Tidak Ingin Sembunyi Lagi O5

“Gimana kalo kita bikin audisi terbuka khusus anak kelas 11?” pekik Kevin.

Hari ini The Gifted kembali mengadakan diskusi lagi di ruang club musik, kemarin ada beberapa siswa kelas 11 dari club musik yang mengirimkan rekaman mereka bernyanyi untuk mencari vokalis The Gifted, tapi sayangnya enggak ada yang sesuai sama keinginan member lainya.

“Keburu gak yah? Gue beneran takut enggak keburu,” ucap Ayu lirih, dia bulak balikin kalender yang ada di atas meja.

Pasalnya, waktu keberangkatan mereka ke Dieng dan Jogja tinggal beberapa hari lagi. Belum lagi mereka harus berlatih agar bisa menampilkan penampilan sebaik mungkin dengan vokalis The Gifted yang baru.

“Kalo mau ngadain audisi mau kapan emangnya?” tanya Ryan.

“Harusnya sih dalam minggu-minggu ini yah?” timpal Fajri, dia sendiri udah bingung banget. Bahkan Fajri sempat meminta tolong pada vokalis mereka yang lama, untuk setidaknya tampil bersama The Gifted untuk acara study tour saja. Tapi sayangnya ia menolak, bahkan di iming-imingi hadiah saja tidak mempan.

“Duh, tugas di kelas gue juga lagi banyak-banyaknya lagi. Bakal keburu gak yah?” Hadi sang manager itu melihat ke note di HP nya untuk memeriksa kembali tugas dan jadwal-jadwalnya bimbel.

“Seenggaknya kosongin 1 hari buat audisi ini aja,” ucap Kevin, dia mengambil kalender yang ada di tangan Ayu untuk mencari tanggal yang tepat.

“Hari kamis, kamis ini kita harus bikin audisi terbuka buat anak kelas 12. Gimana?”

“Mepet banget, Kev.” keluh Ayu.

“Terus mau kapan? Kita ke Dieng sama Jogja juga udah mepet, belum lagi harus latihan full kalo udah ada vokalisnya.”

“Bener juga sih,” Ryan mengangguk-angguk. “Kalo gitu nanti gue bikin pamfletnya biar anak-anak yang lain tau.”

“Nanti gue nitip siaran juga ke Alifia supaya banyak yang tau dan tertarik buat ikutan.”

Alifia itu ada di club radio sekolah, banyak siswa yang menitipkan promosi jika club lain sedang mengadakan acara.

Setelah keputusan soal audisi terbuka itu telah di tentukan, mereka semua kembali karena jam pelajaran akan segera di mulai. Ini sudah memasuki jam pelajaran terakhir, sebelum masuk ke dalam kelasnya, Kevin sempat memeriksa ponselnya dulu.

Karen mengirimi list apa saja yang harus Kevin bawa ke rumah sakit, Mas Kara sudah di operasi tadi pagi. Karen yang menjaganya, gadis itu enggak masuk sekolah lagi dan menitipkan surat izin tidak masuk ke Kevin.

Dan setelah pulang sekolah nanti, Kevin harus bergantian menjaga Mas Kara dengan Karen, karena Karen harus ke sekolah untuk menyelesaikan urusannya dengan club paskibra.

“Kev, kamu sudah tanya ke Kakak mu kapan dia mau melunasi cicilan study tour kamu dan Karen?” tanya Bu Rosa, Bu Rosa ini adalah wali kelas Kevin, beliau juga yang memegang kendali mengenai pembayaran uang study tour.

“Saya belum tau kapan, Bu. Kakak saya juga lagi di rawat di rumah sakit,” ucap Kevin jujur. Kevin ini sebenarnya sedikit pemalu, terlihat bagaimana ia menunduk saat beberapa pasang mata menatapnya dengan iba.

“Harus segera yah, Kev. Kamu paham kan study tour ini penting sekali, Pak Haryadi juga sudah memberi tahu kalau study tour ini wajib bagi kelas 11. Jangan sampai menunggak apalagi tidak ikut.”

Kevin tidak menyahut lagi, ia hanya menunduk dan mengambil buku mata pelajarannya di dalam laci meja nya. Kevin enggak enak mau bertanya hal ini sama Mas Kara, apalagi hari ini Mas Kara baru saja selesai di operasi.

Kevin sempat kepikiran untuk meminta bantuan pada Budhe dan Pakdhe nya, tapi ia sungkan sekali mengatakannya, apalagi penghasilan kedua nya hanya mengandalkan uang pensiunan Pakdhe saja, yang mana uang pensiun itu di pakai untuk kebutuhan hidup keduanya.


Siang ini setelah pulang sekolah Kania kembali berlatih di lapangan lagi, besok adalah hari penentuan siapa yang akan mewakili SMA Orion untuk lomba paskibraka di SMA lain. Kania sudah percaya diri sekali karena Karen sepertinya enggak kembali hadir untuk berlatih.

Karena hari ini Karen enggak masuk lagi, itu artinya Karen juga enggak akan kembali berlatih kan?

“Kak Nia udah denger belum sih?” tanya Cindy siswi kelas 10 pada Nia.

“Dengar apa?”

“Katanya Kak Karen hari ini datang latihan, tadi ada yang liat Kak Karen di ruangan club lagi di marahin sama Pak Yasir, tapi ada Mas Satya juga.”

