Takdir Sudah Berubah? 12

Setelah dari Candi Borobudur, malamnya mereka mampir ke Malioboro. Ini kesempatan guru-guru untuk membeli oleh-oleh yang akan mereka bawa pulang, tapi sebagian murid-murid yang lain juga ikut membeli oleh-oleh. Di luar agak sedikit gerimis, banyak dari mereka yang keluar mengenakan jaket untuk menutupi kepala atau bahkan membeli payung.

Namun Karen memilih untuk tetap berada di dalam bus, yang paling ia ingat dari study tour nya di masa lalu itu adalah hanya ia sendiri yang berada di dalam bus. Waktu itu Karen beralasan tidak mau turun dan berjalan-jalan di sekitaran Malioboro karna kepalanya pusing, padahal yang sebenarnya itu karena ia tidak memiliki uang lagi untuk membeli oleh-oleh.

Uang terakhirnya hanya akan cukup untuk ia pakai pulang bersama Kevin. Karen juga ingat, Juna turun bersama teman-temannya, dan kemudian kembali membawakan cilok dan juga bapia sebagai oleh-oleh untuk Mas Kara. Apa kali ini kejadiannya akan sama persis seperti itu juga?

“Sayang? Turun yuk, anak-anak yang lain pada turun,” ucap Juna, setelah cowok itu mengambil jaket miliknya yang berada di tas.

“Aku kayanya enggak turun, Jun.”

“Kenapa?”

Karen hanya diam, kalau ia beralasan kepalanya pusing, Juna pasti akan khawatir dan Kevin pasti akan tahu juga. Kevin sudah turun lebih dulu, dia enggak pergi jauh dari bus berhenti. Hanya makan bakso saja bersama Alifia. Karen enggak mau merusak suasana dengan mereka mengkhawatirkannya.

“Hujan, Jun.” alibi Karen.

“Pake jaket aku.” Juna mengeluarkan jaket miliknya. “Ini kotor, gapapa kalau di hujan-hujanin, yuk. Dari pada di bus aja.”

Karen mengulum bibirnya, ia tampak menimang-nimang ajakan Juna. Sampai akhirnya ia mengangguk mengiyakan ajakan itu, mereka akhirnya keluar dengan Juna yang menutup kepala Karen dengan jaket miliknya. Sementara Juna hanya mengenakan tudung hoodie yang ia pakai dan topi saja.

Juna juga enggak lupa menggandeng tangan Karen, mereka jalan agak sedikit jauh untuk sampai ke Malioboro. namun, sialnya hujan jadi agak sedikit kencang, membuat Juna menggandeng Karen semakin erat dan memilih berteduh di sebuah ruko yang sudah tutup.

“Kamu mau makan lagi gak sayang?” Juna menunjuk ke penjual gudeg yang tidak jauh dari tempat mereka meneduh. “Ada penjual gudeg, kamu suka gudeg gak?”

Karen hanya diam saja, sungguh. Ia juga agak sedikit lapar, tapi bagaimana mengatakan pada Juna kalau uang miliknya hanya cukup untuk ongkosnya pulang bersama Kevin.

“Dim, aku—”

“Kita makan aja yah, biar nanti di hotel kamu bisa langsung istirahat, tenang aja aku yang traktir,” sela Juna. cowok itu menarik tangan Karen dan mengajaknya ke penjual gudeg.

“Kamu duduk disini, biar aku aja yang pesan.” Juna mengambil kursi untuk Karen duduk dan satu lagi untuknya, kemudian ia mengantre.

Di kursinya, Karen memperhatikan Juna dan terkadang melihat ke sekitarnya. Ada teman-temannya yang lain juga sedang berfoto di sebrang sana, dan sebagiannya lagi ada yang sibuk membeli oleh-oleh.

Banyak yang berubah setelah Karen datang kembali ke masa lalu nya, apa kali ini takdir masa depannya akan berubah juga? Tidak lama kemudian Juna datang dengan 2 piring gudeg dan juga teh manis.

“Kita makan dulu, habis ini beli bakpia buat orang rumah yah.”

“Jun?”

“Hm?” sepertinya Juna sudah sangat lapar, ia langsung menyantap gudeg yang ia pesan dengan 1 suapan sendok penuh. Matanya juga berbinar, tanda jika makanan yang sedang ia nikmati seenak itu.

