Sesuatu Yang Tidak Dapat Di Ubah

Karena memutuskan untuk izin tidak bersekolah hari ini, akhirnya Karen memaksa Mas Kara untuk ke rumah sakit. Tadinya, Mas Kara enggak mau. Tapi Karen benar-benar merajuk agar Mas Kara mau memeriksakan keadaanya ke Dokter. Untungnya Mas Kara luluh dan mau mengikuti saran dari Karen.

Dan disinilah Kakak beradik itu sekarang, di ruang tunggu poli umum rumah sakit universitas Prasmulya. Hari ini pasien di poli umum lumayan ramai, Mas Kara itu agak tidak sabaran kalau soal berobat. Ini sudah terhitung 3 kali Mas Kara mengatakan ia ingin pulang.

“Antrean nya masih panjang, Ren. Bisa selesai jam berapa ini,” keluh Mas Kara lagi. Jujur saja, Karen ingin sekali menyumpal mulut Mas Kara agar setidaknya diam.

“Ya kan yang berobat bukan Mas Kara aja, sabar dong. Ini sisa 10 antrean lagi nanti nama Mas Kara juga di panggil.”

Karen cemberut, sembari membalas satu persatu pesan dari teman sekolahnya yang bertanya kenapa ia tidak masuk, Karen juga membalas pesan dari Mas Satya yang masih menanyakan keputusannya.

Karen masih mempertimbangkan untuk kembali ke club, seandainya ia kembali, ia juga harus siap menghadapo kemarahan Pak Yasir karena ia mangkir dari latihan.

“KAREN!” panggil seseorang yang membuat Karen menoleh ke arah sumber suara itu.

Ternyata itu Juna, cowok itu memang di rawat di rumah sakit ini. Juna sudah lebih baik, meski ia masih harus menggunakan kruk sebagai penyanggahnya untuk berjalan. Tadi, Karen memang mengabari Juna jika ia ada di rumah sakit untuk menemani Mas Kara berobat, makanya Juna menyusul demi menemui Karen dan juga Mas Kara.

Karen berdiri, ia menghampiri Juna dan membantu cowok itu berjalan. Juna ingin menghampiri Mas Kara, begitu sampai di kursi Mas Kara, cowok itu menyalami Mas Kara dan tersenyum. Juna dan Mas Kara sudah saling kenal, Karen yang menengenalkanya.

Karen dan Kevin itu terbuka sekali soal hubungan asmaranya dengan Mas Kara, dan beruntungnya Mas Kara mendukung dengan catatan mereka harus tetap fokus belajar.

“Mas, apa kabar?” tanya Juna.

“Lagi kurang sehat, Jun. Ah iya, gimana kakimu?”

Juna duduk di sebelah Mas Kara, ia memperhatikan kakinya yang masih di balut perban itu. Masih terasa sedikit ngilu, tapi Juna bosan berada di kamar. Lagi pula, Dokter juga menyuruh Juna untuk berlatih berjalan mengenakan kruk. Benda itu yang nantinya akan menemaninya selama pengobatan.

Mungkin akan memakan waktu lama bagi Juna untuk terus mengenakan kruk, walau masih belum terbiasa. Tapi Juna akan terus mencobanya sampai ia setidaknya terbiasa dengan benda itu.

“Yah udah lumayan sih, Mas. Walau masih suka ngilu, penyembuhannya agak makan waktu,” Juna terkekeh. “Mas Kara sendiri gimana? Kata Karen, Mas Kara sakit?”

Mas Kara menghela nafasnya pelan, ia melirik Adik perempuannya itu kemudian tersenyum kikuk.

“Cuma sembelit aja, tapi Karen ini khawatir banget. Dia sampai gak masuk sekolah demi bujuk Mas buat periksa, Jun.”

“Ya gapapa, Mas. Jangan remehin penyakit, Mas. Lebih baik langsung segera di obati sebelum makin parah.”

Mas Kara mengangguk, “kamu kapan bisa pulang, Jun?”

“Kemungkinan 2 hari lagi, Mas. Juna nunggu jahitanya di buka dan pemeriksaan lebih lanjut dari Dokter ortopedi,” jelas Juna.

“Atas nama Tuan Karasaka Budhihartono.”

Seorang perawat memanggil nama Mas Kara dan itu sontak membuat Mas Kara dan Karen menoleh secara bersamaan, ini sudah saatnya Mas Kara masuk ke ruang pemeriksaan.

“Biar Mas masuk sendiri aja ya?” ucap Mas Kara.

“Gak, pokoknya Karen harus ikut. Kenapa sih? Karen kan mau tau kondisi Mas Kara.”

“Kamu di sini aja nemenin Juna—”

“Gapapa, Mas. Karen biar ikut aja, Juna nunggu di sini.”

Mau enggak mau akhirnya Mas Kara mengangguk, mereka pun akhirnya masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Selama pemeriksaan Karen beberapa kali melihat Mas Kara sempat merintih ketika Dokter sedikit menekan bagian perutnya untuk di periksa.

“Ini usus buntu, Mas. Harus segera di operasi ini kalau enggak nanti bisa makin parah,” ucap Dokter Helmi yang memeriksa Mas kara.

Karen sebenarnya udah enggak kaget sama hal ini, dan ketika Dokter Helmi menjelaskan perihal operasi yang akan Mas Kara jalani. Karen jadi menyadari sesuatu, bahwa ada hal yang tidak bisa di ubah namun bisa ia perbaiki. Salah satunya adalah mengetahui tentang penyakit Mas Kara lebih dulu.

