By Spring Seasonnn

Begitu mendapatkan ponsel milik Jelang, Davin langsung bergegas menuju kantor kepolisian tempatnya bekerja. Ia akan menemui Hellen dan mencari tahu apakah ada yang meretas ponsel milik Jelang atau tidak.

Davin melajukan motornya agak kencang, di kepalanya ia sudah menyusun rencana untuk mengambil tetesan darah yang ada di TKP. Mungkin setelah memberikan ponsel Jelang pada Hellen, Davin akan mencaritahu lapas mana tempat Jelang di tahan.

Begitu sampai di kantornya, Davin langsung turun dari motornya dan bergegas ke lantai empat tempat ruangan Hellen berada. Begitu ia masuk, Hellen yang biasanya bekerja berdua dengan asisten nya itu kini menjadi beriga karena ada Ipda Hema di sana.

“Bang Hema?” panggil Davin.

“Abis dari mana lo?” tanya Hema, wajahnya agak sedikit terlihat kurang bersahabat, mungkin karena kantor sedang direpotkan dengan kasus Jelang dan kasus yang di pegang Hema juga ada yng berakhir alot, Hema memang terkenal kaku dan serius, laki-laki itu lebih kaku dari Jelang. Davin menyebutnya Hema adalah laki-laki yang paling tidak asik.

“Gue habis bantuin Stella buat nyari tahu soal jebakan Bang Jelang,” ucap Davin jujur.

Toh Hema memang ada di pihak Jelang. Ia juga masih menyelidiki soal ponsel milik Eros yang ia temukan di hutan namun sayangnya ponsel itu di temukan dalam keadaan hangus terbakar, Hellen terlihat seperti sedang memulihkan data-datanya. Hema akan mencari tahu tentang Eros dari ponsel yang ia temukan.

Davin mengeluarkan ponsel milik Jelang dan memberikan ponsel itu ke Hellen. “Tolong periksa HP nya Bang Jelang, Len. Stella curiga kalo HP Bang Jelang di retas sama orang lain, makanya nomernya bisa ada di daftar orang pertama yang melapor terjadinya kebakaran.”

Hellen mengangguk, ia mengambil ponsel itu dan menyalakanya. “Nanti gue coba yah, Vin. Nanti gue kabarin lo kalo udah ada hasilnya.”

“BRENGSEK!!” pekik Hema yang membuat Hellen dan Davin menoleh ke arah laki-laki itu secara bersamaan. Laki-laki sedang membaca sesuatu di ponselnya dengan kening berkerut tampak tegang.

“Ada apa, Bang?”

“Markas besar ngeluarin DPO atas nama Jelang Niskala.”

“Bang Jelang kabur?!” pekik Davin.

Hema hanya mengangguk pelan, dan menepuk pundak Davin. “Gue harus ke markas, Vin. Setelah itu gue nyoba nyari Jelang.”

Hema melesat begitu saja, ia harus tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya sampai-sampai Jelang kabur dan kepolisian markas memasukanya ke Daftar Pencarian Orang.

Sementara itu Davin mencoba menghubungi Stella, namun sayangnya Stella tidak menjawabnya dan itu menambah kekhawatiran Davin akan Istri dari seniornya itu. Karena panik, akhirnya Davin memutuskan untuk ke rumah Jelang dan Stella demi memastikan perempuan itu baik-baik saja.

“Angkat, La..” gumam Davin sebelum ia melajukan motornya.

Karena Stella urung menjawab juga, akhirnya Davin memakai helm miliknya dan langsung melesat menuju kediaman Jelang dan Stella berada. Begitu Davin sampai di depan rumah Stella, keningnya mengkerut bingung, perasaanya juga berubah jadi tidak karuan ketika mendapati mobil polisi ada di depanya.

Alih-alih memarkirkan motornya dengan benar, Davin justru membanting motor itu sembarangan hingga motor miliknya jatuh begitu saja. Davin langsung berlari ke dalam rumah Stella, yang ia dapati di sana justru Stella yang tengah meremat kerah yang di pakai oleh pria yang menangkap Jelang kemarin.

Begitu mengetahui Davin datang dengan terengah-engah, Stella langsung melepaskan tanganya dari kerah kemeja yang di kenakan pria itu. Mata Stella menyalang dengan raut wajah yang marah sekaligus khawatir disana.

“Kami akan terus memantau anda, kami minta pihak keluarga Ipda Jelang untuk koperatif, jika dia memang pulang ke rumah tolong segera hubungi—”

“Saya sudah bilang berapa kali kalau suami sayang enggak pulang!!” sentak Stella, perempuan itu benar-benar naik pitam. Davin bahkan yakin Stella ingin sekali menghajar pria di depannya saat ini.

“Kalau gitu kami tidak akan melepaskan status DPO pada Ipda Jelang, sampai kami bisa menemukan keberadaanya.”

Stella semakin tidak bisa menahan amarahnya, sebelum pria itu pergi meninggalkan rumahnya. Ia hadang pria itu dan kembali di tariknya kerah bajunya, anggota polisi yang lain sempat menahan tangan Stella, namun perempuan itu menepisnya dengan kasar.

“Kalau sampai terjadi apa-apa sama suami saya, saya pastikan. Saya akan melaporkan anda balik.” setelah mengatakan itu, Stella mendorong pria tadi dan melepaskan cengkraman tanganya dari kerah bajunya.

Stella kembali masuk ke dalam rumahnya, sementara itu Davin justru masih terpaku di depan rumah. Matanya masih beradu tatap pada pria yang menangkap seniornya itu hingga pria tadi dan anggota kepolisian lainya meninggalkan rumah Jelang dan Stella.

“La, Bang Jelang—”

“Gue udah tau, Vin.” Stella menarik nafasnya pelan, ia menarik kursi meja makan miliknya dan duduk disana. “Jelang di tikam sama napi yang satu sel sama dia, Vin. Sekarang gue enggak tahu dia dimana..”

Walau dalam keadaan genting seperti ini, Stella masih enggan menunjukan kerapuhanya. Ia benar-benar perempuan yang tangguh, bagi Stella yang di butuhkan disini bukan ia harus menangisi Jelang. Baginya, ia harus memikirkan cara bagaimana menemukan Jelang, atau kemungkinan kemana Jelang pergi dan bersembunyi.

“Bang Hema lagi nyari Bang Jelang, La. Gue juga bakalan bantu nyari, kita bisa bertukar kabar kalau salah satu dari kita ketemu sama Bang Jelang,” ucap Davin.

Stella hanya mengangguk pelan, “lo udah kasih HP nya Jelang ke Hellen?”

“Udah, Hellen lagi nyari tahu semuanya. Dia bakalan ngabarin gue kalau udah dapat hasilnya.”

Kemudian hening, Stella masih berusaha mengatur amarahnya. Ia baru ingat kalau ia sempat menemukan sabu di saku milik Jelang, sepertinya masih utuh. Itu artinya Jelang sama sekali tidak menyentuh barang itu.

“Vin?”

“Kenapa?”

Stella berdiri, ia berjalan ke arah mesin cuci yang ada di dekat dapurnya untuk mengambil jaket milik Jelang. Di rogohnya saku jaket itu dan ia berikan kantung berisi bubuk putih itu pada Davin.

“Barang yang sempat Jelang beli, gue yakin barang itu sama sekali enggak dia sentuh.”

Davin menimang barang itu di tanganya, ia akan menyimpan barang itu untuk di jadikan bukti jika Jelang hanya membelinya guna penyelidikan saja tanpa menyentuhnya sedikit pun.


Setelah lari dari kejaran polisi, Jelang sampat mengumpat ke gang-gang kecil dari lingkungan kumuh di sana. Sepertinya bius lokal yang dokter suntikan di pinggangnya sudah hilang, karena kini luka yang ada di perut sampingnya kembali nyeri, bahkan Jelang mengeluarkan keringat yang cukup deras.

Setelah mencuri pakaian yang di jemur di depan rumah warga, Jelang sempat bersembunyi di toilet mesjid. Ia berganti baju di sana dan memutuskan untuk duduk di dalamnya dulu, Jelang masih bingung harus kemana ia pergi.

“Aaahhhh...” erangnya ketika lukanya kembali terasa sakit.

Nafas Jelang semakin memburu, ia harus segera keluar dari sini untuk menemukan tempat persembunyian sementara. Jelang sempat kepikiran untuk bersembunyi di toko mie ayam milik Ibu mertuanya itu, mengingat toko itu lumayan dekat dari tempatnya bersembunyi sekarang.

Setelah sekuat tenaga menahan rasa sakit yang menyerang perutnya, Jelang memberanikan diri untuk keluar dari bilik toilet itu. Ia jalan biasa saja, tidak ingin orang-orang curiga denganya. Namun begitu ia keluar dari gang menuju toko mie ayam milik Ibu nya Stella.

Jelang merasa ada seseorang yang mengikutinya, jadi demi memastikan itu, akhirnya Jelang menoleh ke belakangnya. Dan benar saja, ada seorang pria berbaju hitam mengikutinya. Pria itu, pria asing yang tidak Jelang kenal. Saat mata mereka bertemu, ia menyeringai kemudian mendekat ke arah Jelang.

“Siapa lo?” tanya Jelang.

Pria itu hanya diam, namun tidak lama kemudian ia mengeluarkan pisau lipat dan ingin menusukanya ke leher Jelang. Beruntung Jelang sigap untuk menghindar, satu detik saja Jelang lengah mungkin pisau itu sudah menancap di lehernya.

Jelang tidak langsung kabur, ia sempat menghajar pria tadi dan menendangnya hingga pria tadi tersungkur di tanah. Pisau yang di pegangnya terjatuh, dan Jelang memakai kesempatan itu untuk melempar pisau itu sejauh mungkin. Dan sialnya pria tadi berdiri dengan sangat cepat dan menghajar balik wajah Jelang.

Jelang sedikit oleng, namun ia dengan mudah membalikan keadaan. Ia memukul balik pria tadi di bagian perut dan rahangnya, pria itu akhirnya tersungkur, dan Jelang dengan sigap menindihinya demi mengetahui apa motif pria itu menyerangnya.

“SIAPA YANG NYURUH LO BUAT NYERANG GUE?!!!” sentak Jelang.

Pria itu hanya menyeringai dan tertawa kencang tanpa menjawab, matanya yang licik itu kini beralih menatap bagian perut samping Jelang. Luka jahitan itu robek lagi hingga darah Jelang kembali membasahi baju yang ia pakai.

Tanpa menjawab pertanyaan Jelang, pria itu meninju luka yang ada di perut samping Jelang hingga darahnya merembas semakin deras.

“ARGHHHHGG!!!” teriak Jelang kesakitan.

Karena Jelang kesakitan, dengan secepat mungkin ia bangun dan menyerang balik Jelang. Kini tujuan pria itu hanya tertuju pada luka Jelang, ia terus menghajar perut Jelang meski Jelang sudah meringkuk kesakitan.

“ARGHHHHHHH... BRENGSEKKK!” teriak Jelang.

Tidak lama kemudian ada segerombolan Bapak-Bapak yang baru saja pulang dari mesjid, karena melihat ada orang lain di sana selain mereka. Pria tadi akhirnya kabur, meninggalkan Jelang yang masih kesakitan di pinggir jalan.

Sekumpulan Bapak-Bapak tadi berpencar, ada yang mengejar pria tadi dan sebagian yang lain ada yang membantu Jelang.

“Mas gapapa Mas?” tanya salah satu Bapak-Bapak yang membantu Jelang.

Jelang hanya menggeleng pelan, ia memegangi perutnya yang begitu sakit. Bahkan darahnya sudah membasahi baju bagian bawahnya itu.

“Gapapa, Pak. Teri..ma kasih..” ucap Jelang terbata-bata, dengan sisa tenaga yang ia miliki, Jelang akhirnya pergi dari sana. Ia harus segera tiba di toko milik Ibu nya Stella sebelum kesadaranya menghilang.

“Mau kemana, Mas? Biar saya antar. Sepertinya perutnya luka.” teriak salah satu Bapak-Bapak disana, namun Jelang abaikan begitu saja. Alih-alih minta di antar, ia lebih baik berjalan kaki saja.

Yang di lakukan Stella setelah menjenguk Jelang di Markas besar adalah menemui Davin. Ia harus minta penjelasan sama laki-laki itu terlebih dahulu, kemudian ia akan kembali ke BFN untuk menganalisa kembali darah yang ada di TKP kemudian mengumpulkan semua barang bukti sekecil apapun yang ia dapat.

Stella sudah mengubungi Davin, mereka akan bertemu di pertigaan sebelum menuju ke arah kompleks perumahannya. Stella sengaja enggak menemui Davin di cafe atau restoran, ia yakin ada orang lain yang memata-matainya.

Begitu mobilnya berhenti di pertigaan, ia melihat Davin dari sebrang jalan hendak menghampiri Stella. Motor laki-laki itu ia taruh di depan sebuah mini market, Davin masuk ke mobil Stella ia juga sama kacaunya dengan Stella karena Jelang tertangkap.

Stella kenal Davin, ia dan Jelang memang partner kerja yang sama-sama memiliki ambisi dan pekerja keras. Enggak heran kalau Davin ngerasa kehilangan, itu artinya selama Jelang di tahan Davin harus memecahkan banyak kasus sendiri.

“Gimana keadaan Bang jelang, La?” tanyanya begitu masuk ke dalam mobil Stella.

“Hari ini juga dia di pindahin ke lapas, gue belum dapat kabar di lapas mana. Vin, sebenarnya gimana sih? Kenapa Jelang bisa di tahan kaya gini?” Stella rasa ia harus tahu cerita lengkapnya dari Davin, biar bagaimana pun juga, Davin adalah orang yang berada di lokasi kejadian.

“Aneh, La. Bener-bener aneh, di TKP tepat di bawah meja, Bang Jelang nemu tetesan darah, awalnya kami berasumsi itu darah korban atau darah pelaku. Kaya yang lo tau sendiri kalau korban pria dewasa, yang bisa aja melakukan perlawanan sebelum akhirnya tewas. Hellen yang ambil darah itu buat di lakukan analisis DNA, dan ternyata darah di TKP itu darahnya Bang Jelang.”

Stella masih mendengarkan kejanggalan yang di ceritakan oleh Davin, setahunya Jelang enggak memiliki luka yang membuat darahnya menetes. Lalu dari mana mereka mendapatkan darah Jelang? Hanya ada dua kemungkinan, BFN membuat analisis palsu atau ada seseorang yang menukar darah yang di ambil di TKP dengan darah Jelang. Tapi untuk kemungkinan BFN melakukan pemalsuan seperti ini sangat kecil.