“Kenapa sayang?” tanyanya lagi. “Kok enggak di makan? Mau aku suapi?”

Karen terkekeh, ia menggeleng kepalanya pelan dan menyendok satu suapan ke dalam mulutnya.

“Ngobrolnya sambil makan yah.”

“Jun, aku boleh nanya gak?”

“Mau nanya apa sih? Pakai izin segala, kaya sama siapa aja.”

Karen menelan makanan yang sedang ia nikmati dengan susah payah, ada hal yang ingin ia tanyakan pada Juna tentang dirinya yang ia anggap payah, ya Karen selalu menilai dirinya seperti itu. Payah karena tidak bisa beradaptasi di lingkungan kerjanya, selalu merasa sendirian dan di kucilkan.

Karen melepas cita-citanya, ia hanya menjadi pegawai biasanya dan berpindah-pindah kerja. Enggak jarang, Karen sering menganggur dan hanya membantu Mas Kara mengurus anaknya saja, sampai akhirnya nanti Karen mendapatkan pekerjaan barunya.

Pernah Karen paksa untuk bertahan di tempatnya bekerja, Karen sudah tahu lingkungan kerjanya tidak sehat dan ia di kucilkan di sana. Karen mencoba untuk betah, namun pada akhirnya Karen tumbang. Psikis dan fisiknya jatuh sakit, ingatan tentang dirinya yang di kucilkan saat SMA itu kembali berputar.

Beruntungnya, Mas Kara dan Kevin sangat pengertian. Mereka enggak pernah maksa Karen untuk tetap bekerja, namun Karen merasa terus bersalah. Ia tidak ingin menjadi beban untuk saudaranya.

“Kamu malu gak, kalau di masa depan. Aku enggak jadi apa-apa?” ucap Karen, itu juga yang sontak membuat Juna menoleh ke arahnya. Cowok itu sempat menelisiknya dengan serius, namun tidak lama kemudian Juna tersenyum.

“Memangnya kamu mau jadi apa?”

Karen menggeleng, dulu. Cita-citanya sederhana, hanya berkuliah di jurusan jurnalistik, kemudian bekerja dan menabung untuk masa depannya. Namun semuanya sirna. setelah lulus sekolah, Karen harus bekerja, padahal sekolah sudah mencarikan beasiswa untuk Karen melanjutkan ke perguruan tinggi, namun Karen menolaknya karena ia takut perundungan itu akan berlanjut ke masa kuliah.

Karen juga sempat takut bersosialisasi dengan orang lain, hingga mengubah sifatnya menjadi lebih pendiam dan tidak banyak bicara, ini juga yang menjadi hambatannya dalam bekerja. Karen susah beradaptasi di lingkungan baru, dia akan lebih banyak diam seolah-olah ia sedang di kucilkan itu juga yang membuat Karen enggak memiliki teman sama sekali.

“Aku cuma tanya aja,” cicit Karen.

Juna tersenyum, makanan cowok itu sudah tandas lebih dulu dan Juna menyingkirkan piringnya dari sana. “Kalo yang kamu maksud enggak berhasil mewujudkan cita-cita kamu, bagi aku itu bukan suatu hal yang memalukan. Lagi pula, apa salahnya kalau gagal? Kita kan hidup untuk pertama kalinya. Jadi wajar aja kalau mencicipi gagal”

“Bahkan buat sampai di titik kita masih bisa bertahan sampai hari ini aja udah sesuatu yang harus kita syukuri, pasti enggak gampang buat sampai di titik sekarang. Hidup biasa-biasa aja, bukan suatu yang memalukan, Ren. Selama kita mau berusaha takdir pasti akan berubah. Habisin aja jatah gagal sampai enggak tersisa. Itu kata Bapakku, waktu ngehibur aku pas tahu aku gak bisa main basket lagi,” jelas Juna.

benarkah? Juna enggak akan malu jika ia mengetahui kalau Karen sering berganti-ganti pekerjaan karena anxiety sosial nya?

yang di katakan Juna benar, untuk sampai dan bertahan sampai di titik ini tidak mudah. Banyak hal yang berat yang telah berhasil di lalui Karen, harusnya ia bisa sedikit lagi bertahan alih-alih mengakhiri hidupnya di atas gedung.