“Hah? Balik latihan lagi?” kedua alis Kania menyatu, ia merasa tidak nyaman sama kabar itu.

“Iya, kasian deh Kak dengar dia di bentak-bentak sama Pak Yasir karena kemarin bolos latihan demi jenguk pacarnya.”

“Tapi Mas Satya belain, kayanya juga Kak Karen enggak jadi di diskualifikasi dari seleksi ini.” timpal yang lainya.

Kania yang merasa kesal mengepalkan tangannya dengan kuat, ia buru-buru merapihkan baju seragamnya dan meninggalkan ruang ganti baju dengan terburu-buru. Ia harus memastikan apa benar Karen kembali.

Dan begitu kakinya tiba di ruangan club, benar saja apa yang di katakan siswi kelas 10 barusan. Jika Karen benar-benar kembali, gadis itu kini tengah di kerumungi oleh anak-anak club lainya yang senang ketika Karen kembali.

“Lo—lo balik latihan, Ren?” tanya Kania.

Karen tersenyum, wajah tenang yang selalu ia benci itu menatapnya penuh percaya diri.

“Iya gue balik.”

“Kok bisa? Kemarin Pak Yasir mau diskualifikasi lo padahal.”

“Ni, Karen ini bahkan ngasih jaminan kalo dia di perbolehkan balik lagi. Dia bisa pastiin piala bergilir itu balik lagi ke sekolah,” jelas Stefany.

“Terus Pak Yasir ngizinin lo balik?” tanya Kania tidak percaya.

Karen mengangguk, “gue bisa pastiin SMA Orion menang kalau gue masuk tim,” ucap Karen dengan sedikit seringaian di sudut bibirnya.

Melihat wajah Kania yang berubah drastis, Karen merasa puas. Apalagi saat melakukan latihan Kania banyak di tegur karena melakukan kesalahan. Kania seperti merasa keberadaanya terancam dengan kembalinya Karen ke dalam tim.

Setelah berlatih hingga pulang sedikit larut, Kania masih dalam keadaan hati yang kesal melihat Karen kembali. Apalagi, saat berlatih tadi Mas Satya banyak sekali memuji Karen dan itu membuat hatinya semakin panas.

“NIAAAAAA MANA SAYURNYA? ANGETIN SAYUR AJA LAMA BANGET LO!” pekik Dika saudara Kania.

Kania ini tinggal di rumah Neneknya, bersama dengan Sepupu, Tante, Nenek, Ibu dan juga Kakaknya. Dari kecil, Kania enggak pernah tau keberadaan Ayahnya di mana. Ibu enggak pernah cerita soal Ayahnya lebih banyak, selain mengatakan jika Ayahnya berasal dari Kalimantan.

Bahkan melihat wajah Ayahnya saja Kania belum pernah, setelah di teriaki oleh Sepupunya itu, Kania mematikan kompornya dan membawa sayur untuk makan malam mereka ke meja makan.

“Lama banget lo!! Lelet banget jadi orang,” timpal Tante Farida pada Kania.

“Tadi sambil cuci piring dulu di dapur,” ucap Kania, ia kemudian duduk dan mengambil piring miliknya.

Kania menunggu Nenek, Tante dan juga Dika untuk mengambil makannya lebih dulu. Baru setelah itu Kania yang mengambil makanannya, dan sialnya malam itu ia hanya kebagian sedikit nasi dan kuah dari sayur yang ia hangatkan barusan.

Sungguh, sejujurnya Nia kesal. Tapi mau bagaimana lagi, kalau ia protes yang ada hanya akan menimbulkan keributan di meja makan.

“Habis ini lo yang cuci piring kan?” tanya Dika, Kania hanya diam saja.

“Jangan lupa jemuran di depan sekalian angkatin tuh, Ni. Udah dari kemarin gak di angkatin,” timpal Tante Farida.

Kania hanya mengangguk saja, ia harus patuh dengan perintah Tante dan Neneknya jika masih ingin tinggal di rumah itu. Ibu nya Kania itu bekerja, wanita itu menjadi staff cleaning service di sebuah kantor, sedangkan Kakak Kania bekerja sebagai pelayan restoran.

Gaji keduanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, makanya Ibu belum bisa mengajak Kania dan Kakaknya untuk menyewa rumah. Selain itu, enggak ada yang menjaga Nenek di rumah. makanya mereka memutuskan untuk bertahan di sana dengan segala cacian dari Tante Farida dan juga Dika.

Setelah selesai makan malam dan mencuci piring, Kania naik ke balkon rumah untuk mengangkat jemuran. Namun sialnya ternyata di luar gerimis, membuat Kania harus ekstra cepat mengangkat semua jemuran milik orang rumah.

“Sial!!” pekiknya kesal.

Namun penderitaannya belum berakhir sampai situ saja, saat akan hendak menuruni tangga kaki Kania terpeleset karena lantai balkon yang licin akibat lumut, semua jemuran yang ia angkat itu jatuh ke genangan air dan basah.

“Aaarghhhhh!!!” Kania menangis, ia benar-benar kesal dengan hari ini, saat mencoba untuk bangun tiba-tiba saja pergelangan kakinya terasa linu.

“BRENGSEKKKK!! INI SEMUA GARA-GARA KAREN!!!” teriaknya, Kania mengepal tangannya dengan kuat. Dalam hati, ia tidak akan membiarkan Karen mendapatkan semua apa yang seharusnya menjadi milik Kania.