Teka Teki O7

Pagi ini Juna di antar Bapak untuk kembali ke sekolahnya, ini hari pertama Juna masuk setelah hampir 3 minggu ia tidak masuk sekolah. Juna masih belum dalam suasana hati yang baik, tapi setidaknya ia bisa sedikit terhibur karena di sekolah ia bisa bertemu dengan Karen.

Semalam, Karen menelponnya dan memberi tahu jika ia terpilih menjadi perwakilan club. Karen juga bercerita jika kemarin ia pergi bersama Mas Satya dan Kevin untuk membeli sepatu pantofel nya.

Di depan pagar sekolah, beberapa siswa menyapa Juna saking sudah lamanya ia tidak datang ke sekolah. Apalagi Juna datang dengan penyanggah kakinya, membuat beberapa Adik kelasnya di club basket membantunya untuk menaiki tangga menuju ke kelasnya begitu melihatnya kesulitan.

“Juna!! Gila akhirnya balik juga luu,” pekik Hadi saat cowok itu melihat Juna masuk ke kelas mereka.

Hadi yang tadi sedang menghapus tulisan di papan tulis langsung membantu Juna untuk duduk di kursinya. Hadi itu duduk sama Arino, dan kursi keduanya sering sekali kosonh karena pemiliknya sibuk berlatih di lapangan dulu.

“Udah kangen gue sama ceramahan dari Pak Deden,” jawab Juna nyeleneh.

“Gaya amat luh, tapi sumpah sih. Selama elu gak ada Pak Deden juga nanyain lu mulu, mungkin karena gak ada yang bisa di omelin kali yah, habis itu di ajak curhat soal burung-burungnya yang mahal.”

Pak Deden itu wali kelas Juna, Pak Deden sering sekali memarahi Juna kalau Juna di kelas terlihat tidak konsen, atau kalau Juna tidak mengerti pertanyaan yang beliau tanyakan. Walau begitu, Pak Deden juga perhatian sama Juna tidak jarang mereka tampak akrab saat membicarakan burung-burung mahal yang bisa mengikuti kompetisi kicau.

Tentu saja Juna paham soal burung, orang Bapak juga melihara banyak burung kicau di rumah. Bahkan perawatanya enggak main-main, sampai Bapak rela menggocek puluhan juta demi burungnya.

Sedang asik tertawa membicarakan soal Pak Deden, tiba-tiba saja di ambang pintu kelas muncul seorang laki-laki jangkung yang tersenyum begitu melihat siapa yang menempati kursi sebelah miliknya.

“Juna!! Anjrit, gila akhirnya balik juga lo ke sekolah, Jun.. Jun, gue pikir elu mau godain perawat di rumah sakit terus aja,” ucap Arino begitu ia sampai di kelas, dia langsung berhambur memeluk Juna.

“Tai, mana ada gue godain perawat di rumah sakit. Yang ada tiap mereka masuk ke ruangan rawat, gue sering jiper,” jawab Juna sembari ketawa-ketawa, badan Juna itu bongsor, tinggi dan berisi tapi dia takut sekali dengan jarum infus dan jarum suntik.

Teman-temanya itu berkerubung di kursinya. melihat Arino, Juna jadi ingat kalau kemarin cowok itu baru saja resmi menerima jabatan sebagai kapten tim basket SMA Orion. Juna ngerasa dia harus setidaknya memberi selamat pada temannya itu.

by the way, No. congrats ya, gila akhirnya jadi juga lo nyandang gelar kapten,” ucap Juna.

“Aduh gue di selametin gini jadi pengen nyombong-nyombongin diri,” Ino terkekeh cowok itu memang senang sekali bercanda. Dan Juna paham dengan tabiat sahabatnya itu.

“YEEEEEEEE,” hardik Juna dan Hadi bersamaan.

“Eh tapi, Jun. Gimana sama perkembangan kaki lo pasca operasi? coach kemarin sempet nanya ke gue,” tanya Arino.

“Gini-gini aja deh, No. Gak nambah kaki gue masih 2 jumlahnya.” mereka berdua memang sama saja nyelenehnya.

“Bukan gitu tai, gue juga tau kaki lo 2,” ujar Arino emosi, “maksud gue udah mendingan?”

Juna terkekeh, menurutnya Ino kalo nyolot itu lucu banget. “Lumayan, tapi gue masih harus pake kruk buat jalan.”

“Tapi lo masih bisa basket kalo udah pulih kan, Jun?” tanya Hadi yang berhasil membuat Juna sedikit terdiam di kursinya.

Hatinya meringis, pertanyaan yang sangat Juna hindari itu justru terlontar pertama kali dari bibir sahabatnya sendiri. Tapi enggak apa, toh Hadi memang hanya ingi tahu saja, tidak ada sedikipun niatnya untuk membuat Juna tersinggung.