Mendengar jawaban Juna, membuat Karen menitihkan air mata terharunya. Ia menyesal, karena sudah mengakhiri hidupnya dengan semua usaha dan pengorbanan dirinya untuk tetap bertahan sampai hari itu. Sekarang, yang Karen pikirkan adalah bagaimana keadaan Mas Kara dan Kevin di masa depan setelah mengetahui kematiannya?

Apa mimpi itu adalah gambaran dari sebuah kenyataan pahit jika dirinya memang sudah mati?

“Ren? Kok nangis sayang?” Juna buru-buru mengusap air mata Karen yang menetes dengan punggung jari nya.

“Aku cuma terharu aja dengar jawaban kamu, Jun.”

“Kamu ingat gak kalo kamu pernah bilang, kalau basket bukan jalan buat aku di masa depan. Mungkin aku punya jalan lain yang lebih baik dari pada basket.”

Karen mengangguk, “um, waktu di rumah sakit yah?”

“Kata-kata itu selalu aku ingat, sampai aku kepikiran buat menekuni bidang lain selain olahraga.”

“Apa?” Karen tersenyum, dia senang mendengarnya. Juna sudah ikhlas melepaskan impiannya di lapangan.

“aku mau menekuni bidang photografi. Siapa tahu aku bisa jadi fotografer profesional.” Juna menoleh ke arah Karen, cowok itu tersenyum dengan mata berbinar. Seperti ia telah menemukan jalan hidupnya kembali setelah terjebak di jalan buntu.

“Aku selalu mendukung kamu, Jun.”

apa saat ini, di masa depan kamu udah berhasil mewujudkan mimpi itu, Jun?

“Kita sama-sama wujudin mimpi kita yah, Ren. Kamu jadi jurnalis, aku jadi fotografer. Temenin aku yah, sampai kita ada di titik itu.”

Karen mengangguk, jika ini hanya mimpinya biarkan Karen terjebak di sini untuk waktu yang lama. Tapi jika bukan, semoga takdirnya kali ini benar-benar berubah.

Setelah selesai makan gudeg, Juna sempat mengajak Karen untuk membeli oleh-oleh. Bapaknya Juna itu suka banget sama makanan manis, jadi mereka mendatangi toko oleh-oleh yang menjual aneka macam bakpia. Andai uangnya cukup, Karen ingin membelikan bakpia setidaknya 1 kotak untuk Mas Kara.

“Kalau Mas Kara suka nya rasa apa, Ren?” tanya Juna, dia sudah memasukkan beberapa kotak untuk Bapak dan Ibu nya.

“Apanya?” tanya Karen bingung.

“Bakpia nya, sayang.”

“Aku gak beli, Jun.”

“Aku yang mau beliin untuk Mas Kara.”

“Jun, gak usah yah.” Karen meringis, dia enggak enak sama Juna. Mereka masih pelajar, otomatis uang yang Juna miliki juga ia dapat dari orang tua nya.

“Kenapa? Aku mau beliin buat Mas Kara, Ren.”

“Ga Usah, Mas Kara gak suka bakpia,” alibi Karen.

“Aku telfon dia aja yah, aku tanya sekalian aja dia sukanya apa,” Juna tersenyum, kemudian mengambil ponselnya dan menelfon Mas Kara.

Karen hanya diam saja. jujur, rasanya sungkan sekali kalau Juna terus-terusan mentraktirnya. Selama mereka berpacaran, Juna yang sering mentraktir Karen. Seperti makan, atau saat mereka pergi berkencan. Karen sudah sering sekali melarangnya, namun Juna bilang kalau bisa mentraktir Karen itu adalah kebahagiaan untuknya.

“Bohong kamu ih, Mas Kara bilang dia suka kok sama bakpia,” kata Juna saat cowok itu sudah selesai menelfon.

“Aku gak enak sama kamu, Jun. Kamu udah sering banget traktir aku.” mau enggak mau akhirnya Karen berkata jujur, dia udah malu banget ketahuan bohong perihal bakpia.

Setelah mengambil 4 kotak bakpia, Juna menghela nafasnya pelan dan menatap Karen dengan sebal.

“Kenapa gak enak sih? Aku aja senang kok bisa traktir kamu.”

“Jun, kita tuh kan masih pelajar. Uang yang kamu dapat juga dari orang tua kamu, itu buat kamu loh. Bukan buat traktir aku terus-terusan.”

