Bab 12. Reinkarnasi?

Jakarta, 2025.

“Setelah itu apa yang kamu lakukan saat Romo mulai melarang kamu untuk tetap di rumah?”

Dalam pejam kedua matanya, Kirana melihat Ayu hanya berdiam diri di kamar. Namun sesekali ia membuka jendela kamarnya ketika Adi mengetuk jendela kamarnya itu. Wanita itu selalu memangis, bahkan Adi pun bersusah payah menemui Ayu karena kini pria itu di larang untuk dekat-dekat dengan Ayu. Romo menilai Ayu sekongkol dengan Jayden.

“Hanya diam di kamar, duduk, menunggu Adi.”

Wanita yang duduk tak jauh dari sofa bed Kirana berada itu mengangguk, ia mencatat detail mimpi yang di ucapkan oleh Kirana saat hypnoterapi nya sudah di mulai. Ini adalah konsul kedua Kirana, hari ini dia datang sendiri karena Bagas enggak bisa menemaninya. Bagas bilang kalau ia ada urusan mendadak, Bagas enggak bilang itu apa. Dan Kirana pun enggak bertanya, biasanya pun Bagas akan bercerita langsung jika mereka bertemu nanti.

“Apa Ayu sudah bertemu dengan calon Suami yang di jodohkan Romo nya?”

Kirana menggeleng, “belum.”

“Baik, kalau begitu Kirana dengar saya?”

“Um..”

“Kamu bisa buka mata kamu perlahan-lahan ya.”

Perlahan-lahan Kirana membuka kelopak matanya itu, sorot matahari pagi yang masuk ke ruangan konsulnya itu langsung menelisik indra pengelihatannya. Kirana mengerjap, ia mengubah posisinya dari yang tadinya tiduran menjadi duduk menghadap dokter Annelies.

“Butuh tissue?” dokter Annelies mengambil sekotak tissue dan memberikannya pada Kirana, wanita itu menitihkan air matanya.

“Terima kasih, Dok.”

Setelah mengusap kedua matanya dengan tissue, Kirana juga meminum teh jasmine yang tadi di sediakan oleh asisten dokter Annelies. Meski masih merasa tidak nyaman akan mimpinya semalam, setidaknya setiap kali ia konsul ia bisa merasa lega. Entah ini hanya sugestinya saja atau memang kenyataanya seperti itu.

“Mimpinya masih terus berlanjut yah, Kirana?”

Kirana mengangguk, “kali ini lebih mengganggu, Dok. Setiap kali saya bangun, dada saya sesak. Dan saya pasti menangis.”

“Itu karena kamu merasakan kesedihan yang di alami oleh tokoh Ayu di dalam mimpimu. Saya paham, rasanya pasti tidak nyaman buat kamu.”

Kirana mengangguk, ia ingin sekali berhenti bermimpi hal seperti itu. Tapi disisi lain, ada segelintir perasaan penasaran akan apa yang terjadi pada Ayu dan Jayden? Apakah mereka akan tetap bersama?

“Untuk saat ini obat yang saya berikan masih sama, saya hanya menaikan sedikit dosis nya ya, dan untuk saran saya. Sebelum kamu tidur, kamu bisa mendengarkan musik klasik? Atau lagu-lagu yang kamu suka. Dengan harapan agar ketika kamu bangun nanti, suasana hati kamu jauh lebih baik,” jelas Dokter Annelies.

Walau terbilang masuk akal apa yang di katakan dokter Annelies dari sudut pandang medis, tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Kirana seperti ingin mencari second opinion dari mimpinya, tapi dia sendiri enggak tahu harus berkonsultasi dengan siapa.

“Dokter, sebelumnya apa dokter punya pasien yang mengalami gangguan tidur seperti saya?” Kirana hanya penasaran, siapa tahu ia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami mimpi berkelanjutan seperti ini.

Dokter Annelies mengangguk, “tentu, biasanya hal seperti ini bisa terjadi karena trauma pasca kecelakaan atau gangguan kecemasan.”

“Lalu apa mereka bisa sembuh? Ah, mak..maksud saya, apa mimpinya berakhir dan mereka bisa tidur dengan normal tanpa bermimpi macam-macam?”

“Tentu bisa Kirana, saya harap kamu juga bisa kembali tidur dengan nyaman.”

Setelah konsultasi dengan dokter Annelies, Kirana berjalan gontai menuju farmasi. Sebenarnya tempatnya berkonsultasi dengan seorang psikiter itu bisa di bilang bukanlah rumah sakit, melainkan klinik yang buka dari hari senin sampai sabtu. Dan kirana sepakat untuk konsultasi setiap sabtu.

