusnya kalian gak perlu takut kan?” ucap Karen tegas, dia sama sekali enggak terintimidasi sama tatapan tajam mata Selvi. jadi selama ini dia mata-mata dari Kania? pikir Karen.

Karena kesal Syarif tidak memberikan ponselnya, Karen merebut ponsel itu dengan cepat. Dan benar saja, Syarif sedang melihat galeri yang menampakan foto-fotonya dan Mas Satya. Mereka bahkan memotong bagian Kevin, membuat seolah-olah hanya ada Karen dan Mas Satya di sana.

Ada video Mas Satya yang tengah tersenyum ke arah Karen saat Karen terlihat senang memakai sepatu barunya juga.

“Kalian ngikutin dan foto-foto gue?!” sentak Karen.

“Iya, kenapa? Lo tuh benar-benar gak tau diri yah, Ren. Lo tau kalo Kania suka sama Mas Satya tapi lo mau aja jalan sama dia. Centil yah lo, gak cukup apa lo sama Juna sampe harus godain Mas Satya?” hardik Selvi, karena sudah ketangkap basah sekalian saja Selvi menyadarkan Karen.

“Gue gak pernah godain Mas Satya, gue sama Mas Satya cuma beli sepatu buat kepentingan lomba. Dan kenapa,” Karen menunjukan foto, dimana Kevin di potong bagiannya. “Kenapa kalian harus crop Kevin? Biar gue sama Mas Satya seolah-olah jalan berdua, iya kan?”

“Iya!! Biar Juna tau kalo ceweknya ini kegatelan!”

Tangan Karen bergetar, ia benar-benar marah dan kesal mendengarnya. Sebelum memberikan ponsel itu kembali pada Syarif, Karen memformat ponsel cowok itu dulu hingga tidak tersisa sedikit pun foto di galeri ponselnya.

“Bajingan!! Karen lo apain HP gue?!” teriak Syarif berusaha mengambil ponselnya.

Setelah memastikan tidak ada fotonya dan Mas Satya di ponsel itu, Karen mengembalikan ponsel nya pada Syarif.

“Gue akan pastiin kalo Juna gak akan pernah salah paham soal ini, dan satu lagi. Gue gak pernah kecentilan sama Mas Satya, gue bahkan gak tau kalo Kania suka sama Mas Satya.” setelah mengatakan itu, Karen langsung bergegas pergi. Ia tidak kembali ke restoran ayam hainan lagi, Karen pergi ke toilet dan menangis menyesakan di sana.

Setelah kembali ke masa lalu, Selvi yang ia pikir lebih netral dari dugaanya ternyata adalah mata-mata Kania. Dulu, Karen sempat berpikir jika Selvi berada di tengah-tengah dirinya dan Kania. Kalau Karen cerita tentang Kania, dulu Selvi selalu mendengarkannya dan berusaha untuk terlihat netral.

Selvi akan mengatakan Karen salah jika ia benar-benar salah, begitu pun sebaliknya. Selvi tidak akan membela Kania jika Kania benar-benar salah. Karena tidak sanggup lagi menghadapi Mas Satya, akhirnya Karen menelfon Kevin.

Ren, kamu dimana?” nada suara Kevin terdengar khawatir di sebrang sana.

“Kev, bisa gak kalo kamu langsung pamit aja sama Mas Satya dan kita langsung pulang?”

Ren, kenapa sih? Ada apa? Kamu dimana sekarang?

“Aku di toilet dekat supermarket, please, Kev. Jemput aku disini dan pamit sama Mas Satya.”

iy..iya iya ya udah, kamu tunggu di sana yah. Aku ke sana sekarang.

To Be Continue