“Gue belum tau, tapi yang jelas Dokter gak menyarankan gue buat balik basket. riskan, No, Di. Gue bakalan punya resiko kalo ligament gue balik robek kalo tetap maksa.”

Hadi jadi tidak enak sendiri membahas soal kelanjutan karir basket Juna, apalagi saat menyadari air wajah cowok itu sedikit muram. Hadi tau, pasti tidak mudah bagi Juna untuk bisa menerima keadaanya, jika ia kemungkinan besar tidak akan bisa kembali ke lapangan.

Karena Hadi sendiri merasakannya jika sesuatu ia gemari saat ini tidak bisa ia lakukan lagi. Hadi itu mengalami cidera pita suara, tapi ia merahasiakan ini dari teman-temannya karena ia tidak ingin di kasihani. Itu lah alasan kenapa Hadi bilang dia tidak akan bernyanyi lagi dan memutuskan untuk keluar dari club musik dulu. Menurutnya ia masih bisa bicara saja sudah sesuatu yang harus ia syukuri saat ini.

“Gapapa lah, Jun. Yang penting kaki lo gak sakit lagi, lagian basket bukan akhir dari segalanya meski basket juga dunia elo, gue yakin kok, elo bisa makin gede meski bukan dari basket,” Ino menepuk pundak Juna, berusaha untuk membuat Juna tabah akan keadaanya.

“Iya, No. Karen juga bilang gitu.”

Tidak lama kemudian bel masuk jam pelajaran pertama pun di mulai, pagi ini ada pelajaran bahasa Indonesia di jam pertama. Dan mata pelajaran itu di ajar oleh Bu Rosa, begitu masuk ke kelas 11 IIS 4. mata Bu Rosa langsung tertuju pada seragam yang di kenakan oleh Juna.

“Arjunandra, kenapa seragam kamu kaya gitu? Kemana dasi, name tag kamu dan rompinya?” tanya Bu Rosa.

Juna baru sadar jika ia tidak memakai dasi, saking seringnya Juna ke sekolah dengan seragam club basketnya, Juna jadi hampir jarang memakai seragam sekolah dengan lengkap, seperti dasi, name tag, dan rompi.

“Lupa, Buk.. Anu ketinggalan.”

“Hari ini saya maafkan, awas aja kamu besok masih gak pakai seragam lengkap. Kamu sudah bukan atlet sekolah, jadi pakai seragamu yang lengkap!” ucap Bu Rosa tegas.

Di SMA Orion ada sedikit kelonggaran untuk mereka yang menjadi atlet sekolah, biasanya Juna hanya datang ke sekolah dengan seragam club nya saja, Seperti jaket dan celana training saja.

Begitu Bu Rosa mengatakan itu, semua teman-teman Juna dan siswa-siswi lainya menoleh ke arah Juna. Juna memang belum memberikan surat pengunduran diri ke club secara resmi, tapi Bapak sudah menelpon coach kemarin dan mengatakan Juna akan mengundurkan diri dari club karena cedera kakinya.


“Masih sakit yah, Jun. Kaki kamu?” tanya Karen.

Ini sudah jam istirahat, Karen dan Juna memutuskan untuk menghindari keramaian di kantin. Selain Juna malas untuk di tanya-tanyai soal pengunduran dirinya, Juna juga takut kakinya keseggol siswa lain yang memadati kantin.

Jadi di jam istirahat pertama mereka lebih memilih taman sekolah menjadi tempat mereka untuk menghabiskan jam istirahat.

“Agak nyeri, Sayang. Tapi udah gapapa kok, eh ini, roti bakar kamu kok enggak di makan? malah aku yang makan,” Juna terkekeh, Karen memang membawa bekal ke sekolah. Gadis nya itu memang agaj malas makan di kantin di jam istirahat pertama, karena akan sangat padat dan berebut, Karen baru akan jajan di kantin saat istirahat kedua.

“Aku masih kenyang, tadi Mas Kara bikin nasi kari buat sarapan.” Karen duduk di sebelah Juna, ia tersenyum dan sedikit menyingkirkan rambut tebal Juna yang menutupi kening cowok itu.

“*kaya apa kamu di masa depan, Jun? Apa kamu udah menikah? Apa hidup kamu baik-baik aja?” ucap Karen dalam hati saat memperhatikan Juna yang sedang makan.

“Balik nanti kamu latihan lagi dong, Sayang?”

“Um,” Karen mengangguk. “Bakalan makin padat karena tinggal dua hari lagi.”

“Pacarku keren banget sih!” karena gemas, Juna menjawil hidung mancung pacarnya itu. “Nanti aku datang yah? Kata Kevin bakalan ada pertunjukanya juga?”

Karen mengangguk, “Kamu bareng Kevin sama Alifia aja, dia juga mau nonton kok.”

“Boleh,” Juna tersenyum. “Ren?”