“Kirana?”

Suara itu membuyarkan lamunan Kirana, ia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah Raga, ia duduk di kursi ruang tanggu farmasi. Mungkin sedang menunggu giliran namanya di panggil di bagian penyerahan obat.

“Pak Raga? Konsul lagi, Pak?” Kirana duduk di sebelah Raga, kebetulan kursinya juga kosong.

Raga mengangguk, “iya, kamu datang sendiri?”

“Iya sendiri. Bagas lagi enggak bisa antar, lagi ada urusan.”

Raga mengangguk-angguk, “konsul kedua ya?”

Kirana mengangguk, “iya, Pak.”

Ia jadi teringat akan ucapan terakhir Raga di klinik tempo hari mengenai gangguan tidurnya, kebetulan sekali mereka bertemu lagi di klinik ini. Kirana menimang-nimang pikirannya untuk bertanya mengenai gangguan tidur yang di alami oleh Raga, siapa tahu Raga bisa memberikan second opinion atas apa yang di alami oleh Kirana.

“Pak?”

“Ya?” Raga menoleh, membuat kedua mata mereka bertemu. Kirana jadi teringat akan Jayden dalam mimpinya, cara kedua pria itu saat menatapnya sangat sama persis.

“Sa..saya boleh tanya sesuatu sama Bapak?”

“Boleh, tanya apa, Na?”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, “soal gangguan tidur Bapak.”

Kirana dapat merasakan raut perubahan di wajah Raga, wajah itu agak sedikit tegang saat Kirana bertanya akan gangguan tidurnya. Kirana takut pria itu tidak nyaman.

“Boleh, ada apa? Apa yang mau kamu tanya?” dalam hati Kirana merasa bersyukur saat Raga mengatakan hal itu, pria itu tampak tidak keberatan sama sekali.

“Hhm.. Gangguan tidur Bapak seperti apa? Karena saya juga ngalamin gangguan tidur.”

Raga terdiam, matanya bahkan tidak berkedip saat Kirana berbicara seperti itu. Apa Kirana juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Pikir Raga. Dan lamunan itu buyar seketika ketika seorang apoteker memanggil nama Raga dari speaker farmasi.

“Jagaraga Suhartono.”

“Se..sebentar, saya ambil obat saya dulu. Nanti saya akan jelasin ke kamu.”

Kirana mengangguk, tetap pada tempatnya dan membiarkan Raga mengambil obat miliknya dahulu. Karena antrean farmasi semakin banyak dan kursi yang di tempati oleh Raga sudah di isi oleh orang lain, Raga mengirim pesan ke ponsel Kirana jika ia menunggu Kirana di parkiran rumah sakit.

Setelah selesai dengan pengambilan obat miliknya, Kirana berjalan menuju parkiran. Ternyata atasannya itu benar-benar menunggunya, Kirana langsung menghampiri Raga yang menunggunya tepat di depan mobil miliknya.

“Kamu sudah makan siang Kirana?” tanya Raga.

Kirana menggeleng pelan, “belum, Pak.”

“Bagaimana kalau kita ngobrol soal gangguan tidur saya sambil makan siang? Kamu enggak sibuk kan?”

Kirana ngerasa itu jauh lebih baik dari pada mereka harus berbicara di rumah sakit, lagi pula dia benar-benar butuh second opinion dari orang lain, yah sukur-sukur jika Raga memiliki gangguan tidur yang sama dengannya.

“Boleh.”

Keduanya pun langsung masuk ke dalam mobil Raga, Raga memilih restoran yang tidak jauh dari klinik mereka konsul. Kebetulan restoran itu juga enggak begitu ramai, mungkin karna sudah lewat jam makan siang juga.

“Jadi kita mau mulai dari mana nih?” tanya Raga begitu makanan mereka telah selesai di antar oleh pelayan restoran.

“Dari Bapak dulu aja.”

“Soal gangguan tidur saya ya?”

Kirana mengangguk.

“Oke.” Raga mengangguk-angguk kecil, “sebenarnya enggak bisa di bilang gangguan tidur juga sih, saya sama sekali enggak kesulitan buat tidur atau kebanyakan tidur. Ini lebih ke, mimpi yang sering saya alami.”

Mendengar separuh dari penjelasan Raga itu membuat seluruh bulu kuduk Kirana rasanya berdiri, apa jangan-jangan Raga juga mengalami mimpi yang sama sepertinya? Atau bahkan mimpi mereka saling berhubungan? Mengingat Raga juga ada di dalam mimpi itu sebagai Jayden.

“Mimpi?” Kirana mengulangi ucapan Raga.

