By Spring Seasonnn

10 bulan kemudian

Cuaca malam yang semakin dingin itu membuat Stella tidak bisa tidur, ia masih duduk di depan api unggun sembari sesekali menyesap coklat panas miliknya dan melihat-lihat foto di ponsel lamanya.

Sesekali Stella tersenyum melihat foto-foto lama miliknya, dulu sekali, Stella sama sekali enggak nyangka kalau dia bisa bertahan sejauh ini. Bisa mewujudkan keinginan-keinginan yang dulu ia pikir sangat susah di raih. Keterbatasannya bukan soal kemampuan, tapi financial selalu saja seperti itu sejak Bapak berhenti bekerja.

Stella tersenyum, ia kembali memutar video sepuluh bulan yang lalu Jelang buat untuknya. Video yang tidak pernah bosan ia lihat setiap kali ia merindukan Jelang, meski sudah berkali-kali di lihat, Stella masih tetap terharu saat melihatnya lagi.

Apalagi saat menyadari satu persatu keinginannya terwujud bersama dengan Jelang. Stella tiba-tiba saja jadi ingat saat pertama kali ia bertemu Jelang di kelas, laki-laki itu sedang asik mengobrol dengan teman-temannya.

Waktu itu Stella sering merasa enggak nyaman kalau kemana-mana harus sendiri, seperti istirahat, melakukan piket kelas dan kerja kelompok. Stella sering merasa di asingkan karena dia adalah murid akselerasi di kelas, ia yang termuda di angkatan itu.

Dan saat Stella memutuskan untuk hampir keluar, Jelang menahannya, entah angin apa pada saat itu yang membawa Jelang sering menemaninya saat jam istirahat, Jelang juga sering mengajaknya masuk ke dalam kelompok belajarnya. Sampai akhirnya mereka pun lulus bersama.

Waktu Stella mengalami cidera dan tidak bisa masuk kepolisian, Jelang juga yang ada untuknya. Jelang bilang Stella bisa punya jalan lain dan gagal menjadi polisi bukanlah akhir dari hidupnya. Sampai akhirnya Stella memutuskan untuk mengambil kedokteran dan tertarik pada bidang forensik.

Waktu itu, Stella sempat terhalang biayah, hutang Bapak dan Ibu sudah terlalu banyak. Saat itu Jelang juga yang membantu Stella mencarikan beasiswa sampai akhirnya Stella bisa lulus dari fakultas kedokteran, dan impian Stella yang terakhir adalah rumah. Dan Jelang jugalah yang membuatnya mewujudkan impian itu.

Stella tersenyum, ia menyimpan ponselnya di saku dan kembali menyesap coklat panas miliknya lagi. Langit dari atas Bukit Cinta Gunung Bromo malam itu nampak indah, Stella bisa melihat hamparan bintang dari atas sini yang jarang sekali ia lihat di kotanya tinggal.

Sedang asik menikmati indahnya langit malam itu, tanpa ia sadari laki-laki yang tadinya sudah ia pastikan tidur di dalam tenda yang mereka dirikan itu keluar. Ia berdiri di belakang Stella dengan senyum yang merekah, tanpa ragu-ragu ia peluk perempuan itu dari belakang. Lenganya mendekap kedua bahu Stella dan mencium pipi kanan nya dari samping.

“Kok belum tidur?” tanyanya.

Stella hanya menggeleng pelan, “belum bisa tidur.”

“Harusnya bangunin aku.” ia cemberut, membuat Stella terkekeh pelan. Pipi yang dulu tampak tirus itu jadi semakin terlihat berisi.

“Kamu kenapa bangun?”

“Kaget, karena tiba-tiba kamu gak ada di sebelah aku.”

Stella tidak menjawab lagi, ia hanya tersenyum sembari mengusap pergelangan tangan laki-laki itu yang ada di atas dadanya.

“Sepuluh bulan yang lalu rasanya berat banget yah, Lang.” ucap Stella, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Suaminya itu.

“Um, tapi sepuluh bulan lalu juga aku bahagia banget karena bisa nikahin kamu.”

Stella mengangguk, ia juga bahagia bisa menikah dengan Jelang. Meski hari-hari setelah mereka menikah begitu berat, tapi setidaknya mereka melalui hal-hal berat itu berdua.

Jelang memang sempat kritis tiga hari karena insiden penangkapan itu, syukurnya laki-laki itu bisa pulih. Jelang juga enggak dapat hukuman apa-apa karena tindakannya yang di nilai gegabah karena sempat kabur, begitu pun dengan Stella.

Soal Ardi, laki-laki itu di beri hukuman karena di anggap memalsukan barang bukti, Ardi juga di pecat dari BFN. Tapi Stella lega karena Ardi benar-benar mengakui kesalahannya dan meminta maaf dengan Jelang dan Stella.

Dan saat ini mereka memutuskan untuk mengambil jatah cuti mereka, Jelang bilang ia ingin mengajak Stella menjelajahi tempat-tempat indah yang dulu Jelang datangi sendiri. Stella itu masih pemula kalau soal pendakian, dan tujuan utama mereka adalah Bromo.

“Lang?”

“Hm?”

“Sejak kapan kamu suka sama aku?” Stella cuma penasaran aja, kapan Jelang mulai menyukainya. Selama ini Jelang cuma bilang kalau ia sudah lama menyukainya tanpa menjelaskan sejak kapan ia memulainya.

“Hhmm...” Jelang berdeham sebentar, “waktu pertama kali kamu pindah kelas, kamu sering banget sendirian. Makan sendiri, sering gak dapat kelompok belajar juga, piket juga sendiri. Tapi aku mulai sadar kalau aku suka sama kamu, waktu kamu lagi ngerjain soal kalkulus di papan tulis.”

Stella mengerutkan keningnya bingung sembari menatap Jelang, memang apa istimewa nya dari mengerjakan soal kalkulus di papan tulis? Pikir Stella. “kenapa?”

“Keren aja, kamu nyelesain soalnya gak sampai lima menit,” jelas Jelang.

Stella terkekeh, “makanya waktu itu kamu mulai deketin aku duluan?”

Jelang mengangguk, tapi sejujurnya Jelang juga penasaran sejak kapan Stella menyukainya. Jelang pernah punya pemikiran jika Stella tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat sejak dulu, lalu tiba-tiba saja Stella bilang kalau ia menyukainya. Apa perasaan itu tumbuh saat mereka menikah? Tapi masa iya secepat itu? Pikirnya.

“Kalau kamu?”

Stella tersenyum, jujur ia memang belum lama menyukai Jelang. Tidak, sepertinya Stella hanya telat saja menyadari jika ia menyukai Jelang. Selama ini hidupnya hanya fokus pada impian-impiannya yang harus terwujud, tanpa ia sadari perasaanya sekaku itu, Stella buta untuk mengetahui jika Jelang orang teristimewa di hidupnya.

“Aku itu kaku, Lang. Aku buta, tujuan hidup aku dulu cuma bagaimana caranya aku bisa wujudin semua impian-impian aku. Sampai aku enggak sadar semua itu berkat kamu. Waktu tau kamu luka, aku ngerasa dunia yang aku bangun kokoh itu runtuh. Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku takut kehilangan kamu. Tapi dari situ aku sadar, kalau kamu seistimewa itu di hidup aku.” Stella mengusap pergelangan tangan Jelang.

“Waktu kita menikah, aku rasa perasaan itu udah tumbuh. Tapi aku masih sering nyangkal, aku takut aku jatuh sendirian.”

Kedua nya tersenyum, malam itu benar-benar menjadi malam yang indah untuk keduanya. Stella tahu ini bukan akhir dari segalanya, tapi jika hari esok tidak akan ada, setidaknya ia sudah mewujudkan semua impiannya, ia juga sudah menemukan tujuan dan rumah sesungguhnya.

“Aku sayang kamu, Lang.” bisik Stella.

“Aku juga..” bisik Jelang, seiring dengan pelukannya yang semakin erat dan kecupan yang menghujami pucuk kepala Istrinya itu.

SELESAI

Ini adalah hari kedua Stella menemani Jelang di rumah sakit, setelah insiden penangkapan itu, Jelang mengalami pendarahan pada luka yang ada di perutnya dan juga di paha kirinya, Jahitan yang belum menyatu itu infeksi akibat aktifitas berat dan hajaran yang di dapatkan Jelang kemarin.

Karena pendarahan itu juga, Jelang harus mendapatkan transfusi darah hingga 3 kantung. Dan saat ini Jelang belum juga sadar, luka-luka di wajah dan tubuh Stella sudah mengering namun tidak dengan luka di hatinya.

Soal Tristan, laki-laki itu baik-baik saja. Davin dan Hema tepat waktu dalam menyelamatkan Tristan, walau begitu, Tristan masih di rawat karena kepalanya yang luka akibat hajaran dari stick baseball yang di dapatkan nya.

Stella belum tahu kelanjutan hukuman yang di dapatkan oleh Dion dan juga kuasa hukumnya, dia belum sanggup untuk mengikuti sidang kasusnya, dia masih memikirkan Jelang yang belum juga sadar.

Sedang asik memperhatikan Jelang yang masih tertidur pulas di ranjangnya, tiba-tiba saja pintu ruangan rawat Jelang terbuka, menampakan Ibu mertuanya itu di sana. Namun Stella masih bergeming, matanya tidak lepas menatap Jelang.

“Stella, istirahat dulu, sayang. Dari kemarin kamu belum pulang,” ucap Ibu.

“Nanti yang jagain Jelang siapa, Buk..” suara parau itu menambah kesedihan di hati Ibu nya Jelang. Selama bertahun-tahun putra nya berteman dengan Stella, baru kali ini Ibu melihat Stella sehancur itu.

Dulu, Ibu pernah melihat tatapan sedih itu juga waktu tahu Stella cidera di kaki dan tidak lolos mengikuti ujian kepolisian. Tapi kali ini, tatapan itu jauh lebih menyakitkan.

“Ada Ibu sama Bapak yang jagain Jelang. Nanti kalau Stella sudah istirahat, Stella boleh jagain Jelang lagi disini.”

Stella tidak menjawab, ia hanya menatap pautan tangannya dan tangan Jelang. dokter bilang keadaan Jelang sudah jauh lebih baik, tapi yang membuat Stella bingung kenapa hingga hari ini Jelang belum siuman juga.

“Di luar ada Ibu sama Bapakmu, La. Pulang dulu istirahat yah. Ibu sama Bapak yang jagain Jelang disini.” Ibu menyentuh pundak Stella, mengusapnya penuh kasih sayang. Ibu itu enggak punya anak perempuan, makanya Ibu benar-benar sayang sama Stella dan menganggapnya seperti anaknya sendiri alih-alih menantu.

“Tapi Ibu harus kabarin Stella kalau Jelang bangun yah, Buk.” Stella menoleh ke arah Ibu, dengan wajah sedikit pucat dan kantung mata yang membesar itu. Ia benar-benar kurang beristirahat.

“Iya, Ibu pasti kabarin Stella.”

Stella mengangguk, setelah berpamitan pada mertuanya itu. Ia akhirnya pulang di antar Bapak dan juga Ibu nya, Ibu dan Bapak juga akan menginap di rumah Jelang dan Stella untuk menjaga putri mereka. Mereka tidak tega meninggalkan Stella sendirian dengan kondisi seperti ini.

Di perjalanan, Ibu melirik Stella yang duduk di kursi belakang mobil. Pandanganya masih kosong, menatap jalanan yang pagi itu tampak sedikit lenggang.

“Stella?” panggil Ibu yang membuat Stella menoleh ke arahnya.

Ibu memberikan ponsel lama miliknya yang waktu itu Stella kasih ke Jelang, ponsel itu tertinggal di gudang toko. Dan Ibu menyimpannya.

“HP kamu yang waktu itu kamu kasih ke Jelang,” ucap Ibu.

Stella tidak menjawab, ia hanya mengambil ponsel itu. Setelahnya, tidak ada lagi obrolan di antara Bapak dan Ibunya. Kedua orang tuanya juga enggak mau banyak nanya ke Stella, mereka tahu Stella masih mengkhawatirkan keadaan Jelang

Saat sudah sampai rumah, Stella langsung membersihkan tubuhnya dan hendak akan beristirahat sebentar. Namun saat ia masuk ke dalam kamarnya dan Jelang, Stella mematung memandangi ranjang milik Jelang yang masih sangat rapih itu.

Terakhir kali Jelang menidurinya saat mereka akan kembali bekerja setelah menikah. Setelah itu, kekacauan terus terjadi hingga Jelang belum lagi meniduri ranjang miliknya sendiri.

Stella sangat merindukan Jelang, sungguh. Walau terkadang Jelang suka membuatnya jengkel, tapi Jelang adalah orang yang paling bisa mengerti dirinya sendiri.

Bahkan di saat Stella menyerah dengan impiannya dulu, Jelang adalah orang yang ada dan meyakinkannya jika Stella mampu hingga ia bisa berada di posisinya sekarang ini. Jelang lebih spesial dari sekedar teman di hidupnya tanpa Stella sadari.

Stella sudah tidak sanggup menangis, air matanya sudah terasa kering dan tubuhnya begitu lelah. Ia akhirnya memutuskan untuk berbaring di ranjang Jelang, menghirup aroma selimut yang masih meninggalkan harum khas tubuh Suaminya itu di sana.

Karena matanya belum merasa mengantuk, akhirnya Stella mengambil ponsel lama miliknya. Niatnya hanya ingin melihat foto-foto lamanya dan Jelang, namun siapa sangka jika ia menemukan video yang di buat Jelang di gudang toko.

“hai, La.” di video itu, Jelang tersenyum walau dengan wajah pucatnya. Entah kapan laki-laki itu merekamnya.

aku enggak nyangka, kamu masih nyimpan foto-foto lama kita. Aku bahkan kehilangan foto-foto lama kita gara-gara HP ku kecopetan.” Jelang tertawa.

kamu ingat gak, La. Habis akad kita sempat kabur ke rooftop gedung yang ada di samping mesjid? Terus kamu nanya ke aku, kalo gak akan ada hari besok apa hal yang mau aku lakuin.” Jelang tersenyum, telinganya berubah menjadi kemerahan entah karena apa.

