“Makan dulu, Mbak.” ucap Tristan saat Stella keluar dari kamarnya.
Tristan sudah tau apa yang terjadi dengan Jelang, dan dia juga bekerja sama dengan Stella dan Davin. Semalam, Davin berhasil mengambil sampel darah dari TKP untuk Stella periksa lagi keabsahanya.
Karena tahu Stella di awasi, maka Tristan lah yang mengambil sampel darah itu di tempat yang sudah di beritahu oleh Davin. Hari ini Stella menyuruh Tristan untuk melakukan kegiatanya seperti biasa, Stella ngerasa dia gak bisa nyeret Tristan lebih jauh untuk hal ini. Biar bagaimana pun Tristan baru memulai perkuliahanya.
“Ta?” panggil Stella, saat keduanya sedang sarapan bersama.
“Kenapa, Mbak?”
“Terima kasih yah.”
Tristan mengangguk, baginya yang ia lakukan kemarin bukan apa-apa. Tristan juga sangat mengkhawatirkan Jelang, namun Stella bilang kalau ia yakin Jelang baik-baik saja dan berjanji akan segera menemukan Jelang.
“Sama-sama, Mbak. Tapi Mas Jelang dimana yah, Mbak?”
Stella menunduk, ia juga belum tahu keberadaan Jelang dimana. Tapi ia yakin, secepat mungkin Jelang akan segera menghubunginya. Jelang mungkin bersembunyi di suatu tempat karena ia tidak bisa pulang ke rumah. Polisi akan mencarinya ke rumah, Jelang paham akan itu.
“Nanti Mbak kabarin Tristan kalau Mbak udah dapat kabar dari Mas Jelang.” Stella menepuk pundak pemuda itu, ia tidak bisa sarapan lama-lama maka dari itu Stella segera berpamitan pada Tristan untuk berangkat bekerja.
Hari ini Stella harus bekerja seperti biasa, selain itu, Ia juga harus melakukan pemeriksaan kembali pada sampel darah di TKP. Sembari menunggu Davin memberi info dari Hellen mengenai ponsel Jelang.
Begitu sampai di BFN, sebelum masuk ke dalam gedungnya Stella sempat menarik nafasnya dulu. 2 hari ia tidak bekerja, semoga tidak ada sesuatu yang menghambatnya lagi untuk mencari tahu tentang jebakan untuk Suaminya itu.
“Pagi, La.” sapa Ardi waktu mereka bertemu di depan lift.
“Pagi, Di.”
Stella sempat menelisik Ardi sebentar, rekan kerjanya itu tampak sama seperti hari-hari sebelumnya. Enggak ada yang mencurigakan dengan Ardi.
“Di?”
Ardi menoleh, cowok itu tersenyum seperti biasanya pada Stella. “Kenapa, La?”
“Lo tau gak siapa yang meriksa sampel darah di TKP pembakaran itu?”
“Ke..kenapa emangnya?” Stella bisa melihat, ada sedikit kepanikan dari mata Ardi saat Stella bertanya seperti itu. Ardi temannya, Stella berharap Ardi enggak akan mengkhianatinya. Pasalnya saat ini Stella enggak bisa percaya sama siapapun kecuali Davin dan Hellen.
“Gapapa, gue cuma mau tau aja, Di.”
Ardi mengangguk pelan, “Angkasa, La.”
“Angkasa...” gumam Stella. “Kalau test urine nya juga sama?”
Belum sempat Ardi menjawab, namun pintu lift sudah terbuka. “sorry ya, La. Gue duluan ada autopsi pagi ini.” ucap Davin.
Stella mengangguk, ia tidak bisa masuk ke dalam lift yang sama dengan Ardi. Karena Stella akan menuju lab lebih dulu, lab forensik ada di paling bawah gedung BFN sementara ruang autopsi ada di lantai atas. Stella enggak melakukan analisis sendiri, ia tidak bisa melakukan itu. Tapi ia kenal seseorang di lab forensik yang bisa ia percayai.
“Stella?” pekik Maudy begitu ia membuka pintu lab, Maudy tadinya akan keluar sebentar siapa sangka jika Stella akan mengambangi ruang kerjanya.
Maudy ini adalah seorang laboran laboratorium forensik, Maudy yang memegang tanggung jawab penuh lab. Maudy adalah teman dekat Stella, mereka satu kampus dulu makanya enggak heran kalau satu-satunya orang yang bisa Stella percaya itu cuma Maudy. Ya.. Meskipun ia juga akan tetap mengawasi perempuan itu saat melakukan analisis.
“Gue mau minta tolong sama lo banget, Dy.” Stella masuk ke dalam lab, dan ia kunci lab itu dulu agar tidak ada staff lain yang masuk.