“Kata siapa?” Juna mengangkat sebelah alisnya, membuat Karen mengerutkan keningnya bingung.

“Hah?”

“Karen, aku tuh beberapa kali menang olimpiade. Aku dapat uang dari situ, hadiah sih, dari ketua yayasan. Uang itu yang aku pakai buat traktir kamu, aku gak pernah pakai uang yang Bapak dan Ibu kasih buat modal pacaran kita,” jelas Juna yang membuat Karen terperangah.

Juna itu tinggi sekali, untuk ukuran anak SMA tinggi cowok itu sudah menembus 18cm, jadi cowok itu sedikit membungkuk agar wajah mereka sejajar.

“Pacar kamu ini, udah punya penghasilan. Makanya aku berani macarin kamu,” kata Juna sembari menepuk dadanya dengan bangga.

Gadis itu mengatupkan bibirnya, Karen malu banget. Dia ngerasa udah sok tahu banget. karena sudah terlanjur malu, akhirnya Karen berjalan lebih dulu keluar dari toko oleh-oleh. Sementara Juna terkekeh sembari membawa makanan-makanan yang dia beli ke kasir.

“Ren, tungguin aku!!” teriak Juna.


“Wihhh, belanja apa kamu, Ni?” tanya Bu Suri, beliau ini staf tata usaha sekaligus orang yang menyeleksi data murid yang lolos dan berhak mendapatkan beasiswa.

“Ah, cuma beli yangko sama bakpia tugu, Buk. Buat Ibu sama Nenek saya di rumah,” jawab Kania, gadis itu duduk di sebelah Buk Suri. Sementara Selo, Selvi dan Muthia kembali ke kursi mereka sembari menunggu murid-murid dan guru-guru kembali ke bus.

Bu Suri hanya mengangguk, kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya. Beliau sedang memeriksa data murid yang sudah menyetorkan data diri serta bukti-bukti pembelanjaan kebutuhan sekolah mereka dari beasiswa. Bukti dan data diri itu yang nantinya akan Bu Suri kirimkan ke suku dinas pendidikan, untuk di evaluasi kembali.

Bisa saja jika ketahuan memiliki kejanggalan beasiswa murid akan di cabut, bukan hanya itu, nilai murid-murid yang mendapatkan beasiswa juga terus di pantau. Nilai mereka harus stabil agar beasiswa nya terus berlanjut.

“Lagi ngapain tuh, Buk?” tanya Kania.

“Ini lagi meriksa kembali nota hasil pembelanjaan beasiswa sama meriksa data diri, masih banyak yang belum lapor ulang nih. Kesel saya, lama-lama gak saya update data diri mereka biar berhenti sekalian beasiswa nya,” ucap Bu Suri kesal.

“Ih parah banget sih, eh tapi, Buk. Ada yang mencurigakan gak tuh? Jangan sampe beasiswa nya salah sasaran.”

“Sejauh ini gak ada sih, Ni. Paling ada 2 siswa yang mau saya kasih teguran, nilai mereka turun.”

Kania mengangguk, tidak lama kemudian Kevin dan Alifia masuk ke dalam bus. Kania juga enggak sengaja lihat kamera yang di bawa Kevin. Gadis itu menyeringai, begitu terlintas ide picik di kepalanya.

“Buk, Ibu tau si kembar Karen Kevin kan?”

Buk Suri mengangguk, “tahu, kenapa emang? Si Karen-karen itu sekelas sama kamu kan?”

“Benar, Buk. Ibu tau gak sih, Karen itu bisa lolos seleksi buat lomba paskibraka tempo hari tuh karena apa?”

Bu Suri menoleh ke arah Kania, Bu Suri ini emang hobi nya ngegosip, makanya begitu Kania bicara dengan nada setengah berbisik beliau langsung menoleh. Bu Suri sangat antusias dengan kelanjutan ceritanya.

“Apa?”

Kania menoleh ke kanan dan kirinya, terutama ke kursi milik Kevin dan Alifia. Keduanya sedang asik mengobrol di kursi mereka. Ini adalah saat yang tepat bagi Kania untuk menceritakan perihal Karen pada Bu Suri.

