Rencana

Mereka akhirnya tiba di guest house Dieng, mereka sampai di jam 10 malam dan langsung pembagian guest house dan kamar. Enggak ada acara apa-apa lagi, mereka juga sudah makan malam sebelum menuju ke guest house. begitu sampai Karen langsung membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Meski udara di Dieng sedang dingin-dinginnya, tapi tetap saja selama perjalanan Karen keringatan.

Karen masih berada di kamarnya bersama Kania dan yang lainya, begitu Karen keluar dari kamar mandi. Ada Selo yang sedang sibuk foto-foto di kamar, di pojok kamar di ranjang kedua juga ada anak-anak dari kelas IPA yang tengah memakai sheet mask sebelum tidur, sementara Kania, gadis itu sedang mendengarkan lagu di kasur.

Tapi begitu melihat Karen keluar dari kamar mandi, Kania langsung melepaskan earphone nya dari telinga.

“Udah selesai, Ren?” tanyanya yang hanya di balas anggukan kecil oleh Karen.

“Gue mau mandi,” lanjutnya dengan cengiran.

Karen duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambutnya dan memakai pelembab wajah, di kursinya Karen sibuk mengingat-ingat apa hal yang akan terjadi selanjutnya.

“Ren,” panggil Selo, gadis itu menghampiri Karen dan duduk di kursi sebelahnya.

“Kenapa?”

“Gue mau curhat deh.”

curhat? Ah, benar juga. Selo sempat curhat soal hubungannya dengan Kak Anwar.

“Kenapa sih?” tanya Karen.

“Lo selama pacaran sama Juna pernah ngerasa di cuekin gak sih?”

“Cuekin gimana? Pas lagi berantem maksudnya?” Karen mengerutkan keningnya bingung.

“Ya, gak berantem juga sih. Lagi baik-baik aja, tapi tiba-tiba berhari-hari gak di kasih kabar, setiap ketemu di sekolah juga kaya di hindari gitu.”

Karen diam sebentar, ia ingat. Selo memang sempat di acuhkan oleh pacarnya dan meminta saran Karen apa yang harus di lakukan pada pacarnya itu. Karen sempat memberi saran untuk Selo agar bicara langsung pada Kak Anwar, tapi jika Kak Anwar masih tetap diam. Lebih baik akhiri hubungan saja karena itu artinya Selo sudah tidak di hargai lagi.

Selo sempat sedih berhari-hari sampai akhirnya Selo menganggap Karen penyebab ia dan Kak Anwar putus, waktu itu Karen memang sempat bertemu Kak Anwar karena cowok itu ingin memberikan hadiah pada Selo. Rumah Karen dan Kak Anwar juga searah, makanya mereka bertemu di jalan. Dan Kak Anwar tau kalau Karen adalah teman Selo. Dan momen itu di manfaatkan Kania dengan menuduh Karen mendekati Kak Anwar hingga Selo salah paham.

“Ren?” panggil Selo sembari menepuk lengan Karen. “Ihhh gimana? Kok malah ngelamun?”

“Ah, eh, Iya tadi gimana? sorry gue agak ngantuk,” Karen tersenyum.

“Iya itu, Kak Anwar tuh kaya ngehindarin gue, padahal kita lagi gak berantem, Ren.”

“Hhmm.. Coba aja lo tanya sama Kak Anwar langsung, mungkin dia lagi ada masalah?” ucap Karen hati-hati, dia gak ingin salah bicara yang nantinya akan mengulang kejadian dulu.

“Tiap ketemu di sekolah aja dia kaya ngehindarin gue, gimana mau ngomongnya coba?” bahu Selo merosot dan wajahnya nampak gusar.

Karen hanya meringis kemudian menyelesaikan skincare routine nya dengan cepat.

“Lo, sorry yah gue enggak bisa bantu, gue sama Juna gak pernah ngalamin hal kaya gitu.”

benar, ini jawaban yang tepat. Gue enggak mau ikut campur ke hubungan kalian.

“Iya juga sih, tapi seenggaknya kasih tau gue harus gimana kek, Ren. Gue tuh sayang banget sama Kak Anwar tapi gue juga bingung hubungan gue—”

“Ah, Lo. sorry yah, gue di telfon Kevin.” Karen menunjukan ponselnya yang menampakan nama Kevin di sana.

“Kayanya dia mau ngajak latihan atau mau bicarain soal penampilan besok..”

“Yaudah deh,” Selo mengangguk dan membiarkan Karen pergi keluar dari kamar mereka.

Begitu Karen pergi tidak lama kemudian Kania keluar dari kamar mandi dengan rambut yang di lilitkan ke handuk. Gadis itu memendarkan pandanganya ke penjuru kamar untuk mencari Karen.

“Lah, Karen kemana?” tanya Kania.