“Kenapa, La?”
Stella mengeluarkan sampel darah yang Davin ambil semalam dan memberikanya pada Maudy.
“Itu sampel darah di TKP untuk kasus pembakaran, Dy. Gue mohon banget sama lo buat cek kembali DNA yang ada di dalam darah itu,” jelas Stella.
“Jelang ya, La?” tebak Maudy yang di jawab anggukan oleh Stella.
Maudy mengangguk pelan, ia mengambil sampel itu dan langsung segera mengujinya. Meski tidak mengenal Jelang lebih dekat, menurut Maudy kasus ini juga mengalami kejanggalan. Maudy lumayan mengikuti kasus ini, bagaimana tidak, jika seluruh staff BFN membicarakan masalah ini.
“Gue bakalan lakuin dua kali analisis dengan cepat, La.”
Stella mengangguk, ia duduk di salah satu kursi di sana dan memperhatikan bagaimana Maudy bekerja. Namun tidak lama kemudian ponselnya bergetar, ada seseorang yang menelfonya. Dan ternyata itu adalah nomer Bapak, karena takut terjadi sesuatu pada orang tua nya, dengan cepat Stella langsung mengangkat panggilan itu.
“Hallo, Pak?”
“La, bisa kamu ke toko sekarang?“
“Ada apa, Pak? Stella lagi ker—”
“Jelang ada di gudang toko, La. Tapi keadaanya terluka parah.“
Tanpa berpikir panjang Stella langsung mematikan sambungan telfon itu, Stella panik karena Bapak bilang kalau Jelang terluka parah.
“Dy, gue harus pergi sekarang,” Stella berdiri dan memakai tas nya kembali.
“Ada apa, La?”
“Jelang, Dy.”
Maudy mengangguk, di lihat dari sorot matanya. Maudy hanya bisa menebak jika mungkin Stella sudah menemukan kabar tentang Suaminya itu.
“Gue bakalan kirimin hasilnya ke surel lo. La. Lo bisa percayain ini sama gue.”
Stella baru ingat, kalau ia sempat mengambil potongan rambut milik Jelang saat mereka bertemu di markas kemarin. Jadi sebelum pergi, Stella merogoh tas nya kembali dan memberikan kantung obat putih berisi rambut milik Jelang.
“Ini rambut Jelang, Dy, dia sempat di tuduh make narkoba karna hasil test nya positif. Gue minta tolong buat lakuin pengecekan sekali lagi.”
Maudy mengangguk, ia mengambil rambut itu dan menepuk pundak Stella pelan sebelum temannya itu melesat pergi.
Di dalam gudang tempat Jelang bersembunyi, laki-laki itu masih menahan rasa sakit yang menyerang perutnya. Bapak mertua nya itu tadinya mau menutup toko mie ayamnya, tapi Jelang larang. Kalau toko itu tutup, polisi atau orang yang mengawasinya bisa curiga.
Jadi Bapak tetap membuka toko itu, setelah menggantikan baju Jelang dan menyumbat darah yang terus keluar dengan handuk bersih.
“Arghhh...” Jelang mengerang, rasa sakitnya semakin tidak karuan membuat keringatnya kembali menetes.
Jelang akhirnya memejamkan mata, ia berusaha untuk tetap sadar sampai Stella datang. Bapak tadi bilang kalau Bapak sempat menelfon Stella untuk datang ke toko.
Sembari memejamkan matanya, kadang Jelang membayangkan hari-hari yang akan ia dan Stella jalani jika sudah keluar dari masalah ini. Jelang itu hobi nya naik gunung, ia mungkin akan mengajak Stella untuk menjelajahi gunung bersama, atau mengajak Istrinya itu berlibur. Jelang tersenyum pada skenario yang ia buat di kepalanya sendiri, sayup-sayup matanya terbuka dan menampakan Stella yang hendak tersenyum di depanya.
“Lang?” panggil Stella, Jelang tidak menyahut. Ia pikir itu hanya khayalanya saja, namun semakin lama panggilan itu semakin terasa nyata.
Jelang akhirnya sadar, ia membuka matanya sepenuhnya begitu sadar Stella benar-benar di hadapanya. Bukan dengan senyum, melainkan dengan raut wajah kekhawatiranya.
“La..” sapa nya lirih.
“Bapak bilang kamu luka? Aku liat dulu luka nya, Lang. Biar aku obatin.”
Jelang hanya mengangguk pelan, dengan susah payah di bantu Istrinya itu Jelang mengubah posisi tidurnya. Ia menyingkap baju yang di kenakanya agar Stella bisa melihat luka yang ada di samping perutnya itu.
