Bab 13. Aku Tidak Cemburu

Di dalam mobil saat perjalanan pulang hanya ada hening tercipta di antara Bagas dan Asri, sejak mereka berdua pergi bersama atas keinginan orang tua Bagas, sejujurnya Asri tidak terlalu nyaman. Dia senang bisa bersama Bagas, namun disisi lain ia sendiri tidak tahan dengan sikap dingin laki-laki itu.

Asri paham dan sadar diri jika Bagas berusaha menjaga hati pasangannya dengan menjaga jarak dengan Asri, ia memaklumi itu. Namun tetap saja rasanya sedikit menyakitkan ketika ia seperti di abaikan begitu saja, bahkan sejak mereka berangkat pun hanya Asri yang mencari topik obrolan.

Di liriknya pria di sebelah kanannya itu, Bagas masih bungkam, Matanya terus memandang ke depan jalan sana yang agak sedikit padat, seolah-olah tidak ada orang lain di sebelahnya. Asri sungguh tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

“Bagas?” Panggilnya, membuat pria itu menoleh tanpa ekspresi apapun, mungkin di kepalanya ia tengah meramu kata untuk meyakinkan pada wanita bernama Kirana tadi bahwa mereka hanyalah teman.

“Tadi, pacarmu?”

Bagas mengangguk, “iya, namanya Kirana.”

“Um..” Asri mengangguk-angguk, benar-benar pertanyaan basa basi meski sejujurnya ia sudah tau. “Cantik, sudah berapa lama sama dia?”

“6 tahun, dari kami masih kuliah.” Bagas menekan klakson mobilnya dengan sedikit kencang, membuat Asri memejamkan matanya karena sedikit terkejut. Sepertinya Bagas sedang kesal namun hanya bisa diam, marahnya memang seperti itu.

“Lama juga yah, nanti pas ulang tahun Ibumu dia datang kan?” jujur saja Asri benar-benar hanya basa basi, dia benci suasana hening dan canggung seperti tadi. Dalam hati ia berdoa agar Bagas tidak menjawabnya dengan nada ketus karena ia terus bertanya.

“Gue undang dia kok.”

“Kata Ibu, kalian satu kantor juga ya?”

Kali ini Bagas menoleh pada Asri, kedua mata mereka pun bertemu. Sebenarnya di kepala Bagas saat ini adalah ia penasaran kenapa Asri terus bertanya-tanya tentang Kirana, apa wanita itu akan mengadu pada Ibunya jika tadi mereka bertemu dengan Kirana di restoran? Pikir Bagas.

“Iya, satu kantor. Sri?”

“Ya, Bagas?”

“Ibu tuh suka ngomongin soal Kirana ke lo gak?” Bagas cuma penasaran aja, mungkin saja Ibu sudah menjelaskan perihal Kirana pada Asri. Mengingat saat pertama kali mereka bertemu Bagas sempat menolak perjodohan mereka.

“Enggak kok, Gas. Ibu lebih sering ceritain soal kamu.” Jauh dari kenyataan, Asri sedikit banyaknya sudah tahu tentang Kirana dari Ibunya Bagas, tentu saja dari sudut pandang wanita itu menilai Kirana.

Yang Asri tahu adalah Kirana bukan perempuan yang berasal dari keluarga yang baik, reputasi keluarganya buruk karena korupsi yang mengakibatkan perusahaan lampu yang di dirikan oleh mendiang Bapaknya Kirana itu terpaksa gulung tikar, Bapaknya Kirana kemudian mengalami depresi berat hingga mengakhiri hidupnya.

Setelah itu, banyak barang-barang di rumah Kirana yang di jual untuk melunasi hutang-hutang perusahaan, bahkan sampai saat ini pun hutang-hutang itu belum lunas. Dan Ibu nya Bagas enggak setuju putranya itu menjalin hubungan dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga baik-baik.