Itu membuat Stella ikut tersenyum juga walau hatinya terasa sakit, ia sangat merindukan Jelang tersenyum dan menatapnya hangat seperti itu.

ada hal lain yang belum aku bilang selain aku udah wujudin keinginan orang tuaku buat lihat aku menikah. Kamu tau gak itu apa, La?” pada rekaman itu, Jelang menatap kamera seolah-olah di depannya ada Stella yang melihatnya. Dan itu membuat air mata Stella bertambah deras.

aku mau bilang kalau aku sayang sama kamu, La. Maaf karena aku enggak pernah berani bilang dari dulu, itu karena aku enggak mau kehilangan kamu, La. Aku tau kamu cuma anggap aku sebagai teman kamu. Kalo hari besok enggak akan pernah ada buat aku, aku mau bilang kalau aku suka sama kamu lebih dulu, La. Kamu tau gak La waktu kamu bilang kamu suka sama aku, rasanya kaya mimpi. Aku enggak nyangka perasaan aku akhirnya berbalas.” Jelang tertawa, namun tidak lama kemudian ia meringis memegangi perutnya.

aku pikir aku jatuh cinta sendirian. La, kalo aku di kasih kesempatan lagi buat lihat hari besok. Aku mau ngajak kamu ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi, ke tempat yang indah. Aku mau nyatain perasaanku di sana dan bilang terima kasih karena kamu udah mau jadi teman, keluarga dan Istri buat aku. La, aku berharap kita bisa lihat video ini berdua. Tapi kalau pun enggak, aku harap kamu baik-baik aja waktu lagi lihat video ini.

Stella tidak sanggup melihat video itu lagi, tubuhnya bergetar karena isak tangisnya yang semakin menyesakan. Stella tidak perduli pada ponselnya yang terjatuh, ia sibuk dengan tangisnya sembari sesekali memukul dadanya yang terasa semakin sesak.

To Be Continue

beberapa jam sebelum Jelang melakukan penangkapan...

Jelang dan rekan-rekannya yang lain sudah bersiap melakukan penangkapan hari ini, Pak Wira sudah membuatkan surat perintah penangkapan. Sebelum berangkat menuju kantor tempat Dion dan kuasa hukumnya berada, Jelang sempat berpamitan dulu dengan Stella. Meskipun Istrinya itu cemberut, Jelang tahu Stella enggak setuju kalau Jelang ikut terjun langsung menangkap Pak Dion. Tapi Jelang terus bersih keras meyakinkan Stella bahwa harus dialah yang menangkap pria itu.

“Yang lain kan bisa, Lang. Lagi pula, korban nya kan disini kamu. Masa kamu juga yang harus nangkap?” ucap Stella sebelum Jelang pergi.

Jelang sedang duduk di kursi kecil depan rak sepatu, laki-laki itu sedang memakai sepatu dan Stella berdiri tepat di sebelahnya.

“La, emang aku korban nya. Tapi kasus pembunuhan dia itu kasusnya masih aku yang pegang, lagi pula, Ini salah satu upaya aku buat bersihin nama baik aku dan kepolisian,” jelas Jelang.

Stella masih cemberut, perempuan itu melipat kedua tangannya di dada dan menendang sepatu yang hendak Jelang pakai hingga sepatu itu melesat agak jauh dari tempat Jelang duduk, Jelang yang melihat itu hanya bisa menggeleng kepalanya saja.

“Emang kamu bakalan di bayar lebih buat ini?” ucapnya lagi.

Jelang menghela nafasnya pelan, Stella kalau kalah berargumen itu bakalan terus nyari-nyari celah supaya ucapannya di dengar. Tapi Jelang enggak mau ambil pusing soal itu, jadi dari pada berdebat tanpa ujung lebih baik ia segera pergi.

“Aku pergi dulu yah.” Jelang berdiri setelah selesai memakai sepatunya, ia menatap wajah Stella yang semakin masam saat melihatnya.

Stella yang sudah terlanjur badmood itu akhirnya masuk ke dalam rumahnya, membiarkan Jelang pergi. Setelah memastikan mobil yang di pakai Jelang sudah menjauh dari pekarangan rumah mereka, Stella langsung mengambil ponsel miliknya dan mengetikan pesan untuk Hema dan Davin.

Stella cuma berpesan kepada dua rekan Jelang itu untuk menjaga Jelang, Stella juga bilang kalau luka di perut Jelang belum sepenuhnya pulih. Dan beruntungnya Davin dan Hema mengerti kekhawatirannya.

Hari ini Stella libur, ia tidak ada acara apa-apa, mungkin ia hanya akan berdiam diri di rumah sembari sesekali membereskan rumah barunya. Baru saja Stella ingin bersantai menonton televisi, Tristan yang Stella pikir belum bangun itu justru keluar dari kamarnya.

Laki-laki itu sudah tampak rapih dengan kemeja berwarna olive yang ia jadikan luaran dengan kaus putih polos di dalamnya.

“Ada kelas, Ta?” tanya Stella.

“Iya, Mbak. Ngomong-ngomong Mas Jelang kemana, Mbak?” tanya Tristan, waktu matanya tidak sengaja melihat keluar dan tidak menemukan mobil Jelang di depan pagar rumah mereka.

“Mas kamu tuh keras kepala, pergi dia. Katanya mau ikut ngelakuin penangkapan sama bajingan yang jebak dia.”

Tristan mengerutkan keningnya, setahunya. Jelang itu belum pulih, bahkan semalam ia tidak sengaja memergoki Kakak sepupunya itu merintih saat baru selesai mandi. Jelang juga sempat bilang kalau luka nya masih terasa perih setiap kali ia banyak melakukan aktifitas fisik.

“Emang luka di perutnya gapapa tuh, Mbak?”

“Haaa...” Stella menghela nafasnya pelan, ia menyandarkan punggungnya pada sofa “Dia itu susah, Ta. Kepalanya keras melebihi batu. Tapi tenang aja, Mbak udah titip-titip dia sama temannya kok.”

Tristan akhirnya mengangguk, walau sebenarnya ia juga khawatir dengan Jelang, tapi Stella benar. Jelang susah sekali untuk di larang jika sudah menyangkut hal seperti ini, Tristan kemudian melihat arloji miliknya dan seketika membulatkan matanya. Kelasnya akan di mulai 20 menit lagi.

“Mbak, kalo gitu Tata jalan deh, Udah telat banget ini. ” Tristan menghabiskan susu kotak yang tadi ia tuang ke mug miliknya, kemudian langsung melesat keluar dari rumah.

“Hati-hati, Ta.”

Stella kembali menonton TV yang saat itu sedang menayangkan sebuah drama, jarang-jarang sekali Stella punya waktu untuk menonton drama seperti ini, tapi tidak lama kemudian dari arah luar rumahnya. Stella mendengar seperti ada bunyi kencang, seperti benda jatuh atau sebuah kecelakaan.

Kompleks perumahan Jelang dan Stella itu sepi, jadi kalau ada bunyi-bunyi apapun itu pasti kedengaran. Dan di blok yang di tempati Jelang dan Stella hanya terisi penghuni di 3 rumah saja yang jaraknya berjauhan dari rumah mereka, karena sisanya masih dalam pembangunan.

Karena dirasa ada yang tidak beres, Stella keluar dan betapa paniknya dia ketika melihat motor Tristan terjatuh, di belakangnya ada sebuah mobil jeep dengan beberapa pria tengah berusaha membawa Tristan masuk ke dalamnya.

Tristan melawan, ia sempat memberikan bogem mentah ke beberapa pria itu. Namun karena Tristan sendiri, ia mendapat serangan dari pria lainya hingga Tristan tersungkur beberapa kali.

“BAJINGANNN!!” pekik Stella.

Ia langsung keluar dan membantu Tristan menghajar pria-pria berbadan besar itu satu persatu, Stella yang kalah jumlah beberapa kali terjatuh saat mencoba menghalau mereka membawa Tristan pergi.

BRAKKK

Stella sempat menoleh ke arah suara itu, salah satu dari pria itu menyerang Tristan dengan sebuah stick baseball hingga Tristan pingsan dan membawanya ke dalam mobil.

“LEPASINNN!!” teriak Stella, ia menendang pria yang membopong Tristan hingga pria itu terjatuh.

Kepala laki-laki itu di hajar dengan stick baseball lumayan kencang. Makanya tidak ada perlawanan lagi darinya, Stella juga sempat melihat darah segar mengalir dari belakang kepala Tristan hingga menetes mengenai kemeja yang di pakainya.

Sialnya, Stella sudah kewalahan menghadapi pria-pria itu sendirian. Bagaimanapun juga Stella perempuan badan dan kekuatannya tidak sepadan dengan pria-pria yang menyerangnya.

Tristan berhasil di bawa pergi oleh pria-pria itu, setelah mereka berhasil melumpuhkan Stella. Stella panik bukan main, ia mengabaikan perih di sela bibirnya dan langsung berlari masuk ke dalam rumah. Stella ingat, Jelang sempat memberinya senjata api untuk berjaga-jaga.

Saat hendak mengambil senjata miliknya, ponsel milik Stella yang ia taruh di saku celananya itu bergetar. Menampilkan pesan dari nomer yang tidak ia kenali.

jangan lapor polisi jika tidak ingin Tristan mati.

Itu adalah pesan berisi sebuah ancaman, beruntungnya di saat panik melanda Stella. Ia sempat mengingat plat mobil jeep yang di pakai pria itu membawa Tristan.

“ARGHHHHHHHHH!!” teriak Stella, ia benar-benar frustasi.

Karena tidak mungkin Stella diam saja di rumah, ia akhirnya berinisiatif untuk menelfon Hema dan Davin. Ia akan meminta bantuan mereka untuk menyelamatkan Tristan, namun sayangnya panggilan darinya tidak di jawab oleh Hema maupun Davin.

Tidak ada cara lain baginya selain menghampiri Hema dan Davin, Stella akhirnya melesat pergi menuju lokasi penangkapan Dion. Ia yakin, penculikan Tristan ini adalah ulah Dion juga untuk menjadi pengecoh atas penangkapannya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Stella untuk tiba di kantor milik Dion, benar dugaannya. Gedung tinggi itu di kepung oleh mobil polisi, tapi Stella tidak melihat ada Davin, Jelang ataupun Hema di sana.

Stella hanya melihat ada anggota lainya yang sedang berjaga dan juga Pak Wira yang tengah berdiri di depan pintu masuk. Jadi, Stella akhirnya menghampiri Pak Wira lebih dulu.

“Pak Wira, Jelang dimana, Pak?” tanya Stella panik, Pak Wira yang melihat Stella panik itu juga ikut bingung. Karena tidak biasanya Stella tampak terlihat kacau dengan rambut yang berantakan dan sela bibir yang berdarah.

“Ada apa, La?”

“Pak, Tristan di culik. Adik sepupunya Jelang, Pak. Saya yakin orang itu adalah orang suruhan Dion.” tangan Stella bergetar beriringan dengan nafasnya yang tercekat, ia takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Tristan.

“Sial!!” pekik Pak Wira. “Saya akan suruh Hema dan Davin untuk ke mencari Tristan. Kamu ingat orang itu menculik Tristan pakai kendaraan apa?”

Stella mengangguk, “mobil Jeep, B1231 TAK.”

Pak Wira terlihat sedang mengetikan sesuatu di ponselnya, pria itu tengah mengabari Hellen untuk melacak keberadaan mobil itu melalui CCTV jalan dan menyuruh anggota lainya melakukan razia.

“Jelang, Pak? Luka Jelang belum pulih.”

Pak Wira tidak menjawab, ia sedang memikirkan cara agar penangkapan ini tetap berjalan lancar meski Davin dan Hema ia tugaskan menolong Tristan.

“Saya akan hubungi bantuan dari tim lain—”

Pak Wira, Pak Dion dan kuasa hukumnya enggak ada di ruangannya. Tapi Jelang ada di helipad, dia menduga Dion dan kuasa hukumnya akan kabur ke luar negeri dengan helikopter milik perusahaanya.

Itu suara Hema, Hema menghubungi Pak Wira dengan walkie talkie miliknya. Itu artinya Jelang sendirian di helipad? Pikir Stella.

“Davin dan Hema, kalian berdua turun. Ada tugas lain, Tristan adik sepupunya Jelang di culik. Saya sudah memerintahkan tim lain untuk memeriksa kendaraan bermobil dan melakukan pemeriksaan CCTV mulai dari perumahan Jelang.”

tapi Jelang sendirian di helipad, Pak.

Stella yang sudah terlanjur panik mendengar Jelang menghadapi Dion dan kuasa hukumnya sendirian itu akhirnya menerobos masuk, ia menaiki tangga darurat satu persatu untuk menuju helipad, Ia tidak akan membiarkan Jelang menangkap pelaku sendirian.

Suasana di ruangan yang di dominasi warna hitam itu begitu tegang, pria dengan wajah dingin dan angkuh itu tampak marah membaca pesan yang baru saja dia dapat. Berita soal kepolisian yang akan melakukan penangkapan padanya sudah ia dengar hari ini.

Berita soal Jelang yang sudah muncul dan membeberkan bukti-bukti jika ia di jebak juga sudah ia dengar, sekarang pria itu sedang memutar otaknya untuk bisa menyangkal itu semua.

“Enggak ada cara lain, Pak. Saya sudah memesan tiket untuk keluar negeri,” ucap Gunawan, kuasa hukum sekaligus orang kepercayaannya itu.

“Kita bisa gunakan helikopter perusahaan. Saya yakin, mereka pasti sudah menyiapkan pasukan di bandara untuk mengepung saya.”

“Tapi, Pak—”

Baru saja Gunawan ingin melanjutkan ucapannya, atasannya itu menoleh dan membulatkan matanya. Tatapannya nyalang, ia marah karena Gunawan seperti tidak yakin dengan ucapannya.

Menurut Dion ini adalah cara terbaik, ia tidak perduli Ayahnya nanti akan marah jika berita ini kembali mencuat ke media, ia juga tidak perduli jika namanya harus di hapus dari daftar pewaris perusahaan. Yang terpenting saat ini, ia tidak boleh kelihatan kalah.

“Baik, Pak. Akan segera saya siapkan.” Gunawan keluar dari ruangan itu untuk menyiapkan helikopter yang akan mereka pakai untuk keluar negeri.

Sementara itu di ruangannya Dion masih di kuasai oleh amarahnya, ia meremas tangannya sendiri dengan kesal. Ia sudah menyusun cara se rapih ini namun Jelang jauh lebih cerdik dari dugaannya.

“Saya enggak akan bikin kamu hidup dengan tenang Jelang.” Gumamnya.

Sementara itu, jauh dari dugaan Dion dan Gunawan. Di lantai dasar perusahaan yang di pimpin oleh Dion, Jelang berserta anggota lainya sudah datang untuk melakukan penangkapan pada Dion.