Waktu Stella ngeliat luka di perut Jelang, perempuan itu menghela nafas keputusasaanya. Sungguh, ia tidak akan membiarkan keadaan ini berlangsung lama.
“Aku bakalan jahit luka nya, tapi aku gak punya bius. Kamu bisa tahan kan, Lang?” tanya Stella dengan nada khawatirnya.
Jelang hanya mengangguk pelan, mau tidak mau ia harus menahan rasa sakitnya lagi. Jika terus di biarkan, luka itu akan terus mengeluarkan darah yang akan membuat Jelang kehilangan banyak darahnya.
“Tahan yah.”
Stella menyiapkan peralatan yang akan ia pakai untuk menjahit luka Jelang, ia sempat membersihkan luka itu dulu sebentar. Sebelum memulai menjahit luka Jelang, Stella sempat mengambil sapu tangan yang ada di tas nya dan memberikan itu pada Jelang.
“Gigit ini, Lang. Ini bakalan sakit, tahan yah. Aku bakalan lakuin ini dengan cepat.” Stella kasih sapu tangan itu, saat ini Jelang enggak boleh berteriak. Toko orang tua Stella sedang ramai, jika Jelang berteriak itu hanya akan mengundang perhatian banyak orang untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Arghhhmmm...” erang Jelang tertahan, ia berusaha mengatur nafasnya ketika Stella menusukan neddle hacting pada tubuhnya.
Sebisa mungkin Jelang meremat bantal yang ada di sampingnya dengan kencang, keringat yang semula kering itu kembali membanjiri. Sungguh rasanya Jelang ingin tidak sadarkan diri saking sakitnya.
“Tarik nafas, Lang..” ucap Stella, ia masih berkonsentrasi untuk menjahit luka Suaminya itu.
“Aaahh...” nafas Jelang terengah-engah.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Stella menjahit luka itu, hanya sekitar 3 menit saja ia sudah selesai. Jelang juga sudah jauh lebih tenang, walau nafas laki-laki itu masih terengah-engah. Luka nya sudah rapat, namun nyeri dan sakitnya itu urung kunjung hilang.
“Jelang? Masih dengar suara aku kan?” Stella ingin memastikan jika Jelang masih sadar, mata cowok itu terpejam. Dan saat Stella bertanya beruntungnya Jelang masih merespon dengan anggukan kecil.
“Maafin aku yah, Lang. Aku gak punya bius.”
Jelang membuka matanya, laki-laki itu tersenyum lemah. Stella sempat memberikan obat pereda nyeri untuk Jelang, ia juga sempat berbicara pada orang tuanya dulu. Memberitahu pada kedua orang tua nya apa yang harus mereka katakan jika polisi datang untuk mencari Jelang.
Setelah itu, Stella kembali lagi ke gudang penyimpanan bahan baku. Waktu Stella masuk, Jelang sedang melamun. Cowok itu sudah tidak berkeringat, nafasnya juga sudah jauh lebih stabil.
“Udah enggak sakit, Lang?” tanya Stella, ia duduk di samping cowok itu.
Jelang tiduran di lantai, hanya beralaskan selimut tebal dan satu bantal untuknya. Cowok itu beristirahat di antara sayur-sayuran, tabung gas dan juga tepung untuk membuat mie.
“Masih, La. Tapi enggak kaya tadi.”
Stella mengangguk pelan.
“Ak..aku DPO yah, La?” tanya Jelang.
Kedua mata mereka bertemu, tatapan lemah itu seakan menusuk hati Stella. Ini benar-benar titik terendahnya Jelang, Stella baru saja mendapat kabar dari Hema jika Jelang di tusuk dengan cutter oleh salah satu napi di sel nya.
“Um..” jawab Stella.
“Aku sengaja kabur, La. Aku enggak mau diam aja biarin kamu nyari tahu sendirian.”
“Lang...”
“Ini bahaya, La. Enggak mungkin aku biarin kamu lakuin semuanya sendirian, lagi pula kasus ini masalah aku.”
“Masalah kita, Lang. Kasus ini udah melibatkan kamu. Jadi itu masalah kita, kamu pikir aku bakalan diam aja liat kamu kaya gini?”
“La, kamu gak kenal gimana seberbahaya nya orang itu.”
“Aku bisa lebih berbahaya dari orang itu kalo begitu,” kata Stella tegas.
Jelang terdiam, Stella itu keras kepala. Percuma saja berdebat dengan perempuan itu karena Stella akan tetap pada pendirianya.
Setelah perdebatan kecil itu, keadaan menjadi hening. Namun tidak lama kemudian ponsel milik Stella berbunyi, menampilkan notifikasi dari surel miliknya yang baru saja menerima pesan dari Maudy.