Kira-kira seperti itu yang Asri tahu dari Ibunya Bagas, bahkan Ibunya Bagas pernah berpikir jika Kirana memacari Bagas hanya untuk membantunya melunasi hutang-hutang keluarganya. Tapi saat Asri bertemu dengan Kirana, wanita itu cukup tegas. Asri enggak bisa menilai hanya dalam sekali pertemuan, namun ia yakin Bagas tidaklah mungkin mengencani Kirana jika wanita itu tidak baik. Apalagi hubungan mereka sudah bertahan selama 6 tahun, itu tidaklah mudah.

“Serius?” tanya Bagas sekali lagi meyakinkan.

“iya serius, Gas.”

“Bagus deh kalau begitu.”

Begitu sampai di rumah, Ibu langsung menyambut Bagas dan Asri dengan gembira. Sungguh, wajahnya berbunga-bunga seperti menyambut anak dan menantunya yang baru saja pulang bulan madu.

“Maaf yah Buk lama, tadi restonya penuh. Terus juga ada kue yang kurang, jadi kita nunggu dulu sampai selesai di packing,” jelas Asri.

Bagas menuruni satu persatu dus berisi kue-kue yang baru saja mereka ambil barusan dan menaruhnya di meja makan, setelah itu dia memeriksa ponselnya, mengirimi Kirana pesan, bertanya pada wanitanya itu sudah pulang ke rumah atau belum. Bagas resah, Kirana mungkin saja salah paham padanya dan Asri dan ia harus segera menjelaskannya.

“Bagas, main HP terus kamu. Ini loh Asri di ajak ngobrol dulu, Ibu kan lagi repot.” Ibu memperingati.

“Buk, harus Bagas banget yang nemenin ngobrol Asri? Dia juga lagi ngobrol sama Kanes di ruang tamu kan?” Bagas ngerasa Ibu kaya terus menerus cari cara supaya ia dan Asri bisa dekat, Bagas enggak suka sama hal itu. Bagas tidak membenci Asri, ia hanya tidak suka di paksa melakukan hal yang tidak dia inginkan.

“Kanes mau Ibu suruh bantuin Ibu di dapur. Kamu ngapain sih main HP terus?”

“Buk, tadi waktu di restoran, Bagas ketemu sama Kirana. Dia liat Bagas sama Asri, Buk. Bagas takut Kirana salah paham. Bagas mau jelasin ke Kirana kalo Bagas sama Asri gak ada apa-apa.”

“Halah perempuan itu lagi,” Ibu mendengus. “Seharusnya bagus kalau dia lihat, biar dia bisa ngaca kalo ada perempuan yang jauh lebih baik dari pada dia. Lagian cepat atau lambat Asri itu bakalan jadi Istri kamu.”

“Yang mau nikah itu siapa sih, Buk? Yang bakalan menjalani rumah tangga itu siapa? Bagas kan? Bagas sayang sama Kirana, Buk. Bukan sama Asri.”

“Kamu pikir Ibu dan Ayah akan merestui kamu dan Kirana? Enggak, Gas. Sampai kapanpun enggak akan. Jangan berharap kamu!” Hardik Ibu dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

Sepeninggalan Ibu, Bagas mengusap wajahnya gusar. Ia duduk di kursi meja makan di sana sembari memandangi bubble chat nya dengan Kirana yang belum mendapatkan balasan.

Tidak lama kemudian Bagas merasa ada kedua tangan menepuk bahunya lembut, ia dongakkan kepalanya. Ternyata itu Kanes adiknya, ia menarik kursi di samping Bagas dan duduk di sana.

“Mas berantem lagi sama Ibu?” Tanya Kanes, dia membuka satu persatu kotak berisi jajanan pasar yang tadi Bagas taruh.

“Iya,” jawab Bagas sekena nya.

“Soal Mbak Kirana?” Tebak Kanes.

Bagas mengangguk, “besok pas ulang tahun Ibu, Mas ngajak Mbak Kirana kesini. Kamu temenin dia yah, Nes.”