Semua karyawan di gedung itu mendadak panik sekaligus bingung, ketika mobil polisi mengepung gedung itu. Bahkan banyak karyawan yang merekam kejadian itu dan membicarakannya.

“Ruangan Bapak Dion Wiranto,” ucap Jelang, ia menunjukan kartu identitasnya sebagai polisi kepada resepsionis perusahaan itu.

“A..ada di lantai lima belas, Pak.”

Jelang mengangguk, ia kemudian menekan lift untuk sampai ke lantai lima belas. Namun belum sempat pintu lift terbuka, perasaan Jelang sudah tidak karuan ketika ia melihat ke arah pintu darurat.

Ia punya firasat jika bisa saja tersangka kabur lewat pintu darurat, Dion itu licik dan licin seperti belut. Dia pasti akan memikirkan cara agar bisa kabur, ada banyak kemungkinan jika ia kabur melalui pintu darurat menuju parkiran mobil, atau yang terburuk adalah, Kabur dengan helikopter perusahaan, mengingat di gedung ini terdapat helipad di bagian paling atas gedung.

Jelang menyenggol lengan Davin dan membuat lelaki itu menoleh ke arahnya, “tunggu lift nya sampai kebuka, lo naik ke atas pakai lift ini.”

“Lo mau kemana, Bang?” Tanya Davin bingung.

“Gue lewat pintu darurat,” jawab Jelang.

“Jangan sendiri, Lang. Gue ikut bareng lo.” Hema menimpali, keduanya pun langsung masuk ke pintu darurat dan naik ke lantai lima belas dari sana.

“Gue bakalan ke atas, Bang.” ucap Jelang tiba-tiba saat mereka hendak menaiki tangga kini mereka sudah setengah jalan menuju lantai lima belas.

“Mak..sud lo?” tanya Hema terbata-bata, ia berusaha mengendalikan nafasnya karena begitu lelah menaiki tangga menuju lantai lima belas, apalagi keduanya sedikit berlari.

“Helipad, bisa aja Dion pergi dengan helikopter punya perusahaanya. Gue gak mau kita kecolongan.”

Hema mengangguk, ia paham maksud Jelang. Mereka pun akhirnya berpisah saat Hema sudah tiba di lantai lima belas, sementara Jelang Ia masih terus menaiki tangga darurat menuju lantai teratas.

Saat beberapa anak tangga lagi akan sampai di helipad, Jelang berhenti ketika ponselnya bergetar dan menunjukan nama Hema di sana.

Dion dan kuasa hukumnya enggak ada di ruangannya..

Begitu mendengar ucapan itu, Jelang langsung mematikan sambungannya dan berlari dengan kencang menaiki satu persatu tangga terakhir menuju helipad. Awalnya pintu menuju helipad tidak bisa di buka, dengan susah payah Jelang mendobrak pintu itu.

“BAJINGANN!!” teriaknya emosi, ia yakin Dion dan kuasa hukumnya ada di dalam sana.

Nafas Jelang semakin memburu, ia akhirnya mengambil APAR yang ada di dekat pintu menuju helipad dan memukul gagang pintu itu hingga rusak. Begitu pintu terbuka, benar saja dugaannya. Dion dan kuasa hukumnya sedang menunggu helikopter di sana.

“Pak Dion..” ucap Jelang dengan seringainya. “Saya rasa anda gak perlu repot-repot pergi dengan helikopter, karena mobil kepolisian sudah menunggu anda di bawah.”

Awalnya Dion ingin bicara, namun Gunawan selaku kuasa hukumnya itu memberikan isyarat padanya untuk tetap diam.

“Pak Dion akan dalam perjalanan bisnis, bukanya anda tidak punya bukti lagi atas tuduhan pembunuhan itu?” ucap Gunawan.

Jelang terkekeh, “pembunuhan bukan cuma sama wanita itu, Pak Dion juga membunuh dua orang lainya.” Jelang diam sebentar, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan borgol disana.

“Atas pembunuhan Eros dan Mahardika, pembakaran gedung bekas pabrik, manipulasi bukti, percobaan pembunuhan dan pencemaran nama baik,” jelas Jelang.

Kini giliran Dion yang menyeringai, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sebuah video di sana. Seorang laki-laki yang sedang di sandra di sebuah gudang, matanya di tutup kaki dan tangannya di ikat ke kursi kayu yang di didudukinya.

“BRENGSEKKK!!” pekik Jelang saat ia sadar jika itu adalah Tristan Adik sepupunya. “Lepasin dia bajingan!!”

“Saya bisa saja lepasin dia kalau dari awal kamu datang baik-baik, Jelang.”

Pria itu menghampiri Jelang, wajahnya yang awalnya di serang rasa panik itu kembali tenang begitu melihat Jelang mendadak panik ketika mengetahui bahwa Tristan di culik.

“Dia gak ada sangkut pautnya sama gue!!”

“Sssttt....” desis Dion sembari memegang kedua bahu Jelang. “Memang gak ada, tapi karena Abangnya yang kaya pahlawan kesiangan ini. Tristan..ahh benar kan namanya Tristan?” pria itu terkekeh.

“Dia terpaksa harus menanggung dosa-dosa yang harus kamu tebus, Jelang.” lanjutnya.

Nafas Jelang tersengal-sengal. Antara emosi dan juga khawatir akan Tristan menjadi satu, ia harus menolong Tristan tapi ia juga tidak boleh melepaskan bajingan ini begitu saja. Dion dan Gunawan harus di hukum, pikir Jelang.

“Apa yang lo mau dari gue?” tanya Jelang.

“Gampang.. Cukup akui kalau itu semua perbuatan kamu dan membusuk di penjara “

Tangan Jelang yang sedari tadi ia kepal dengan kencang itu akhirnya melayang juga mendarat di wajah Dion hingga pria itu tersungkur ke aspal.

“BAJINGANNN!!! ARGHHHH.” Jelang memukul wajah Dion tanpa sempat memberi pria itu kesempatan untuk bangkit.

Namun Gunawan yang melihat atasanya itu di serang tidak tinggal diam, ia menendang Jelang hingga Jelang jatuh. Dengan sigap laki-laki itu mengambil APAR yang sempat Jelang bawa dan melamparnya ke arah Jelang, namun Jelang lebih sigap lagi karena ia langsung menghindar.

Di tengah pertarungan itu, helikopter yang menjemput Dion datang. Angin yang berterbangan karena baling-balingnya, tidak membuat Jelang kehilangan kendalinya untuk terus menahan kedua lengan Dion sialnya ia kehilangan borgol yang tadi ia bawa.

“LEPASIN!! BRENGSEKKK!” pekik Dion, ia mencoba untuk melepaskan dirinya dari Jelang. Sementara Gunawan sibuk mengarahkan pilot yang mengemudikan helikopeternya untuk segera menurunkan tali agar mereka bisa segera naik.

Karena Jelang sudah kualahan, ia akhirnya mengeluarkan pistol yang ada di saku celananya dan menodongkan pistol itu ke arah helikopter yang berada di atas mereka.

Di atas sana pilot yang mengemudikan helikopter itu terlihat panik, ia akhirnya memutar balik helikopternya untuk segera meninggalkan gedung itu.

“ARGHHHHH BAJINGANNN!!”

BUG

Dion yang murka akhirnya meninju jahitan yang ada di perut Jelang ia tahu kalau Jelang sempat di tikam oleh napi, jahitan yang belum begitu kering itu terasa ngilu hingga Jelang kehilangan keseimbangannya dan jatuh. Nafasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang kembali menjalar di perutnya.

Tidak sampai di situ, Jelang yang masih meringkuk kesakitan kemudian di hajar kembali dengan Dion, pria itu menendang perut Jelang dan memukuli wajahnya.

Sementara itu, pistol yang di bawa Jelang tadi terjatuh dan mendarat tepat di bawah kaki Gunawan. Itu adalah kesempatan bagi Gunawan untuk mengendalikan Jelang, ia mengambil pistol itu dan mengarahkannya ke Jelang.

Namun belum sempat pelatuknya ia tekan, dari arah pintu masuk helipad, Stella masuk dan mengarahkan pistol yang ia bawa ke kepala Dion.

“BERANI LO TEMBAK JELANG, GUE JUGA BAKALAN BIKIN BOSS KESAYANGAN LO INI MAMPUS DI TANGAN GUE!” teriak Stella, nafas perempuan itu juga terengah-engah karena ia berlari menaiki tangga menuju lantai teratas.

Jelang yang masih berusaha bertahan dengan rasa sakit yang mendera nya itu samar-samar melihat Stella berdiri di ujung sana, rambut Istrinya berantakan, dan ada darah di sela bibir Stella. Jelang berani bersumpah, ia akan menghajar habis-habisan orang yang berani menyentuh Stella.

“TARUH PISTOLNYA!!” teriak Stella.

Dion sudah mengangkat kedua tanganya, ia pun mengisyaratkan pada Gunawan untuk menjatuhkan pistol itu ke tanah. Dan Gunawan pun mendengarkan perintah dari atasanya itu.

Setelah itu barulah Stella berani mendekati Dion dan juga Jelang, namun siapa sangka jika Gunawan yang berdiri di belakang Stella itu menyerang Stella di saat perempuan itu lengah.

Pistol yang di pegang Stella jatuh, namun Stella dengan sigap mengambilnya kembali, menyimpannya di jaket miliknya dan menghajar Gunawan hingga pria itu tersungkur di lantai. Gunawan menjambak rambut Stella dan menampar wajahnya dengan keras.

“Aahhh.”

Sementara itu Jelang berusaha susah payah untuk mengambil pistol miliknya, ia menyeret tubuhnya ke arah pistol itu dengan menahan rasa sakit di perutnya, pasalnya jahitan itu kembali terbuka dan membuat darah merembes lagi hingga membasahi baju yang Jelang pakai.

Selangkah lagi pistol itu berada di tangannya, Dion yang menyadari jika Jelang bergerak itu kemudian berlari dan menginjak tangan Jelang hingga Jelang memekik kesakitan.

“BANGSATTTTT ARGHHHH.”

Bukan hanya tangan Jelang yang di injak, Dion juga menendang luka yang ada di perut Jelang hingga Jelang meringkuk kesakitan. Setelah itu ia ambil pistol itu dan ia tekan pelatuknya hingga mengenai paha Jelang.

DOR

“ARGHHHHHHHH.” pekik Jelang kesakitan.

Stella yang mendengar suara tembakan itu lengah, apalagi saat ia melihat darah segar mengalir dari paha Jelang. Cengkraman kuat tangannya di kerah kemeja yang di pakai Gunawan itu sedikit mengendur.

“Jelang!!!!” pekik Stella, air matanya terjun bebas begitu saja membasahi kedua pipinya.

“Tembak mereka, La!! Tembak!!” teriak Jelang.

Jelang sangat ingat jika pistol yang ia bawa hanya terisi satu peluru, dan peluru itu sudah keluar dan mengenainya. Itu artinya pistol yang di tangan Dion tidak terisi peluru apapun.

Stella dengan sigap mengeluarkan pistol miliknya, ia menodongkan pistol itu ke arah Dion. Namun Gunawan yang tadinya tersungkur karena hajaran Stella itu bangkit dan meninju wajah Stella hingga perempuan itu mundur beberapa langkah.

Stella tidak boleh lengah, maka dari itu ia berlari dan menendang perut Gunawan. Karena Gunawan terus melawan, Stella akhirnya menghajar kepala pria itu dengan pistol di tanganya hingga Gunawan tidak sadarkan diri.

Dan kini giliran Stella menghabisi Dion, namun pertahananya itu lemah ketika melihat Dion menyeret Jelang untuk berdiri dan menodongkan pistol ke kepala Jelang. Jelang sudah kehilangan banyak darah, kesadaran laki-laki itu juga sudah menurun.

“LEPASIN JELANG!!!!” teriak Stella.

“Saya bakalan lepasin Suami kamu dokter Stella, jatuhkan pistolnya!” ucap Dion tegas.

Stella menangis, ia tidak tega melihat Jelang yang sudah bersimbar darah seperti itu. Saat kedua mata Jelang terbuka, laki-laki itu menggeleng. Jelang sudah tidak sanggup bicara karena seluruh tubuhnya sakit.

“JATUHKAN PISTOLNYA!!” teriak Dion.

Stella akhirnya menurut, ia menjatuhkan pistol itu. Begitu pistolnya jatuh, Dion langsung melepaskan Jelang dan berlari untuk menghajar Stella.

“DOKTER BRENGSEK!”

“Aahhhhhh.”

Stella dengan pasrah di tendangi oleh Dion, namun Jelang yang kesadarannya terus menurun itu masih berusaha sekuat tenaga membuka kedua matanya, ia tidak boleh membiarkan Istrinya di pukuli seperti itu. sungguh Jelang benar-benar marah melihatnya.

Menahan rasa sakit yang terus mendera tubuhnya, Jelang menyeret kembali tubuhnya mendekat ke arah pistol milik Stella. Sampai akhirnya pistol itu berada di genggamannya, Jelang berusaha susah payah memfokuskan penglihatannya yang terus mengabur untuk menembak Dion.

DOR

Sampai akhirnya Dion yang tadinya sedang asik menendangi Stella itu tiba-tiba saja terjatuh, ketika sebuah peluru menembus di dekat bahu nya.

“ARGHHHHHH!” teriaknya kesakitan.

Tidak lama kemudian, Jelang kehilangan kesadarannya. Stella yang melihat Dion juga pingsan setelah di tembak itu kemudian berlari menghampiri Jelang dan menaruh kepala Suaminya itu di atas pahanya.

“Lang bangun.. Jangan tinggalin aku, Lang..” panggil Stella lirih.

Jelang tidak sadarkan diri, laki-laki itu benar-benar kehilangan banyak darah terutama di bagian pahanya.

“JELANGGGGGGGGG”

To Be Continue

Stella mengantar Ardi ke kantor polisi tempat Davin bekerja dan menyerahkan Ardi pada Davin, namun siapa sangka jika di sana ia bertemu dengan Jelang. Baik Jelang maupun Stella sama-sama kaget, Jelang juga enggak nyangka kalau Stella akan menangkap Ardi sendirian.

Dan saat ini keduanya sedang berada di rooftop kantor, Stella masih diam aja waktu Jelang mencoba mengajaknya bicara. Ya, Stella marah, dia ngerasa Jelang enggak mau mendengarkan ucapannya untuk pulih lebih dulu.