Itu adalah hasil DNA yang ada di TKP, hasil test narkoba Jelang belum keluar karena Stella menggunakan media rambut, akan lebih lama prosesnya. Paling cepat, Maudy baru bisa mendapatkan hasilnya sekitar 24 jam hingga tiga hari.
Hasil DNA itu sama, itu benar-benar darah milik Jelang. Namun yang membuat Stella bingung adalah keterangan yang di berikan oleh Maudy setelahnya.
“Ada yang aneh..” gumam Stella.
“Ada apa, La?”
“DNA di TKP menunjukan kalau itu emang darah kamu, Lang. Tapi kenapa darah yang ada di TKP mengandung EDTA?”
“EDTA?”
“Um,” Stella mengangguk. “Kamu tau tabung kecil buat naruh darah kalau kita lagi melakukan pemeriksaan di rumah sakit?”
Jelang mengangguk.
“EDTA itu gabungan antikoagulan dan ion kalsium untuk hentikan koagulasi, fungsinya untuk mencegah darah yang di ambil menggumpal sebelum di lakukan test darah. EDTA ini cuma ada di dalam tabung itu, itu artinya ada orang yang numpahin darah kamu di sana.” jelas Stella.
Jelang sempat terdiam sebentar, sampai sesuatu terlintas di kepalanya. Ia memang sempat melakukan pemeriksaan darah sebelum menikah, waktu itu Jelang sempat demam. Dokter yang memeriksanya sempat menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah.
“Aku baru ingat, La. Aku sempat cek darah sebelum kita nikah.”
“Kapan?”
“Tiga minggu yang lalu, waktu itu aku sakit. Aku sempat demam seminggu, kemungkinan orang itu nyuri darahku dari rumah sakit?” Jelang menoleh ke arah Stella.
Stella mengangguk, “bisa jadi, karena darah yang udah di lakuin test bakalan jadi sampah medis dan di buang.”
Baru saja Jelang ingin mengubah posisinya, tiba-tiba saja perutnya terasa nyeri kembali.
“Arghh...” erangnya.
“Kamu mau ngapain, Lang?” Stella yang berada di samping Jelang itu jadi sedikit panik, ia membantu Jelang untuk bersandar di lemari pelan-pelan. Sampai keduanya tidak menyadari jika wajah mereka sedekat ini.
Stella lebih dulu sadar, ketika mata nya bertemu dengan mata Jelang. Jantungnya berdegub tidak karuan, ia baru menyadari jika Jelang satu-satunya laki-laki yang bisa mengertinya, bukan hanya kelebihan, Jelang juga memahami kekuranganya. Bukan hanya Stella saja yang berdegub tapi Jelang juga.
“Jangan liatin aku kaya gitu, La. Jantung aku berdegub gila-gilaan. Aku takut darah dari luka aku merembas lagi.” hanya karena tatapan itu Jelang lupa kalau Stella sudah menjahit lukanya.
“Aku juga, Lang.”
“Hm?”
“Aku juga ngerasain hal yang sama, karena aku suka sama kamu, Lang.” bisik Stella.
Perempuan itu tersenyum, jawaban itu membuat Jelang sedikit salah tingkah. Ia sempat mengira jika ini adalah imajinasinya saja, namun ternyata tidak. Stella membuatnya sadar dan semakin jelas jika ini semua nyata. Apalagi saat kedua tangan itu menangkup rahangnya, membawa bibirnya untuk menyapa bibir mungil Istrinya itu.
Bibir Stella mengecup bibir bawah Jelang, melumat bibirnya sangat pelan, seperti ia tengah mengungkapkan kasih sayang, pengakuan cinta sekaligus kekhawatiran dari ciuman itu. Tangan Jelang yang semula berada di lantai, kini beralih memegang pinggang Stella. Ia juga memberanikan diri untuk membalas ciuman itu, kedua mata anak manusia itu terpejam.
Ciuman mereka sempat terhenti, kedua mata mereka terbuka dan saling tersenyum satu sama lain. Jemari kurus itu mengusapi wajah Jelang yang nampak pucat pagi itu, sampai akhirnya, tangan Stella membawa wajahnya lebih dekat dan memulai kembali ciuman mereka, tidak ada gerakan tergesa-gesa, mereka hanya saling mengecup dengan gerakan sepelan mungkin.
Keduanya sampai tidak sadar, jika di ambang pintu yang terbuka kecil itu ada Ibu yang tengah berdiri hendak akan mengambil bahan baku.
Ibu enggak jadi masuk, beliau hanya tersenyum melihat putrinya tengah mencium Suaminya sendiri. Hati Ibu lega, Ibu sempat berpikir pernikahan Stella dan Jelang tidak di landasi dengan cinta. Namun hari ini, pemikiran buruk itu telah sirna.
To Be Continue