“Dan yang kedua, gue sama tim yang lain nemu botol minuman yang bau bensin dalam nya. Kami minta Hellen buat cek sidik jari di botol itu dan lo tau, La? Botol. Itu penuh sama sidik jarinya Bang Jelang.”

Tangan Stella mengepal kuat, orang yang menjebak Jelang ini memang licik dan membuat jebakan ini sangat rapih dan penuh persiapan. Benar kata Jelang, orang ini enggak mungkin melakukanya sendiri.

“Selain itu, Vin?” tanya Stella.

“HP, La. Nomer Bang Jelang terdaftar sebagai orang pertama yang melaporkan terjadinya kebakaran. Gue inget jelas, La. Malam itu Bang Jelang di kantor, paginya waktu kebakaran pabrik itu, Bang Jelang juga di kantor!!” pekik Davin emosional.

Stella mengangguk, ia sudah menemukan cara untuk membuktikan keabsahan bukti-bukti di TKP jika itu benar-benar Jelang.

“Gue bakalan lakuin analisis ulang buat DNA Jelang yang ada di TKP, Vin. Termasuk hasil test urine yang mereka bilang positif.”

“Tung..gu.. Positif?”

Stella mengangguk, “gue minta laporan hasil test urine Jelang sama Verra. Dia bilang hasilnya positif.”

“BRENGSEKKK!!” pekiknya, Davin benar-benar marah saat mengetahui hal ini. Dia kenal Jelang, Jelang memang kadang merekok tapi untuk menggunakan barang sialan itu, Davin yakin seribu persen jika Jelang bersih.

“Gue minta tolong sama lo, Vin. Gue enggak bisa buktiin ini sendirian.”

“Apa, La? Gue pasti bakal bantuin lo buat ngeluarin Bang Jelang dan nangkap si bajingan yang udah jebak dia.”

“Karna lo penyidik dan sempat megang kasus ini, gue minta tolong buat ambil lagi darah yang ada di TKP. Gue bakalan meriksa ulang sendiri.”

Davin mengangguk, kasusnya memang sudah di pegang oleh kepolisian lain tapi Davin rasa ia masih bisa pergi ke TKP malam ini juga.

“Selain itu,” Stella mengeluarkan ponsel, Itu milik Jelang. Ia ingin meminta bantuan Hellen untuk memeriksa ponsel Jelang. Stella punya firasat jika ponsel Jelang bisa jadi di retas oleh seseorang, sehingga nomer laki-laki itu terdaftar sebagai penelpon pertama yang melaporkan terjadinya kebakaran.

“Ini HP nya Jelang, gue minta tolong ke lo sama Hellen buat mastiin HP ini di retas sama orang lain atau enggak.” Stella memberikan ponsel itu pada Davin.

“Sisa nya gue bisa urus sendiri, Vin.”

Davin mengangguk, ia mengambil ponsel itu dan menaruhnya di saku jaketnya. “Gue bakal kasih ini ke Hellen, La.”

“Ah, kalau lo udah dapat sampel darahnya. Nanti kabarin gue, gue gak akan ambil sampel itu sendiri.”

“Te..terus?” kening Davin mengkerut bingung.

“Ada orang lain yang gue suruh buat ambil, terlalu riskan buat gue ambil sendiri, Vin.”

Davin mengangguk paham, ia mengerti apa yang Stella katakan. “Gue balik, La. Lo harus hati-hati mulai sekarang.”

Stella mengangguk, begitu Davin keluar dari mobilnya. Ia langsung melaju pulang, tapi sebelum itu ia menelfon Tristan lebih dulu untuk bertanya dimana ia sekarang.


Setelah penikaman itu, Jelang di bawa ke rumah sakit karena mengalami pendarahan. Ia harus mendapatkan jahitan di perutnya, di dalam ambulance Jelang sudah memikirkan strategi agar ia bisa kabur dari penjagaan polisi.

Tanganya masih di borgol untuk saat ini, kemungkinan saat berada di IGD penjagaanya akan segera mengendur, dengan begitu ia bisa kabur. Jelang enggak mau Stella membuktikan semuanya sendiri, ia mengkhawatirkan perempuan itu.

“Bapak Jelang masih dengar saya?” tanya dokter yang memeriksa Jelang. Ia hanya mengangguk, Jelang masih sadar ia hanya memejamkan matanya sebentar karena rasa sakit terus menyerang perutnya.

“Saya akan jahit lukanya, tolong bernafas dengan perlahan ya.”

Salah satu perawat menyingkap baju Jelang dan membersihkan darah yang ada di perutnya, setelah itu Jelang sempat di bius untuk setelahnya di lakukan proses jahit luka. Tanganya sebelah kanan masih di borgol ke besi yang ada di ranjang, sementara tangan kirinya di infus.

Saat dokter dan perawat sibuk menjahit lukanya, Jelang justru sibuk menelisik seluruh bagian IGD untuk menemukan pintu lain selain pintu utama untuk keluar. Dan bagai dewi fortuna memihaknya, IGD itu memiliki pintu belakang, Jelang ngerasa ia bisa keluar lewat sana.

Saat perawat dan dokter sudah selesai menjahit lukanya, Jelang pura-pura untuk tertidur. Ia juga tidak melihat sepatu polisi di balik korden ranjangnya, Jelang bisa memanfaatkan momen ini untuk segera kabur. Ia sempat celingak-celinguk untuk mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membuka borgol yang ada di tanganya.

Kebetulan ada klip penjepit kertas di atas nakas sebelah ranjangnya, entah milik siapa. Jelang tahu cara membuka borgol selain dengan kunci, akhirnya ia mengambil klip itu dan meluruskannya, ujungnya bisa ia gunakan untuk membuka borgol. Tapi sebelum itu, Jelang harus menarik selang infusnya lebih dulu.

Begitu selang infusnya terlepas, ia berusaha keras untuk membuka borgolnya dengan klip itu. Butuh waktu dua menit hanya untuk membukanya, sampai akhirnya Jelang berhasil membuka borgol itu. Jelang sempat mengintip dari korden ranjangnya, polisi yang mengantarnya ternyata berjaga di depan pintu masuk utama IGD.

Tepat sekali, ia kebetulan juga akan keluar dari pintu belakangnya. Setelah memastikan keadaan aman, barulah Jelang mengendap-endap keluar dari tirai yang menutupi ranjangnya. Dokter dan perawat yang lain juga sedang sibuk memeriksa pasien lain, dan kebetulan sekali. Ada sneli milik dokter yang tergantung di kursi dekat pintu belakang, Jelang mengambil sneli itu dan memakainya.

Ia bisa menyamar dengan sneli ini dulu, Jelang kembali berjalan cepat keluar dari pintu belakang IGD. Ternyata pintu belakang itu terhubung dengan lorong poli, kafetaria dan parkiran motor. Jelang langsung keluar lewat sana dengan sedikit berlari, ia tidak memiliki banyak waktu, mungkin dua polisi tadi akan segera menyadarinya.

To Be Continue

Jelang masih berada di markas besar kepolisian hingga keesokanya, pagi ini hasil test urine nya keluar. Jelang sudah sangat percaya diri jika ia benar-benar bersih, toh barang bukti kalau ia memang sempat membeli barang haram itu untuk di jadikan barang bukti masih ada, Sayangnya barang itu ada di kantung jaketnya di rumah.

Jelang masih berada di ruang interogasi, semalaman suntuk dia enggak tidur karena penyidik masih terus mencecarnya dengan pertanyaan. Jelang tidak gentar sedikit pun, dia percaya diri jika malam itu dia memang melakukan penyamaran. Bahkan Jelang bersedia mobilnya di geledah untuk membuktikan itu semua.

Sedang malemun di dalam ruang interogasi tiba-tiba saja pintu nya terbuka, menampakan pria angkuh yang menahanya kemarin.

“Hasilnya sudah keluar.” pria itu mengeluarkan amplop berisi hasil test urine nya. “Mau saya bacakan atau anda mau membacanya sendiri?”

“Biar saya yang baca sendiri,” jawab Jelang tegas.

Begitu pria itu menyerahkan suratnya, Jelang langsung mengambilnya dan membuka amplop itu. Tanganya masih di borgol, sungguh. Mereka benar-benar menjadikan Jelang sebagai seorang tersangka.

Begitu Jelang membuka dan membaca hasilnya, matanya membulat dan rahangnya kembali mengeras. Bagaimana mungkin hasil test urine miliknya positif jika ia menggunakan sabu?

“BAJINGANNNN!!!! INI SEMUA JEBAKAN. GUE BERSIH!” sentak Jelang tidak terima, emosinya meledak-ledak.

Pria itu hanya tersenyum, kemudian duduk di kursi tepat di sebrang Jelang duduk. Pembawaanya tenang namun sirat matanya terlihat sangat licik, Jelang kenal pria ini. Dia adalah seorang kepala penyidik yang memang di tugaskan di markas besar.

“Untuk sementara ini sampai kami menemukan bukti-buktinya, anda harus tetap kami tahan.”

Jelang menahan nafasnya, tanganya mengepal kuat. Ia ingin sekali menghajar pria yang ada di depannya saat ini.

“Ini jebakan, saya bersih. Kita bisa lakuin test lagi pagi ini. Saya benar-benar enggak make apapun!” ucapnya tegas.

“Lalu bagaimana dengan bukti lainya? Hasil DNA dari darah di lokasi, nomer anda yang melapor terjadinya kebakaran di pabrik dan sidik jari. Saya mohon kerja samanya Ipda Jelang untuk jujur, dengan begitu kami bisa meringankan hukuman anda.”

“Hukuman apanya?! Saya sudah ngomong yang sejujur-jujurnya, Malam itu memang saya bertemu sama Eros, saya menyamar sebagai pembeli, saya ikutin dia sampai ke kontrakanya, bahkan setelahnya saya enggak langsung pulang, saya ke kantor dulu. Saya bahkan masih pegang barang itu,”

“Malam itu saya berharap Eros menuju markas bandar narkoba itu, tapi dia justru enggak bergerak dari kontrakanya sampai akhirnya saya tau kalo jasad yang hangus di temukan di TKP itu adalah Eros,” jelasnya.

Pria itu mengangguk, “kami akan tetap melakukan penahanan sampai penyelidikan ini selesai.”

Setelah mengatakan itu, pria tadi langsung keluar dari ruang interogasi. Emosi Jelang benar-benar sudah di ubun-ubun saat ini, bagaimana caranya mengatakan ini pada Stella dan juga orang tua nya?

Jelang harap Davin bisa terus merahasiakan ini, walau rasanya tidak mungkin kejadian ini akan tetap menjadi rahasia. Ia kenal Stella, perempuan itu akan tetap mencari tahu keberadaanya.

Jelang akhirnya di bawa ke sel sementara di markas besar sebelum nantinya ia akan di pindahkan ke sel yang ada di lapas, punggungnya ia senderkan di tembok dan ia memejamkan matanya. Jujur, Jelang merasa sedikit lelah dan mengantuk. Namun kepalanya tiada henti membuat skenario bagaimana DNA dan semua bukti-bukti itu mengarah padanya.

“BRENGSEKKKKKK MINGGIR!!!”

“Tapi Ipda Jelang tidak bisa di temui, Ibu baru bisa menemuinya setelah dia di pindahkan ke lapas.”

“Saya Istrinya!! Saya cuma mau bertemu dengan dia sebentar!!”

Sayup-sayup Jelang mendengar ada keributan dari luar sel nya, kesadaranya pun langsung kembali sempurna. Ia berdiri namun Jelang tetap tidak bisa melihat apa yang terjadi di luar sana.

“Biarin wanita itu masuk,” ucap kepala penyidik. Ia sempat menahan bahu Stella lebih dulu sebelum Stella masuk ke ruangan tempat sel Jelang berada. “10 menit saya rasa cukup untuk anda bertemu dengan Suami anda,” lanjutnya.

Stella yang sudah kepalang emosi itu menepis tangan pria itu dari bahunya dan masuk begitu saja ke dalam ruangan, waktu Stella masuk, Jelang sedang berdiri matanya langsung menangkap keberadaan Stella.

“Lang..” panggil Stella, Suaminya itu hanya tersenyum tipis.

Stella sudah khawatir setengah mati, ia bahkan rela untuk tidak bekerja hari ini demi melihat keadaan Jelang. Stella sendiri enggak yakin apa ia masih bisa fokus bekerja setelah ini, dia ngerasa harus bantu Jelang buat nyari tahu ini semua.

“Aku gapapa, La,” ucap Jelang berusaha meyakinkan Stella.

“Lang, kamu di jebak kan? Ini semua enggak benar kan?”

Jelang mengangguk, “aku bisa beresin ini sendiri, La. Kamu enggak perlu keseret. Tugas kamu cuma jaga orang tua kita dan Tristan.”

“Gak!! Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Lang. Kamu pikir aku bakalan diem aja? Ini semua janggal. Ada orang lain kan Lang di balik ini semua? Iya kan?”

Jelang mengangguk, ia juga merasa begitu. Tapi hingga saat ini Jelang belum menemukan titik terang kenapa bukti-bukti itu bisa mengarah padanya semua.

“Pulang, La. Kamu bisa bicarain ini sama Davin. Davin cukup tahu kasus apa aja yang lagi aku pegang.”

Stella menghela nafasnya pelan, wajah Jelang sedikit pucat. Mungkin karena laki-laki itu kurang tidur dan belum sarapan, terlihat dari sedikit lingkaran hitam di bawah matanya.

Stella ingat ia masih memiliki roti bakar buatan Tristan untuknya, ia kemudian mengambil roti bakar itu yang ia taruh di kotak makan dan memberikanya pada Jelang.

“Makan yah, aku janji bakalan bikin keluar kamu dari sini, Lang.”

Jelang menunduk, ia hanya mengangguk kecil tanpa melihat wajah Stella. Tanganya terulur keluar dari jeruji besi dan mengambil kotak bekal itu.

“Kamu pulangnya hati-hati.”

Stella mengangguk.

“Aku bakal lakuin analisis DNA lagi, aku yakin itu bukan darah kamu. Dan lagi, test urine. Aku bakalan pastiin hasil nya benar-benar negatif. Aku yakin kamu bersih, Lang.”

Jelang mengangguk.

“Kamu tau aku disini dari siapa? Davin?”

Stella menggeleng pelan, “A..Ardi kasih tau soal kamu ke aku, keadaan BFN juga kacau banget.”

Tidak lama kemudian ada dua petugas yang menyuruh Stella untuk segera keluar dari sana. Jelang akan segera di pindahkan ke lapas tanahanan sampai penyelidikan kasusnya selesai di tangani.