“Keluar, di telfon Kevin. Ck,” Selo berdecak. “Ni, lo ngerasa gak sih Karen kaya ngejauhin kita?”

Kania mengangguk, “ngerasa lah, dia emang jadi aneh sih. Karen sekarang jadi lebih dekat sama Ayu juga, apa jangan-jangan dia mau jadi anak nakal?”

“Kok dia temannya sama cewek nakal gitu sih? Tapi, Ni. Serius lo kalo Karen kepilih seleksi itu karena Mas Satya suka sama dia?” tanya Selo, Kania memang sempat menceritakan hal ini pada Selo, Selvi dan Muthia.

“Iya serius, gue tuh bisa liat gimana mata Mas Satya kalo lagi liatin Karen, Lo. Beda banget deh, mana waktu Karen pingsan di lapangan Mas Satya juga yang gendong. Kaya cari perhatian banget gak sih?”

“Lo gapapa, Ni?” Selo mengerengit, memastikan perasaan temannya itu.

“Gak baik-baik aja, tapi seharusnya kalo Karen anggap gue temannya dia tuh gak gitu gak sih? Maksudnya, gak ladenin Mas Satya, toh dia juga udah punya Juna.”

“Nge ladenin?”

“Lo gak tau yah kalo Karen sempet jalan bareng sama Mas Satya? Waktu tim kami menang anak-anak club juga liat kalo Mas Satya sempet mengusap kepala Karen, dan Karen diam aja kaya menikmati, Sumpah yah, gue gak habis pikir sama dia.” Kania melempar handuk yang ada di kepalanya ke kasur dan menghempaskan tubuhnya ke sana.

“Serius, Ni? Ih kok Karen gitu sih?”

“Dia tuh, centil banget. Udah ngambil posisi gue yang harusnya lolos seleksi, nyari perhatian Mas Satya, abis ini tuh apalagi?” nada bicara Kania bergetar, dia ingin menangis agar Selo menganggap ia adalah korbannya.

“Ni.. Ihh jangan nangis dong,” Selo yang tidak tega akhirnya memeluk Kania.

“Gue tuh suka banget sama Mas Satya, Lo. Tapi dia gak pernah liat usaha gue dan malah nanggapin caper nya Karen. Apa-apa Karen, dikit-dikit Karen.”

“Ihhh udah ah jangan nangis, gue di pihak lo kok, gue yakin nanti Mas Satya bisa liat lo, bisa tau kalo lo tuh sayang sama dia,” ucap Selo, yang langsung membuat Kania tersenyum puas.

Rencana Kania memang membuat Karen terlihat buruk di mata teman-temannya, dan membuat dirinya adalah korban dari keserakahan Karen.


Setelah selesai latihan yang terakhir untuk besok tampil, Karen dan Juna enggak langsung kembali ke kamar mereka. Juna mengajak Karen untuk duduk di taman dulu sebentar sembari menikmati kopi yang tadi Juna bikin.

Di depan guest house mereka ada taman kecil untuk bersantai, ada ayunan dan kursi taman. Tapi Karen dan Juna lebih memilih untuk duduk di kursi taman saja.

Beberapa kali Karen mengusapkan tangannya kemudian menempelkannya ke wajahnya, saking dinginnya mereka bicara pun sampai keluar asap dari mulut. Karen juga sudah memakai sarung tangan dan jaket tebal namun masih terasa dingin baginya, Karen itu enggak kuat dingin. Kalau dingin, hidungnya akan otomatis pilek.

“Dingin banget sayang?” tanya Juna.

Karen mengangguk, “kamu gak kedinginan?”

“Dingin tapi yah biasa aja. Mau pake jaket aku lagi atau mau masuk ke dalam? Kayanya anak-anak masih pada ngobrol juga deh.” Juna mengintip ke arah jendela, Kevin, Alifia, Ayu, Fajri, Ryan dan Hadi masih mengobrol di ruang tamu.

“Disini aja, Jun.”

“Yaudah,” Juna tersenyum, cowok kemudian menggosok-gosokan tanganya dengan cepat kemudian ia tempelkan ke wajah Karen hingga wajah gadis itu nyaris tenggelam karena telapak tanganya yang besar.

“Jun, mukaku ketutupan sama tangan kamu.”

“Biarin, tapi jadi gak dingin kan?”

Karen mengangguk, ia tersenyum menatap kedua mata Juna yang teduh itu. Tangan yang diam-diam selalu ia rindukan di masa depan.

“Jun?”

“Hm?”

“Maaf yah, soal yang di bus,” cicit Karen, ia tahu Juna sempat cemburu karena itu. Juna sempat diam aja beberapa saat, setelah mereka akan makan siang di rest area barulah Juna mengajak Karen bicara kembali.