“Iya mimpi, udah sekitar 3 bulan ini saya mimpi panjang terus-terusan setiap malam,” Raga terkekeh. “Anehnya mimpi itu terus berlanjut kaya sebuah series. Aneh pokoknya.”

Kirana mengulum bibirnya sendiri, ternyata benar, Raga mengalami mimpi yang sama dengannya. Mimpi berulang dan berlanjut bak film yang terus berlanjut setiap episode nya.

“Mimpi seperti apa, Pak?”

Sebelum menjawab, Raga menatap lekat pada kedua netra legam milik Kirana. Wajah wanita itu mengingatkannya akan Ayu, wanita yang di kencani dirinya kala ia menjadi tokoh Jayden di dalam mimpinya. Raga menyadari jika ada desiran halus di relung hatinya, mungkin ini karena mimpi sialan itu, pikirnya.

“Saya ada di tahun 1898, Na. Sulit jelasin soal mimpi saya ke kamu. Yang jelas di dalam mimpi itu konfliknya rumit, saya seperti kembali ke masa lalu,” jelas Raga, meski sudah bercerita sama Mbak Adel tetap saja Raga sungkan menjelaskannya pada Kirana. Ia takut di lebeli atasan aneh oleh bawahannya itu, meski Raga tahu Kirana enggak akan berpikir seperti itu.

Jantung Kirana semakin enggak karuan apalagi kala ia mendengar kalau Raga juga bermimpi di tahun yang sama dengannya, itu artinya mimpinya dan mimpi Raga bisa saja saling berhubungan.

“Ap..apa di dalam mimpi itu Bapak menjadi seorang Asisten Residen di Semarang bernama Jayden Van Den Dijk?” Tanya Kirana hati-hati.

Mendengar pertanyaan itu tubuh Raga membeku, dia sama sekali tidak salah dengar jika Kirana menyebutkan nama tokoh dalam mimpinya itu. Apa itu artinya Kirana juga mengalami mimpi yang sama dengannya dan berperan sebagai Ayu? Pikir Raga.

“Ka..mu bermimpi yang sama, Na?” Raga memelankan suaranya, tubuhnya maju beberapa senti agar suaranya terdengar oleh Kirana. Musik dari restoran yang tenang itu tetap saja agak sedikit menganggu pembicaraan keduanya.

Kirana mengangguk, “iya, Pak. Hampir dua bulan ini saya mimpi hal itu. Awalnya saya kira saya mengidap PTSD karena kecelakaan yang saya alami, karena setelah sadar dari kritis. Setiap malam saya selalu mimpi hal itu.”

Berbeda dengan Ayu yang mengalami kecelakaan kemudian bermimpi seperti ia kembali ke masa lalu, lain hal nya dengan Raga yang bermula dari ia demam tinggi. Sejak saat itu Raga mulai bermimpi tentang Jayden dan kisah cintanya yang pelik.

Raga pun sempat denial mengenai mimpinya, ia mengira itu hanya bunga tidur biasa yang ia alami kala demam. Namun semakin hari cerita dalam mimpinya itu kian berlanjut, membuat Raga tidak nyaman kala ia tidur. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk pergi berkonsultasi oleh psikiter, ia pikir mungkin dengan berkonsultasi ia bisa mendapatkan alasan kenapa ia bermimpi hal itu.

“Kayanya bukan karena PTSD, Na. Karena saya mimpi hal itu pun bermula karena saya sakit, waktu saya demam. Sampai saat ini pun saya ngerasa penjelasan medis dokter Annelies tentang mimpi yang saya alami itu gak membuat saya puas.” Raga ngerasa pasti ada hal yang tidak bisa di jelaskan secara medis kenapa ia bermimpi hal itu, dan kali ini kenyataan bahwa Kirana mengalami hal yang sama memperkuat dugaanya.

“Jadi menurut Bapak karena apa?”

“Kamu tau reinkarnasi?”

Kirana mengangguk.

“Saya awalnya enggak percaya sama hal itu, di agama kita pun gak ada hal seperti itu. Tapi saya coba cari tahu tentang Jayden dalam mimpi saya.” Raga merogoh sakunya, mengambil ponsel miliknya dan memperlihatkan artikel tentang Jayden lengkap dengan biografi nya pada Kirana.

“Jayden ada di dunia ini, Na. Beliau pernah hidup. Itu artinya Ayu dalam mimpi kita juga ada.”

Membaca utas mengenai Jayden semakin membuat Kirana bergetar, ia gak pernah menyangka akan mengalami hal di luar nalar seperti ini. Jika reinkarnasi yang di maksud Raga itu ada, apa mungkin ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan juga Jayden? Pikir Kirana.