Di perjalanan menuju lapas, Jelang tidak ada hentinya memikirkan Stella. Ia bahkan memperhatikan kotak bekal itu, tidak membutuhkan waktu lama untuknya sampai di lapas, hanya berkisar 30 menit dari markas besar akhirnya Jelang sampai di lapas tahanan.

Ia di minta untuk segera berganti baju dengan baju tahanan sebelum di bawa masuk ke dalam sel. Sebelum penjaga membawa nya ke sel, Jelang memakan roti bakar yang Stella berikan padanya. Pikiranya benar-benar tersita pada Stella, apalagi saat Istrinya itu mengatakan akan membantunya mencari tahu siapa dalang di balik penjebakanya ini.

Jelang yakin orang itu pasti sedang mengawasinya dan juga Stella. Jelang tidak ingin Stella dalam keadaan bahaya, mengingat orang ini bisa saja memiliki koneksi yang kuat. Lawan nya bukan main-main.

“Ipda Jelang Niskala?” panggil seorang petugas, yang membuat Jelang menoleh.

Ia sudah di jemput, dan kini petugas lapas membawanya ke sel. Begitu memasuki lorong demi lorong sel, semua napi yang mengenalnya menyorakinya. Apalagi napi-napi yang ia tangkap, mereka bahkan meneriakinya dengan kencang.

“JELANG SIALAN!!!”

“BRENGSEKKK!”

“BAJINGAN ITU PEMBUNUH JUGA.”

Jelang enggak merasa terintimidasi dengan hal itu, ia juga tidak menunduk atau membuang pandanganya ke arah lain. Jelang justru menatap mereka dengan tegas, ia yakin ia tidak sama seeprti mereka. Ia bukan seorang kriminal.

Jelang akhirnya sampai di sel yang akan menjadi tempatnya, begitu ia masuk 4 orang napi menoleh ke arahnya. Terutama laki-laki berbadan gempal dengan bekas luka di wajahnya, ia di tangkap karena pembunuhan keji yang menewaskan rekan kerjanya sendiri. Jelang dan Davin yang menangkapnya waktu itu. Dan kini pria itu menatap Jelang menyalang dengan seringai yang terlihat jelas di wajah garangnya.

“Rupanya kita kedatangan tamu pagi ini?” sapanya seraya berdiri dan menghampiri Jelang yang masih berdiri di depan pintu sel.

“Ipda Jelang, kasus pembunuhan dan pembakaran. Gue enggak nyangka kita akan satu sel dengan kasus yang sama,” bisiknya.

“Gue bukan pembunuh kaya lo!” ucap Jelang tegas.

“Ahhh dengar-dengar lo juga nyabu yah? Gimana kalau kita lakuin itu disini bareng-bareng?”

Jelang menyeringai, alih-alih menjawab pertanyaan dari pria tadi. Ia justru mendorongnya menjauh dan berjalan ke pojok ruangan untuk setidaknya beristirahat sebentar. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, bahu nya di tarik dari belakang dan Jelang mendapat hajaran pertama dari pria gempal tadi.

BUGGG

“Arghhh.” Jelang yang tidak siap menerima serangan itu goyah, ia terjatuh. Namun tidak membutuhkan waktu lama, Jelang justru bangkit dan menghajar balik pria tadi.

“BAJINGAN LO!!” sentaknya.

Jelang menghajar wajah pria gempal tadi dengan tinjuanya yang kencang, namun pria tadi tidak mau kalah, ia bahkan menendang perut Jelang hingga ia mundur beberapa langkah. Perutnya terasa ngilu dengan tendangan sekencang tadi.

Jelang dan pria gempal itu sempat terlibat baku hantam, sampai akhirnya pria gempal tadi mengerahkan napi di ruangan itu untuk memegangi Jelang. Jelang sempat memberontak, namun tenaganya kalah banyak karena ia di pegangi oleh tiga orang sekaligus.

“BAJINGANNN!!! DETEKTIF BRENGSEKKKK!!” pria tadi memukuli wajah hingga perut Jelang di setiap makianya.

Wajah Jelang bahkan sudah lebam dan darah segar mengalir dari pelipis dan ujung bibirnya, perutnya bahkan terasa nyeri setelah beberapa kali di hajar.

“Ayo pukulin terus, lo pikir gue takut??” ucap Jelang di iringi dengan seringain. Ia berani bersumpah bahwa ia tidak merasa takut sedikit pun, meski ia di pukuli seperti ini.

Pria tadi semakin naik pitam, ia kemudian berjalan ke arah lemari miliknya dan mengambil cutter dari sana. Jelang awalnya gentar begitu pria tadi mengeluarkan cutter, namun jika ia di tikam. Itu akan menjadi kesempatan baginya untuk keluar dari sel ini, polisi lapas pasti akan membawanya ke rumah sakit. Sementara itu ia bisa mengulur waktu untuk membuktikan jika ia tidak bersalah.

“AYO TUSUK GUE KALO BERANI!!” teriak Jelang.

Dan benar saja, pria tadi langsung berlari ke arah Jelang dan menusuknya sebanyak tiga kali di bagian samping perut dengan cutter itu.

“ARGHHHHHGHG.” teriak Jelang, darah dari samping perutnya merembas begitu saja.

Sebelum kesadaranya hilang, sayup-sayup ia bisa melihat ukuran cutter yang di pakai untuk menusuknya tidak begitu panjang. Dalam hati ia hanya bisa berdoa agar luka di perutnya juga tidak mengenai organ vitalnya.

Tidak lama kemudian Jelang terjatuh dengan darah yang terus merembas keluar, petugas lapas pun membukakan pintu sel Jelang untuk memeriksa keadaanya.

Sementara itu setelah mengangkat telfon dari Hema, Jelang kembali lagi ke TKP. Ia mengawasi kinerja forensik yang sedang mencari jejak pelaku. Jelang duduk di kursinya, ia yakin ini semua masih ada kaitanya dengan kasus pembunuhan wanita oleh pengusaha kaya itu.

Dan Jelang juga yakin, pria itu tidak membuat rencana ini sendirian. Ada orang lain di balik ini semua, selain untuk membuat polisi teralihkan menyelidiki kasus pembunuhan yang pria itu lakukan, ia yakin kalau pria licik itu punya niat lain.

“Bang Jelang!!” pekik Davin, bukan hanya Jelang saja yang menoleh. Tapi Pak Wira dan Hellen juga.

Jelang yang sedang duduk itu akhirnya berdiri dan menghampiri Davin, laki-laki itu memberikan sebuah botol minuman bersoda yang dalamnya sudah berbau aroma bensin menyengat.

“Gue nemu botol ini, botol minuman tapi bau nya bau bensin. Ini kemungkinan yang di pakai pelaku buat ngebakar pabrik,” ucapnya.

Jelang tidak menjawabnya lagi, ia hanya mengangguk dan memasukan botol itu ke dalam kantung putih bening yang biasa di gunakan kepolisian untuk menaruh barang bukti. Setelah itu, Jelang membawanya ke Hellen. Hellen akan mencari sidik jari pelaku hari ini juga.

“Cari sidik jari di botol ini, Len. Botol ini bau bensin. Bisa jadi ada sidik jari pelaku disana,” ucap Jelang.

“Oke, Bang.”

Jelang baru ingat, ada sesuatu yang harus ia tanyakan pada kantor pemadam kebakaran tentang laporan kebakaran melalui telfon. Bisa jadi orang yang menelfon adalah pelakunya, di lihat dari lokasi pabrik ini yang terpencil dan jarang di lalui orang. Apalagi tidak ada CCTV sama sekali di sekitarnya.

Tanpa berpikir panjang Jelang langsung menghubungi kantor pemadam kebakaran yang menangani kasus kebakaran pabrik ini. Jelang itu sangat optimis dan ambisius, dia belum bisa pulang dengan tenang jika belum mendapatkan hasil apa-apa.

“Ini saya Ipda Jelang, saya ingin meminta data penelfon kebakaran di gedung bekas pabrik yang sekarang menjadi kasus pembakaran sekaligus pembunuhan hari ini.”

baik, nanti akan segera kami kirimkan ya, Pak.

“Baik, saya tunggu.”

“BANG!! Gilaa ini semua ada sidik jarinya, botol ini penuh sidik jari!” pekik Hellen yang berhasil mengalihkan atensi Jelang.

“Tolong cari tahu itu punya siapa, Len.”

Tidak lama kemudian, kantor pemadam kebakaran mengirimi data penelfon melalui surel milik Jelang. Jelang langsung buru-buru memeriksanya, keningnya berkerut dan satu tangan miliknya terkepal begitu Jelang melihat siapa orang yang menelfon hari itu.

“Gak mungkin...” gumamnya.

“Ada apa, Lang?” Pak Wira tiba-tiba saja datang, ia juga ikut melihat data penelfon di ponsel milik Jelang itu. “Kamu yang melapor, Lang? Itu nomermu kan?”

“Pak, Bapak kan tau saya di kantor dari kemarin. Dan saya sama Davin, gimana caranya saya bisa melapor adanya kebakaran disini?” Jelang membela diri, dia memang tidak merasa melaporkan kebakaran. Tapi yang membuatnya bingung, kenapa nomernya tercantum disana?

“Bang, hasil sidik jarinya udah keluar..” Davin menghampiri Jelang, namun raut wajah nya begitu tidak bersahabat. Wajah Davin mesam sekaligus terlihat bingung saat memberikan kertas berisi hasil pencarian sidik jari pelaku.

“Tapi ada yang aneh, Bang.” Davin akhirnya memberikan kertas itu pada Jelang, begitu Jelang membacanya, ia juga sama bingungnya dengan Davin.

Semua polisi yang bertugas mencari barang bukti itu pakai sarung tangan, enggak mungkin sidik jari Jelang bisa ada di sana hanya karena Jelang memegang botolnya barusan.

“Sidik jari di botol itu, sidik jarimu, Lang?” tanya Pak Wira lagi.

Jelang hanya diam, ia yakin saat ini ada dalang yang tengah menjebaknya. Bagaimana bisa sidik jarinya ada di botol itu? Pikirnya. Tidak lama kemudian, hasil analisis DNA yang di temukan di lokasi kebakaran juga sudah keluar. Hasil itu dikirimkam oleh BFN melalui surel milik Hellen.

“Hasil DNA dari darah yang di temukan di lokasi udah keluar!!” teriak Hellen, membuat Pak Wira dan Davin langsung bergegas menghampirinya.

Sementara itu, Jelang masih terdiam di tempatnya. Jika hasil DNA itu juga adalah DNA nya, maka sudah pasti kasus kali ini adalah kasus yang di buat untuk menjebaknya. Begitu Davin, Hellen dan Pak Wira membaca hasil analisis DNA itu, kedua laki-laki itu langsung menoleh ke arah Jelang secara bersamaan.

Dan itu sontak membuat Jelang, menghampiri ketiganya. Dan benar saja dugaanya, DNA nya di temukan disana. Dan sekarang Jelang harus membuat alibi untuk meyakinkan rekan nya bahwa bukan ia pelakunya. Ia harus bisa mmebuktikan itu.

“DNA mu, Lang.” ucap Pak Wira, ia juga tidak habis pikir bagaimana DNA, sidik jari dan nomer yang melapor itu berasal dari Jelang?

“Pak, bukan saya!!” ucap Jelang tegas.

“Iya saya tahu, Lang. Tapi bukti-bukti ini semua mengarah ke kamu! Malam kemarin kamu kemana?” tanya Pak Wira.

“Saya ada...” Jelang menahan ucapanya, itu justru membuat Davin dan Pak Wira semakin penasaran. “Saya—”

“di pabrik ini!!” pekik seseorang yang membuat mereka semua menoleh ke arah suara itu.

“Kasus kematian Eros, korban dari kebakaran pabrik ini akan saya ambil alih. Kami dari markas besar kepolisian, kami mendapat laporan kalau DNA Ipda Jelang yang memegang kasus ini ada di lokasi terjadinya kebakaran.” jelas pria berahang tegas itu.

“Semuanya berhenti bekerja, kami yang akan menggantikan pekerjaan kalian hari ini!” ucapnya lagi mengintrupsi seluruh anggota kepolisian sekaligus divisi forensik.

“Dan ini, kami dapat rekaman dari dasboard mobil seseorang yang terparkir tepat di dekat pabrik kemarin malam, kalau Ipda Jelang ada di lokasi. Anda sempat bertemu korban kan? Apa yang anda lakukan disini?”

“Saya mau lihat bukti rekamanya!” jawab Jelang tegas. Jujur, ia merasa terintimidasi saat ini. Namun ia juga harus tetap berpikir jernih dan memikirkan cara membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Pria itu kemudian mengeluarkan sebuah tab, disana benar-benar ada rekaman dari dasboard mobil. Ada dirinya yang menunggu Eros di sana, kemudian terlihat jelas juga kalau ia dan Eros sempat bertransaksi malam itu.

“Eros Diahan, kurir yang biasa mengantar narkoba. Saya mendapat laporan dari penyelidikan kalau pabrik ini memang sering di jadikan transaksi jual beli narkoba, dan malam itu anda menemui Eros dan bertransaksi sesuatu di sini, barang apa itu Ipda Jelang?”

Pak Wira yang tadinya memihak Jelang jadi menaruh sedikit kecurigaan pada anak buahnya itu, begitu juga Davin dan juga Hellen. Meskipun di lubuk hati mereka, mereka yakin Jelang tidak mungkin seperti itu.

“Saya ke sini untuk melakukan penyelidikan! Saya yang lebih dulu tahu soal pabrik ini yang di jadikan tempat tranksaksi.” mau tidak mau Jelang harus jujur soal penyamaranya. Ia tidak mau terus di pojokkan seperti ini.

“Saya mau anda melakukan test urine agar kami yakin anda benar-benar bersih, dan malam itu benar-benar penyelidikan bukan transaksi pribadi anda.”

Jelang memejamkan matanya, ia mengangguk setuju. Jelang yakin ia bersih, Jelang sama sekali tidak pernah menyentuh barang haram itu. Ia tidak akan gentar, kepolisian dari markas besar akhirnya membawa Jelang untuk segera melakukan pemeriksaan.

Untuk saat ini, statusnya masih menjadi saksi. Namun kepolisian tetap memborgol tangan Jelang, menjadikanya seolah-olah ia adalah pelakunya. Jelang tetap pasrah, namun ia akan tetap membuktikan itu semua bukan dirinya. Sebelum di bawa pergi, Jelang sempat menatap Davin dan berhenti di depan laki-laki itu, dan membisikan sesuatu padanya.

“Tolong jangan sampai Stella tau, Vin.” bisiknya, dan Davin hanya bisa mengangguk pelan.

