Sesuatu Yang Tidak Dapat Di Ubah O4

Untuk terakhir kalinya, Ren. Saya minta bantuan kamu buat bawa kembali piala itu. Setelah itu saya janji gak akan menahan kamu kalau kamu memang mau fokus sama akademik kamu.

Kata-kata Mas Satya terus berputar di kepala Karen belakangan ini, Karen belum kembali berlatih. Dia masih bimbang untuk melanjutkannya atau tidak, tapi kalau boleh jujur, Karen tidak enak karena Mas Satya begitu memohon padanya, dia bilang juga ini untuk terakhir kalinya kan? Pikir Karen.

“Haa...” gadis itu menghela nafasnya pelan.

“Apa kalau gue tetap masuk seleksi, di masa depan semuanya bakalan berakhir sama?” gumam Karen, gadis yang sudah rapih dengan seragam sekolahnya itu jadi termenung kembali di depan cermin.

“Atau kalau memang rumor itu di buat, gue harus buktiin kalau gue enggak bersalah? Gue harus berani kali ini kan? Gue udah tau kaya apa hidup gue di masa depan, harusnya gue bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang udah gue alami, iya kan?”

“KARENNNNNNNN,” teriak Kevin dari depan pintu kamar Karen, teriakan Kevin itu membuat lamunan Karen jadi buyar.

“Iya sebentar,” ucapnya.

Karen akhirnya mengambil tas miliknya dan bergegas keluar dari dalam kamarnya, Karen enggak membuat sarapan hari ini. Semalam Mas Kara bilang kalau dia shift siang, jadi pagi ini Mas Kara yang membuat sarapan.

Mas Kara itu kerja di restoran Mandarin. tadinya, jabatannya hanya sebagai waitress, namun karena kerja Mas Kara baik dan lelaki itu memiliki disiplin yang tinggi. Atasan Mas Kara menaikan jabatannya menjadi leader, waktu itu Mas Kara senang banget menceritakannya.

Dia juga bilang kalau gajinya naik, bahkan atasan Mas Kara itu bilang jika dalam satu tahun ini kinerjanya tidak menurun dan rating restoran tetap stabil, atasannya itu akan mempromosikan Mas Kara sebagai supervisior. Bahkan, Mas Kara sempat di tawari untuk kuliah. Makannya Mas Kara berusaha untuk mempertahankan itu semua.

“Mas, Buk Rosa udah nanya ke Kevin kapan Kevin mau lunasin uang cicilan study tour, Mas Kara kira-kira mau lunasinya kapan, Mas?” tanya Kevin.

Karen yang hendak menyantap sarapannya itu jadi menoleh ke arah Mas Kara, laki-laki itu tampak bingung, tapi Mas Kara berusaha untuk tetap bersikap tenang di depan Adik-Adiknya.

“Waktu kalian berangkat tinggal berapa hari lagi sih?” tanya Mas Kara.

“Tinggal 20 hari lagi, Mas.”

Mas Kara mengangguk pelan, kemudian secercah senyum hadir di wajahnya. “Nanti Mas usahain minggu ini Mas lunasin semua yah.”

Kevin hanya mengangguk, ia kemudian menyantap nasi goreng buatan Mas Kara itu dengan lahap, sementara Karen, ia hanya termenung di kursinya sembari memperhatikan Mas Kara yang kini nampak tidak nafsu lagi dengan sarapannya.

Di masa depan, Karen baru mengetahui betapa Mas Kara bekerja keras hingga mencari sampingan sebagai antar jemput anak SD demi bisa membayar biaya sekolah Karen dan Kevin. Mas Kara juga enggak pernah ngeluh dan cerita sama apa yang dia rasain selama ini.

Mas Kara benar-benar pengganti orang tua bagi Karen dan Kevin, bahkan Mas Kara sempat enggak kepikiran menikah. Dulu, Mas Kara bilang kalau dia baru mau menikah jika Adik-Adiknya sudah lulus kuliah.

“Ren? Kok gak di makan?” tanya Mas Kara, laki-laki itu membuyarkan lamunan Karen tentang Mas Kara di masa depan.

“Um,” Karen hanya mengangguk.

Sebelum berangkat, Karen sempat memperhatikan Mas Kara yang tengah mencuci motornya di teras rumah mereka. Karen baru sadar kalau wajah Mas Kara itu agak sedikit pucat, dan kali ini Karen baru ingat. Jika dulu, Mas Kara memang sempat masuk rumah sakit karena usus buntu. Mas Kara sempat di operasi.