Awalnya Bagas enggak mau ngajak Kirana ke rumahnya dalam rangka acara ulang tahun Ibu, tapi Kirana memaksa. Wanita itu bilang justru di saat-saat seperti itulah Kirana harus hadir agar dapat merebut hati Ibunya, Bagas pikir ada benarnya juga, walau sedikit takut jika Kirana akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Pada akhirnua Bagas menyetujui hal itu.

Makanya dia nyuruh Kanes buat nemenin Kirana besok jika wanita itu datang ke pesta ulang tahun Ibunya, ia tidak ingin Kirana sendirian dan merasa di asingkan terlebih besok ada Asri. Ibu pasti akan lebih sering bersama Asri.

Kanes senyum, tentu saja Kanes akan dengan senang hati menemani Kirana. “Iya tenang aja, ntar aku temenin kok. Terus kenapa muka Mas kusut kaya gitu? Kaya kemeja belum di setrika tau gak?”

“Kirana liat Mas sama Asri di restoran waktu kami lagi ambil pesanan.” Bagas menggeleng, “Mas juga enggak tau kenapa dia bisa ada di sana sih, sama atasan Mas di kantor pula. Tapi yah, buat saat ini yang Mas takutin tuh cuma Kirana salah paham aja sama Mas.”

Kanes yang lagi makan risol yang dia ambil itu langsung menyenggol kaki kakak nya itu dari bawah meja. “Samperin lah, Mas. Jelasin, ntar keburu Mbak Kirana salah paham. Sana buru samperin.”

“Ibu nyuruh Mas nemenin Asri ngobrol,” Bagas sedikit berbisik, takut Ibu ataupun Asri yang sedang memeriksa barang-barang mereka beli di ruang tamu dengar.

“Mbak Asri biar aku yang nemenin, udah sekarang Mas pergi aja ketemu sama Mbak Kirana dulu.”

“Beneran?” tanya Bagas sekali lagi, Adiknya itu memanglah pengertian. Kanes adalah satu-satunya orang yang mendukungnya dengan Kirana.

“Iya beneran, kalo nanti Ibu nanya, aku bilangnya Mas Bagas pergi sama Mas Satya.”

Bagas tersenyum, tangan besarnya itu terulur mengusap pucuk kepala Kanes dengan gemas. Enggak menyangka Adik kecil yang selalu ia lindungi itu kini sudah bisa di ajak kongkalikong dengannya.

“Baik banget sih! Yaudah Mas pergi dulu yah.” baru saja Bagas menyambar kunci mobilnya kembali, tangan kirinya langsung di tahan oleh Kanes.

“Pulangnya beliin roti bakar yah.” Kanes menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, persis anak kecil yang di janjikan makanan manis.

“Iya, ntar Mas beliin.”


“Sekali lagi terima kasih, Pak.” Kirana membuka seatbelt miliknya.

“Sama-sama, Na.”

“Kalo gitu, saya masuk ya, Pak. Bapak hati-hati di jalan.” Kirana hendak membuka pintu mobil milik Raga, namun pria itu menahan tas miliknya.

Kirana menoleh kembali, kedua mata mereka saling bertemu tapi kali ini Raga terlihat kikuk. Dengan cepat ia menarik tangannya dari tas milik Kirana.

“Ada apa, Pak?”

“Na, kalau ada sesuatu yang kamu mau tanyakan.” Raga berhenti sebentar, dia sendiri enggak mengerti kenapa rasanya canggung dan degup jantungnya menggila saat Kirana menatapnya.

“Soal mimpi kita,”

“Ya?” Kirana mengangguk, menunggu kalimat Raga seterusnya. Ia yakin ada kata-kata lanjutan yang ingin Raga ucapkan padanya.

“Mak..maksud saya, kita bisa cari tahu ini sama-sama. Tentang, Ayu, Jayden atau soal reinkarnasi,” lanjut Raga.

Kirana mengangguk, tentu saja ia akan sering-sering bertanya pada Raga mengenai mimpinya. Karena Raga satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya saat ini, maksudnya karena mereka mengalami hal yang sama Raga jauh pasti lebih mengerti kan? Pikir Kirana.