Jelang tidak ingin Stella khawatir denganya, Jelang yakin ia bisa menyelesaikan masalah penjebakan ini sendiri. Ia tidak mau Stella ikut terseret oleh kasusnya, ia tidak ingin membahayakan Istrinya sendiri.


Sinar matahari pagi itu masuk ke dalam kamar Stella melalui celah korden kamarnya, ia menggulat dan sedikit mengucak matanya. Di atas ranjangnya, Stella menghela nafasnya pelan. Menatap pada langit-langit kamarnya kemudian berbalik menatap ranjang bawah tempat Jelang tidur.

Ranjangnya masih kosong, Jelang urung pulang juga. Sudah dua hari Jelang belum pulang. Kemudian tanganya beralih mencari ponselnya yang ia taruh di atas meja, ia berharap setidaknya Jelang mengiriminya pesan atau menelfonya.

Namun sayangnya harapanya pupus karena tidak ada satupun panggilan atau pun pesan yang Jelang kirimkan untuknya. Dengan berat hati dan perasaanya yang urung kunjung membaik, Stella tetap harus bekerja.

Tristan sudah berangkat lebih dulu, namun bocah itu masih sempat membuatkan roti bakar dan teh manis hangat untuknya. Karena tidak nafsu untuk sarapan, Stella hanya membawa roti itu ke kantor. Berharap nafsu makannya akan datang saat sudah sampai di sana.

Namun apa yang Stella dapatkan pagi ini di BFN, begitu ia masuk semua mata menyorotinya. Itu membuat Stella bingung, pasalnya mata yang menyorotinya itu dengan pandangan kecewa sekaligus menjijikan. Ada apa sebenarnya? Apa yang telah ia perbuat sampai-sampai orang menyorotinya seperti itu?

Begitu ia sampai di depan lift dan lift terbuka, ia mendapati Ardi. Cowok itu langsung menarik tangan Stella dan membawanya ke kafetaria yang pagi itu masih sangat sepi.

“Di, ada apa sih sebenernya? Kenapa semua orang ngeliatin gue kaya gitu?” tanya Stella.

“La, Suami lo gak ngasih kabar lo apa-apa?” tanya Ardi.

Stella menggeleng, “enggak, Jelang belum pulang. Dia lagi nanganin kasus kebakaran bekas pabrik.”

“Jelang di tahan!” ucap Ardi to the point.

“Di tahan? Maksud lo?!”

“La, Semua bukti pembakaran itu ngarah ke dia, dia juga bisa jadi tersangka kasus pembunuhan Eros Diahan sekaligus pelaku pembakaran bekas pabrik itu.”

“Gak mungkin,” Stella mendengus, ia tertawa miris. Sama sekali tidak percaya pada apa yang di katakan Ardi barusan. Ia mengenal Jelang lebih dari mereka, dan ia tahu persis Jelang seperti apa.

“La, gue yang ngelakuin analisis DNA nya sendiri. Hasil test urine nya juga keluar hari ini.”

“Test urine?” kening Stella mengkerut. “Test urine buat apa?”

“Kasus ini di ambil sama markas besar kepolisian, La. Mereka punya bukti kalau malam sebelum terjadinya kebakaran, Jelang sempat ketemu sama Eros dan tranksaksi sesuatu di pabrik itu.”

Sungguh, Stella merasa ia seperti saja tersambar petir di siang bolong. Jadi soal firasat buruk yang dari kemarin ia rasakan itu justru hari ini membuahkan jawaban, dan yang sedang dalam bahaya yang sesunggunya itu justru Suaminya sendiri, Jelang sedang dalam masalah besar.

To Be Contiunue

Setelah pulang bekerja, Stella sempat mampir ke rumah Ibu nya dulu. Ternyata Ibu masih sibuk di toko mie ayam nya, kebetulan tokonya hari itu sedang ramai Seperti ada acara kantor yang ramai-ramai datang untuk makan malam di sana.

Stella sempat membantu Ibu sebentar, seperti mengantar pesanan ke meja-meja dan membuat pesanan pelanggan. Stella bersyukur Ibu dan Bapaknya baik-baik saja, mungkin setelah ini ia ingin mampir sebentar saja untuk menjenguk Ibu nya Jelang.

Perasaan Stella terlalu kuat, ia benar-benar takut sesuatu terjadi pada keluarganya atau pun keluarga Jelang. Makanya demi memastikan keduanya baik-baik saja, Stella rela mampir sewaktu selesai bekerja. Sebenarnya Stella juga khawatir dengan Jelang, namun ia yakin laki-laki itu bisa menjaga dirinya sendiri.

“Kamu mau langsung pulang, La?” tanya Ibu waktu lihat Stella melepaskan celemek dan menggantungnya di belakang pintu dapur.

“Enggak, Buk. Mau jenguk Ibu sama Bapaknya Jelang dulu.”

“Mereka sakit?”

Stella tersenyum, kemudian menggeleng pelan. “Enggak, cuma pengen jenguk aja kok.”

“La?” panggil Bapak, Pria itu membawa dua kantung berisi pangsit yang tinggal Stella rebus saja lengkap dengan bumbunya. Itu adalah makanan favorite Stella di toko Ibu.

Jika Ibu pandai membuat mie maka Bapak pandai membuat pangsit dan juga isianya, pangsit Bapak itu yang terbaik menurut Stella.

“Bapak bawain pangsit, yang ini isi daging ayam. Nanti di rumah di rebus yah, makan bareng sama Jelang.” Bapak kasih bungkusan itu ke Stella.

“Makasih yah, Pak.” Stella mengintip isi kantung itu dulu, kotak berisi pangsit itu benar-benar penuh. Bapak juga membawakanya sayuran. “Yaudah kalau gitu Stella pamit yah, Pak, Bu.”

Setelah berpamitan kepada kedua orang tua nya, Stella langsung menuju rumah Jelang. Ia sempat menelfon Tristan untuk bertanya ia sudah pulang atau belum, namun ponsel miliknya tidak aktif.

Begitu sampai di depan rumah kedua orang tua Jelang, Stella melihat ada laki-laki yang tidak di kenal sedang berdiri di depan pagarnya. Dengan sigap Stella keluar dari mobilnya dan langsung menghampiri laki-laki, yang tampak sedang kebingungan itu.

“Cari siapa, Mas?” tanya Stella tegas.

Laki-laki itu tampak bingung, ia tidak menjawab pertanyaan Stella dan malah berbalik badan untuk mengintip ke dalam pagar rumah orang tua Jelang.

Stella yang malam itu penuh rasa waspada dan curiga akhirnya menarik jaket yang di kenakan laki-laki itu, dan memojokkanya ke tembok. Stella juga mencengkram baju bagian depan laki-laki itu dengan kencang.

“JAWAB LO SIAPA?!!!” sentak Stella.

Laki-laki itu semakin panik, ia masih belum menjawab namun tanganya merogoh saku celana nya dan mengambil ponsel. Laki-laki itu seperti mengetikan sesuatu di sana dan menunjukanya pada Stella.

Ternyata laki-laki itu adalah kurir pengantar makanan yang di pesan orang tua Jelang, ia diam saja karena memang tidak bisa bicara, kurir itu tunawicara.

Setelah membaca tulisan itu, Stella melepaskan cengkramannya pada laki-laki itu. Ia bisa sedikit bernafas lega sekarang, meskipun ada perasaan bersalah.

“Maaf saya enggak tahu,” ucap Stella dengan bahasa isyarat ala kadarnya. Ia yakin laki-laki itu bisa membaca gerak bibirnya.

Stella akhirnya memutuskan untuk membawa pesanan orang tua Jelang ke dalam rumah, ia juga memberi sedikit tip untuk laki-laki itu sebagai permintaan maafnya. Beruntungnya kurir tunawicara itu tidak marah, ia hanya menyuruh Stella untuk tidak mengulangi perbuatanya lagi.

“Menantu Ibu..” sambut Ibu nya Jelang sewaktu pintu rumahnya terbuka.

Stella tersenyum, ia sangat bersyukur memiliki Ibu mertua yang hangat seperti Ibu nya Jelang. Dari dulu Ibu nya Jelang selalu merasa senang setiap kali Stella main ke rumahnya.

“Ini tadi ada kurir delivery yang antar makanan Ibu, terus sekalian Stella bawain aja. Ibu sama Bapak sehat kan?” tanya Stella, kedua nya masuk dan duduk di ruang tamu.

“Sehat sayang, tapi Bapak lagi enggak di rumah. Lagi keluar sama teman lamamya, Kamu sama Jelang bagaimana? Nyaman kan tinggal di rumah barunya?”

Stella mengangguk, “nyaman, Buk.”

“Kamu sendirian, La?”

“Jelang lagi tugas, Buk. Stella tadi ketemu sama Jelang di BFN.”

Ibu meringis, anak laki-laki nya itu benar-benar pekerja keras dan sosok yang ambisius. Ibu pikir Jelang akan sedikit berubah ketika sudah menikah, ternyata Jelang tetaplah Jelang.

“Ibu tuh bersyukur Jelang bisa kenal kamu, La.” Ibu tersenyum, wanita berumur 57 tahun itu menggenggam tangan Stella di pangkuanya. Seperti merasa bersyukur Stella telah hadir di hidup putra sematawayangnya itu.

“Berkat kamu Ibu bisa punya menantu, Jelang itu tadinya gak kepikiran menikah. Dia bilang mau fokus saja sama kerjaanya, Ibu kepengen sekali lihat Jelang punya kehidupan yang normal seperti laki-laki seusianya. Menikah, punya anak, mengurus rumah tangga, bukan hanya berkutat dengan pekerjaanya yang berbahaya saja,” jelas Ibu.

Stella hanya bisa mendengarkan cerita Ibu tentang Suaminya itu, Stella baru tahu kalau Jelang sempat di tentang untuk masuk kepolisian. Apalagi setelah Ibu tahu alasan Jelang yang berkaitan dengan masa lalunya, Ibu bilang, Ibu enggak ingin kehilangan anak lagi jika sesuatu yang buruk terjadi pada Jelang ketika sedang bertugas.

Stella dan Ibu mertuanya itu sempat lama bercerita, keduanya juga sempat makan malam bersama. Sampai akhirnya sudah cukup larut, Stella memutuskan untuk segera pulang. Tapi sebelum itu, Stella sempat menitip pesan pada Ibu agar tidak membukkan pintu untuk sembarangan orang.

Di perjalanan pulang, Stella sempat mencoba menelfon Tristan lagi. Namun nomernya tetap tidak aktif. Stella enggak nelfon Jelang, karena percuma saja, Laki-laki itu tidak akan mengangkatnya, Jelang juga bilang kalau nanti dia yang akan menelfon Stella.

Mobil yang Stella kendarai ia parkir di halaman rumahnya, komplek rumahnya sudah sepi. Dan suasana seperti ini mengingatkan Stella dengan kejadian penyerangan kemarin, setelah merasa nyaman berbicara dengan Ibu nya Jelang tadi, rasa waspada itu kini meningkat lagi.

Apalagi saat Stella merasa ada seseorang berdiri di belakangnya saat ia hendak membuka pintu, dan firasatnya itu terbukti karena ada dua bayangan di depan pintu. dalam hati Stella menghitung mundur, ia akan berbalik untuk melihat orang itu dan membantingnya ke tanah.

Dan pada hitungan terakhir, Stella berbalik dan langsung menarik tangan orang itu, mengangkatnya dan menjatuhkanya ke tanah. Tidak lupa Stella juga mengunci tangan orang itu dan menindihi tubuhnya agar tidak bisa bergerak.

“Aarghhhh, Mbak.. Ini aku Tristan, Mbak..” pekik Tristan kesakitan.

Ternyata yang mengendap-endap di belakangnya tadi adalah Tristan. Nafas Stella yang masih memburu itu ia buang begitu saja, dengan sedikit gontai ia melepaskan Tristan dan membantunya untuk bangun.

“Dari mana aja kamu? Mbak telfon HP nya enggak aktif!” pekik Stella dengan wajah juteknya.

“HP ku mati, Mbak. Kena air, besok aku mau ke tukang service HP,” jawab Tristan, ia sedikit memegangi tanganya yang ngilu karena di banting Stella tadi.

“Kamu dari mana? Kenapa gak pake motor? Motornya mana?”

Tristan mendengus, ia menunjuk motor miliknya yang terparkir tepat dibawah jendela kamarnya. Karena lampu taman di dekat jendela kamar Tristan tidak menyala, Stella jadi enggak tahu kalau Tristan memarkirakan motornya disana.

“Tadi aku tuh habis beli nasi goreng, Mbak. Makanya jalan kaki, orang deket juga. Terus mau nganggetin Mbak niatnya, eh malah di banting. Tuh lihat nasi gorengku jadi berantakan,” Tristan menunjuk bungkus nasi gorengnya yang isinya sudah keluar kemana-mana itu.

“Jangan ngaggetin, Mbak. Ini nih akibat kalo kamu mau ngagetin, Mbak.” kata Stella tegas.

Tristan enggak menjawab lagi, ia menunduk sembari memegangi tanganya. Stella yang melihat itu jadi ngerasa bersalah dan enggak tega juga.

“Mbak bawa pangsit, kita makan pangsit aja. Nasi gorengmu nanti Mbak ganti uangnya.”

“BENERAN MBAK?!” pekik Tristan excited.

“Hm...”


Di sisi lain, hari itu Jelang bersama Davin dan Pak Wira masih bergelut di lokasi terjadinya kebakaran. Ada divisi forensik juga yang membantu jalanya penyelidikan, saat ini sudah di ketahui kalau penyebab kebakaran di pabrik itu di sebabkan oleh bensin yang di sulut dengan pematik.

Jelang yang sedang melakukan olah TKP itu berdiri di depan kaca yang pecah di dalam pabrik itu, seingatnya malam itu kaca di pabrik tidak ada yang pecah. Jelang dengan sigap keluar untuk melihat apakah ada sesuatu yang mencurigakan di luar dekat dengan jendela kaca itu.

“Ada yang aneh, kaca ini seharusnya enggak pecah,” ucap Jelang, Yang berhasil mengalihkan atensi petugas forensik dan juga Pak Wira.

“Dari mana kamu tahu kaca itu seharusnya enggak pecah, Lang?”

Jelang yang berdiri di luar itu, menunjuk pecahan kaca yang berada di dalam. “Tolong angkat pecahan kaca yang paling besar itu, Vin.”

Davin yang berdiri tepat di depan jendela itu langsung berjongkok dan mengambil pecahan kaca yang ukuranya paling besar, laki-laki itu kaget dan menatap ke arah Pak Wira.