Jelang paham Stella khawatir, tapi rasa khawatirnya terhadap Istrinya sendiri itu juga jauh lebih besar. Jelang enggak mau Stella ada dalam bahaya sendirian, lagi pula ia paham sekali orang yang menjebaknya seperti apa.

“La,” panggil Jelang.

Stella masih bergeming, ia menatap lampu malam kota itu dari atas rooftop tanpa berniat menatap Jelang sedikitpun.

“Aku udah baik-baik aja, luka nya bahkan udah kering. Jahitannya juga udah enggak sakit lagi.”

Stella menghela nafasnya pelan, ia kemudian berbalik dan menatap wajah Suaminya itu. Jujur, tatapan Stella itu mengintimidasi. jika Jelang adalah tersangka, ia pasti sudah seperti di telanjangi dengan tatapan itu.

“Aku tuh gak bisa biarin kamu nyari tau sendirian, aku juga udah tau skenario kejahatannya kaya gimana. Aku kesini mau ngasih rencana buat nangkap bajingan itu,” jelas Jelang.

Stella masih bungkam, tapi matanya masih menatap Jelang lekat-lekat. Dan sekarang, perempuan itu mendekat ke arah Jelang membuat debaran di dada Jelang semakin tidak karuan. Selalu saja seperti ini setiap kali Stella dekat dengannya.

“Kamu tuh keras kepala,” ucap Stella kemudian.

“Kaya kamu kan?” Jelang terkekeh, ia berusaha mencairkan suasana.

“Kamu tau gak sih aku khawatir waktu Bapak telfon dan bilang kamu luka parah?”

Seketika senyum di wajah Jelang itu pudar, Stella benar-benar mengkhawatirkannya waktu itu.

“Aku takut luka kamu dalam sampai kena organ vital kamu, aku juga marah banget waktu tau kamu di serang napi di lapas.”

“Itu bagian dari rencana aku, La.”

“Itu konyol namanya!” sentak Stella.

Jelang menghela nafasnya pelan, ia mencoba lebih dekat pada Stella dan membawa jemari perempuan itu dalam genggamnya, walau awalnya Stella sempat menepis tangannya itu. Jelang enggak ingin menyerah, ia ingin maaf dari Istrinya itu.

“Aku minta maaf,” ucap Jelang pada akhirnya. “Aku emang konyol banget, La. Tapi kalo aku gak lakuin hal konyol itu, aku juga bakal sulit buat buktiin kalo aku gak salah. aku bisa mati di lapas kalau enggak keluar dari sana dengan cepat, La.”

“Dasar bodoh.”

“Um,” Jelang mengangguk. “Aku tau.”

“Jangan lakuin itu lagi,” Stella berjinjit dan memeluk Jelang, ia benar-benar mengkhawatirkan Suaminya itu.

Awalnya Jelang ragu untuk memeluk kembali pinggang Stella, sampai akhirnya tangannya terulur melingkar di pinggang ramping Istrinya itu.

“Aku janji gak akan kenapa-kenapa, kalo pun aku luka. Kamu masih mau ngobatin kan, La?”

Belum sempat Stella menjawab, pintu masuk menuju rooftop itu terbuka dan menampakan Hema dan Davin di sana, bukan hanya Stella dan Jelang saja yang terkejut, tapi Hema dan Davin juga. Membuat Stella langsung mendorong Jelang menjauh darinya.

“Lang...Lang.. Suami Istri sih Suami Istri, tapi gak pelukan di rooftop juga kali,” ucap Hema dengan muka masamnya.

“Maaf, Bang.” cicit Jelang.

“Disuruh Pak Wira ke bawah, Bang. Kita mau ngomongin penangkapan Pak Dion dan antek-anteknya,” sambung Davin dengan seringai jahilnya.

“Iya,” Jelang mengangguk, mereka pun akhirnya turun ke lantai dua untuk membicarakan skenario kejahatan yang Pak Dion buat serta penangkapannya.

Sesampainya di ruangan penyidik, Jelang langsung mengutarakan pendapatnya tentang skenario kejahatan yang di lakukan oleh Dion dan juga kuasa hukumnya. Jelang baru tau, jika kasus bunuh diri yang kemarin di tangani oleh Davin itu bukan kasus bunuh diri biasa.

Laki-laki yang di temukan tewas di kontrakannya itu adalah laki-laki yang menyerang Jelang saat Jelang sedang dalam perjalanan ke toko milik Ibunya Stella. Jelang juga mencurigai jika laki-laki itu bukan bunuh diri, melainkan di bunuh yang kasusnya di samarkan sebagai kasus bunuh diri. Untuk sementara ini Jelang masih menduga motifnya sebagai kasus pengalihan polisi.

Bisa saja Dion dan kuasa hukumnya sudah mencium pergerakan dari Davin dan Hema yang berusaha mencari tahu kebenaran tentang kasus yang menjebak Jelang.

“Eros, korban meninggal yang di temukan di TKP kebakaran. Sebelum meninggal dia sempat bertukar pesan dengan orang asing yang sampai hari ini belum kita ketahui siapa,” Jelang menunjukan isi pesan Eros dan seseorang.

“Eros bilang dia bakalan menjalankan aksinya jika uangnya sudah di kirim. Pesan ini di kirim 3 jam sebelum kebakaran itu terjadi. Saat itu saya masih melacak GPS dari ponsel milik Eros, dia masih berada di kontrakannya.”

Di kursinya Pak Wira, Hema dan Davin memperhatikan penjelasan Jelang. Ada Stella juga di sana, ia juga ingin tahu skenario kejahatan yang Jelang maksud ini.

“Saya menduga Eros gak mungkin ngelakuin ini sendirian, bisa jadi ada orang lain yang memang membantu Eros bunuh diri ahh,” Jelang merasa ada yang salah dengan ucapannya.

“Eros di bunuh, Eros enggak mungkin ngelakuin ini sendirian. Setelah pelaku berhasil menjerat leher Eros dengan tali, pelaku mulai meneteskan darah di TKP, kemudian menjatuhkan beberapa barang-barang agar seolah-olah Eros melakukan perlawanan sebelum di bunuh.” jelas Jelang dengan lantang.

“Pelaku kemudian menyiram bagian dalam pabrik dengan bensin dan membuang botol yang ada sidik jari saya ke semak-semak, karena tahu polisi pasti akan mencari barang bukti di sekitar lokasi saat melakukan olah TKP.”

“Masuk akal kalo Eros di bunuh, dan dia sepakat untuk di bunuh dengan jaminan anak dan Istrinya akan memiliki hidup yang layak setelah dia meninggal, tapi kira-kira siapa orang yang membantu Eros melakukan ini?” ucap Pak Wira.

“Bisa jadi,” Jelang menunjukan foto seorang laki-laki yang sempat menyerangnya waktu itu. “Laki-laki ini, setelah saya cari tahu lagi, laki-laki ini mengenal Eros. Dan sidik jarinya juga ada di ponsel milik Eros yang di temuin Bang Hema di hutan, Pak. Namanya Mahardika, dia juga sempat masuk lapas karena kasus pencurian sepeda motor dan juga pengedar narkoba.”

“Mahardika.. Dia juga di temukan tewas di kontrakannya. Hasil autopsi juga menunjukan jika dia tewas setelah meminum sianida, tapi anehnya. Saat saya dan Bang Hema ke kontrakannya. Botol yang berisi sisa sianida itu tidak ada sidik jari apapun, seharusnya kalau memang Mahardika bunuh diri. Ada sidik jarinya di botol itu karena botolnya jatuh di dekat jasadnya.” jelas Davin.

“Selain itu, Pak. Wasiat yang di tulis sama Mahardika berbeda dengan tulisan tangannya.” Hema menunjukan kertas berisi tulisan tangan milik Mahardika, dan kertas wasiat yang di temukan di kontrakan Mahardika.

Stella yang duduk di dekat Hema ikut memperhatikan dua tulisan tangan itu, memang kelihatan berbeda jauh menurutnya.

“Tulisan yang di tulis dengan terburu-buru, perasaan cemas dan takut cenderung berbeda dengan tulisan tangan yang biasanya di tulis,” ucap Stella, menurutnya memang seperti itu. Dan pendapat Stella itu mendapatkan anggukan setuju dari Pak Wira dan juga Jelang.

“Mahardika juga orang yang nyerang saya waktu saya sedang dalam perjalanan ke toko milik Ibunya Stella, Pak.” ucap Jelang, dari saku jaketnya ia mengeluarkan pisau yang tadinya di pakai Mahardika untuk menikamnya, pisau lipat itu Jelang ambil dan ia simpan karena ia tahu ada yang tidak beres.

“Kamu sempat mau di tikam?” tanya Stella, dan Jelang hanya menjawabnya dengan anggukan kecil.

Stella baru ingat, ia belum menceritakan tentang seorang pengacara yang menangani kasus perceraian Ardi yang merencanakan pemalsuan hasil test narkoba milik Jelang. Stella sudah mencari tahu perihal Pak Gunawan yang ternyata juga kuasa hukum Pak Dion.

“Pak Wira, selain itu. Ardi juga cerita sama saya, kalau dia sempat bertemu Pak Gunawan, kuasa hukum Pak Dion yang menyuruhnya untuk memalsukan hasil test narkoba milik Jelang. Karena Ardi enggak punya kuasa buat melakukan test itu, dia akhirnya bekerja sama dengan Raka, seorang staff laboratorium BFN yang akhirnya memalsukan hasil test nya,” sambung Stella.

“Pak Gunawan? Gimana caranya dia bisa kenal sama Ardi, La?” tanya Pak Wira.

“Pak Gunawan pengacara Ardi, dia yang bantu Ardi untuk kasus perceraiannya dan dapatin hak asuh anaknya.”

Pak Wira mengangguk pelan, semua bukti sudah kuat maka mereka bisa langsung melakukan penangkapan pada Pak Dion dan juga Pak Gunawan selaku kuasa hukumnya.

“Kita akan segera mendapatkan surat perintah penangkapan untuk dua bajingan itu!” ucap Pak Wira tegas.

Hari ini Jelang bersiap untuk keluar dari persembunyiannya, ia bukan tipe orang yang mudah berpangku tangan menunggu dan menerima hasil begitu saja. Ia harus keluar untuk membantu Stella mencari tahu semuanya, toh jahitan di perutnya sudah jauh lebih baik dari kemarin.

Bapak mertuanya itu meminjamkan baju nya untuk Jelang pakai, sebenarnya Bapak dan Ibu mertuanya itu sudah melarangnya untuk keluar dari persembunyian, tapi Jelang punya alasan yang akhirnya membuat mereka mengizinkan Jelang untuk keluar.

Ngomong-ngomong soal Stella, Istrinya itu enggak tahu soal ini. Jelang sengaja gak ngasih tau Stella karena dia yakin Stella enggak akan setuju, setelah memakai topi dan memastikan dirinya sudah rapih. Jelang pamit pada kedua orang tua Stella, tempat pertama yang menjadi tujuanya adalah kantor polisi tempatnya bekerja.

Ia harus menemui Pak Wira terlebih dahulu untuk memberitahu bukti-bukti sementara yang ada dan menjelaskan jika dirinya di jebak, Jelang juga berniat menjelaskan kenapa dirinya memilih kabur walau Jelang yakin Pak Wira akan marah besar denganya. Selain itu, Jelang yakin jabatan dan pekerjaanya di pertaruhkan disini.

Tapi tidak apa jika ia kehilangan itu semua, yang terpenting ia harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar tidak bersalah. Begitu sampai di depan kantor kepolisian tempatnya bekerja, Jelang mengeratkan topinya dan masuk ke dalamnya dengan penuh percaya diri.

Awalnya tidak ada yang mencurigainya sama sekali karna ia berjalan dengan menunduk, sampai akhirnya ia tiba di lantai dua depan ruangan penyidik berada, Davin keluar dari sana dan langsung mengenalinya.

“Bang Jelang?” pekik Davin reflek.

Jelang langsung menyuruh laki-laki itu masuk ke dalam ruangan mereka kembali, dan kebetulan sekali di sana sedang ada Pak Wira dan juga Hema. Kedua pria itu sama-sama kaget waktu Jelang masuk dan membuka topinya.

“Jelang?!” pekik Pak Wira.

Wajah pria itu bukan marah, melainkan khawatir saat menatap Jelang. Ia pun langsung berdiri dari tempatnya duduk dan mengunci pintu ruangan.

“Gila kamu, kamu kabur, Lang. Kamu tau kalau kamu masuk daftar pencarian orang?” ucap Pak Wira sembari meremat bahu Jelang.

“Saya tahu, Pak. Saya tahu. Saya minta maaf soal itu, tapi saya punya alasan kenapa saya harus pergi. Saya gak salah, Pak. Saya di fitnah,” Jelang diam sebentar, dia melirik Davin dan Hema.

“Davin, Bang Hema dan Istri saya Stella. Mereka nyari tahu semua soal bukti-bukti di TKP, soal Eros dan soal hasil test narkoba saya yang di manipulasi sama BFN,” lanjutnya.

Pak Wira enggak tahu kalau dua anak buahnya itu diam-diam menyelidiki kasus yang melibatkan Jelang, jadi pria itu terlihat sedikit bingung dan menatap kedua anak buahnya itu secara bergantian, sementara itu Hema dan Davin hanya mengangguk kecil saat Pak Wira menatapnya.

“Apa yang kalian temukan? Kenapa kalian gak kasih tau saya?”

Hema yang sedang duduk akhirnya berdiri, pria itu mengeluarkan bukti-bukti yang ia dan Davin dapat, terutama soal rekening milik Eros dan juga siapa orang yang mengirimkan uang dengan nominal besar ke rekeningnya.

“Yang pertama soal pemilik DNA pada darah yang ada di TKP, Pak. Stella lakuin pemeriksaan itu lagi, hasilnya memang sama itu punya Jelang. Tapi Stella bilang di dalam darah itu terdapat EDTA. Singkatnya, EDTA itu cuma ada di dalam tabung yang dipakai untuk menaruh darah sebelum di lakukan test,” jelas Hema.

“Saya sempat sakit sebelum hari pernikahan, Pak. Saya sempat melakukan pemeriksaan darah. Saya menduga ada orang yang ambil tabung darah saya dan nuangin darah itu di TKP. Karena darah yang sudah di pakai untuk test akan di buang karena termasuk sampah medis,” sambung Jelang.

