Takdir Sudah Berubah?

Begitu bus yang mengarah ke rumah Karen itu melaju, Juna langsung kembali lagi masuk ke dalam sekolah. Kalau tidak salah, tadi dia melihat Satya masih berada di sekolah. Cowok itu meninggalkan motornya di parkiran sekolah.

Tidak sulit menemukan Satya ternyata, begitu kakinya menginjakan lapangan parkir sekolah. Ia sudah menemukan Satya yang sedang menaruh tas miliknya di motornya dan akan hendak pulang, buru-buru lah Juna menahan cowok itu. Seperti janjinya pada Karen, Juna akan minta maaf pada Satya karena sudah memukul cowok itu.

Waktu Juna tiba-tiba berada di depan motornya, Satya agak sedikit kaget. Dia pikir Juna sudah pulang, wajah cowok itu masam, laki-laki yang lebih tua itu mendengus dan turun dari atas motornya.

“Mau ngajak gue ribut lagi?” tanya Satya santai, dia sama sekali enggak terintimidasi sama keberadaan Juna di depan motornya.

“Gue mau ngomong sama lo, tapi enggak disini,” ucap Juna.

“Soal apa?”

“Gak disini gue bilang kan..” Juna mendengus.

Satya menghela nafasnya pelan, ia sudah lelah karena perjalanan panjang mereka dari Jogja ke Jakarta dan sekarang ia harus di hadapkan oleh Juna. Tapi pada akhirnya Satya mengikuti Juna juga, ia mengekori cowok itu ke sebuah cafe yang berada tepat di samping sekolah.

Mereka berdua duduk di pojok dekat dengan kaca besar yang memaparkan jalanan yang sibuk di pagi hari, iya. Mereka sampai Jakarta pagi hari. masih hari Jumat dan jalanan masih agak sedikit padat karena ini baru jam 8 pagi.

“Mau ngomong apa?” tanya Satya to the point.

“Gue mau minta maaf soal kemarin.” meski setengah hati, tapi Juna tetap minta maaf. Ini semua demi Karen. Karena Karen yang memintanya, sejujurnya Juna masih kesal jika mengingat Satya harus menyatakan perasaanya dengan Karen. Ia merasa tidak di hargai.

Satya mendengus, laki-laki itu meminum segelas americano yang tadi ia pesan. Kemudian menatap Juna dengan pandangan kesalnya.

“Gue gak yakin lo benar-benar ngerasa bersalah.”

Juna mengangguk, “setidaknya gue minta maaf karena udah ngelakuin kesalahan, dari pada bersikap sok benar padahal hampir ngerebut cewek orang.”

“Gue enggak pernah ngerebut Karen.”

Juna hampir saja terkekeh, bagaimana bisa Satya enggak mengakui perbuatanya? Padahal laki-laki itu sudah terang-terangan mendekati Karen, bahkan beberapa anak club sudah mengetahuinya. Satya terlalu menunjukan ketertarikannya pada Karen di saat Karen sudah memiliki pacar. Juna yakin, jika ia dan Karen putus Satya akan langsung meminta Karen menjadi pacarnya.

“Bukan enggak, tapi belum. Oh, hampir deh lebih tepatnya,” jelas Juna.

“Gue emang suka sama Karen, tapi enggak ada sedikit pun niatan gue buat ngerebut dia dari lo, Jun. Gue tau dia sayangnya cuma sama lo.”

Itu memang sebuah pengakuan dari mulut Satya, dia hanya ingin melindungi Karen. Satya tahu soal Kania yang diam-diam menjelakkan Karen di belakangnya, makanya Satya berusaha melindungi Karen.

“Terus kenapa lo masih deketin dia? Lo bahkan nyatain perasaan lo ke dia, Sat.”

“Oke, gue emang salah udah dekatin dia. Tapi soal kejadian di taman itu. Gue ngerasa emang harus ngomong itu ke Karen supaya gue bisa berdamai sama keadaan. Gue gak pernah minta dia jadi cewek gue, Jun. Setelah ini gue juga akan keluar dari sekolah supaya gue gak bisa liat dia lagi apalagi dekat-dekat sama dia,” jelas Satya. Dia bersungguh-sungguh untuk keluar dari sekolah setelah ini, bahkan besok rencananya Satya akan menyiapkan surat pengunduran dirinya.

“Gue minta maaf,” lanjut Satya. Dia ngerasa harus minta maaf juga pada Juna karena sudah mendekati Karen. “Karena udah dekatin Karen. Gue harap setelah ini kita bisa damai, gue enggak mau punya musuh, Jun.”

“Gue gak pernah menganggap lo musuh, Sat.”

Kedua nya sempat saling berdiam diri beberapa menit, seperti sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Satya duluan yang berbicara, memecah hening di antara mereka.

“Maaf juga, karena udah mikir kalo lo mau rebut Karen dari gue, buat balas dendam ke gue.”

Satya menggeleng pelan, “gue gak pernah berniat balas dendam sama adek gue sendiri. Gue gak pernah menilai elo dan Ibu lo salah, Jun. Kalian enggak salah.”

Juna mengangguk, lega mendengarnya. Seperti bongkahan es di antara mereka telah mencair. Satya dan Juna memang kakak beradik, ah, lebih tepatnya mereka satu Ayah. Dulu, Bapaknya Juna menikah dengan Ibu nya Satya. Satya adalah anak pertama Bapak. Namun setelah Satya lahir, Ibu nya Satya ketahuan selingkuh mereka bercerai dan Bapak menikah lagi dengan Ibu nya Juna.

Satya sempat salah mengira jika Bapak tidak mau bertanggung jawab, Ibu nya pernah bercerita kalau Bapak selingkuh dan menikah lagi. Waktu itu Satya marah banget waktu tau Bapak memiliki anak lagi, Satya yang waktu itu masih muda cemburu dengan Juna yang begitu beruntung di sayangi oleh Bapak.