“Kaca ini di pecahin sebelum kebakaran itu terjadi..” ucap Davin menggantung.

Jelang mengangguk pelan, “kalau kacanya pecah waktu kebakaran terjadi seharusnya lantainya juga ikut hangus, tapi Bapak bisa lihat sendiri kan kalau lantainya bersih.”

Pak Wira mengangguk, ucapan Jelang masuk akal. Dan tim forensik akhirnya menandai bekas serpihan kaca itu dengan nomer dan memotretnya.

Setelah itu, Jelang kembali masuk ke dalam. Ia menyingkirkan barang-barang yang berjatuhan di sana, sampai akhirnya ia menemukan ada setetes darah yang tertutup oleh meja berbahan besi. Isi kepala Jelang sibuk membuat skenario tentang hari sebelum kebakaran itu.

Kemungkinan terjadinya perlawanan antara pembunuh dan juga korban sebelum terjadinya kebakaran, terlihat dari adanya tetesan darah dan lantai yang bersih tidak terbakar persis seperti lantai yang di bawah serpihan kaca itu.

“Hellen,” panggil Jelang, dengan sigap Hellen pun menghampiri Jelang yang sedang berjongkok di dekat meja-meja besi.

“Lo nemuin sesuatu, Bang?” tanya Hellen.

Jelang mengangguk, “ada tetesan darah. Korban nya laki-laki, gue yakin sebelum dia tewas sempat terjadinya perlawanan. Pelaku bisa jadi ninggalin darah buat kasus kaya gini,” jelas Jelang.

“Gue bakalan ambil tetesan darahnya, dan bikin permintaan darurat ke BFN buat identifikasi DNA.”

Jelang mengangguk, ia memerintahkan anggota lainya untuk berpencar. Siapa tahu ada senjata yang di pakai untuk membakar pabrik ini. Sementara itu, Jelang mendapat telfon dari Hema seniornya. Ia sempat menyingkir dari sana untuk mengangkat telfon itu.

“Gimana, Bang?” tanya Jelang.

Lang, lo yakin sama titik lokasi yang lo kasih ke gue soal HP itu?

“Iya yakin, itu yang Hellen kirim ke gue juga. Sinyal HP nya berhenti di sana.”

ini hutan, Lang.

“Hu..hutan?”

Pagi nanti gue minta tim gue buat nyari ponsel nya ke sekitar sini. Begitu gue dapat, pasti ngehubungin lo lagi.” setelah mengatakan itu Hema mematikan panggilanya.

Begitu Jelang dan Pak Wira sampai di lokasi bekas pabrik itu, pemadam kebakaran sudah selesai memadamkan apinya. Api yang membakar pabrik itu cukup besar, hingga pemadam kebakaran memerlukan waktu dua jam hanya untuk memadamkanya.

Dan saat ini lokasi itu masih di beri garis polisi dan pemadam kebakaran masih memeriksa apakah masih ada sisa api di dalam gedung atau tidak. Jelang belum bisa masuk untuk ikut memeriksa, karena ini masih menjadi tanggung jawab pemadam kebakaran.

Pak, ada korban tewas yang terjebak di dalam. Korban hangus terkabar.

Jelang mendengar suara itu dari walkie talkie milik kepala pemadam kebakaran, laki-laki yang tadinya sedang duduk itu sontak berdiri dengan rahang yang mengeras. Benar dugaanya memang ada yang tidak beres, Jelang benar-benar telah memastikan jika pabrik itu sudah terbengkalai sejak sepuluh tahun yang lalu.

Lalu bagaimana bisa ada seseorang yang terjebak di dalamnya? Pikir Jelang.

“Saya akan suruh tim evakuasi untuk membawa jasad nya keluar.”

Setelah mengatakan itu, kepala petugas pemadam kebakaran berbicara dengan Pak Wira untuk membantu menyelidiki kasus kebakaran bekas pabrik itu. Jelang juga telah menghubungi tim forensik untuk mencari tahu penyebab kebakaran. Pasalnya pemadam tidak bisa menemukan adanya kosleting listrik, karena pabrik itu sudah tidak di beri aliran listrik lagi sejak berhenti beroperasi.

Jadi untuk saat ini penyebab kebakaran di duga ada oknum yang sengaja membakar bekas pabrik tersebut. Jelang enggak ikut tim forensik memeriksa lokasi kebakaran, ia bersama Davin justru pergi ke BFN untuk melihat jalanya autopsi, Jelang harus tahu identitas korban yang terbakar hingga tewas ini.

Di jalan, Jelang menghiraukan begitu saja ucapan Davin soal kemungkinan-kemungkinan kebaran pabrik. Namun konsentrasi Jelang justru tertuju pada sinyal ponsel milik pria yang kemarin bertemunya justru berhenti di lokasi lain.

Itu artinya selama ia sibuk karena kejadian kebakaran pabrik barusan, pria itu telah bergerak keluar dari rumah kontrakanya. Jelang enggak boleh lengah, ia harus menghubungi penyidik lain untuk membantunya.

“Bang Hema, gue butuh bantuan lo,” ucap Jelang, ia menelfon Hema seniornya. Hema dan Jelang memang dekat, makanya enggak heran kalau Jelang lebih sering memanggil Hema dengan sebutan abang ketimbang memanggilnya dengan sebutan 'Pak' lagi pula, umur mereka hanya berbeda 2 tahun saja.

Setelah menjelaskan soal kasus yang sedang ia tangani, Hema menyetujui untuk membantu Jelang. Laki-laki itu pun langsung menuju lokasi yang di kirimkan oleh Jelang, dengan begitu ia bisa berkonsentrasi penuh untuk menyelidiki kasus kebakaran ini.

Begitu sampai di BFN, Jelang langsung masuk ke ruangan yang di batasi kaca besar untuk melihat jalanya autopsi. Jelang pikir Stella sudah pulang, namun siapa sangka jika Stella lah yang melakukan jalannya autopsi ini.

Begitu masuk ruang autopsi, Stella hanya bisa menghela nafasnya pelan saat melihat wajah lelah Suaminya itu. Jelang hanya bisa menunduk, wajah seriusnya itu sungkan untuk tersenyum di saat pikiranya sedang menata teka teki dari kasus ini.

“Autopsinya akan di mulai pada pukul enam belas lewat lima,” ucap Stella setelah ia menyelesaikan doa nya.

Maka di bukanya kantung jenazah itu dan di keluarkanya jasad yang sudah terbujur kaku terpanggang di sekujur tubuhnya.

“Kita mulai dari leher nya,” ucap Stella, ia memakai lup untuk melihat dengan jelas permukaan leher jasad, siapa tahu ada tanda-tanda sebelum kematianya.

“Sinar UV.” Stella melihat ada benda asing yang samar di ceruk leher korban.

Seorang asisten yang tadinya sedang memotret korban, beralih pada perintah yang di berikan oleh Stella. Ia menyalakan sinar UV nya dan kembali fokus memotret korban.

“Ada tali dengan bahan fluoresens,” gumam Stella.

Jelang dan Davin masih fokus pada jalanya autopsi, Jelang juga enggak mau nanya-nanya dulu karena dia mau Stella sendiri yang menjelaskanya. Stella mengambil sisa tali itu dan menaruhnya di tabung untuk di selidiki.

“Sisa tali yang ada di ceruk leher korban, enggak begitu terlihat jelas karena tertutup kerutan lehernya,” jelas Stella.

“Pisau bedah.”

Asisten nya yang lain memberikan Stella pisau bedah, Stella akan membuka tubuh korban untuk melihat organ-organ dalamnya, Terutama jantungnya.

“Gunting bedah.”

Davin masih saja bergedik saat tangan Stella dengan lihai mematahkan tulang rusuk korban, dan mengambilnya begitu saja. Padahal Davin sendiri sudah lumayan sering melihat autopsi.

“Kami akan membuka bronkusnya.” Stella membuka bronkus korban dan melebarkanya dengan kedua telunjuknya. “Bronkusnya hampir tidak memiliki jelaga,” lanjutnya.

Matanya kini berpindah dari organ korban kemudian menatap Jelang yang berada di sebrang sana.

“Kalau seseorang tewas karena kebakaran, mereka menghirup asap yang membuat bronkusnya menghitam tapi bronkus korban tidak menghitam sama sekali. Itu artinya korban enggak napas sama sekali saat kebakaran,” ucap Stella.

“Apa itu artinya dia udah mati sebelum kebakaran?” tanya Jelang.

Stella tidak menjawab, ia hanya menatap Jelang. Kemudian kembali fokus melakukan autopsinya.

“Ambil darah dari jantungnya,” ucap Stella memerintahkan asistenya untuk mengambil darah korban, ia akan mengidentifikasi DNA nya untuk mengetahui identitas korban.

“Tolong minta identifikasi DNA korban,” lanjutnya lagi pada asistenya.

Karena adanya sisa tali di leher korban, Stella akhirnya menyuruh asisten nya untuk melakukan rontgen pada kepala hingga leher korban. Setelah selesai melakukan autopsi Stella keluar dari ruangan itu, untuk memeriksa hasil rontgen korban.

Setelah mendapatkan hasilnya, Stella baru bisa menemui Jelang dan Davin untuk menjelaskan kondisi leher korban.

“Ini hasil rontgen pada leher korban, kamu liat kan, Lang. Kalau ada patahan pada tulang hyoid disini?” Stella menunjukan patahan yang ia maksud barusan pada Jelang.

Davin yang mendengar itu hanya bisa menahan tawanya, ia baru sadar Stella memanggil Jelang dengan sebutan 'aku' alih-alih 'gue' seperti biasanya. Jelang yang menyadari itu akhirnya menyenggol lengan Davin dan menyuruhnya untuk fokus.

“Kita lagi enggak bercanda, Vin!” sentak Jelang.

“Siap salah, Bang.”

Stella yang melihat kedua penyidik dengan karakter yang berbeda itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ini artinya dia tercekik lumayan kuat dengan tali itu sampai mati hingga tulang hyoid nya patah. Penyebab kematianya bisa jadi sesak nafas, sementara ini tekanan tali pada leher belum di ketahui. Jasad nya terbakar hangus sampai aku gak bisa lihat itu jerat atau gantung.”

Jerat atau gantung ini adalah simpul yang terdapat pada leher, biasanya ada ciri khusus saat orang gantung diri dan ciri khusus saat orang mati karena di jerat dengan tali, simpulnya berbeda. Namun dalam kasus ini, jasad tidak bisa di identifikasi simpulnya karena terbakar hingga hangus.

“Singkatnya, ini bisa jadi pembunuhan, Lang.” ucap Stella lagi.

Jelang yang mendengar itu hanya bisa menghela nafasnya pelan. Ini semua sesuai dugaanya, benar-benar ada yang tidak beres.

“Ah, ini hasil DNA korban udah keluar,” Stella memeriksa hasil DNA identifikasi korban kebakaran itu yang lab kirim melalui surelnya. Stella juga memberikan hasilnya pada Jelang alih-alih membacakannya.

“Eros,” Jelang Mengepalkan tanganya kuat, korban tewas di pabrik itu adalah pria yang bertemu denganya kemarin. Kurir narkoba itu, dia tewas di lokasi mereka bertemu. Lalu bagaimana dengan ponselnya? Siapa yang memegang ponsel itu? Pikir Jelang.

“Brengsek!!” sentak Jelang.

“Kenapa, Bang?” tanya Davin.

“Lo ingat kasus bandar narkoba itu?”

Davin mengangguk.

“Orang ini, dia kurir yang biasa ngantar barang,” jelas Jelang.

“Mantan narapidana karena pernah di hukum lima kali karena kasus perampokan, begal motor dan yang terakhir kasus penusukan,” sambung Stella.

Jelang menatap Stella, kedua mata mereka saling bertemu. Stella pernah dua kali memeriksa sidik jari korban pada kasus penusukan, jadi jelas dia tahu kasus nya.

“Kita ke TKP sekarang, Vin.” ucap Jelang.

Ia menyuruh Davin untuk berjalan lebih dulu ke parkiran mobil sementara Jelang menunggu hasil visum et repertum nya keluar, ia juga masih ingin melihat Stella sebentar.

“Kamu udah gak ada permintaan autopsi lagi kan, La?” tanya Jelang begitu mereka memiliki kesempatan berdua.

“Enggak.”

Jelang mengangguk, “setelah ini langsung pulang?” tanyanya.

“Iya, kenapa?”

“Gapapa, hati-hati.”

“Kamu gak pulang lagi, Lang?”

Jelang mengangguk dan meringis, “kasus kebakaran ini masih ada kaitanya dengan penyamaran aku kemarin, La.”

Stella menghela nafasnya pelan, lagi-lagi ia harus cemas sendirian di rumah. Akhir-akhir ini perasaan Stella sedikit sensitif, dia takut terjadi sesuatu yang buruk entah pada dirinya atau pada Jelang.

Tidak lama kemudian asisten Stella datang dan memberikan visum et repertum nya yang sudah selesai di buat pada Jelang, sebelum Jelang pergi ke TKP. Stella sempat menepuk pundak suaminya itu pelan.

“Hati-hati yah, Lang.”

Jelang tersenyum, sedetik kemudian ia mengangguk dan berlalu dari sana.

To Be Contiunue

Jelang terus mengetuk-etukan spidol yang ia pegang ke mejanya, matanya masih memandang ke arah laptopnya demi melihat sinyal GPS dari laki-laki yang bertemunya kemarin. Hingga hari ini laki-laki itu urung bergerak juga, Jelang sudah menyuruh anggota nya yang lain untuk beroperasi di sana juga.

Sesekali konsentrasi laki-laki itu terbagi ketika Pak Wira dan Davin membahas soal pengusaha kaya yang baru saja di bebaskan dari kasus pembunuhan seorang wanita.

“Anehnya, memang hari itu mereka punya bukti kalo Pak Dion memang berada di luar kota. Ini aneh banget, padahal jelas-jelas di barang bukti itu ada sidik jari dia,” ucap Davin.

“Kejaksaan atau pengacaranya ngasih bukti kalau dia memang berada di luar kota?” tanya Pak Wira.

Davin mengangguk, “pengacaranya kirim bukti check in atas nama Pak Dion hotel di daerah Malang dan foto mereka bareng klien. Ada yang bersaksi juga kalau hari itu mereka memang bersama Pak Dion. Ada rekaman CCTV di hotel tempat mereka menginap juga.”

“Mereka kasih bukti CCTV nya, Vin?” samber Jelang, dia masih enggak terima pelaku bebas begitu saja. Jelang masih memikirkan cara lain untuk memperkuat bukti jika pria itu benar-benar pembunuhnya.

