Tidak Ingin Sembunyi Lagi

Pagi ini Karen bangun di jam 5 pagi seperti biasa, tapi entah kenapa rasanya pagi ini terasa berbeda dari pagi kemarin. Karen ngerasa seluruh tubuhnya nyeri hingga untuk bangun dari ranjangnya saja ia meringis.

Begitu Karen menyalakan lampu kamarnya, betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa ada lebam di sekitaran lekuk tangannya. Lebam kebiruan nyaris ungu, seperti lebam yang di dapat ketika kamu terkena pukulan atau jatuh.

“Ini kenapa...” lirihnya, Karen sendiri bingung.

Seingatnya ia tidak melakukan aktifitas berat apapun hingga menimbulkan lebam, ini untuk pertama kalinya dalam hidup Karen ia mendapat lebam-lebam misterius seperti ini.

“Hari ini pemilihan perwakilan..” Karen mendadak panik, tapi untungnya seragam sekolahnya panjang jadi lebam-lebam ini akan tertutup, Begitu juga dengan seragam latihan paskibranya.

Karen berusaha untuk tetap tenang, bisa jadi lebam ini muncul karena ia kecapekan kan? Seharian kemarin ia sibuk menjaga Mas Kara dan berlatih hingga sedikit larut di sekolahan.

Karen sempat membuatkan roti bakar, susu dan juga bubur untuk sarapan ia Kevin dan Mas Kara. Oh iya, Mas Kara sudah di perbolehkan pulang karena kondisinya sudah jauh lebih baik.

“Ren, biar Mas bantuin sini.”

Tiba-tiba saja Mas Kara keluar dari kamarnya, laki-laki itu langsung mengambil alih beberapa pekerjaan Karen. Seperti membuat susu dan teh manis hangat, namun saat ingin mematikan kompor dan mengangkat teko. Mas Kara kaget bukan main waktu melihat tangan Karen memiliki banyak lebam.

“Ren, tangan kamu kenapa?” tanya Mas Kara khawatir.

Laki-laki itu menarik tangan Adiknya dan menyuruh Karen untuk duduk di kursi meja makan, sementara itu ia memeriksa lebam-lebam di tangan Karen.

“Gak tau, Mas. Udah kaya gini waktu Karen bangun tidur.”

“Kepentok? Kamu kemarin kepentok apa gitu? Atau jatuh?” tanya Mas Kara.

Karen hanya menggeleng pelan, seingatnya ia tidak kepentok apapun apalagi jatuh.

“Kecapekan? Kamu pasti capek jagain Mas sama latihan.”

“Tapi harusnya enggak sebanyak ini gak sih, Mas?” ucap Karen lirih. Ia memperhatikan lebam-lebam itu bukan hanya ada di lipatan tangannya, tapi juga di punggung tangannya.

“Ada apa, Mas?” Kevin yang baru saja selesai mandi pagi itu bertanya, waktu lihat Mas Kara dan Karen terlihat panik.

Belum sempat Mas Kara atau Karen menjawab, Kevin sudah melihat lebam-lebam di tangan Karen lebih dulu. Ia pun langsung berjongkok di depan Karen, sama seperti yang di lakukan Mas Kara.

“Ini kenapa, Ren?” tanya Kevin panik.

Karen hanya menggeleng pelan.

“Udah kaya gitu waktu Karen bangun tidur katanya, Kev.” jelas Mas Kara.

“Badanku juga sebenarnya sakit banget,” timpal Karen, ia menunduk. Merasakan nyeri-nyeri di tubuhnya kembali menjalar.

“Tapi aku gak ngerasain apa-apa, Ren.” ucap Kevin, biasanya kalau Karen sakit Kevin akan ikut sakit juga. Tubuh mereka seperti terhubung satu sama lain, pernah waktu itu Karen sakit perut karena nyeri datang bulan yang tidak seperti biasanya. Dan Kevin sedikit ikut merasakan apa yang sedang Karen rasakan saat itu, perutnya juga sakit hingga akhirnya keduanya tidak masuk sekolah.

“Mungkin kali ini memang cuma Karen yang sakit, Kev.” kata Mas Kara.

“Aku kompres yah? Tunggu sebentar,” Kevin langsung melesat mengambil baskom kecil dan handuk untuk mengompres lebam di tangan Karen.

Sementara Mas Kara, laki-laki itu mengambil alih seluruh pekerjaan Karen hari ini. Sembari menyiapkan sarapan, sesekali Mas Kara memperhatikan Kevin yang tengah mengompres kembaranya itu.

“Sakit gak, Ren?” tanya Kevin, yang hanya di jawab anggukan kecil oleh Karen.

Sembari mengompres lebam Karen, sesekali Kevin meniup-niup lebam nya agar sakitnya hilang.

“Kamu izin aja yah, Ren. Nanti Mas yang telfon ke wali kelas kamu.”

“Jangan, Mas. Hari ini Karen ada pengumuman siapa yang bakal jadi perwakilan sekolah untuk lomba paskibra.”

“Tapi kamu sakit, Ren.” sambung Kevin.

“Aku gapapa, Kev. Aku janji kalau badanku makin sakit aku bakalan izin pulang. please ini penting banget buat aku.”