“Mas Satya itu naksir Sama Karen, makanya walau Karen bolos latihan 5 kali pun Mas Satya bikin dia masuk ke tim inti, padahal yang di gadang-gadang masuk ke tim inti itu saya, Buk. Yah kebetulan aja waktu itu kaki saya sakit, jadinya Karen yang masuk dan menggantikan formasi saya.”

“Ah, masa sih, Ni? Satya gak mungkin kaya gitu, dia gak mungkin mencampuri urusan personal dengan urusan club,” sangkal Bu Suri, Satya memang di kenal sebagai laki-laki yang tegas dan profesional.

“Dih, Ibu gak percaya saya punya buktinya nih.” Kania mengeluarkan ponselnya, dan menunjukan foto-foto Karen dan Satya di mall waktu itu untuk membeli sepatu.

“Mereka sering jalan berdua tau, Buk. Ini aja Mas Satya rela ngeluarin uang pribadinya demi beliin Karen pantofel karena pantofel punya Karen itu rusak.”

“Karen ini yang pacarnya Arjunandra kan?” tanya Bu Suri, yang di jawab anggukan oleh Kania.

“Kalau Ibu perhatiin kenapa sudut bibir Mas Satya itu luka, itu karena Juna nonjok Mas Satya kemarin waktu kita di Dieng. Waktu Karen pingsan itu loh, Buk.”

“Ah, benar juga yah. Luka di sudut bibir Satya memang mencurigakan. Kaya bukan luka karena dia jatuh.”

Kania menjentikkan jarinya, “apa saya bilang, saya tuh lihat sendiri waktu Juna nonjok Mas Satya. Tapi saya gak mau ikut campur urusan orang, Buk. Makanya saya gak samperin mereka.”

Bu Suri tampak sedikit kecewa dengan Satya dan Karen, keduanya di nilai sebagai murid berprestasi yang juga memiliki sikap dan perilaku yang baik. Karena prestasi mereka dan perilaku baik mereka, itu juga yang menjadikan mereka lolos seleksi beasiswa. Bahkan beasiswa Satya berlanjut hingga laki-laki itu berkuliah.

“Terus, Buk. Ibu merhatiin gak sih kalau Kevin punya kamera? Masa anak beasiswa punya kamera, kamera itu mahal loh, Buk.” bisik Kania.

“Ah, Iya yah. Kevin memang membawa-bawa kamera. Kenapa saya enggak kepikiran.”

Kania mencibirkan bibirnya, “makanya Ibu seleksi lagi deh benar-benar soal beasiswa Karen sama Kevin, apalagi Karen yang diam-diam tuh jadi siswa problematic di sekolah. Terus Kevin, saya mah cuma takut aja beasiswa kita di salah gunain buat kepentingan pribadi.”

Buk Suri mengangguk, wanita itu nampak percaya pada semua yang di katakan oleh Kania.

“Saya bakalan selidiki lagi ini, Ni. Terima kasih sudah ngasih tau saya soal ini yah.”

Kania mengangguk-angguk, “sama-sama, Buk. Kalau gitu, saya ke kursi saya dulu. Ah, sebentar.” Kania mengeluarkan 1 kotak bakpia original yang ia beli dan memberikannya ke Bu Suri.

“Buat Ibu, semangat kerjanya, Buk. Kalau saya nemu kejanggalan lagi, saya bakalan kasih tau Ibu,” ucap Kania sebelum ia kembali ke kursinya.

begitu Kania duduk di kursinya. Tidak lama kemudian Karen dan Juna masuk ke dalam bus, Kania melirik ke arah paper bag yang di bawa oleh Karen. Sepertinya gadis itu beli oleh-oleh lumayan banyak, padahal seingat Kania saat ia menguping pembicaraan Kevin dan Kania sebelum mereka ke Malioboro, uang yang mereka miliki hanya tersisa untuk ongkos pulang saja.

“Wah, belanja banyak nih, Ren. Beasiswa kita udah cair, langsung di jajanin yah?” ucap Kania.

Karen hanya diam, dia memperhatikan arah ekor mata Kania yang melihat ke paper bag yang ia bawa. Juna yang ada di sana juga melihat arah mata Kania, Juna tahu Karen enggak nyaman sama pertanyaan itu.

“Ini punya gue, Karen cuma gue minta tolong bawain karena gue belanja banyak,” jawab Juna.

Kania hanya terkekeh, kemudian mengangguk pelan. “Oke...”