“Dan ini, Pak.” Davin mengambil botol yang ada di TKP. Itu adalah botol minuman berkarbonasi yang ada sidik jari Jelang. “Sidik jari di botol ini, ini memang sidik jari Bang Jelang. Tapi malam waktu Bang Jelang ketemu sama Eros di pabrik. Dia sempat beli minuman, orang itu ambil sampah minuman Bang Jelang dan di isi sama bensin untuk bakar pabrik itu.”

“Dan yang terakhir,” Hema mengeluarkan isi pesan singkat Eros dengan seorang tidak di kenal serta nomer rekening milik Eros dan pengirimnya. “Eros nerima pesan ini sebelum dia di temukan tewas di pabrik.”

Hema memberikan tab berisi pesan dari ponsel yang datanya berhasil di pulihkan oleh Hellen. Pak Wira membaca pesan itu, sebentar kemudian memberikan tab itu lagi pada Hema.

“Kamu sudah cari tau siapa orang yang mengirimi Eros pesan, Hema?” tanya Pak Wira.

“Sayangnya orang itu membeli nomer ilegal, Pak. Saya udah cari tahu soal pemilik nomer ini. Nomer ini milik WNA yang bahkan sudah meninggal.”

“Soal nomer rekening dan orang yang mengirimi uang ke rekening Eros, Pak. Saya dan Bang Hema udah cari tahu. Orang yang mengirimi uang ke rekening Eros itu adalah Pak Dion. Tersangka pembunuhan wanita yang berhasil di bebaskan karena menurut jaksa kita kurang bukti. Kasus yang di pegang Bang Jelang, orang itu, Pak. bisa jadi otak di balik penjebakan Bang Jelang,” sambung Davin.

Pak Wira tercengang, ia tidak menyangka jika anak buahnya bekerja begitu cepat untuk memecahkan kasus ini. Mereka pun akhirnya mempersiapkan tim khusus untuk membantu penyelidikan, dan sesegera mungkin melakukan penangkapan. Masih ada bukti lain yang harus mereka tunggu dari Stella.


Malam ini Stella sudah ada janji temu dengan Ardi, ia mengajak Ardi bertemu di cafe rooftop. Stella datang lebih dulu dari jam yang sudah di sepakati oleh Ardi, ia juga memesan minuman lebih dulu. Stella masih asik bergelut dengan tab nya, memeriksa beberapa permintaan autopsi besok yang akan ia kerjakan.

Karena sudah dirasa cukup lama duduk, Stella akhirnya memeriksa jam tanganya. Tidak terasa ia sudah menunggu Ardi selama tiga puluh menit. Tidak lama kemudian yang di tunggu pun akhirnya tiba, Ardi datang dari arah pintu masuk dengan setelan kemeja berwarna biru yang ia gulung hingga siku nya.

Cowok itu sudah tersenyum ke arah Stella sembari melambaikan tangan, sementara itu Stella hanya bergeming.

“Lo dateng duluan, La?” tanya Ardi, ia menarik kursi di samping Stella dan duduk di sebelahnya.

“Um,” Stella mengangguk. “kebetulan tadi habis mampir dari rumah Ibu, lo mau pesan makanan dulu mungkin?”

“Lo udah makan malam?”

“Belum.”

“Gue pesanin sekalian yah?”

Stella akhirnya mengangguk, Ardi kemudian memanggil pelayan cafe dan memesan makanan untuk mereka berdua. Kebetulan sekali cafe rooftop tidak begitu ramai, hanya ada 3 pengunjung saja. Mungkin karena ini bukan hari libur dan cuaca juga sedang sering turun hujan, maka dari itu orang-orang lebih memilih untuk di rumah atau makan di area indoor nya saja.

“Mau ngomongin apa sih, La?” Tanya Ardi, dia sudah kepalang penasaran sejak Stella mengajaknya makan malam berdua.

Karena di rasa Ardi sudah begitu penasaran, akhirnya Stella memutuskan untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan. Perempuan itu menunjukan tab miliknya yang berisi hasil test urine Jelang dan test yang di lakukan Maudy menggunakan rambut milik Jelang. Dua hasil test yang berbeda.

“Ini hasil test narkoba punya Jelang dua hasil yang berbeda, padahal di ambil dari waktu yang bersamaan,” jelas Stella. Ardi hanya bergeming menatap hasil test itu.

“Ada orang yang manipulasi hasil test ini, Di. Ada orang yang sengaja mau menjebak Jelang,” lanjut nya.

“La, gak mungkin. BFN gak mungkin manipulasi hasil test kaya gini,” Ardi menyangkal.

“Gue minta Maudy buat lakuin test ulang, Di. Dan hasilnya negatif.”

Stella menatap Ardi sedikit kesal, dalam hati ia sudah menahan emosinya agar tidak meledak di tempat umum. Ia masih ingin bicara baik-baik dengan Ardi karena Ardi adalah temannya.

Karena Ardi tidak bicara lagi, akhirnya Stella menunjukan pesan singkat yang Raka beri pada Stella kemarin malam. Itu adalah pesan yang Ardi kirim pada Raka untuk memanipulasi hasil test urine milik Jelang, dengan ia sebagai jaminannya.

Ardi bilang, jika Raka membantunya Ardi akan berjanji membantu Raka untuk mengembalikan reputasinya yang sempat hancur karena gosip perselingkuhannya.

“Lo yang nyuruh Raka buat manipulasi hasil test nya, Di?” Ucap Stella.

“La?” Ardi menatap Stella, kedua matanya membulat seperti ia sedikit terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat, dari mana Stella mendapatkan isi chat itu? Kalau itu dari Raka sendiri, kenapa Raka sebodoh itu memberikannya begitu saja? Pikir Ardi.

“Raka sendiri yang jujur sama gue. Kenapa, Di? Kenapa lo lakuin ini sama Jelang?”

Ardi masih diam, ia malah menyeringai kemudian tertawa hambar. Ia menertawakan kebohonganya yang terungkap oleh Stella.

“Karena gue suka sama lo, La. Harusnya setelah gue pisah sama Istri gue, gue bisa langsung nyatain perasaan gue ke lo. Tapi apa? Lo malah bilang kalo lo mau nikah sama bajingan itu. Polisi sialan itu!!” Sentak Ardi, itu membuat beberapa pasang mata jadi menoleh ke arah mereka.

Jujur saja, Stella tidak menyangka jika Ardi akan berpikiran sedangkal ini. Tapi Stella juga seperti tidak mengenali Ardi, menurutnya tindakan yang Ardi ambil ini bukan Ardi sekali.

“Bohong!!” Kata Stella tegas. “Ardi yang gue kenal gak sedangkal ini. Gue tau banget lo, Di.” Stella memegang bahu Ardi dan merematnya.

“Bilang, Di. Siapa?” Tanyanya lagi.

Nafas Ardi semakin memburu, ia benar-benar malu sekaligus marah dengan keadaan. Dengan gerakan yang begitu cepat, ia tepis kedua tangan Stella dari pundaknya. Ardi berdiri dan menatap Stella nyalang, tidak ada tatapan hangat nya lagi disana.

“Gak ada, La. Gue lakuin ini karena gue emang mau hancurin Jelang dan bikin lo kecewa sama dia sampai akhirnya pisah. Gue pengen kalian pisah, gue pengen lo jadi milik gue, La!!”

“Gak!!” Stella menggeleng. “Bilang sama gue, Di. Siapa? Gue udah tahu semuanya!!”

Sebelum Ardi semakin naik pitam, ia akhirnya meninggalkan Stella. Namun Stella tidak tinggal diam, ia tarik bahu Ardi dan ia bawa cowok itu menepi ke sudut rooftop.

“Bilang, Di. Bilang!!” Stella kelepasan, ia teriak hingga orang-orang menatap ke arahnya.

Ardi yang melihat Stella semarah itu akhirnya luluh juga, ia mengajak Stella keluar dari cafe dan menyuruhnya untuk bicara berdua denganya di dalam mobil.

“Hari itu gue ketemu sama Pak Gunawan, dia pengacara, La. Orang yang bantu gue buat dapat hak asuh anak gue. Dia tanya apa gue ada keinginan menikah lagi, gue bilang jujur kalau gue kepikiran buat ngelamar lo. Tapi gue kalah, gue tau lo bakalan nikah sama Jelang,” Ardi menunduk, jujur ia malu menceritakannya. Tapi dia ngerasa sudah mengkhianati Stella.

“Waktu itu Pak Gunawan ngajak gue ketemu lagi, tapi kali ini bukan buat ngomongin hak asuh anak gue lagi. Dia nyuruh gue buat manipulasi hasil test narkoba punya Jelang, kata dia. Dengan begitu gue bisa rebut lo, karena dia tau lo gak akan bertahan sama Jelang kalau dia terbukti bersalah.”

Stella yang geram tidak tahan mendengar pernyataan Ardi itu akhirnya menonjok dasboard mobil Ardi hingga bagian depannya itu penyok.

“Bajingan lo, Di. Brengsek!!” Karena sudah terlanjur kesal, Stella merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan borgol milik Jelang yang ia ambil di lemarinya. Dengan sigap ia tarik tangan Ardi dan memborgolnya, ia akan menahan Ardi sampai penyelidikannya selesai. Biar bagaimanapun Ardi tetap salah.

Dan untuk Raka, tentu saja Stella sudah menahan laki-laki itu lebih dulu. Raka sudah di tahan lebih dulu oleh Davin, dan yang pasti Stella juga balas dendam dengan cara membuat reputasi Raka hancur di BFN.

Ia membuat postingan perselingkuhan Raka, serta foto-foto Raka yang ia ambil kemarin malam di sebuah club.

“Gue gak akan biarin lo lolos gitu aja, Di.”

“La.. Gue punya anak, La. Gue minta maaf.”

“DIAM!!” Sentak Stella.

Ia menyuruh Ardi keluar dari mobilnya, dan menyeret laki-laki itu untuk masuk ke mobil yang Stella bawa. Melihat Stella yang sedikit lengah itu, Ardi dengan sigap memukul kepala Stella dengan siku nya hingga perempuan itu terjatuh. Ardi berlari, tapi Stella mengejarnya dan menghajarnya dengan kencang hingga laki-laki itu tersungkur.

“Lo harus di hukum, Di.” Dengan susah payah menyeret Ardi yang jauh lebih tinggi darinya, Stella akhirnya berhasil menyuruh Ardi masuk ke mobilnya. Awalnya Ardi sempat melawan lagi, tapi Stella tidak tinggal diam. Sebelum menyalakan mobilnya, ia keluarkan pistol yang Jelang kasih dan ia todokan pistol itu ke kepala Ardi, Stella tidak akan menembak Ardi. Ia hanya menyentaknya saja agar Ardi diam.

“Gue gak akan segan-segan nembak kepala lo kalo lo berisik, Di.” Ucapnya tegas yang berhasil membuat Ardi seketika terdiam.

To Be Continue

Malam ini Stella sudah menunggu di depan gedung BFN untuk mengutit seseorang, ia tidak memakai mobil miliknya. Stella memakai mobil milik temannya agar keberadaanya tidak di ketahui oleh seseorang yang ingin ia ikuti.

Setelah mendapatkan laporan dari Davin jika hasil test urine milik Jelang di manipulasi oleh asisten laboratorium, Stella langsung menyusun rencana yang akan ia jalankan sendiri. Ia akan menghukum sekaligus mencari tahu siapa orang yang sudah berani membuat staff BFN yang di kenal jujur itu berani membelok memanipulasi bukti.

Sungguh, Stella sudah geram. Sudah lebih dari dua jam dia masih menunggu hingga pria yang akan ia ikuti itu keluar. Terkadang Stella sedikit mengantuk juga, namun akhirnya penantianya membuahkan hasil. Pria yang akan ia ikuti itu akhirnya muncul keluar dari gedung menuju parkiran mobil.

Stella langsung mengambil ancang-ancang, ia memakai masker dan topi hitam miliknya agar tidak di kenali seseorang.

“Kena lo!!” gumam nya begitu mobil itu keluar dari parkiran gedung BFN.

Stella sempat mendapat desas desus jika pria yang ia ikuti ini pernah ketahuan selingkuh dengan Istrinya, dan saat ini Stella hanya ingin mengikuti pria itu, siapa tahu ia bisa mendaptkan sesuatu yang bisa ia pakai untuk membuat pria itu jujur.

Stella mengikuti pria itu dari belakang, sesekali matanya mengawasi dari kaca spion, takut-takut ada mobil lain yang mengutit nya juga. Tapi sejauh ini Stella aman, meski tahu ia terkadang suka di ikuti oleh pria tidak di kenal.

Mobil sedan itu melaju menuju pusat perkotaan, ke kawasan elit yang terkenal dengan gemerlap club malamnya. Begitu mobil yang ia ikuti memasuki salah satu club malam di sana, Stella langsung memotretnya.

“Bajingan itu ke club?” ucap Stella, dengan terburu-buru ia keluar dari mobilnya demi mengikuti pria tadi sampai masuk ke dalam club.

Gemerlap lampu di dalam club, suara musik yang menggema kencang, serta bau alkohol dan rokok bercampur menjadi satu di sana. Di ujung sana, pria tadi langsung bergabung ke lantai dansa, menari dengan banyak wanita yang berpakaian minim sembari sesekali tertawa lepas.

Stella tidak boleh lengah, ia harus tetap memotret pria tadi. Kemudian keluar dari tempat sialan itu, Stella tidak menyukai suasana seperti ini apalagi dengan bau rokok dan alkohol. Setelah mendapatkan beberapa foto, Stella langsung keluar dari sana.

Ia kembali lagi masuk ke dalam mobilnya, ia harus tetap terjaga, menunggu si pria tadi keluar dan kembali membuntutinya. Ia harus segera mendapatkan hasil dari kerjanya malam ini juga.

Cukup lama Stella menunggu pria itu bahkan nyaris subuh. Namun tidak lama kemudian pria tadi keluar, dengan langkah gontai khas orang mabuk, pria itu tergopoh-gopoh membuka pintu mobilnya dengan susah payah.

Sebelum pria tadi masuk ke dalam mobilnya, Stella keluar dari mobilnya. Ia menahan pintu mobil pria tadi yang hendak masuk ke dalamnya, awalnya pria itu tersenyum sebelum ia menyadari jika perempuan di depanya adalah Stella.

“Dokter Stella?” ucapnya setelah ia sadar.

Stella tidak menjawab sapaan itu, ia buru-buru mengeluarkan ponselnya. Menunjukan hasil test urine yang pria itu manipulasi dengan hasil test yang Maudy kerjakan. Dua hasil yang berbeda itu akan Stella jadikan bukti.