Dan bisa-bisanya Mas Kara enggak cerita ke Karen dan Kevin, itu pun Karen tahu Mas Kara operasi setelah Karen dan Kevin pulang dari Dieng dan Jogja. Waktu itu, Mas Kara izin tidak bekerja karena luka bekas operasinya sedikit bengkak.

“Kev, sebentar yah,” ucap Karen, ia memberikan helm miliknya ke Kevin kemudian kembali dan menghampiri Mas Kara.

“Ren, mau ngapain? Cepetan udah mau setengah tujuh nih.”

Karen enggak menjawab ucapan Kevin, ia justru buru-buru menghampiri Mas Kara yang kini tengah memegangi perut nya sembari jongkok.

“Mas?” panggil Karen yang membuat Mas Kara menoleh ke arahnya.

“Hm? Ada apa, Ren?”

“Mas sakit?”

“Eng..gak,” Mas Kara menggeleng. Namun matanya menangkap mata Karen yang tengah melihat ke arah tangannya yang ia taruh di atas perutnya sendiri. “Hm, ini Mas Kara agak sembelit, mules gitu. Kayanya kurang makan sayur.”

“Kita ke Dokter aja yuk, Mas?”

“Gak usah, Mas tuh emang akhir-akhir ini susah buang air besar, Ren. Udah sana gih kamu berangkat, nanti terlambat gimana?”

“Tapi Mas Kara sakit,” Karen benar-benar khawatir sama Mas Kara, apalagi saat peluhnya menetes dari kepala hingga dagunya. Seperti laki-laki itu tengah menahan rasa sakitnya untuk tetap terlihat baik-baik saja.

“Ren, Mas gapapa—”

“Mas Kara tuh sakit!! Ini tuh usus buntu kalau gak di tangani nanti bisa pecah gimana?! Kalau makin parah gimana? Apa susahnya sih bilang kalau sakit? Apa susahnya cerita kalau Mas Kara kesulitan? Kita ini keluarga!!” sentak Karen, ia juga menangis. Karen jadi benar-benar sensitif pagi ini.

Ini semua karena Karen ingat, betapa ia merasa menjadi Adik yang buruk untuk Mas Kara karena tidak tahu waktu Mas Kara sakit. Waktu itu, setelah operasi Mas Kara tidak ada yang menemani di ruang rawat. Semua ia lakukan sendiri, bahkan setelah pulang dari rumah sakit, Mas Kara kembali bekerja seolah-olah sakitnya bukan apa-apa baginya.

“Usus buntu?” ucap Kevin, entah sejak kapan Kevin sudah ada di belakang Karen.

“Kamu tahu dari mana kalau ini usus buntu, Ren? Mas cuma sembelit.”

Karen yang masih menangis itu jadi terlihat nampak bingung, bahu kecilnya naik turun menahan tangisnya sendiri.

“Pp..pokoknya Mas Kara harus periksa ini ke Dokter!” setelah bicara seperti itu. Karen masuk ke dalam rumahnya. Ia sudah memutuskan untuk tidak masuk sekolah demi mengantar Mas Kara ke Dokter hari ini.

“Mas? Karen tuh kenapa sih?” tanya Kevin.

Mas Kara hanya menggeleng kepalanya pelan, ia sendiri juga bingung dengan sikap Karen pagi ini.

“Kamu cepetan berangkat gih, biar Karen Mas yang ngurus.”

Kevin mengangguk, tapi dia jadi kepikiran sama ucapan Karen barusan. “Tapi bener apa yang di bilang Karen kalau Mas Kara sakit usus buntu?”

Mas Kara hanya diam, ia meremas selang yang tadi ia pakai untuk mencuci motornya itu. Ia sendiri enggak tahu dia sakit apa, Mas Kara belum memeriksakan perihal sakit perutnya ini ke Dokter. Selain belum sempat, Mas Kara mikir kalau uang yang ia pakai untuk pergi ke Dokter bisa di gunakan untuk tambah-tambah biaya Karen dan Kevin study tour.

“Mas cuma sembelit aja, Kev.”


“Wid, Karen kemana?” tanya Emilly.

Widya yang juga enggak tahu Karen kemana itu hanya mengangkat bahunya dengan bingung, pasal nya Karen enggak mengiriminya pesan apa-apa kalau dia enggak masuk hari ini.