“Enggak, Bang. Tapi gue usahain supaya dapat CCTV itu gimana pun caranya.”

“Kalo udah dapat, kasih bukti itu ke Hellen.”

Davin hanya mengangguk pelan, laki-laki itu kemudian berjalan ke meja milik Jelang. Ada beberapa hal yang harus ia tanyakan pada seniornya itu.

“Gue dapat info,” bisik Davin, yang berhasil mengalihkan atensi Jelang.

“Apa?”

“Salah satu bandar besar ini masih ada kaitannya sama Pak Dion.”

Jelang hanya mengangguk, ia sudah tahu itu. Makanya Jelang sudah tidak kaget kalau ia susah sekali menangkap bandar narkoba ini, bahkan untuk mendapat informasi mengenai di mana mereka bertransaksi saja susah. Pria itu benar-benar licik.

“Gue udah tau, Vin. Ini kenapa kita susah banget buat sekedar tahu dimana sarangnya. Gue yakin, si brengsek ini pasti di lindungi, kita bisa mecahin kasus bandar ini, setelah itu kita bisa tuntut Pak Dion dengan pasal lain. Kita bisa ngulur waktu buat nyari bukti tambahan soal kasus pembunuhan itu,” jelas Jelang, yang di jawab anggukan oleh Davin.

“Kalo gitu gue cabut, Bang. Gue harus dapat bukti CCTV itu hari ini.” Davin berdiri ia mengambil kunci mobilnya di atas meja dan berlalu begitu saja dari sana.

Tidak lama kemudian, telfon di meja Jelang berbunyi. Tanpa menunggu lama Jelang langsung mengangkatnya, di sebrang sana sudah terdengar suara Hellen yang sedikit panik saat berbicara dengannya.

Mas Jelang, ini gawat banget. Kami baru dapat laporan kalau bekas pabrik tempat kemarin Mas Jelang ketemu sama kurir dari bandar narkoba itu kebakar habis, sekarang pemadam kebakaran masih berusaha padamin apinya.” jelas Hellen.

“Kebakaran?” Jelang meremas tangannya kencang, ia yakin ini ada yang tidak beres. “Gue ke sana sekarang!”

Jelang langsung menutup telfon itu dan memakai jaketnya, Pak Wira yang sedang berada di kursinya sampai berdiri melihat Jelang yang tampak terburu-buru itu.

“Ada apa, Lang?” tanya Pak Wira.

“Bekas pabrik tempat transaksi narkoba kebakar, Pak. Ini ada yang enggak beres, makanya saya harus ke sana,” jelas Jelang.

“Kita ke sana sekarang!”

Setelah mengabari Davin untuk segera ke lokasi pabrik, jelang di temani Pak Wira dan anggota lainya langsung bergegas menuju lokasi kebakaran. Jelang belum cerita kalau kemarin ia melakukan penyamaran ke sana, Jelang merasa ia belum mendapatkan hasil apa-apa makanya ia belum bisa bercerita.

Di jalan hari ini begitu padat, emosi Jelang yang sudah menggebu-gebu itu semakin tidak terkendali saat menyetir. Beberapa kali ia menekan klakson mobilnya kencang hingga kendaraan yang berada di depannya menyingkir.

“Arrghgg!! Brengsekk!” pekik Jelang.

“Lang, tenang. Kamu gak bisa emosi kaya gini, ini sudah jam pulang kantor. di jam segini memang wajar terjadi kemacetan.” kata Pak Wira menenangkan Jelang, saking takutnya Pak Wira sampai berpegangan pada handle yang berada di atas kepalanya.

“Saya udah nyalain sirene, Pak. Seharusnya mereka paham kalau ini keadaan genting!”

Pak Wira yang mendengar nada tinggi dari juniornya itu malah menciut, Jelang memang tegas dan emosian di waktu yang bersamaan. Pak Wira sudah terlalu paham dengan watak laki-laki itu.


Sore ini Ardi dan Stella baru saja menyelesaikan visum et repertum mereka, untuk mencari tahu penyebab kematian wanita yang masih menjadi benang merah sindikat jual beli organ.

Stella lega, berkat Ardi kasus ini terpecahkan. Ardi memang lebih senior dari pada Stella, makanya Stella sering sekali meminta bantuan cowok itu apalagi untuk di mintai pendapat lain.

“Di?” panggil Stella, mereka berada di lift yang sama untuk sampai ke ruangan masing-masing, ruang autopsi itu ada di lantai tiga sedangkan ruangan mereka ada di lantai dua.

Ardi tidak menjawab, ia hanya menoleh sebentar. Stella ngerasa memang ada yang aneh dengan Ardi, cowok itu lebih pendiam dari pada biasanya.

thanks yah.”

“Lo udah ngomong itu tadi, La.” jawab Ardi dengan senyuman hangatnya.

“Iya, gapapa mau bilang makasih aja lagi. Kalo bukan karna lo, mungkin gue belum bisa bikin hasil autopsi nya hari ini.”

Ardi mengangguk, ia masih merasa canggung dengan Stella. Hatinya masih belum terima jika saat ini Stella sudah berstatus Istri dari laki-laki lain. Namun, Ardi ngerasa ia harus minta maaf karena tidak bisa hadir di hari pernikahan Stella dan soal penyerangan Stella malam itu.

Mereka belum mengobrol banyak dari kemarin karena sibuk, setelah melakukan autopsi kemarin dan meminta pendapat Ardi. Laki-laki itu langsung bergegas pergi dari gedung BFN untuk menjelaskan hasil autopsi kasus miliknya pada jaksa.

“La?” panggil Ardi yang membuat Stella menoleh ke arah laki-laki itu, mereka sudah berada di depan ruangan masing-masing. “Hhm.. Boleh ke ruangan gue dulu sebentar gak?”

Stella mengangguk dan mengekori Ardi dari belakang, Ardi menyuruh Stella untuk duduk sebentar sementara Ardi mengambil hadiah pernikahan untuk Stella dari lokernya.

“Apa nih?” tanya Stella waktu Ardi ngasih amplop berwarna putih padanya.

“Tiket honeymoon ke Lombok. Buat lo sama..” Ardi diam sebentar, rasanya tidak nyaman menyebutkan nama laki-laki itu. “Ipda Jelang,” lanjutnya.

“Aaahhhh gila lo baik banget sih, Di.” Stella tersenyum lebar, ia membuka amplop itu dan semakin terkejut ketika Ardi memesan hotel mewah di sana untuknya dan Jelang.

“Sumpah, Di. Ini tuh hotel mahal loh?” pekik Stella.

“Sebagai hadiah, sekaligus permintaan maaf gue karena gak bisa hadir di acara nikahan lo.”

Stella menyimpan tiket itu ke dalam sakunya, ia menghela nafasnya pelan karena melihat perubahan wajah Ardi yang drastis. Stella sempat dapat kabar dari Verra jika Ardi sedang dalam proses perceraiannya.

“Gapapa, Di. Gue paham kok,” Stella menepuk-nepuk pundak Ardi, ia turut sedih dengan berita itu.

“Gue.. Berusaha buat dapat hak asuh itu, La.”

“Lo pasti bisa, Di.”

Ardi tersenyum getir, ia yakin pengacaranya mampu membantunya. Yang ia tidak yakin justru, apakah anaknya mau ikut dengannya nanti jika hak asuh itu jatuh ke tangannya, mengingat mantan Istrinya itu sudah mendoktrin putri mereka agar membenci Ardi.

“Sebelum hari persidangan, gue sempet ketemu sama anak gue, La. Tapi hari itu dia gak mau gue pegang. Bahkan ngeliat gue pun dia enggak mau, gue yakin udah ada orang yang pengaruhi dia supaya benci sama gue.”

Saat Ardi menoleh ke arah Stella, kedua mata laki-laki itu memerah. Ardi ingat sekali bagaimana putri kecilnya itu menepis tangannya ketika Ardi hendak memeluk.

“Lo harus bisa ambil hatinya lagi, Di. Ini bakal mudah kalau hak asuhnya jatuh di tangan lo. Sebelumnya juga Abel dekat sama lo kan?”

Ardi mengangguk, “doain gue ya, La.”

“Um, pasti.”

“La, soal kasus penyerangan—”

“Ahh,” Stella mengangguk, dia gak nyangka kalau Ardi udah tahu soal penyeranganya malam itu. “Kasusnya udah di pegang sama Ipda Hema, gue juga gapapa, Di. Gue cuma perlu ngasih kesaksian aja nanti di persidangan sebagai korban.”

Ardi mengangguk, namun tanganya terulur menarik tangan Stella dan mengenggamnya. Ardi benar-benar khawatir saat tahu soal penyerangan itu, pasalnya Stella di serang saat ia sedang sendirian dan ini penyerangan pertama yang Stella dapatkan, biasanya ia dan tim forensik lainya hanya mendapatkan ancaman saja.

“Gue khawatir banget, La. Gue takut lo kenapa-kenapa,” ucap Ardi dengan tatapan khawatirnya itu.

Namun perlakuan Ardi barusan membuat Stella tidak nyaman, jadi, di tariknya tanganya itu dari genggaman tangan Ardi.

“Di, sorry,” ucap Stella.

Mereka sempat canggung beberapa saat, sampai akhirnya Stella memutuskan berpamitan untuk kembali ke ruanganya.

“Gue balik ke ruangan gue dulu yah, Di. Sekali lagi, thanks.

Setelah mengatakan itu Stella langsung keluar begitu saja, menyisakan Ardi yang masih terteguh di tempatnya menatap punggung Stella yang hilang dari balik pintu. Ardi menyeringai, namun sedetik kemudian ia tersenyum getir penuh kekalahan.

Hatinya merasa sakit mendapatkan penolakan seperti tadi oleh Stella, sampai Ardi enggak sadar kalau tanganya mengepal kuat.

Siangnya setelah Stella selesai berolahraga, perempuan itu sempat bersantai sebentar di depan ruang TV. Menonton drama sembari memakan snack yang kemarin ia dan Jelang beli.

Tidak lama kemudian, pintu depan terbuka. Tristan baru saja pulang, laki-laki itu membawa dua koper besar dan paper bag berisi lauk-lauk yang Ibu nya Jelang bawakan. Stella yang melihat Tristan kerepotan langsung bergegas membantu Adik sepupu Suaminya itu.

“Bilang kek, Ta. Kalo butuh bantuan,” cibir Stella, ia membantu Tristan menyeret koper besarnya dan membawa paper bag nya.

“Gak enak, orang Mbak Stella lagi nyantai,” ucapnya setelah koper-koper itu masuk ke dalam rumah. “Mas Jelang udah berangkat, Mbak?”

Stella mengangguk, “dari pagi. Belum ngabarin juga, dia hari ini kerja di luar juga katanya.”

Stella sempat memeriksa paper bag yang Tristan bawa, ia pikir Ibu mertuanya itu hanya membawakan ayam kesukaan Jelang. Tapi siapa sangka kalau Ibu nya Jelang juga membawakan asinan buah dan udang saus mentega kesukaannya.

“Budhe tadi bikin asinan, besok mau bikin acara syukuran karena Mas Jelang udah nikah sambil undang tetangga kanan kiri. Terus nitipin udang juga buat Mbak Stella,” jelas Tristan.

Mata Stella masih berbinar melihat makanan-makanan itu, ia selalu excited setiap kali melihat makanan.

“Mbak harus telfon Ibu ini sih, banyak banget bisa buat besok juga.”

“Jangan sekarang, Mbak. Budhe lagi repot banget, lagi bikin kue juga buat acara besok.” sewaktu Tristan pulang rumah begitu ramai, ada sekumpulan Ibu-Ibu yang Budhe nya bayar untuk membantunya memasak.

“Mana besok Mbak kerja lagi, jadi enggak bisa datang ke acara syukurannya Ibu,” bahu Stella merosot, dia jadi enggak enak sama Ibu mertuanya itu.

“Gapapa, Mbak. Santai aja, Budhe juga tau Mbak sama Mas Jelang tuh sibuk.”

Sembari membongkar koper miliknya, Tristan mengajak Stella ngobrol beberapa hal. Mulai dari kuliahnya, kedua orang tuanya di Solo. Sampai soal cerita kecilnya bersama Jelang dulu.

Menurut Tristan, Mbak Stella bukan orang yang kaku, perempuan itu baik, ramah dan juga gampang di ajak berbicara berbagai macam hal. Makanya Tristan enggak ada rasa canggung sedikit pun dari hari pertama ia datang, buktinya berduaan dengannya pun Tristan enggak canggung sama sekali.

“Mbak Stella tuh kenapa bisa mau deh nikahin Mas Jelang, padahal orangnya kaku begitu. Gak ada lucu-lucunya dia mah,” Tristan cuma penasaran aja, pasalnya selama ini ia tidak pernah mendengar kalau Jelang memiliki pacar, tapi tahu-tahu ia dapat kabar Mas sepupunya itu menikah benar-benar mendadak.

Stella yang di tanya begitu jadi mengulum bibirnya sendiri, pasalnya ada cerita yang ia dan Jelang sembunyikan tentang pernikahan mereka dari keluarga. Apa ini artinya Stella harus mengarang cerita?

“Hmm.. Itu, Mbak sama Jelang kan udah kenal lama juga, kita tuh.. Temen sekolah. Mbak dulu murid aksel, jadi enggak banyak kenal murid lain di kelas itu. Sampai akhirnya Jelang yang jadi teman pertama Mbak di kelas.”

Stella memang murid aksel dulu, dia lulus lebih cepat dari pada teman seangkatannya. Waktu itu Stella pendiam karena merasa teman-teman sekelasnya adalah Kakak kelasnya, ia merasa canggung dan lebih banyak sendiri. Sampai akhirnya Jelang mengajaknya istirahat bersama. Dari sana mereka dekat sampai akhirnya bertemu kembali saat bekerja.

Selama kuliah, Jelang dan Stella masih berteman. Hanya saja waktu mereka untuk bertemu menjadi lebih sempit karena kesibukan keduanya. Tapi siapa sangka jika takdir mengikat mereka dalam sebuah pernikahan.

“Ohhhh jadi teman tapi menikah?” ucap Tristan asal-asalan.

“Ya gitu lah, ya..yaudah, Ta. Mbak ke kamar dulu yah, ngantuk banget. Besok Mbak juga udah masuk kerja.”

Sebenarnya itu hanya alibi Stella saja supaya Tristan enggak nanya-nanya lagi, soalnya Stella memang tidak pandai berbohong.

“Yaudah, Mbak. Tristan juga mau beres-beres kamar.”