“Lo yang ngerjain test urine punya Ipda Jelang, iya kan?!” sentak Stella.

Pria itu hanya tersenyum, kemudian mengangguk pelan. “Suaminya dokter...” gumam nya.

“Brengsek!!” Stella meremat kemeja yang di pakai pria itu, Stella yang tinggi jadi lebih mudah untuk mengangkat tubuh pria itu bahkan hanya dengan mencengkram kerahnya.

Sampai-sampai kaki pria itu tidak lagi menapak pada aspal, wajahnya yang memerah akibat alkohol itu berubah menjadi panik dan sedikit pucat.

“Lo manipulasi hasilnya kan? Jawab!!” Stella menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.

“Arghhh, lepasin, Dok. Saya gak bisa.. Na..pas.”

“Jawab dulu!!”

“Uhukk..uhukk..” pria tadi terbaruk-batuk, namanya Raka Mahendra. Seorang asisten laboran yang di perintahkan oleh markas besar untuk melakukan test demi mengetahui Jelang terbukti menggunakan narkoba atau tidak.

“Jawab!!!” tangan Stella tertahan pada kerah milik kemeja Raka, sementara satu tangan lainya menunjukan foto-foto raka di club bersama wanita-wanita. “Gue bisa bikin reputasi lo hancur di BFN sama kaya lo bikin reputasi Jelang hancur. Oh, bukan cuma itu. Gue bisa bikin lo pisah sama Istri lo kalau foto-foto ini gue sebar, gimana?”

Raka mulai terintimidasi dengan hal itu, kesadaranya yang tadinya masih di pengaruhi alkohol itu seperti seratus persen kembali hanya karena ancaman dari Stella.

“Iy...iya.. Dok, ampun. Tapi saya cuma menjalankan perintah,” ucapnya gemetar.

“Ada yang nyuruh lo?”

Raka mengangguk, Stella yang perlu mendengarkan cerita dari Raka itu akhirnya menyuruh Raka masuk ke dalam mobilnya. Ia akan berbicara dengan Raka di dalam mobil.


“Rumahnya disini, Istrinya pindah setelah Eros ngelakuin aksinya,” jelas Hema.

Davin hanya mengangguk, baru saja ia ingin membuka pintu mobil namun Hema sudah menahan tanganya.

“Perlu gue temenin?”

Davin hanya menggeleng pelan, Hema dan Jelang itu senior Davin, kedua laki-laki itu yang selama ini membantu dan menjaga Davin. Tapi kali ini, Davin lebih percaya diri untuk melakukanya sendiri. Lagi pula ia hanya perlu bertanya tentang rekening milik Eros.

“Gue bisa sendiri, Bang.”

Hema mengangguk, kemudian membiarkan Davin keluar dari mobil dan langsung memasuki gang menuju rumah Istrinya Eros. Tidak membutuhkan lama bagi Davin agar wanita itu membukakan pintunya, pada ketukan kedua. Wanita itu sudah membukakan pintu rumahnya.

Davin langsung di suguhi pemandangan seorang wanita hamil dan dua anak perempuan yang membuntuti di belakangnya. Kalau tidak salah tebak, Davin menebak umur anak itu berkisar 3 sampai 4 tahun.

“Saya Davin dari kepolisian, saya perlu menanyakan beberapa hal dengan anda tentang suami anda Eros,” ucap Davin tegas, ia juga mengeluarkan kartu tanda anggota kepolisianya.

Awalnya wanita itu tercengang, namun tidak lama kemudian pintu rumahnya itu di buka lebar dan Davin di suruh masuk ke dalamnya. Mereka akan mengobrol di ruang tamu, karena mengobrol diteras akan mengundang tetangga sekitar untuk mendengar obrolan mereka.

“Ada beberapa pertanyaan yang saya harap anda jujur menjawabnya.”

“Ada apa yah, Pak?” tanya wanita itu.

“Suami anda, Pak Eros Ginandi. Sudah seminggu ini pergi, benar?”

Wanita itu terdiam, ia menunduk seperti tengah menimang-nimang jawaban yang akan ia lontarkan. Namun pada akhirnya ia menjawab dengan anggukan kecil.

“Iya, Eros memang pergi.”

“Sebelum Suami anda pergi, apa dia pernah menunjukan gelagat aneh atau mungkin bertemu dengan seseorang?”

“Eros memang bertemu dengan seseorang, saya sempat di ajak. Orang itu laki-laki, dengan tinggi kira-kira 178cm pakai jas rapih dengan mobil mewah. Tapi saya enggak tahu dia siapa,” jelasnya.

Davin kemudian mengeluarkan foto seseorang, itu adalah foto sekertaris sekaligus kuasa hukum dari Dion Wiranto.

“Pria ini?” tanya Davin.

Begitu melihat foto pria yang di tunjukkan oleh Davin, kedua mata wanita itu membulat dan ia mengangguk dengan cepat.

“Iya!! Iya!! Benar dia orangnya.”

Davin mengangguk, “sebelum Eros meninggalkan rumah, dia sempat mengatakan sesuatu mungkin? Misalnya seperti untuk memeriksa rekening bank?”

Wanita itu kembali bungkam, cukup lama sampai Davin bisa melihat ada setitik keringat membasahi kening wanita itu.

“Mbak cukup menjawab dengan jujur, Mbak disini hanya sebagai saksi.”

“Sa..saya takut, Pak.”

“Saya akan berani jamin keselamatan Mbak dan anak-anak jika Mbak mau koperatif dengan kepolisian.”

Wanita itu menghela nafasnya pelan, kemudian mengangguk. “Eros sempat bilang buat jangan cari dia setelah dia pergi. Sebelum dia pergi, dia sempat kasih rekening dan ATM ke saya. Dia bilang ini untuk saya dan anak-anak, dia juga nyuruh saya untuk pindah rumah. Saya paham kalau Eros itu kurir narkoba, Pak. Enggak sekali dua kali Eros di tangkap, makanya saya cuma bisa nurut apa kata dia.”

“Bisa saya lihat nomer rekeningnya?”

Wanita itu mengangguk dan memberikan buku rekening atas nama Eros ke Davin. Setelah ini Davin harus ke bank untuk mengetahui siapa yang mengirim uang sebanyak itu pada Eros.

“P...pak.. Selain itu..”

“Ada lagi?”

“Pria yang Eros temui, sempat bilang. Kalau dia yang akan menanggung biayah hidup saya serta pendidikan anak-anaknya Eros.”

Davin mengangguk, hingga saat ini Istri dari Eros belum mengetahui jika Suaminya meninggal. Polisi susah untuk menghubunginya karena wanita di depannya itu sempat berganti-ganti nomer telefon.

“Mbak tahu pria itu siapa?”

Wanita itu menggeleng pelan.

“Pria itu orang yang sudah merencanakan kejahatan dengan mengambing hitamkan Suami anda untuk menjebak seseorang.”

“Maksud Bapak?”

“Pak Eros di temukan tewas di sebuah bangunan bekas pabrik, seminggu yang lalu. Uang yang pria itu kasih ke Mbak dan anak-anak Pak Eros, itu sebagai imbalan karena Pak Eros sudah mau mengorbankan nyawanya,” jelas Davin.

Malam ini Stella enggak sempat ke toko milik Ibu nya lagi, tapi Stella sudah menitipkan Jelang pada Ibu dan Bapak agar merawat lukanya. Stella sedikit lega karna luka Jelang cepat pulih, Stella sudah membuat rencana untuk memecahkan teka-teki dalang di balik penjebakan suaminya ini.

Namun untuk berjaga-jaga Stella akan melakukan sesuatu untuk mempermudah komunikasinya dengan Jelang, karna ini kasus milik Jelang. Maka ada beberapa hal yang mungkin harus Stella tanyakan pada laki-laki itu, namun, Stella takut ponsel miliknya juga di retas oleh seseorang. Maka dari itu dia sudah merencanakan sesuatu.

Stella yang sedang menikmati secangkir teh di meja makan itu sedikit mengerjap ketika pintu rumahnya terbuka dan menampakan Tristan yang baru saja pulang kuliah. Bocah itu baru pulang di jam sepuluh malam, semenjak perkuliahanya di mulai Tristan memang jadi lebih sibuk. Namun ia tidak pernah absen untuk menanyakan soal Jelang padanya.

“Mbak belum tidur?” tanyanya, Tristan memasuki dapur dan menuangkan air putih pada mug coklat miliknya.

“Masih ada yang harus di kerjain.” Stella menepuk kursi di sebelahnya, memberi isyarat pada Tristan untuk duduk di kursi sampingnya. Kursi yang biasa Jelang pakai untuk duduk ketika mereka sedang sarapan.

“Ada apa, Mbak?” Tristan nurut, dia duduk di sebelah Stella sembari memangku mug miliknya.

“Mana HP kamu?”

Awalnya Tristan mengerutkan keningnya bingung, namun pada akhirnya ia memberikan HP itu pada Stella. Tidak lama kemudian, Tristan bertambah bingung ketika Stella mengeluarkan sebuah dus HP dan memberikan itu ke tanganya.

“Ini buat kamu, Mbak pinjam HP kamu dulu buat sementara waktu,” jelas Stella.

“Ke..kenapa, Mbak?”

Stella menarik nafasnya pelan, ia menepuk pundak Tristan yang masih nampak bingung meminta jawaban darinya.

“Ada yang harus Mbak kerjakan.” Stella diam sebentar, perempuan itu berdiri dari kursinya, dengan telapak tangan masih pada bahu lebar milik Tristan, “ini semua demi Mas Jelang, Ta.”

Setelah mengatakan itu, Stella masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Tristan yang masih mematung duduk di kursi meja makan, walau masih nampak bingung. Tristan yakin kalau Stella benar-benar akan melakukan sesuatu dengan ponselnya untuk Jelang.


Jelang sampai hari ini masih berada di gudang bahan baku toko milik Ibu mertuanya itu, sesekali ia bangun dan sesekali ia kembali berbaring karena bekas jahitan di perutnya, namun saat sedang melamun tiba-tiba saja kepalanya terpintas sebuah ingatan jika malam itu ia sempat meminum minuman soda.

Dan kalau tidak salah, botol yang di gunakan oleh pelaku untuk menjebaknya adalah botol minuman yang sama dengan ia minum malam itu. Kalau benar, pantas saja jika ada banyak sidik jarinya di sana.

Akhirnya Jelang berusaha untuk duduk, ia menelfon Stella dengan telefon toko ke nomernya milik Tristan. Ya, Stella menyuruh Jelang menelfonya ke nomer Tristan. Takut-takut nomer milik Stella di retas oleh orang lain demi mendapatkan informasi tentang keberadaan Jelang.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jelang untuk Stella mengangkat telfonya, pada sambungan telfon ketiga, Stella mengangkat panggilan itu.

hallo?

“La, kamu dimana?”

aku masih di kantor, ada apa?

“Aku butuh nomer Davin, tolong sebutin nomer Davin, La.”

Stella tidak langsung menjawab, namun di sebrang sana Jelang bisa mendengar jika ada bunyi grasak grusuk. Stella mungkin menjauh dari keramaian untuk menjawab ucapan Jelang barusan.

ada apa, Lang? Kamu bisa ngomong sama aku dulu, nanti aku sampain sama Davin.

“La, aku ingat malam waktu aku ketemu Eros di pabrik itu, aku sempat minum. Mak..maksud aku minuman soda, botol minum itu sama kaya yang di jadiin barang bukti pembakaran karena bau bensin. Kalau benar, gak heran kenapa sidik jariku ada di botol itu,” jelas Jelang.

Stella terdiam sebentar, ia benar-benar geram rasanya. Berarti malam itu Jelang sudah di ikuti oleh seseorang, orang di balik ini benar-benar merencanakanya dengan matang.

Nanti aku bakalan kasih tau Davin dan minta foto barang bukti itu.

“La, aku pikir aku bisa selesain ini—”

Lang, please. Aku cuma suruh kamu pulih dulu. Setelah pulih aku gak akan halangin kamu buat bongkar semua kebenaran ini dan nangkap pelakunya.

Tidak lama kemudian setelah mengatakan itu Stella mematikan panggilan itu secara sepihak, membuat Jelang kembali berbaring. Bekas jahitan di perutnya kembali terasa nyeri.

Kemarin saat Stella mampir ke toko milik Ibu, perempuan itu sempat meninggalkan ponsel lamanya di sana. Ini pertama kalinya Jelang membuka ponsel milik Istrinya itu, dia gak nyangka kalau Stella pakai foto pernikahan mereka yang terbilang cukup sederhana itu.

Ponsel lama yang masih sering Stella gunakan hanya untuk menyimpan foto-foto lama nya. Ponsel itu semacam ponsel cadangan untuk Stella.

Jelang tersenyum, ia jadi teringat ucapan Stella kemarin. Perempuan itu bilang kalau ia menyukainya, perasaan Jelang terbalas. Ia tidak jatuh cinta sendirian pada Istrinya, Jelang juga tidak menyangka jika Stella kemarin berani menyatakan perasaanya lebih dulu kemudian menciumnya.

Sungguh, setiap kali mengingat kejadian itu kupu-kupu di perut Jelang selalu menggila. Rasanya itu menjadi hari paling mendebarkan untuknya, meski tidak dapat di pungkiri jika ia sebenarnya ingin mengungkapkan perasaanya lebih dulu pada Stella.

Dari dulu, Jelang sudah menyukai Stella lebih dari teman. Tapi dia sadar jika Stella hanya menganggapnya sebagai teman biasa, tidak ada perasaan lebih dari teman untuknya. Waktu itu Jelang berusaha untuk lebih lapang dada, ia berpikir jika tidak memiliki hubungan lebih dari teman dengan Stella.

Selamanya Jelang tidak akan kehilangan perempuan itu, awalnya ragu bagi Jelang untuk melihat isi galeri milik Stella. Namun rasa penasaran itu mengalahkan dirinya, foto-foto di galeri HP milik Stella lumayan banyak, ada folder foto dirinya dan beberapa hasil autopsi yang mungkin lupa Stella hapus.

Namun yang membuat Jelang tersenyum lebar adalah, Stella membuat folder foto mereka berdua. Dan sampul foto yang di pakai adalah foto mereka saat kelulusan SMA dulu. Stella yang memakai kebaya dengan rambut panjang yang ia urai, dan Jelang yang saat itu nampak tampan dengan setelan jas milik mendiang Bapaknya dulu.