Biasanya, jika Karen enggak masuk, Karen akan mengirimi Widya pesan. Tapi hari ini Karen enggak mengiriminya pesan apapun.

“Enggak tahu, Mil.”

Emilly hanya mengangguk pelan, Emilly itu sekertaris di kelas. Tugasnya setiap pagi memang menulis di buku absen setiap siswa yang hadir dan tidak masuk.

“Fia, kemana tuh calon Adik ipar elo gak masuk masa enggak tahu?” ledek Kania pada Alifia.

Sekelas itu sudah tau betapa bucinnya Kevin dan Alifia, bahkan sampai ada yang meledeknya dan memanggil keduanya dengan sebutan pasutri. Kevin dan Alifia juga kerap menjadi bahan ledekan guru-guru.

“Mana gue tau, Kevin aja enggak bilang ke gue,” ucap Alifia.

Kania hanya menyeringai saja, akhir-akhir ini Kania merasa senang melihat Karen enggak latihan lagi. Bahkan di club Karen kerap menjadi buah bibir, terutama sama Mas Dito yang mulai menyinggung kedisiplinan Karen.

Semua anak-anak club sudah tahu kalau Karen bolos latihan demi menemani Juna di rumah sakit, bahkan Pak Yasir juga sudah tahu hal ini. Itu artinya Kania akan dengan mudah menyingkirkan Karen dari seleksi perlombaan ini.

“Karen tuh udah berapa hari enggak ikut latihan deh?” tanya Muthia tiba-tiba.

“Sekitar 5 harian, parahnya dia tuh malah ketahuan jenguk Juna,” jawab Kania.

“Hah? Jenguk Juna? Tau dari mana lo?” pekik Selvi.

“Dari postingan Instagram nya Arino,” Kania menunjukan ponselnya yang menampilkan postingan Arino tempo hari dan ia tunjukkan ke teman-temannya.

“Ih kok parah banget sih? Demi cowok doang.” gumam Muthia.

“Ya emang kalo lo punya cowok terus cowok lo sakit lo gak akan jenguk dia apa, Mut?” tanya Selo.

Muthia yang di tanya begitu hanya mendengus pelan. “Ya jenguk, tapi gue juga enggak akan bela-belain bolos latihan demi jenguk, kaya enggak ada waktu lain aja. Pacaran tuh boleh, tapi kudu ngerti yang mana yang harus lebih di prioritasin.”

“Dengerin tuh, Lo. lo sih bucin mampus sama Kak Anwar. Kaya dia bucinin lo balik aja,” ledek Selvi yang akhirnya mengundang gelak tawa Kania dan Muthia.

“Dih, biarin. Lagian Kak Anwar itu tipe cowok yang gak bisa nunjukin bucinnya depan orang banyak.”

“Serah lo deh ya.”

“Eh berarti kalo gini caranya Karen bisa di tendang dari seleksi gak sih, Ni?” tanya Muthia.

“Ya, bisa aja. Ini aja kalau dia masuk tuh bakalan di panggil ke ruangan club sama Pak Yasir.”

“Kalo Karen di keluarin, udah sih fix ini elo bakalan yang wakilin SMA Orion!!” pekik Selvi.

Kania hanya senyum-senyum masam saja, dia juga berharap Pak Yasir akan segera membuat keputusan kalau Karen akan segera di keluarkan dari seleksi perlombaan.

“Nanti makin klepek-klepek deh Mas Satya sama Kania,” ledek Selo.

Mereka itu tahu kalau Kania naksir sama Mas Satya. Di mata Kania, Selo, Selvi dan Muthia juga Mas Satya itu adalah cowok keren, pintar dan tampak dingin. Seperti cowok-cowok yang susah di taklukan, makanya waktu Kania bilang dia naksir Mas Satya teman-temannya itu langsung mendukungnya habis-habisan.

Mereka ingin Kania menjadi satu-satunya gadis di sekolah yang berhasil menaklukan Mas Satya.

“Apaan sih lo, ngaco deh.”

“Tapi seneng kan kalo akhirnya Mas Satya klepek-klepek?” tanya Muthia sembari menaik turunkan alisnya.

“Ya.. Iya sih,” cicit Kania.

“YEEEYYYYY MALU-MALU KUCING LO!” pekik Muthia, Selo dan Selvi bersamaan.