Karena melihat Karen memelas seperti itu, akhirnya Mas Kara menyetujui Karen untuk tetap masuk sekolah. Lagi pula, ada Kevin yang menjaga Karen. Mas Kara juga bilang ke Kevin kalau mereka harus pulang bersama, Mas Kara gak mengizinkan Karen pulang sendiri naik bus.


Hari ini Juna di perbolehkan pulang dari rumah sakit, jahitan di kakinya sudah di lepas dan keadaanya juga makin membaik. Namun Dokter tetap menyarankan agar Juna tetap vakum dari basket dulu untuk jangka waktu yang sangat lama.

Mendengar penjelasan langsung dari Dokter ortopedi yang menanganinya, membuat Juna kembali berkecil hati. Apalagi Bapak menyarankan agar Juna berhenti bermain basket, Bapak bilang enggak apa jika Juna enggak menjadi atlet. Yang terpenting saat ini adalah kesehatan Juna lebih utama untuk Bapak dan Ibu.

Saat semua barang-barangnya sudah rapih dan ia siap meninggalkan rumah sakit, Juna termenung memandangi jendela besar yang menampilkan pemandangan gedung-gedung dan pepohonan di depannya. Pemandangan yang dalam waktu dua minggu ini menemaninya saat ia membuka mata.

Saking lama nya Juna di rumah sakit, di bahkan sudah mengenal perawat, security serta beberapa pasien lainya dari bangsal lain. Juna itu aslinya kelewat ramah dan mudah sekali mengobrol dengan orang lain.

“Jun, yuk. Pulang, taksinya sudah datang kata Bapak,” ucap Ibu sembari mengusap punggung Juna agar Juna berhenti melamun.

“Juna mau ngapain yah, Buk. Kalau enggak bisa main basket lagi?” lirihnya.

“Juna bisa sekolah yang benar, lulus, kuliah, bantu-bantu Ibu sama Bapak ngurus restoran, lalu bekerja. Juna tetap jadi anak hebat Ibu dan Bapak walau sudah gak bermain basket,” jelas Ibu.

Juna hanya bergeming, ia masih betah meratapi kemalangan dirinya. Menatap kosong pada pemandangan di hadapannya saat ini, sama seperti sebagian hidupnya yang hilang saat Dokter menyarankannya untuk vakum dari basket.

“Tapi Bapak kecewa kan, Buk. Karena Juna gak jadi atlet?”

Ibu hanya meringis, kemudian menunduk dan menggeleng kepalanya pelan. Bapak memang sempat bekecil hati akan hal itu, apalagi saat beberapa rekannya bertanya kapan Juna akan mengikuti turnamen lagi.

“Gak ada yang kecewa, nak. bagi Ibu sama Bapak yang terpenting itu Juna sehat. Enggak sakit-sakit lagi kakinya.”

Juna hanya menghela nafasnya pelan, di perjalanan pulang ia tidak bicara sedikit pun meskipun Bapak sibuk menceritakan restoran mereka yang akhir-akhir ini cukup ramai.

Suasana hati Juna benar-benar tidak baik, apalagi saat sampai rumah. Ia melihat ring basket dan bola basket miliknya masih ada di keranjang dekat rak sepatunya berada. Juna tidak ingin melihat benda itu, ia tidak ingin kekecewaannya terhadap dirinya sendiri bertambah.

Jadi, Juna buru-buru melangkahkan kakinya menuju kamarnya. sialnya di kamarnya justru ada foto pemain basket favoritnya dan beberapa piala serta mendali kejuaraan basket Juna dari SD, SMP hingga SMA. Semua masih tersusun rapih di atas lemari, ada fotonya juga dan tim basket sekolah saat mereka menang melawan SMA lain.

Juna memejamkan matanya, ia kemudian duduk di atas ranjangnya untuk memeriksa ponselnya. Dari tadi ponselnya itu terus bergetar, Juna takut Karen mengabarinya atau ada hal penting lainya dari sekolahan.

Namun ternyata ponselnya ramai di banjiri notifikasi dari grup club basket di sekolahnya, topik yang sedang hangat jika Ino menjadi kapten basket sekolah yang baru. Mereka juga banyak memberi ucapan selamat pada Ino, meski merasa sedih karena tidak menjadi kapten, Juna tetap merasa bahagia karena Ino yang menyandang sebagai kapten basket SMA Orion.

Namun sedetik kemudian, raut wajah Juna berubah ketika coach mereka membagikan turnamen berikutnya yang akan di adakan. Juna meringis, harusnya ia bisa ikut turnamen itu jika kakinya tidak sakit, Kan?

Karena kesal, akhirnya Juna melempar ponselnya hingga terpental ke sela-sela ranjang.

“ARGHHHHHH!!!” erangnya.

Juna kemudian bangkit dari duduknya, dan melepas poster, foto-fotonya dan beberapa mendali dari dinding kamarnya dan melemparnya asal.

“Jun? Juna? Buka pintunya, Jun. Kamu kenapa?” teriak Bapak panik dari depan pintu.

Namun Juna tidak menggubris dan masih terus menyingkirkan seluruh benda yang berhubungan dengan basket, setelah puas menyingkirkan itu semua. Ia terduduk lemas di lantai dan menangis, ternyata enggak semudah itu untuk bisa mengikhlaskan jika dirinya mungkin tidak bisa bermain basket lagi.

To Be Continue