“Hm?” Karen menoleh ke arah Juna, Juna bisa melihat bagaimana cerahnya gadis itu saat dirinya sudah kembali ke sekolah.

“Tadi Bu Rosa yang ngomong ke anak-anak di depan kelas kalo aku udah bukan atlet sekolah lagi,” ucap Juna lirih.

“Kok Bu Rosa bisa bilang gitu?” tanya Karen, itu pasti menyakiti Juna sekali walau kenyataanya memang seperti itu.

“Karena aku gak pakai seragam lengkap, saking seringnya aku pakai seragam club. Sampai lupa kalo lagi KBM aku harus pakai seragam asli sekolah,” Juna terkekeh, menertawakan kemalanganya hari ini.

“Di lokernya Kevin, ada rompi sama dasi nya. Kayanya muat sama kamu, aku ambilin yah?”

Juna menggeleng dan menahan tangan Karen agar gadis itu tidak pergi meninggalkanya, menurut Juna percuma juga. Sudah banyak guru yang menegurnya perihal seragam, Juna juga sudah terbiasa di tegur untuk hari ini.

“Gausah, Ren. Punyaku masih ada di rumah. Aku cuma lupa aja kalo aku udah gak akan latihan, makanya pakai seragam asal-asalan kaya gini.”

Kedua bahu Karen merosot, ia memandangi wajah Juna yang tampak redup itu. Ia merasa ada awan mendung di sana, dan Karen benci awan mendung dan hujan.

“Besok pagi aku telfon kamu yah, aku ingetin supaya pake seragam lengkap.”

Juna menoleh ke arah Karen, ia tertawa mendengarnya. Juna tau niat Karen baik, tapi ia juga belum sepikun itu, Juna hanya belum terbiasa saja.

“Aku belum sepikun itu Karenku sayang,” Juna mencubit pipi Karen dengan gemas.

“Ihhh, Jun. Tangan kamu kotor tau abis makan!” hardik Karen, ia cemberut sembari membersihkan wajahnya dengan tissue yang selalu ia bawa.

“Habisnya gemes aku sih sama kamu, aku emang bodoh. Tapi ingatan aku tuh bagus tau,” ucap Juna menyombongkan dirinya.

“Ih sombong banget awas aja kamu habis ngomong gini nanti jadi pikun kaya kakek-kakek,” Karen terkekeh pelan.

“Jangan dong, emang kamu mau punya pacar kaya kakek-kakek? Nanti kalo aku pikun, terus lupa sama kamu gimana?”

“Aku cari pacar lagi!!”

“Ih sembarangan kamu!” pekik Juna, ia kembali mencubit pipi Karen dengan gemas lagi.

Saat sedang asik bercanda sembari mengobrol, Juna tidak sengaja melihat ada memar di punggung tangan Karen. Sudah hampir pudar, tapi tetap saja terlihat karena kulit Karen itu putih.

“Ren, tangan kamu kenapa?” Juna mengambil tangan Karen dan mengusap memar yang ada di punggung tanganya.

“Ak...aku gak tau, Jun. Udah beberapa hari kaya gitu, waktu aku bangun tiba-tiba aja udah memar kaya gitu.”

“Kamu kecapekan? Atau kepentok?”

Karen menggeleng, ia ingin bercerita tentang suara Juna yang ia dengar tempo hari. Namun Karen mengurungkan niatnya, ia takut ini semua masih berhubungan dengan dirinya yang tiba-tiba saja kembali ke masa lalu.

“Besok aku bawain salep yah, biar memar nya cepat hilang—” Juna diam sebentar, ia jadi teringat jika ia juga memiliki memar seperti itu, maka dari itu Juna memeriksa ke punggung tanganya sendiri.

Juna ingat ia mendapatkan memar itu karena bekas infusan di tanganya, Juna memperhatikan kembali memar yang berada di tangan Karen. Dan memar itu sama seperti miliknya ada bekas lingkaran kecil persis seperti bekas jarum infus yang di cabut.

“Ren, memar kamu kaya memar di tanganku,” ucap Karen.

“Masa sih, Jun?”

Juna menunjukan memar bekas infusan miliknya pada Karen, dan Karen baru menyadari jika memar itu sama seperti miliknya.

“Memar ini aku dapat karena bekas infusan, kamu gak di infus kan?” tanya Juna.

Karen hanya menggeleng pelan, namun raut wajahnya terlihat kalut.

“Tapi di lipatan tanganku juga ada, Jun.”

“Mana? Coba aku lihat.”

Karen menggulung seragam miliknya hingga lipatan tanganya terlihat, memar-memarnya masih ada dan terlihat sangat jelas yang di lipatan tangan.

“Kaya bekas di ambil darah,” ucap Juna.

Mendengar ucapan Juna, membuat Karen terteguh di tempatnya. Ia bingung sebenarnya apa yang telah terjadi pada dirinya hingga memar-memar ini muncul secara tiba-tiba.