Mungkin, kali ini juga dia gak bisa menghindari bahwasanya ia harus tetap menjadi perwakilan dari SMA Orion. Tapi di sisi lain, ia bisa mencegah dan meluruskan hal-hal yang akan menimbulkan rumor mengenai dirinya.

Kali ini, dia enggak boleh kalah sama keadaan. Dan kali ini juga, Karen enggak boleh membuat Kania merasa menang atas apa yang ia lakukan padanya.

Hari itu juga, Mas Kara masuk ruang rawat inap. Besok pagi, Mas Kara akan segera di operasi. Karen juga sudah mengabari Kevin jika sudah pulang sekolah cowok itu harus segera ke rumah sakit untuk bergantian menjaga Mas Kara.

Setelah di pindahkan ke ruang rawat, Karen izin ke kantin sebentar sama Mas Kara karena ini sudah jam makan siang. Perutnya juga sudah terasa lapar, Juna juga seharian ini ikut dengannya. Cowok itu sudah enggak di infus makanya Juna bisa berjalan-jalan ke sana kemari, cowok itu juga bilang kalau hari ini Bapak dan Ibu nya sedang sibuk di restoran dan baru bisa menjenguknya malam hari.

“Oh iya,” Karen mengeluarkan catatan miliknya yang memang sengaja ia bawa. “Ini buku catatan punyaku, geografi, sosiologi sama matematika.”

“Ren, belajarnya sekarang banget?” tanya Juna memelas, ia memang minta di ajari oleh Karen. Tapi apa harus sekarang juga?

“Enggak, itu aku suruh kamu seenggaknya baca-baca, Jun. Atau kamu catat juga boleh. Guru mata pelajaran geografi, sosiologi sama matematika kita kan sama otomatis materi yang di kasih pasti sama, jadi aku cuma bisa kasih catatan itu supaya kamu enggak ketinggalan pelajaran. Sisanya nanti aku minta sama Bella yah, dia kan teman sekelas kamu. Atau kamu mau aku mintain sama Hadi?”

“Sama Bella aja, nanti kalo kamu minta sama Hadi dan dia tau itu buat aku, aku bisa di ketawain sama dia.”

“Kenapa? Kok di ketawain?” tanya Karen.

“Yah, dia pasti anggap aku ini aneh karna tiba-tiba belajar. Udah yah, mintain sama Bella aja.”

Saking jarang mengikuti jam pelajaran, Juna sampai takut temannya itu meledeknya. Juna baru akan mengikuti kegiatan belajar di kelas jika tidak ada pertandingan apa-apa saja. Sisa nya? Ia lebih banyak di lapangan basket untuk berlatih.

Karen hanya mendengus, namun akhirnya dia mengangguk pelan.

“Oh iya, Jun. Kemarin malam, Mas Satya ke rumahku.”

“Satya? Ngapain?” tanya Juna, Juna memang agak tidak bersahabat kalau sudah menyinggung Mas Satya, Juna suka cemburu kalau Mas Satya dekat-dekat sama Karen.

“Jun.. Mas Satya,” ucap Karen memperingati, dia enggak mau Juna jadi enggak sopan. Biar bagaimana pun juga Mas Satya itu senior mereka.

“Iya, iya maaf.”

“Dia minta aku bua pertimbangin lagi soal keputusan aku buat mundur dari seleksi sama club,” jelas Karen, ia kepikiran untuk menuruti keinginan Mas Satya, apalagi saat mengingat Mas Kara sakit.

Ada hadiah yang yayasan sekolah janjikan jika tim bisa membawa kembali piala bergilir itu, uang tunai sebesar 5 juta untuk tim mereka. Jika Karen menang, uang itu bisa dia pakai untuk melunasi biaya study tour dan ongkos nya. Jadi, uang Mas Kara untuk melunasi biaya study tour bisa Mas Kara gunakan untuk biaya pengobatanya.

“Terus gimana? Apa keputusan kamu berubah?”

Karen menghela nafasnya pelan, jus jeruk dan pecel ayam di depannya itu sudah tidak kelihatan menggiurkan lagi sekarang. Karen sibuk memikirkan apa keputusannya saat ini sudah tepat atau belum.

“Kayanya aku mau tetap maju, Jun. Seenggaknya aku harus bisa balikin piala itu ke sekolah.”

Juna mengangguk, ia senang dengarnya. Karen nya yang ambis untuk selalu menang itu telah kembali.

“Selain itu, hadiah dari lomba itu juga lumayan kalau aku menang. Hadiahnya bisa buat biaya aku lunasin cicilan study tour dan uang jajan aku sama Kevin.”

“Tunggu.. Hadiah?” Juna mengerutkan keningnya bingung, dia enggak tahu kalau lomba ini ada hadiahnya.

“Um,” Karen mengangguk. “Pemilik yayasan yang kasih hadiahnya kalau tim kami berhasil bawa kembali piala bergilir itu.”

“Bagus dong, sayang? Kalo gitu aku bakalan dukung kamu!” ucap Juna penuh semangat.

“Beneran?”

Juna mengangguk, “kenapa gak? Pacarku ini hebat banget, menang atau enggak nya kamu nanti. Kamu tetap Karen pacar Juna yang hebat.”

“Tapi kalau aku gak menang gimana, Jun?”

“Gapapa, kalau ini karna hadiah. Nanti aku yang kasih kamu hadiah karena semua usaha kamu.”

Karen tersenyum, Juna memang paling bisa membuatnya tenang. Cowok itu selalu mendukungnya dan membuatnya merasa kalau ada seseorang yang memihaknya.

To Be Continue