Namun lambat laun, Bapak menjelaskan semua ke Satya tentang perselingkuhan Ibunya termasuk tentang nafkah yang Bapak kasih ke Ibunya untuk Satya, Ibu dulu cerita kalau Bapak enggak pernah memberi Satya nafkah sedikit pun.

Waktu itu Satya kaget, dia marah banget ke Ibu nya dan memilih tinggal bersama neneknya. Satya pernah di bawa Bapak ke rumah untuk tinggal bersama nya, tapi Satya terlanjur cemburu dengan kehadiran Juna. Juna selama ini tinggal bersama Bapak dan Ibu nya yang baik, di dalam rumah yang hangat seperti yang di idam-idamkan oleh Satya.

“Pulang, Mas. Bapak sering nanyain Mas Satya sama Juna,” ucap Juna ketika Satya berdiri dan hendak pergi dari cafe itu.

Satya sempat termenung beberapa saat, ia menunduk dan meremas tas nya. Juna berhasil menemukan ruangan yang selama ini kosong di hatinya, ia merindukan Bapak. Satya sudah enggak marah sama Bapak, tapi Satya sudah kepalang malu karena sudah menuduh Bapak berselingkuh dan tidak mau menafkahinya hanya karena cerita dari Ibunya.

Satya hanya mengangguk, “salam buat Bapak.”

Begitu mengatakan itu, Satya langsung pergi dan keluar dari cafe. Sementara Juna masih duduk dan melihat Satya berjalan kembali masuk ke gerbang sekolah untuk mengambil motornya.


“Karen!!”

Panggil seseorang yang membuat Karen dan Kevin menoleh. Ternyata itu adalah Anwar, pacarnya Selo. Rumah cowok itu memang masih satu arah dengan rumah Karen, kebetulan bus yang di tumpangi Karen dan Kevin memang berhenti di halte depan gang rumah Anwar.

Cowok itu sedikit berlari untuk menghampiri Karen, Anwar masih memakai celemek yang biasa ia kenakan saat bekerja. Keluarga Anwar itu punya kedai ice cream, dan Anwar bekerja di sana untuk tambah-tambah uang jajannya, Kebetulan saat kedai sepi Karen lewat makanya Anwar memanggilnya.

“Kak Anwar, ada apa?” tanya Karen.

“Bisa ngobrol sebentar gak?”

Karen melirik ke arah Kevin, adik kembarnya itu mengangguk dan mengambil alih tas milik Karen berserta paper bag yang ia bawa.

“Aku balik duluan yah, Ren.” Kevin pamit dan melanjutkan perjalananya ke rumah.

Sementara itu, Karen ikut mengekori Anwar masuk ke dalam kedai yang sedang di jaganya. Anwar sempat menawari Karen ice cream namun Karen menolaknya, dia mau langsung makan-makanan berat saja. Apalagi Mas Kara sudah bilang kalau ia masak nasi liwet hari ini.

“Mau ngomong apa, Kak?” tanya Karen.

“Aku ambil sesuatu dulu sebentar yah.”

Anwar meninggalkan Karen sebentar di kursinya, sementara ia masuk ke ruangan di belakang meja kasir dan kembali lagi setelahnya. Cowok itu membawa sebuah paper bag yang entah apa isinya kemudian menyerahkannya ke Karen.

“Ini untuk Selo,” ucapnya.

“Kenapa enggak di kasihin sendiri aja? Kenapa harus Karen yang kasih?” tanya Karen bingung, dia gak mau Selo salah sangka. Seingat Karen, kejadian ini tidak ada. Atau ia memang melupakan bagian ini?

“Aku sama Selo udah putus, kemarin. Selo enggak mau ngomong sama aku lagi, jadi aku gak bisa kasihin hadiah itu ke dia secara langsung. Tolong yah, Ren. Kamu kan temannya.” Selo sama Karen memang dekat mereka dari kelas 10 sudah sebangku, tapi tiba-tiba saja Selo menjauh dari Karen dan lebih dekat ke Kania. Entah karena apa, bahkan Selo juga pindah tempat duduk dan memilih duduk bersama Kania. Sementara Karen akhirnya duduk dengan Widya.

“Aku sama Selo gak bisa lanjut, Ren. Harusnya memang kita enggak pernah bersama.”

“Kenapa?” Karen cuma penasaran, kenapa Anwar mengatakan itu. Padahal dulu Anwar yang gencar mendekati Selo. Bahkan Anwar menyatakan perasaanya pada Selo di tengah lapangan saat ia sedang latihan futsal.

“Karena aku sama Selo beda keyakinan,” lanjutnya. “Aku gak mau semuanya semakin dalam dan berujung bikin luka yang lebih parah dari ini.”

Karen mengangguk paham, ternyata ini alasan di balik Selo dan Anwar akhirnya berpisah.

“Selo lupa sama kenyataan ini kayanya, dia cuma tau kalo aku selingkuh waktu liat postingan di instagram aku. Aku emang upload foto sama cewek, tapi itu sepupuku. Soal alasan ini, jangan kasih tau dia yah, Ren. Biarin dia mengingat aku sebagai mantan pacarnya yang brengsek. Aku harap dia bisa cepat lupa kalau benci sama aku.”

Waktu Selo bilang Anwar selingkuh, Anwar emang enggak melakukan pembelaan apa-apa. Dia malah jadiin kesempatan itu untuk putus sama Selo, menurutnya akan lebih baik jika Selo membencinya. Ia berharap dengan begitu Selo akan segera melupakannya, di banding Anwar harus jujur soal kenyataan kalau mereka berbeda.

*To Be Continue**