Stella akhirnya masuk ke dalam kamar, dalam hati ia meruntuki dirinya sendiri. Semoga saja Tristan percaya dengan semua ucapanya barusan. Begitu Stella membuka pintu kamar, Tristan tidak sengaja melihat ke dalam kamar Jelang dan Stella.

Kening laki-laki itu mengekerut bingung, bagaimana bisa pengantin baru seperti Jelang dan Stella, tidur di ranjang yang hanya bisa di tempati oleh satu orang saja?

“Kok kasurnya cuma 1 yah, itu kan buat 1 orang aja, terus Mas Jelang tidur di lantai?” gumam Tristan.


Keesokan paginya Stella sudah kembali ke BFN dan bekerja seperti biasa, banyak rekan nya yang datang ke ruanganya hanya untuk memberinya ucapan selamat dan juga hadiah. Jujur saja, Stella sedikit terharu lingkungan kerjanya begitu hangat untuk mendukung satu sama lain.

“Dok, kita ada autopsi,” ucap seorang asistenya.

Stella sempat membaca surat permintaan autopsinya dan siapa penyidik yang membuat permintaan autopsi, setelah membaca surat itu, Stella langsung bergegas ke ruang autopsi.

Di ruang autopsi sudah ada Ipda Hema dan penyidik lainya, Stella tidak begitu mengenalnya tapi laki-laki itu beberapa kali datang ke BFN untuk melihat jalanya autopsi. Sebelum memulai autopsi, Stella sempat berdoa terlebih dahulu.

“Kita akan mulai autopsinya di jam sepuluh lewat lima,” ucap Stella.

Kemudian di bukanya kain putih penutup jasad itu dan menampakan jasad seorang perempuan yang sudah terbujur kaku, ada bekas memar di dahi nya serta warna kulit pada muka yang berubah menjadi keputihan.

“Dokter Stella ingat soal anak berusia dua belas tahun yang kami bawa dan kehilangan ginjalnya?” tanya lelaki bernama Hema itu.

Stella mengangguk pelan, “kasus sindikat jual beli organ itu?”

“Benar, wanita ini orang yang dekat dengan anak itu. Dan wanita ini di temukan tewas di kontrakannya.”

Mata Stella menelisik wajah jasad wanita itu dan mengangguk pelan pada Ipda Hema. “Kalau begitu, kemungkinan kasus ini masih ada kaitanya?”

“Kemungkinan besar.”

Stella mengangguk pelan dan mulai melakukan autopsinya, seperti biasa. Ia melakukan autopsi luar terlebih dahulu, terutama pada benjolan dan memar yang ada pada dahi dan wajah korban.

Stella mengambil penggaris yang sudah di siapkan, ia ingin tahu seberapa panjang benjolan yang ada di dahi korban.

“Di dahinya ada fraktur depresi lingkaran berdiameter 2,5” ucap Stella.

“Apa itu kemungkinan korban di pukul dengan palu? Biasanya palu yang ada di rumah-rumah memiliki diameter yang sama dengan luka korban,” tanya penyidik yang berada di sebelah Ipda Hema.

Stella mengangguk, “kemungkinan besar memang palu tapi bisa juga benda tumpul lain, itu gunanya penyidik Buat mencari tahu.”

Laki-laki itu terdiam, apalagi setelah Ipda Hema menyenggol lenganya. Dan Stella pun kembali melalukan pemeriksaan.

“Adanya bercak putih di sekitar wajah dan lehernya, tidak ada kelembapan, ah, Ver. Tolong kikis kulitnya, kita lakuin biopsi kulit buat cari tahu penyababnya,” ucap Stella pada asistenya.

“Baik, Dok.”

Setelah asistenya itu selesai mengambil jaringan kulitnya, Stella meminta bantuan pada asisten nya yang lain untuk melakukan pemeriksaan livor mortis, ini untuk memeriksa perubahan warna ungu pada kulit setelah terjadinya kematian.

Stella di bantu asitenya yang lain, membalikan tubuh jasad untuk melihat kondisi bagian belakang tubuhnya.

“Ada livor mortis di bagian belakang tubuh,” ucapnya, setelah itu Stella kembali memeriksa bagian mata, hidung dan mulut jasad. Semuanya bersih tidak ada pendarahan sedikit pun.

“Saya akan melakukan pembedahan untuk mencari tahu sebab kematian,” lanjutnya.

Stella mengambil pisau bedah, membuka tubuh korban dari leher hingga perutnya, kemudian kening perempuan itu mengekerut begitu di lihatnya ada kejanggalan pada tulang rusuk jasad.

“Ada 3 patahan tulang rusuk sebelah kanan, lekukan ketiga dan keempat di sternum juga retak.” setelahnya Stella membuka tulang rusuk jasad untuk memeriksa organ bagian dalamnya.

Dan lagi-lagi Stella dan tim nya di buat bingung begitu melihat pendarahan yang begitu banyak di dalamnya, Verra asistenya itu kemudian mengambil darah yang berada di dalam tubuh korban untuk mengetahui berapa volume nya.

“Volume darahnya sekitar 250 ml.”

“Kenapa enggak ada trauma padahal di pendarahan sebanyak itu?” tanya Ipda Hema.

“Ini yang harus kami cari tahu.”

Stella kembali memeriksa jantung dan paru-paru korban yang sudah ia angkat untuk memeriksanya

“Vertikel kiri pecah, bagian vertikel kiri adalah bagian terlemah jantung dan lagi, ada beberapa pendarahan yang terlihat di kedua permukaan paru-paru. Jika korban di pukul, seharusnya ada memar di bagian yang di pukul. Selain itu, organ lain seperti hati dan ginjal nya baik-baik aja,” jelas Stella. Ia mulai di buat bingung dengan jesad yang sedang ia autopsi ini.

“Ini benar-benar bikin bingung, gimana korban bisa pendarahan sebanyak itu sedangkan di tubuhnya enggak ada trauma apapun.”

“Saya akan minta pendapat dari ahli forensik yang lain,” ucap Stella.

Kalau sudah begini, Stella harus mengirimkan SOS untuk meminta bantuan. Ia harus meminta pendapat kedua dari ahli forensik lainya. Saat berdiri di depan telfon yang akan menghubungkanya dengan ahli forensik lainya, Stella teringat kata-kata Jelang kemarin untuk tidak terlalu dekat dengan Ardi.

Namun tidak ada pilihan lain, Ardi adalah ahli forensik yang kompeten. Lagi pula ini juga masih menyangkut penyelidikan dan pekerjaanya. Akhirnya Stella menghubungkan telfonya ke ruanganya Ardi dan tidak membutuhkan lama, laki-laki itu setuju untuk membantunya di mintai pendapat lain.

Setelah selesai dengan autopsinya yang memakan waktu lebih lama dari biasanya itu, Stella bergegas keluar dari gedung BFN. Jelang bilang dia ada di depan gedung. Dan benar saja, begitu Stella keluar, Jelang sudah menunggunya di kursi depan sembari menenggak sekaleng kopi.

“Baru pulang?” tanya Stella, ia duduk di samping Jelang.

Jelang mengangguk pelan, “kamu udah makan?”

“Belum, baru banget selesai autopsi.”

“Makan dulu.” Jelang tersenyum, melegakan rasanya melihat Stella hari ini. Tadinya Jelang mau pulang dulu sebentar untuk berganti baju, tapi kebetulan sekali ia lewat gedung BFN akhirnya ia memutuskan untuk mampir melihat Stella dulu.

“Kamu udah makan?”

Jelang menggeleng, “belum, nanti di rumah baru mau makan.”

“Terus pergi lagi?”

Jelang tidak menjawab, laki-laki itu hanya tersenyum. Ia rasa Stella sudah tahu jawabanya tanpa Jelang perjelas lagi.

“Lang?”

“Hm?”

“Kemarin siang Tristan bawain lauk dari Ibu, di makan yah.”

“Pasti.”

Tidak lama kemudian ada beberapa karyawan dari divisi teknik forensik lainya yang baru saja datang, setelah membeli kopi di cafe sebrang gedung BFN. Dari jauh saja mereka sudah menggoda Stella, begitu semakin dekat godaan-godaan itu pun semakin kencang di lontarkan.

“Cielah Dokter Stella, mentang-mentang pengantin baru lagi istirahat aja pake di samperin segala,” ucap seorang laki-laki dari divisi teknik forensik.

“Pengantin baru emang gitu, gak liat semenit aja udah kangen.”

Mendengar itu Jelang menjentikan jarinya dan merangkul Stella agar lebih dekat denganya.

“Benar, bahkan gak ngeliat sedetik karna ngedip mata aja udah kangen,” Jelang menghela nafasnya pelan dan memasang muka sok sedihnya itu.

“Makanya cuti Ipda Jelang, biar bisa berduaan mulu di rumah.”

Stella hanya menyengir, ia juga merangkul pinggang Jelang agar sandiwara itu terlihat natural. Begitu segerombolan itu sudah masuk ke dalam gedung, barulah Stella buru-buru melepaskan rangkulan Jelang.

“Jangan peluk-peluk ah malu entar di liat yang lain,” ucap Stella sedikit salah tingkah.

“La, biar mereka percaya kita nih pengantin baru yang harmonis.”

Stella hanya memutar bola matanya malas, dan Jelang yang melihat itu hanya bisa terkekeh pelan.

“Yaudah, aku balik yah.”

“Lang?”

“Iya?”

“Hati-hati, aku tunggu di rumah yah, tapi kalo kamu enggak pulang lagi tolong kabarin.”

Jelang hanya mengangguk pelan, setelah berpamitan. Laki-laki itu pun berjalan menuju parkiran, dan Stella masih setia menunggu sampai punggung suaminya itu semakin menjauh.

Aneh, rasanya hari itu Stella hanya ingin berada di dekat Jelang. Atau menyuruh Suaminya itu untuk di rumah saja, namun apa daya. Pekerjaanya itu tidak bisa membuat Stella menyuruh Jelang untuk tetap tinggal. Lagi pula, Jelang juga tidak akan setuju.

Jelang itu seorang yang ambisius, dia tidak akan bisa pulang dengan tenang jika belum memecahkan kasus yang ia pegang dan menangkap pelaku-pelakunya.

To Be Continue

Pagi ini Jelang sudah bersiap untuk segera kembali ke kantor, dia udah dapat laporan dari tim nya terkait kasus yang akan ia selidiki sendiri hari ini. Setelah memastikan dirinya sudah siap barulah Jelang keluar dari kamar.

Saat bekerja, Jelang lebih banyak memakai pakaian biasa. Jelang baru akan memakai seragamnya jika ada keperluan di kantor saja, lagi pula dia lebih banyak di lapangan dari pada di kantor.

Stella sudah bangun dari subuh, perempuan itu sempat berolahraga dulu baru kemudian membuatkan sarapan untuk mereka makan. Pagi ini Stella membuatkan nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya.

“Kamu mau minum apa, Lang? Teh manis apa air putih aja?” tanya Stella, ia tidak menatap Jelang. Matanya dan tangannya sibuk memilih teh dengan rasa apa untuk pagi ini.

Sementara itu, Jelang justru tidak menanggapi Stella karena ia justru tidak sengaja membaca isi pesan Stella dengan rekan kerjanya bernama Ardi. Kebetulan ponsel Stella tergeletak di atas meja makan, dan menampilkan bubble chat dari laki-laki itu.

“Lang?” karena Jelang tidak kunjung menyahut akhirnya Stella berbalik badan dan mendapati Jelang yang masih menatap ponselnya.

“Ardi, dokter yang waktu itu debat sama aku, La?”

Stella mengangguk, “iya, dia cuma nanya kapan aku masuk.”

“Hm..” Jelang mengangguk dan duduk di meja makan. “Kamu jangan terlalu dekat sama dia deh.”

Jelang ngomong gini bukan hanya di landasi cemburu buta kaya remaja yang baru di mabuk cinta kok, tapi Jelang punya firasat tidak enak setiap kali melihat laki-laki bernama Ardi itu.

“Cemburu?” Stella menaikan satu alisnya.

Ia juga ikut duduk di depan Jelang yang sudah melahap nasi gorengnya lebih dulu, sembari menelisik wajah Jelang, Stella sembari memberikan Jelang teh rasa apel untuk Suaminya itu.

“Enggak, aku cuma...” Jelang menahan ucapannya, dia ngerasa bukan saat yang tepat membicarakan ini pada Stella. Apalagi ini cuma menyangkut firasat buruknya saja dengan Ardi. “Pokoknya jangan terlalu dekat aja.”

“Ya tapi kasih alasannya dong, aku sama Ardi kan rekan kerja. Gak mungkin aku gak deket sama dia, Lang.”

“Ya Udah kalau di kerjaan aja. Selepas itu jangan terlalu dekat,” jelas Jelang yang membuat Stella agak sedikit dongkol.

Pasalnya Stella enggak suka di larang-larang kalau tidak ada alasan yang jelas, “gak jelas,” cibirnya.

“Oh iya, Tristan tadi pamit jalan duluan ke rumah Ibu. Mau ambil koper sama barang-barang lainya, Ibu juga katanya bikinin ayam goreng serundeng buat kita.”

Pagi-pagi setelah Stella selesai olahraga, Tristan memang berpamitan untuk kembali ke rumah Ibu nya Jelang dulu. Untuk mengambil barang-barangnya, waktu itu Jelang sedang mandi jadi Tristan hanya berpamitan pada Stella saja.

Jelang hanya mengangguk pelan, “kamu habis ini mau ngapain?”

“Nyantai kayanya,” Stella tersenyum, dia benar-benar akan memanfaatkan cuti nya yang singkat dengan baik untuk hari ini.

“Hari ini aku ada penyamaran lagi,” ucap Jelang.

“Buat kasus baru?”

Jelang menggeleng, “enggak, kasusnya masih berjalan cuma emang agak ribet aja.”

“Kamu sama Davin kan?”

“Enggak, aku sendiri. Terlalu bahaya, La. Orang bisa curiga.”

Stella hanya mengangguk kecil, kalau sudah begini. Stella hanya bisa berdoa supaya apapun kasus yang sedang Jelang pegang berjalan dengan lancar.


Hari ini Jelang benar-benar kerja sendirian, dia juga gak pakai mobil dinasnya. Laki-laki menyewa motor dari sebuah rental agar orang yang ingin ia selidiki tidak mencurigainya.

Jelang mendapatkan laporan kalau ada bekas pabrik yang tidak terpakai, yang di jadikan tempat untuk transaksi jual beli narkoba.

Dan saat ini Jelang sedang menyelidikinya, berbekal ponsel yang ia beli untuk melakukan penyamaran ia berhasil menghubungi pria yang di duga kurir yang mengantar barang haram tersebut.