“Gapapa, sayang. Bukan salah kamu, salah aku juga sih karena gak cepat-cepat nangkap kamu, atau biarin kamu jalan duluan. Tapi yang penting kamu enggak jatuh, karena itu bahaya banget.”

“Gapapa, kita semua gak ada yang ngira kalau bus nya bakalan ngerem mendadak.”

Juna mengangguk, “ah, Iya. Soal kamu sama Kania, aku sempat ngobrol sama Syarif.”

Juna pagi ini datang lebih dulu ke sekolah, ia kemudian bertemu dengan Syarif yang juga datang lebih pagi. Juna sempat mengajak Syarif bicara berdua di minimarket sebrang sekolah, dan Syarif jujur soal alasannya menguntit Karen.

“Ngobrol apa?”

“Aku cuma nanya ke dia kenapa dia ikutin kamu, aku enggak berantem kok. Aku juga ngomong baik-baik, dan ternyata dia sama Selvi ngikutin kamu atas suruhan Kania.”

Karen mengangguk, “iya, emang suruhan Kania.”

“Tapi Syarif sama Selvi lakuin itu terpaksa, Ren. Karena mereka punya hutang sama Kania dan belum bisa lunasi hutangnya.”

Karen mengerutkan keningnya, dia kaget bukan main. “Hutang? Maksudnya?”

Juna memendarkan pandanganya, memastikan di taman itu hanya ada dia dan Karen saja. Syarif sudah jujur, dia gak ingin orang lain tahu rahasia ini, Juna sangat menghargai kejujuran Syarif.

“Syarif sama Selvi minjam uang beasiswa nya Kania waktu Syarif gak sengaja nyerempet mobil orang.”

“Hah?” pekik Karen. “Uang beasiswa?”

Juna mengangguk, “syarif belum bisa kembaliin uang itu, makanya dia mau ngelakuin apa aja yang Kania suruh.”

Kania memang mendapat beasiswa dari pemerintah setiap 3 bulan sekali, Karen juga mendapatkannya. Biasanya uang beasiswa akan di transfer ke rekening mereka untuk kebutuhan sekolah dan uang saku. Tapi Kania justru menyalahgunakan uang beasiswa itu.

Karen terdiam, jadi ini alasan Selvi dan Syarif mau melakukan hal ini? Karen baru tau semua alasan itu setelah kembali lagi ke tahun 2015.

“Aku gak ngerti kenapa Kania bisa lakuin hal ini sampai ngomong yang enggak-enggak tentang kamu ke aku tapi, Ren. Aku akan selalu ada di pihak kamu.”

Karen terdiam, seharusnya ia jujur semuanya pada Juna dari awal. Seandainya ia tidak menutupi segalanya dulu, Juna pasti akan berada di pihaknya seperti sekarang ini. Mungkin juga kalau Karen menjelaskan semuanya, hubungannya dengan Juna tidak akan berakhir.

Tanpa Karen sadari, kedua mata gadis itu meneteskan air mata. Karen menangis dan menyesali tindakannya dulu.

“Sayang? Kok nangis?” Juna melepas sarung tangannya, ia mengusap wajah Karen dengan ibu jarinya.

“Seharusnya aku jujur dari awal sama kamu yah, Jun?”

“Gapapa, kalau ada sesuatu yang Kania lakuin ke kamu lagi, kamu bisa cerita sama aku.”

Karen mengangguk, ia tidak merasa sendirian lagi sekarang. Karena masih terus menangis, Juna membawa Karen ke pelukannya dan mengusap-usap punggung kecil gadis itu.

Di sisi lain, Mas Satya dan Pak Rusli yang sedang berkeliling untuk memastikan anak-anak kelas 11 tidak ada yang keluar itu melihat Juna dan Karen yang sedang berpelukan, hanya Mas Satya yang melihat. Sementara Pak Rusli sedang memeriksa guest house kelompok lain.

Mas Satya terdiam, dia tadinya berniat untuk menghampiri keduanya dan menyuruhnya masuk. Namun dari kejauhan Mas Satya melihat Karen sedang menangis dan Juna yang terlihat sedang menenangkannya, Akhirnya ia urungkan niatnya itu.

“Tinggal guest house sebelah,” ucap Pak Rusli hendak akan berjalan ke guest house selanjutnya.

“Ah, Pak. Sebelah udah saya periksa, anak-anak sudah di dalam semua kok. Memang belum pada tidur, tapi mereka enggak ada yang keluar kok,” ucap Mas Satya untuk mengalihkan Pak Rusli agar tidak memeriksa guest house yang di tempati Karen.

“Ohh gitu, udah di cek semua tapi kan, Sat?”

“Beres, Pak. Aman kok. Kita bisa langsung balik buat istirahat.”

To Be Continue