Ada banyak sekali foto nya dan Stella waktu masih memakai seragam SMA sampai akhirnya mereka masuk kuliah, Stella lebih dulu kuliah dari pada Jelang. Karena Jelang sempat masuk pendidikan kepolisian lebih dulu, namun setelahnya ia baru memasuki dunia perkulihan, Jelang itu lulusan hukum. Makannya gak heran kalau dia bisa mendapat gelar penyidik.

Di tengah rasa sakit yang menderanya, Jelang tersenyum. Hatinya sungguh menghangat hanya dengan melihat foto-foto itu, namun tidak lama kemudian terpintas ide di kepalanya untuk membuat sesuatu di HP milik Stella.

Maka dari itu, ia membuka kamera dan merekam sesuatu di sana untuk Stella lihat nanti.

“Hai, La.” ucapnya sembari tersenyum.

To Be Continue

Seorang pria memasuki ruangan yang tampak megah di dalam sebuah gedung pencakar langit, ruangan yang di dominasi warna hitam dengan lukisan-lukisan bunga mawar dan abstrak serta kaca besar nan lebar yang menyuguhkan pemandangan kota malam itu, membuat ruangan itu nampak elegan.

Pria berkacamata itu sedikit membungkuk pada pria lain di depanya yang tengah mengisap cerutu, pria dengan wajah dingin nan angkuh itu menyeringai pada pria bekacamata di depannya.

“Malam, Pak Dion.” pria berkacamata itu sedikit menyapanya. Namun pria itu hanya bergeming sekaligus mengangguk dengan gerakan halus.

“Ipda Jelang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang, beliau melarikan diri saat di bawa ke rumah sakit. Saat ini tim kami beserta anggota polisi lainya sedang mencari Ipda Jelang,” jelasnya.

“Andreas, bagaimana dengan dia?” tanya laki-laki angkuh itu seraya mengepulkan asap yang keluar dari mulutnya ke udara.

“Andreas tidak berhasil membunuh Ipda Jelang, dia bilang Ipda Jelang melawan dan tidak lama kemudian ada warga yang melihat mereka.”

“Jadi benalu itu tidak berhasil?”

“Iya tuan,” jawabnya.

“Kalau begitu singkirkan dia, jangan sampai dia merusak segala rencana yang sudah kita susun.”

Pria berkacamata itu sedikit kikuk, namun pada akhirnya ia mengangguk mengiyakan perintah dari atasanya itu. Tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya jika ia tidak menjalankan perintah atasanya itu.

“Lalu bagaimana dengan Istrinya? Wanita itu tidak bisa kita remehkan,” lanjutnya.

“Kami masih mengikuti Istrinya, untuk saat ini dokter Stella masih melakukan pekerjaanya seperti biasa. Tidak ada yang mencurigakan dari dokter Stella, tapi Pak. Rekan kerja Ipda Jelang, Ipda Davin, dia masih berusaha mencari tahu tentang apa yang terjadi dengan rekannya.”

Bukan hanya Stella yang mereka kutit tapi Davin juga, mereka tahu Davin adalah orang yang tidak akan terima rekan nya di jebak seperti ini.

Pria itu mengangguk, “tetap awasi dia, dan tetap melakukan pencarian dimana laki-laki itu kabur. Dan untuk Davin, bikin kasus-kasus pengecoh agar dia tidak bisa menyelidiki rencana kita.”

“Baik tuan,” setelah membungkuk kecil, pria itu keluar dari sana. Meninggalkan pria angkuh tadi yang masih menikmati cerutu dan segelas wine di meja kerjanya.

Pria itu kini membalikan kursi tempatnya duduk jadi menghadap ke arah jendela besar di belakangnya, matanya menatap pancaran cahaya gedung dan jalanan yang malam itu nampak padat. Bibirnya menyeringai sembari sesekali ia sesap minuman itu dengan perlahan.

“Saya enggak akan biarin kamu hidup tenang Jelang...” gumamnya.


“Bang Davin!!” pekik Hellen, ia baru saja keluar dari ruanganya terburu-buru.

Davin yang baru ingin masuk ke ruang interogasi itu jadi berhenti, dia menutup kembali pintu ruangan itu dan menghampiri Hellen yang nampak panik.

“Gue udah berhasil mulihin data dari HP Eros dan berhasil nemuin sesuatu di HP nya Ipda Jelang,” ucap Hellen.

“Ada apa aja di sana, Len?” tanya Davin.

“Ini,” Hellen menunjukan sesuatu dari tab yang dia bawa. “IP milik Bang Jelang beneran di retas, orang ini berhasil menelfom petugas damkar buat ngelaporin kejadian waktu itu.”

“Lo tau siapa orangnya, Len?”

“Gue masih cari tahu, Bang. Dan ini..” Hellen menunjukan bukti pesan singkat dari data yang berhasil ia pulihkan dari ponsel Eros. Disitu terlihat Eros mengirimkan pesan pada seseorang untuk segera mengiriminya uang sebelum ia melakukan rencananya.

“Eros sempat menghubungi nomer ini buat di kirimi uang ke rekening Istrinya, setelah itu dia bakalan ngelakuin aksinya.”

“Jadi Eros ini punya Istri?” gumam Davin. “Kirimin ke gue nomer orang itu, Len.”

“Gue udah lacak nomer ini, Bang. Nama yang terlampir sebagai pemilik nomer ini adalah WNA yang bahkan sudah meninggal. Itu artinya orang ini beli nomer ilegal buat dia pakai komunikasi sama Eros,” jelas Hellen.

Davin yang mendengar itu benar-benar geram, ia sampai mengepalkan tanganya kuat. Setelah selesai berbicara dengan Hellen, Davin kembali bekerja seperti biasa. Ia ingin bertemu Stella untuk membicarakan soal Jelang lagi tapi setelah tugasnya selesai.

Davin hari ini kembali di sibukan dengan kasus bunuh iri di sebuah rumah kontrakan, pria itu tewas dengan cara meminum sianida. Ada surat wasiat juga di sana yang di tulis oleh korban, sayangnya kasus ini tidak di pegang oleh Stella.

Sebelum ia datang ke ruang autopsi, Davin sempat mengajak Stella bertemu di rooftop gedung BFN. Kebetulan Stella juga belum pulang, baru saja Davin ingin merokok namun pintu rooftop terbuka dan menampakan Stella di sana. Davin yang tadinya mau merokok itu jadi mengurungkan niatnya, ia menyimpan kembali rokok itu di dalam sakunya.

“Gue udah dapat hasil dari DNA di TKP dan juga test narkoba punya Jelang, Vin.” ucap Stella, perempuan itu membuka ponselnya dan menunjukan hasil analisis DNA milik Jelang dan hasil test narkobanya.

“DNA itu memang punya Jelang, tapi di dalam darah itu udah tercampur sama EDTA.”

“EDTA?” tanya Davin bingung.

Stella mengangguk, “um, gabungan antikoagulan dan ion kalsium untuk hentikan koagulasi, fungsinya untuk mencegah darah yang di ambil menggumpal sebelum di lakukan test darah. EDTA ini cuma ada di tabung yang di pakai nakes buat menaruh darah sebelum di lakukan test, Jelang sempat sakit waktu itu dan sempat ngelakuin test darah. Darah yang sudah di lakukan pemeriksaan akan di anggap sampah medis, itu artinya ada orang lain yang ambil tabung darah milik Jelang dan numpahin itu di TKP,” jelas Stella panjang lebar.

“Hasil test narkoba nya?”

“Jelang bersih, Vin. Bahkan Maudy laboran BFN lakuin pemeriksaan ini dua kali dan hasilnya sama, Jelang bersih dari obat-obatan apapun.”

“Brengsek, itu artinya ada orang di dalam yang sengaja bikin hasil test nya palsu,” ucap Davin.

Stella mengangguk setuju, “gue udah ngantongin satu nama, tapi biar ini jadi urusan gue, Vin. Gue cuma mau minta tolong satu hal sama lo.”

“Apa, La?”

“Tolong cek CCTV di laboratorium BFN. Gue enggak punya wewenang buat itu.”

Davin mengangguk setuju, lagi pula itu perkara mudah baginya. Davin sudah sering memeriksa CCTV di berbagai macam tempat guna penyelidikan.

“Hellen juga udah nyari tahu soal HP Bang Jelang,” ucap Davin.

“Gimana hasilnya?”

“alamat IP nya beneran di retas, Hellen masih nyari tahu soal ini. Tapi ada yang aneh sama pesan yang di kirim Eros, La.”

Stella mengkerutkan keningnya bingung, setahu Stella ponsel milik Eros itu terbakar, dia tahu ini dari Ipda Hema yang sempat menghubunginya kemarin, Ipda Hema menanyakan soal Jelang. Soal Jelang yang ada di toko Ibu nya masih Stella rahasiakan dari siapapun.

“Iya, Hellen berhasil mulihin data di HP punya Eros dan nemu satu pesan yang mencurigakan.” Davin mengambil ponselnya dan menunjukkan isi pesan Eros dan orang tidak di kenal yang sempat Hellen kirimkan ke Davin.

“Aneh..” gumam Stella. “Apa jangan-jangan aksi yang di maksud ini adalah kebakaran itu, Vin?

“Kebakaran?”

“Bisa jadi pembakaran ini justru jadi jebakan buat Jelang, dengan kata lain Eros juga terlibat dalam kasus pembakaran ini. Ada dalang di balik ini semua, Vin. Termasuk soal kematian Eros.”

Davin terdiam sebentar, Stella benar-benar seperti Jelang. Perempuan itu mampu mencerna kejanggalan dengan mudah serta menyimpulkan, kalau di pikir-pikir ucapan Stella ada benarnya juga. Itu artinya ia harus mencari tahu dalang itu dengan melakukan pemeriksaan rekening milik Eros, tapi sebelum itu ia harus mencari keberadaan Istri Eros terlebih dahulu.

“Benar, kalau gitu gue harus nyari tahu orang yang ngirimin uang ke rekening Eros. Gue harus cari Istrinya lebih dulu, ah iya. Soal Bang Jelang, dia belum ngasih kabar apa-apa, La?” jujur Davin juga ikut mengkhawatirkan Jelang. Ia juga terus bertukar kabar dengan Hema mengenai pencarian Jelang, namun Hema belum menemukan petunjuk lain selain Hema yang terakhir kali terlihat di sekitaran mesjid.

“Belum, Vin. Gue pasti kabarin lo kalo gue udah ketemu sama Jelang.”

Stella ingin Jelang fokus pada pemulihanya dulu, biar ini semua ia yang mengurus. Davin enggak perlu tahu, ia takut Davin akan mengunjungi Jelang dan mengundang pihak lain tahu akan keberadaan Suaminya itu.

“Makan dulu, Mbak.” ucap Tristan saat Stella keluar dari kamarnya.

Tristan sudah tau apa yang terjadi dengan Jelang, dan dia juga bekerja sama dengan Stella dan Davin. Semalam, Davin berhasil mengambil sampel darah dari TKP untuk Stella periksa lagi keabsahanya.

Karena tahu Stella di awasi, maka Tristan lah yang mengambil sampel darah itu di tempat yang sudah di beritahu oleh Davin. Hari ini Stella menyuruh Tristan untuk melakukan kegiatanya seperti biasa, Stella ngerasa dia gak bisa nyeret Tristan lebih jauh untuk hal ini. Biar bagaimana pun Tristan baru memulai perkuliahanya.

“Ta?” panggil Stella, saat keduanya sedang sarapan bersama.

“Kenapa, Mbak?”

“Terima kasih yah.”

Tristan mengangguk, baginya yang ia lakukan kemarin bukan apa-apa. Tristan juga sangat mengkhawatirkan Jelang, namun Stella bilang kalau ia yakin Jelang baik-baik saja dan berjanji akan segera menemukan Jelang.

“Sama-sama, Mbak. Tapi Mas Jelang dimana yah, Mbak?”

Stella menunduk, ia juga belum tahu keberadaan Jelang dimana. Tapi ia yakin, secepat mungkin Jelang akan segera menghubunginya. Jelang mungkin bersembunyi di suatu tempat karena ia tidak bisa pulang ke rumah. Polisi akan mencarinya ke rumah, Jelang paham akan itu.

“Nanti Mbak kabarin Tristan kalau Mbak udah dapat kabar dari Mas Jelang.” Stella menepuk pundak pemuda itu, ia tidak bisa sarapan lama-lama maka dari itu Stella segera berpamitan pada Tristan untuk berangkat bekerja.

Hari ini Stella harus bekerja seperti biasa, selain itu, Ia juga harus melakukan pemeriksaan kembali pada sampel darah di TKP. Sembari menunggu Davin memberi info dari Hellen mengenai ponsel Jelang.

Begitu sampai di BFN, sebelum masuk ke dalam gedungnya Stella sempat menarik nafasnya dulu. 2 hari ia tidak bekerja, semoga tidak ada sesuatu yang menghambatnya lagi untuk mencari tahu tentang jebakan untuk Suaminya itu.

“Pagi, La.” sapa Ardi waktu mereka bertemu di depan lift.

“Pagi, Di.”

Stella sempat menelisik Ardi sebentar, rekan kerjanya itu tampak sama seperti hari-hari sebelumnya. Enggak ada yang mencurigakan dengan Ardi.

“Di?”

Ardi menoleh, cowok itu tersenyum seperti biasanya pada Stella. “Kenapa, La?”

“Lo tau gak siapa yang meriksa sampel darah di TKP pembakaran itu?”

“Ke..kenapa emangnya?” Stella bisa melihat, ada sedikit kepanikan dari mata Ardi saat Stella bertanya seperti itu. Ardi temannya, Stella berharap Ardi enggak akan mengkhianatinya. Pasalnya saat ini Stella enggak bisa percaya sama siapapun kecuali Davin dan Hellen.

“Gapapa, gue cuma mau tau aja, Di.”

Ardi mengangguk pelan, “Angkasa, La.”

“Angkasa...” gumam Stella. “Kalau test urine nya juga sama?”

Belum sempat Ardi menjawab, namun pintu lift sudah terbuka. “sorry ya, La. Gue duluan ada autopsi pagi ini.” ucap Davin.

Stella mengangguk, ia tidak bisa masuk ke dalam lift yang sama dengan Ardi. Karena Stella akan menuju lab lebih dulu, lab forensik ada di paling bawah gedung BFN sementara ruang autopsi ada di lantai atas. Stella enggak melakukan analisis sendiri, ia tidak bisa melakukan itu. Tapi ia kenal seseorang di lab forensik yang bisa ia percayai.