Jelang memang bekerja sendiri hari ini, Davin bahkan tidak tahu kalau hari ini Jelang melakukan penyamaran. Davin dan kepala penyidiknya hanya tahu kalau Jelang sedang berada di kantor kejaksaan untuk mencari tahu pembebasan Dion Wiranto, pengusaha yang melakukan pembunuhan terhadap seorang wanita.

Ini sudah jam yang di tentukan oleh kurir tersebut untuk bertemu, Jelang sudah menunggu kurir tersebut di depan pabrik tempat mereka bertemu. Namun tidak ada tanda-tanda laki-laki itu muncul.

“Brengsek.. Awas aja kalau sampai ini orang nipu..” gumam Jelang, ia akhirnya mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di sela bibirnya.

Jelang bukan perokok aktif, dia hanya merokok di waktu-waktu tertentu saja. Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam dan topi yang ia kenakan menghampiri Jelang.

Jelang yang tadinya ingin merokok jadi mengurungkan niatnya, ternyata benar. Itu adalah kurir yang mengantar 'barang pesanannya', dan tempat ini benar-benar menjadi tempat transaksinya. Jelang berpikir karena tidak ada CCTV dan orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Maka tempat ini menjadi tempat aman untuk melakukan transaksi seperti ini.

sorry lama, bro,” ucap pria itu, ia mengeluarkan bungkusan dari saku celana nya dan memberikan itu pada Jelang.

“Hm,” Jelang hanya mengangguk, sembari memberikan uang yang sudah ia siapkan.

“Kalau gitu, gue cabut duluan.” baru saja pria itu ingin pergi, Jelang malah menepuk bahunya pelan.

“Selain ini ada?” tanya Jelang, ia harus mendapati informasi lainya dari laki-laki ini.

“Ada, lo bisa hubungin gue lagi. Tapi jangan pakai nomer yang sama.”

Setelah menepuk bahu Jelang, pria tadi pergi begitu saja. Dan kini Jelang harus cepat beraksi mengikuti kemana pria tadi pergi, ia ingin tahu bandar nya bersarang dimana.

Malam itu daerah Bogor turun hujan, dan Jelang susah payah mengikuti pria tadi hingga memasuki gang-gang kecil. Namun sial, yang ia dapati justru pria tadi tidak datang ke tempat bandarnya, namun justru pulang ke kontrakannya. Terlihat bagaimana pria tadi di sambut oleh seorang wanita yang Jelang duga itu adalah Istrinya.

“Brengsek!”

Jelang tidak menyerah begitu saja, sampai hampir pagi ia masih tetap berada di sana untuk mengikuti kurir tadi. Namun belum juga ia dapati hasil kurir tadi urung keluar dari rumahnya juga, tidak lama kemudian ada telfon dari Stella.

Jelang sudah mengabari Stella jika ia tidak pulang hari ini dan menyuruh Stella tidur tidur terlalu larut.

“Hm?” deham Jelang begitu ia mengangkat teleponnya.

“*masih di luar, Lang?”

“Masih, La. Belum dapat hasil, ada apa?” Jelang mengetuk-entukan jari teluknya ke stir mobil, matanya tak ayal berpindah pada gang rumah pria semalam yang ia buntuti, Jelang sudah tidak memakai motor yang ia sewa. Ia hanya menyewanya untuk beberapa jam saja, jadi begitu sudah selesai ia langsung kembalikan.

Gapapa, gue pikir lo udah di kantor.

“Dikit lagi aku balik kok, Tristan udah balik kan?”

udah.

Jelang tersenyum, agak sedikit lega mengetahui Adik sepupunya sudah kembali. Setidaknya Stella tidak sendirian di rumah semalam.

“Ya udah, nanti aku kabarin lagi yah.”

Setelah mengatakan itu, Jelang menutup teleponnya. Tidak lama kemudian Davin mengiriminya berkas yang kejaksaan kirimkan, terkait kasus pembunuhan yang melibatkan seorang pengusaha kaya.

Jelang cukup geram, ia harus memutar otak bagaimana caranya memastikan pengusaha itu tetap mendapatkan hukuman untuk perbuatanya.

Sore ini kedua pasangan pengantin baru itu masih kompak untuk bekerja sama memberesi isi rumah baru mereka, kamar yang akan di tempati oleh Tristan sudah rapih, sudah di pasang korden, sudah di beri penerangan yang cukup, Begitu pula dengan kamar mereka.

Dan saat ini keduanya sedang sibuk di dapur untuk masak makan malam mereka, sebenarnya hanya Stella yang sibuk memasak, sementara Jelang sibuk menata belanja bahan makanan mereka di kulkas.

“Lang cobain deh kurang apa?” tanya Stella, ia memberikan satu sendok sup ayam jamur untuk Jelang cicipi.

Stella enggak begitu pandai memasak, tapi ya kalau cuma masak sup dan tumis-tumisan dia bisa, berbekal resep yang Ibunya kirimkan itu.

“Enak kok,” ucap Jelang setelah selesai mencicipi sup buatan Stella.

“Beneran? Gak kurang apa gitu?”

Jelang menggeleng, “enggak, udah pas itu beneran enak.”

“Oke, sekarang gue tinggal masak nasi. Oh iya, Tristan udah sampai mana?”

Stella mematikan kompornya, kemudian menaruh panci kecil ke meja makan yang baru saja mereka beli. Sekarang ia sibuk menata makanan yang sudah matang itu ke atas meja.

“Bentar gue chat dulu,” ucap Jelang. Baru saja Jelang mau mengirimkan pesan pada Adik sepupunya itu, tidak lama kemudian bel rumah mereka berbunyi. “Kayanya itu Tristan deh, gue aja yang bukain pintu.”

Jelang berdiri, meninggalkan bahan-bahan makanan mereka yang masih sibuk ia susun, tapi sebelum ia keluar membukakan pintu untuk Tristan. Jelang menghampiri Stella lebih dulu.

“La?” ucapnya agak sedikit gugup.

“Hm?”

“Kayanya kita gak bisa gini deh.”

Kening Stella mengkerut bingung, “maksudnya?”

“Kita jangan manggil lo gue gini, apalagi di depan Tristan. Di depan orang tua kita juga,” jelas Jelang.

Stella menghela nafasnya pelan, sebenarnya ia juga sempat memikirkan itu kemarin. Ya apalagi kalau bukan, Stella di tegur Ibunya karena di anggap tidak sopan menggunakan lo-gue sebagai panggilan untuk Jelang yang saat ini sudah menjadi suaminya.

“Terus pakai apa? Aku kamu?” tanya Stella.

“Iya gitu aja.”

Stella akhirnya mengangguk mengiyakan, lagi pula enggak ada yang salah dari bicara dengan kata aku-kamu. Stella sama sekali enggak keberatan, walau mereka menikah karena sama-sama menguntungkan tapi pernikahan ini enggak terikat kontrak dan perjanjian apa-apa.

“Ya.. Udah, kalau gitu a..ku bukain pintu buat Tristan dulu,” ucap Jelang dengan terbata-bata.

Stella yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis, terdengar aneh dan nyaman di saat yang bersamaan. Tidak lama kemudian Jelang balik bersama dengan seorang laki-laki yang mengekorinya, laki-laki itu memiliki wajah yang lumayan mirip dengan Jelang. Hidung yang mancung, rahang yang tegas dan alis yang tebal. Benar-benar seperti pinang di belah dua.

“La, kenalin, ini Adik sepupu ak..aku. Namanya Najendra Tristan Permadi,” Jelang mengenalkan laki-laki di sebelahnya itu pada Stella.

“Tristan, Mbak.” laki-laki itu menyamili Stella, dan di sambut hangat oleh Stella.

Stella baru sadar kalau selain memiliki paras yang mirip, senyum kedua nya hampir sama. Hanya saja Tristan terlihat lebih tengil dari pada Jelang.

“Stella, kita makan dulu yuk, kebetulan Mbak baru masak.”

Mereka sempat makan bersama sore itu, sembari Tristan menceritakan kampus nya dan jurusan kuliah yang ia ambil. Menurut Stella, Jelang dan Tristan cukup dekat. Banyak obrolan serius sampai random yang mereka bicarakan berdua saat makan.

Besok Jelang sudah kembali masuk kerja, dan Stella masih memiliki satu hari lagi sampai nanti ia kembali masuk kerja. Mungkin ia akan memakai jatah cutinya itu untuk bersantai dan sedikit berolahraga besok.

“Ini kamar lo, Ta. Gue gak paham lo mau nata nya kaya gimana, tapi sementara waktu gue rapihin kaya gini dulu aja. Kalo ada yang kurang nanti tinggal lo benerin aja,” Jelang menunjukan kamar Tristan yang berada di depan ruang tamu.

Kamarnya tidak terlalu besar, di rumah yang mereka tempati. Kamar terbesar itu hanya kamar utama yang di tempati Jelang dan Stella. Meski sudah membeli beberapa perabotan, rumah mereka masih memiliki banyak space kosong. Mungkin nanti mereka akan mengisinya dengan barang lagi.

thanks ya, Mas. Gue jadi ngerepotin gini numpang di rumah pengantin baru,” ucap Tristan enggak enak.

“Santai, ah iya,” Jelang merogoh kantung celana nya itu, dan mengeluarkan kunci motor serta surat-suratnya. Itu motor milik Jelang yang sudah jarang ia pakai, Jelang sekarang lebih sering memakai mobil dinas nya.

“Pakai motor gue buat ambil barang-barang besok, sekalian buat lo ke kampus. Gue udah jarang pake motor.” jelasnya.

“Serius, Mas?”

Jelang mengangguk, “belajar yang bener, Ta. Gue ke kamar dulu yah.” Jelang menepuk pundak Adik sepupunya itu sebelum akhirnya keluar dari kamarnya.

Begitu Jelang masuk kamarnya, Stella sedang sibuk Berjongkok menata barang-barang miliknya di lemari. Salah satunya adalah umagi, shitabaki dan obi, itu semua adalah baju, celana dan sabuk berwarna hitam untuk olahraga judo.

Stella itu pandai bela diri, salah satunya adalah judo. Seni bela diri itu sudah Stella geluti sejak duduk di Sekolah Dasar. Berbeda dengan Jelang yang baru menggeluti seni bela diri saat menginjak SMP.

“Masih ada aja umagi nya,” ucap Jelang, ia duduk di sebelah Stella yang masih memandangi baju bela dirinya itu.

“Masih, aku dapetin sabuk ini susah payah tau.”

“Masih hapal teknik-tekniknya?”

Stella terkekeh sembari mengangguk pelan, “masih lah, apa perlu kita tanding berdua?”

“Kalau lawan nya kamu, aku milih mundur aja.” Jelang mengangkat tangannya sembari tersenyum.

“Lang, kamu tau gak kenapa pada akhirnya aku milih masuk kampus kedokteran dan nekat ambil ahli forensik?” tanya Stella, matanya masih memandangi sabuk hitam yang ada di pangkuannya itu.

Jelang hanya menggeleng pelan.

“Aku cuma mau bantu orang lain yang udah gak bisa bicara supaya dapat keadilan, Lang. Aku tau gimana susahnya dapat keadilan, jangankan buat orang yang udah meninggal. Buat orang yang masih hidup dan bisa bicara aja dapetin itu enggak mudah,” jelas Stella. Ia tersenyum getir di sana.

“Dulu Bapak kerja di pabrik, Lang. Cukup lama sampai aku menginjak SMP. Waktu itu, Bapak ngalamin kecelakaan kerja sampai dapat luka bakar di kaki dan tangannya. Tapi perusahaan gak mau kasih biaya pengobatan dan ganti rugi, waktu Bapak nekat bawa kasus ini ke hukum. Entah gimana caranya, perusahaan justru ngelaporin Bapak balik dengan pencemaran nama baik perusahaan.” Stella masih ingat bagaimana hancurnya Bapak saat itu dan Ibu nya yang mati-matian bekerja agar bisa membiayai pengobatan Bapak.

“Bapak kalah waktu itu dan stress banget sampai sering mabuk-mabukan, waktu itu aku cuma kepikiran buat jadi polisi supaya bisa mengusut kasus ini suatu hari nanti. Tapi justru kecelakaan bikin aku gagal buat dapetin itu semua, terus aku pikir jadi ahli forensik lebih baik waktu itu. Dan aku ngerasa itu udah tepat, toh aku bisa bantu polisi buat nangkap penjahat kan?”

Jelang mengangguk, “kamu dokter yang baik, La.”

Keduanya pun tersenyum, Stella kembali menyusun barang-barangnya. Sementara Jelang membuka lemari baju miliknya, dan mengambil sesuatu di dalam laci yang berisi kaus kaki di sana.

Benda itu di balut dengan kain hitam dan sebuah kantung hitam tebal. Stella tebak itu pasti senjata api milik Jelang yang di berikan olehnya dari kepolisian. Jelang sering membawanya saat bertugas, sudah enggak kaget lagi Stella dengan itu.

“Pegang, La.” Jelang memberikan benda itu ke Stella, ini pertama kalinya Stella memegang senjata api. Ternyata tidak seringan yang ia pikir, benda itu lumayan berat.

“Ini kan punya kamu, Lang?”

“Pegang aja, aku masih punya. Ini buat jaga-jaga kalau aku lagi dinas di luar, La. Kamu ingat kan kalo pernah bilang ke aku kalau musuh kita banyak? Apalagi kamu udah jadi Istri aku. Pakai ini kalau mendesak, tanggung jawabnya ada sama aku.”

“Lang...”

“Kasus yang aku pegang belum selesai, La. Orang yang aku tangkap sekarang udah berkeliaran bebas lagi dan dia bukan orang biasa, aku gak mau kamu kenapa-kenapa.” ucap Jelang dengan mata teduh miliknya.

Stella hanya mengangguk pelan, siang tadi saat mereka berdua sudah sampai rumah. Mereka sempat bersantai sebentar sembari menonton TV, dan saat itu TV menyiarkan berita soal pengusaha yang Jelang tangkap tempo hari. Di bebaskan karena kurangnya bukti-bukti untuk kasus pembunuhan.

Mungkin ini adalah yang di maksud dari ucapan Jelang barusan. Pengusaha itu memang di kenal licik dan memiliki jaringan yang kuat.

“Lang?”

“Hmm?”

“Janji sama aku yah, kamu harus baik-baik aja pas lagi tugas. Kamu harus pulang, aku selalu nunggu kamu di rumah.”

Jelang tidak menjawab, laki-laki itu hanya tersenyum sembari mengangguk pelan, membuat Stella akhirnya memeluk Jelang meski saat ini Jelang belum berani membalas pelukan itu. Jelang hanya menciumi rambut panjang Stella yang terurai.

To Be Continue