Kirana mengembalikan ponsel milik Raga itu, ia mengusap wajahnya gusar. Hatinya tenang karena telah mendapatkan second opinion dari orang lain tentang mimpinya, tapi disisi lain ada hal yang membuatnya tidak tenang. Jika benar ia dan Raga adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden apa itu artinya ada kisah yang belum selesai.

“Apa Bapak berpikir kita adalah reinkarnasi dari Jayden dan Ayu?” Kirana menelan saliva nya susah payah.

Raga tidak bisa menjawab, jika kenyataanya seperti itu ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa dan apa yang belum selesai tentang kisah dua anak manusia di masa lalu itu.

“Kamu sudah bermimpi sampai mana, Na?” Tanya Raga mengalihkan pembicaraan.

“Sampai Ayu di pingit orang tua nya setelah Jayden melamarnya, Pak.” Ayu memang di pingit oleh orang tua nya, Bahkan wanita itu berhenti sekolah dan sedang menunggu pria dari Surabaya itu melamarnya. Miris memang nasib Ayu, meski anak seorang priyai. Ayu tetap di perlakukan sama seperti perempuan Jawa lainya oleh orang tuanya, yang menganggap jika anak perempuan tidak boleh keluar rumah dan tidak perlu menganyam pendidikan.

“Sudah sejauh itu rupanya,” Raga mengangguk-angguk. “Jayden dalam mimpi saya, dia baru—”

“Bagas?” Kirana yang tadinya sedang mendengarkan Raga bercerita itu tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Arah matanya menuju ke belakang Raga.

Raga akhirnya pun menoleh ke belakangnya, ternyata ada Bagas dengan seorang wanita yang sepertinya seusia denganya. Bukan hanya Kirana yang kaget, Bagas dan Raga pun sama kagetnya mereka sama sekali tidak menyangka akan bertemu di restoran ini.

“Kamu sama Pak Raga?” tanya Bagas.

Kirana mengangguk, ada sedikit kekecewaan di hatinya kala ia melihat Bagas justru pergi dengan wanita lain yang Kirana sendiri bahkan tidak mengenalnya. Wanita itu berdiri di belakang Bagas dengan gesture tidak nyamannya.

“Saya tadi bertemu Kirana di klinik, Gas. Kebetulan ada hal yang mau saya tanyain ke Kirana, jadi sekalian saja saya ajak dia makan siang.” Raga berusaha menjelaskan pada Bagas agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka, walau dalam hati Raga pun bertanya-tanya kenapa Bagas datang dengan wanita lain.

“Ahh..” Bagas mengangguk-angguk, “kalo gitu Kirana biar pulang sama saya aja, Pak.”

“Aku belum selesai bicara sama Pak Raga, Gas. Lagi pula kayanya kamu enggak pergi sendiri.”

Bagas salah tingkah, ia seperti sedang ketahuan selingkuh meski kenyataanya tidak begitu. “In..ini Astri, dia temanku, Na. Ibu nyuruh aku anterin dia buat ambil pesanan kue.”

“Yaudah selesain dulu aja tugas yang di suruh Ibu kamu, Gas.” Tidak ada nada ketus dalam nada bicara Kirana, itu hanya terdengar tegas.

Bagas terdiam, suasana di sekitar mereka seketika menjadi canggung. Bahkan Raga pun sudah tidak nafsu lagi dengan bebek goreng di depannya yang terlihat menggiurkan itu.

“Gapapa, Gas. Biar Kirana nanti saya antar pulang, dia juga kesini kan sama saya. Kamu selesaikan saja dulu urusan kamu.” Raga berusaha menengahi, tidak berniat untuk menambah suasana menjadi canggung kok.

Bagas mengangguk, “yaudah, saya titip Kirana ya, Pak. Terima kasih banyak.”

Raga mengangguk, “sama-sama, Gas.”

“Na, di lanjut lagi ngobrolnya.” Setelah mengatakan hal itu Bagas pergi meninggalkan meja Kirana dan Raga, bahkan wanita yang tadi datang bersama nya hanya mengangguk canggung pada Kirana dan Raga, kemudian berlari kecil mengekori Bagas kembali.

Kirana kembali duduk, perasaanya benar-benar campur aduk sekarang ini. Dia kesal karena Bagas enggak jujur dengannya kalau ia pergi bersama wanita lain meski tadi Bagas mengenalkan wanita itu sebagai temannya, di sisi lain ia juga menikirkan kata-kata Raga soal reinkarnasi Ayu dan Jayden. Jika ucapannya benar, itu artinya ada cerita yang harus mereka berdua selesaikan bukan? Pikir Kirana.

Bersambung..