“Stella?” pekik Maudy begitu ia membuka pintu lab, Maudy tadinya akan keluar sebentar siapa sangka jika Stella akan mengambangi ruang kerjanya.

Maudy ini adalah seorang laboran laboratorium forensik, Maudy yang memegang tanggung jawab penuh lab. Maudy adalah teman dekat Stella, mereka satu kampus dulu makanya enggak heran kalau satu-satunya orang yang bisa Stella percaya itu cuma Maudy. Ya.. Meskipun ia juga akan tetap mengawasi perempuan itu saat melakukan analisis.

“Gue mau minta tolong sama lo banget, Dy.” Stella masuk ke dalam lab, dan ia kunci lab itu dulu agar tidak ada staff lain yang masuk.

“Kenapa, La?”

Stella mengeluarkan sampel darah yang Davin ambil semalam dan memberikanya pada Maudy.

“Itu sampel darah di TKP untuk kasus pembakaran, Dy. Gue mohon banget sama lo buat cek kembali DNA yang ada di dalam darah itu,” jelas Stella.

“Jelang ya, La?” tebak Maudy yang di jawab anggukan oleh Stella.

Maudy mengangguk pelan, ia mengambil sampel itu dan langsung segera mengujinya. Meski tidak mengenal Jelang lebih dekat, menurut Maudy kasus ini juga mengalami kejanggalan. Maudy lumayan mengikuti kasus ini, bagaimana tidak, jika seluruh staff BFN membicarakan masalah ini.

“Gue bakalan lakuin dua kali analisis dengan cepat, La.”

Stella mengangguk, ia duduk di salah satu kursi di sana dan memperhatikan bagaimana Maudy bekerja. Namun tidak lama kemudian ponselnya bergetar, ada seseorang yang menelfonya. Dan ternyata itu adalah nomer Bapak, karena takut terjadi sesuatu pada orang tua nya, dengan cepat Stella langsung mengangkat panggilan itu.

“Hallo, Pak?”

La, bisa kamu ke toko sekarang?

“Ada apa, Pak? Stella lagi ker—”

Jelang ada di gudang toko, La. Tapi keadaanya terluka parah.

Tanpa berpikir panjang Stella langsung mematikan sambungan telfon itu, Stella panik karena Bapak bilang kalau Jelang terluka parah.

“Dy, gue harus pergi sekarang,” Stella berdiri dan memakai tas nya kembali.

“Ada apa, La?”

“Jelang, Dy.”

Maudy mengangguk, di lihat dari sorot matanya. Maudy hanya bisa menebak jika mungkin Stella sudah menemukan kabar tentang Suaminya itu.

“Gue bakalan kirimin hasilnya ke surel lo. La. Lo bisa percayain ini sama gue.”

Stella baru ingat, kalau ia sempat mengambil potongan rambut milik Jelang saat mereka bertemu di markas kemarin. Jadi sebelum pergi, Stella merogoh tas nya kembali dan memberikan kantung obat putih berisi rambut milik Jelang.

“Ini rambut Jelang, Dy, dia sempat di tuduh make narkoba karna hasil test nya positif. Gue minta tolong buat lakuin pengecekan sekali lagi.”

Maudy mengangguk, ia mengambil rambut itu dan menepuk pundak Stella pelan sebelum temannya itu melesat pergi.


Di dalam gudang tempat Jelang bersembunyi, laki-laki itu masih menahan rasa sakit yang menyerang perutnya. Bapak mertua nya itu tadinya mau menutup toko mie ayamnya, tapi Jelang larang. Kalau toko itu tutup, polisi atau orang yang mengawasinya bisa curiga.

Jadi Bapak tetap membuka toko itu, setelah menggantikan baju Jelang dan menyumbat darah yang terus keluar dengan handuk bersih.

“Arghhh...” Jelang mengerang, rasa sakitnya semakin tidak karuan membuat keringatnya kembali menetes.

Jelang akhirnya memejamkan mata, ia berusaha untuk tetap sadar sampai Stella datang. Bapak tadi bilang kalau Bapak sempat menelfon Stella untuk datang ke toko.

Sembari memejamkan matanya, kadang Jelang membayangkan hari-hari yang akan ia dan Stella jalani jika sudah keluar dari masalah ini. Jelang itu hobi nya naik gunung, ia mungkin akan mengajak Stella untuk menjelajahi gunung bersama, atau mengajak Istrinya itu berlibur. Jelang tersenyum pada skenario yang ia buat di kepalanya sendiri, sayup-sayup matanya terbuka dan menampakan Stella yang hendak tersenyum di depanya.

“Lang?” panggil Stella, Jelang tidak menyahut. Ia pikir itu hanya khayalanya saja, namun semakin lama panggilan itu semakin terasa nyata.

Jelang akhirnya sadar, ia membuka matanya sepenuhnya begitu sadar Stella benar-benar di hadapanya. Bukan dengan senyum, melainkan dengan raut wajah kekhawatiranya.

“La..” sapa nya lirih.

“Bapak bilang kamu luka? Aku liat dulu luka nya, Lang. Biar aku obatin.”

Jelang hanya mengangguk pelan, dengan susah payah di bantu Istrinya itu Jelang mengubah posisi tidurnya. Ia menyingkap baju yang di kenakanya agar Stella bisa melihat luka yang ada di samping perutnya itu.

Waktu Stella ngeliat luka di perut Jelang, perempuan itu menghela nafas keputusasaanya. Sungguh, ia tidak akan membiarkan keadaan ini berlangsung lama.

“Aku bakalan jahit luka nya, tapi aku gak punya bius. Kamu bisa tahan kan, Lang?” tanya Stella dengan nada khawatirnya.

Jelang hanya mengangguk pelan, mau tidak mau ia harus menahan rasa sakitnya lagi. Jika terus di biarkan, luka itu akan terus mengeluarkan darah yang akan membuat Jelang kehilangan banyak darahnya.

“Tahan yah.”

Stella menyiapkan peralatan yang akan ia pakai untuk menjahit luka Jelang, ia sempat membersihkan luka itu dulu sebentar. Sebelum memulai menjahit luka Jelang, Stella sempat mengambil sapu tangan yang ada di tas nya dan memberikan itu pada Jelang.

“Gigit ini, Lang. Ini bakalan sakit, tahan yah. Aku bakalan lakuin ini dengan cepat.” Stella kasih sapu tangan itu, saat ini Jelang enggak boleh berteriak. Toko orang tua Stella sedang ramai, jika Jelang berteriak itu hanya akan mengundang perhatian banyak orang untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Arghhhmmm...” erang Jelang tertahan, ia berusaha mengatur nafasnya ketika Stella menusukan neddle hacting pada tubuhnya.

Sebisa mungkin Jelang meremat bantal yang ada di sampingnya dengan kencang, keringat yang semula kering itu kembali membanjiri. Sungguh rasanya Jelang ingin tidak sadarkan diri saking sakitnya.

“Tarik nafas, Lang..” ucap Stella, ia masih berkonsentrasi untuk menjahit luka Suaminya itu.

“Aaahh...” nafas Jelang terengah-engah.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Stella menjahit luka itu, hanya sekitar 3 menit saja ia sudah selesai. Jelang juga sudah jauh lebih tenang, walau nafas laki-laki itu masih terengah-engah. Luka nya sudah rapat, namun nyeri dan sakitnya itu urung kunjung hilang.

“Jelang? Masih dengar suara aku kan?” Stella ingin memastikan jika Jelang masih sadar, mata cowok itu terpejam. Dan saat Stella bertanya beruntungnya Jelang masih merespon dengan anggukan kecil.

“Maafin aku yah, Lang. Aku gak punya bius.”

Jelang membuka matanya, laki-laki itu tersenyum lemah. Stella sempat memberikan obat pereda nyeri untuk Jelang, ia juga sempat berbicara pada orang tuanya dulu. Memberitahu pada kedua orang tua nya apa yang harus mereka katakan jika polisi datang untuk mencari Jelang.

Setelah itu, Stella kembali lagi ke gudang penyimpanan bahan baku. Waktu Stella masuk, Jelang sedang melamun. Cowok itu sudah tidak berkeringat, nafasnya juga sudah jauh lebih stabil.

“Udah enggak sakit, Lang?” tanya Stella, ia duduk di samping cowok itu.

Jelang tiduran di lantai, hanya beralaskan selimut tebal dan satu bantal untuknya. Cowok itu beristirahat di antara sayur-sayuran, tabung gas dan juga tepung untuk membuat mie.

“Masih, La. Tapi enggak kaya tadi.”

Stella mengangguk pelan.

“Ak..aku DPO yah, La?” tanya Jelang.

Kedua mata mereka bertemu, tatapan lemah itu seakan menusuk hati Stella. Ini benar-benar titik terendahnya Jelang, Stella baru saja mendapat kabar dari Hema jika Jelang di tusuk dengan cutter oleh salah satu napi di sel nya.

“Um..” jawab Stella.

“Aku sengaja kabur, La. Aku enggak mau diam aja biarin kamu nyari tahu sendirian.”

“Lang...”

“Ini bahaya, La. Enggak mungkin aku biarin kamu lakuin semuanya sendirian, lagi pula kasus ini masalah aku.”

“Masalah kita, Lang. Kasus ini udah melibatkan kamu. Jadi itu masalah kita, kamu pikir aku bakalan diam aja liat kamu kaya gini?”

“La, kamu gak kenal gimana seberbahaya nya orang itu.”

“Aku bisa lebih berbahaya dari orang itu kalo begitu,” kata Stella tegas.

Jelang terdiam, Stella itu keras kepala. Percuma saja berdebat dengan perempuan itu karena Stella akan tetap pada pendirianya.

Setelah perdebatan kecil itu, keadaan menjadi hening. Namun tidak lama kemudian ponsel milik Stella berbunyi, menampilkan notifikasi dari surel miliknya yang baru saja menerima pesan dari Maudy.

Itu adalah hasil DNA yang ada di TKP, hasil test narkoba Jelang belum keluar karena Stella menggunakan media rambut, akan lebih lama prosesnya. Paling cepat, Maudy baru bisa mendapatkan hasilnya sekitar 24 jam hingga tiga hari.

Hasil DNA itu sama, itu benar-benar darah milik Jelang. Namun yang membuat Stella bingung adalah keterangan yang di berikan oleh Maudy setelahnya.

“Ada yang aneh..” gumam Stella.

“Ada apa, La?”

“DNA di TKP menunjukan kalau itu emang darah kamu, Lang. Tapi kenapa darah yang ada di TKP mengandung EDTA?”

“EDTA?”

“Um,” Stella mengangguk. “Kamu tau tabung kecil buat naruh darah kalau kita lagi melakukan pemeriksaan di rumah sakit?”

Jelang mengangguk.

“EDTA itu gabungan antikoagulan dan ion kalsium untuk hentikan koagulasi, fungsinya untuk mencegah darah yang di ambil menggumpal sebelum di lakukan test darah. EDTA ini cuma ada di dalam tabung itu, itu artinya ada orang yang numpahin darah kamu di sana.” jelas Stella.

Jelang sempat terdiam sebentar, sampai sesuatu terlintas di kepalanya. Ia memang sempat melakukan pemeriksaan darah sebelum menikah, waktu itu Jelang sempat demam. Dokter yang memeriksanya sempat menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah.

“Aku baru ingat, La. Aku sempat cek darah sebelum kita nikah.”

“Kapan?”

“Tiga minggu yang lalu, waktu itu aku sakit. Aku sempat demam seminggu, kemungkinan orang itu nyuri darahku dari rumah sakit?” Jelang menoleh ke arah Stella.

Stella mengangguk, “bisa jadi, karena darah yang udah di lakuin test bakalan jadi sampah medis dan di buang.”

Baru saja Jelang ingin mengubah posisinya, tiba-tiba saja perutnya terasa nyeri kembali.

“Arghh...” erangnya.

“Kamu mau ngapain, Lang?” Stella yang berada di samping Jelang itu jadi sedikit panik, ia membantu Jelang untuk bersandar di lemari pelan-pelan. Sampai keduanya tidak menyadari jika wajah mereka sedekat ini.

Stella lebih dulu sadar, ketika mata nya bertemu dengan mata Jelang. Jantungnya berdegub tidak karuan, ia baru menyadari jika Jelang satu-satunya laki-laki yang bisa mengertinya, bukan hanya kelebihan, Jelang juga memahami kekuranganya. Bukan hanya Stella saja yang berdegub tapi Jelang juga.

“Jangan liatin aku kaya gitu, La. Jantung aku berdegub gila-gilaan. Aku takut darah dari luka aku merembas lagi.” hanya karena tatapan itu Jelang lupa kalau Stella sudah menjahit lukanya.

“Aku juga, Lang.”

“Hm?”

“Aku juga ngerasain hal yang sama, karena aku suka sama kamu, Lang.” bisik Stella.

Perempuan itu tersenyum, jawaban itu membuat Jelang sedikit salah tingkah. Ia sempat mengira jika ini adalah imajinasinya saja, namun ternyata tidak. Stella membuatnya sadar dan semakin jelas jika ini semua nyata. Apalagi saat kedua tangan itu menangkup rahangnya, membawa bibirnya untuk menyapa bibir mungil Istrinya itu.

Bibir Stella mengecup bibir bawah Jelang, melumat bibirnya sangat pelan, seperti ia tengah mengungkapkan kasih sayang, pengakuan cinta sekaligus kekhawatiran dari ciuman itu. Tangan Jelang yang semula berada di lantai, kini beralih memegang pinggang Stella. Ia juga memberanikan diri untuk membalas ciuman itu, kedua mata anak manusia itu terpejam.

Ciuman mereka sempat terhenti, kedua mata mereka terbuka dan saling tersenyum satu sama lain. Jemari kurus itu mengusapi wajah Jelang yang nampak pucat pagi itu, sampai akhirnya, tangan Stella membawa wajahnya lebih dekat dan memulai kembali ciuman mereka, tidak ada gerakan tergesa-gesa, mereka hanya saling mengecup dengan gerakan sepelan mungkin.

Keduanya sampai tidak sadar, jika di ambang pintu yang terbuka kecil itu ada Ibu yang tengah berdiri hendak akan mengambil bahan baku.

Ibu enggak jadi masuk, beliau hanya tersenyum melihat putrinya tengah mencium Suaminya sendiri. Hati Ibu lega, Ibu sempat berpikir pernikahan Stella dan Jelang tidak di landasi dengan cinta. Namun hari ini, pemikiran buruk itu telah sirna.

To Be Continue