“Iya, Pak. Saya pasti tanya sama Bapak.”

“Maaf kalo terdengar gak masuk akal soal apa yang saya cari tau, Na.”

Menurut Raga begitu, bahkan Mbak Adel saja yang ia ceritai lebih dulu mengenai mimpinya, Jayden dan reinkarnasi saja tidak semerta-merta percaya. Walau pada akhirnya Mbak Adel sedikit percaya sama penjelasan Raga, itu pun Raga harus mengumpulkan bukti-buktinya tentang seseorang yang bisa saja reinkarnasi dari tokoh di masa lalu. Raga bersusah payah mengumpulkan jurnal-jurnal hanya untuk membuktinya sendiri, jika mimpinya adalah israyat kehidupannya di masa lalu.

“Seenggaknya saya lebih percaya sama yang Bapak bicarain, kalau gitu saya masuk yah, Pak.” Kirana berpamitan, sejujurnya ia ingin membicarakan hal ini lebih banyak namun suasana hatinya belum membaik pasca ia melihat Bagas bersama wanita lain. Bagas hutang penjelasan padanya.

“Iya, silahkan.”

Kirana menunduk dengan sopan, kemudian membuka pintu mobil Raga dan berlalu dari sana. Kirana enggak langsung masuk ke dalam rumahnya kok, dia menunggu hingga mobil yang Raga kendarai keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah itu, barulah ia masuk ke dalam rumah.

Namun belum sampai ia menutup pintu rumahnya, mobil milik Bagas bergantian memasuki pekarangan rumahnya. Kirana jadi mengurungkan niatnya dan berjalan kembali ke teras, Bagas keluar dari dalam mobilnya dengan wajah penuh bersalah khas miliknya. Pria itu juga berlari kecil agar cepat sampai di teras rumah Kirana.

“Sayang, baru pulang?” Tanyanya.

“Duduk.” Kirana melirik ke arah kursi yang ada di teras rumahnya, memberi isyarat pada Bagas agar mereka bicara sambil duduk di sana.

“Aku baru sampai rumah, Gas.” Jawabnya, ketika ia dan Bagas sudah duduk.

“Sama Pak Raga?”

Kirana mengangguk, “um.”

“Sayang, aku mau jelasin soal perempuan yang di resto tadi.” Dada Bagas sedikit naik turun, ia perlahan mengatur nafasnya. Mungkin karena tadi ia sedikit berlari saat hendak menghampiri Kirana.

Ah iya, rumah Kirana cukup luas. Satu-satunya peninggalan dari Bapak yang hanya bisa Kirana dan Ibu pertahankan. Meski tidak banyak barang-barang di dalamnya, hampir semuanya ludes di jual oleh Ibu dan Kirana untuk membayar hutang.

Rumah Kirana itu ada 2 lantai, 4 kamar tidur yang terletak di lantai 1 dan 2, terdapat taman yang cukup luas juga di depannya. Terlebih rumah Kirana itu di penuhi pepohonan yang menjadikan rumah itu sendiri terlihat sejuk. Ibu suka sekali menanam tanaman apa saja, mulai dari tanaman hias hingga herbal.

(Visualisasi rumah Kirana.)

Kalau kata Almira yang sudah pernah ke rumah Kirana tuh, rumahnya Kirana mirip rumah Indis, dasar-dasarnya seperti rumah arsitektur Eropa hanya saja ruangnya lebih tinggi dan jendela nya lebih banyak untuk menyesuaikan pada iklim tropis. Ya, tapi memang seperti itu adanya. Rumah ini Bapak sendiri yang mengusung konsepnya bahkan mendesainya sendiri, walau terbilang sarjana arsitektur, Bapaknya Kirana justru terjun ke dunia bisnis yang sama sekali bukan ranahnya, entah apa alasannya hanya Bapak yang tahu.

“Dia teman kamu kan, kan kamu udah jelasin ke aku tadi,” jawab Kirana santai, seolah-olah hal itu bukan gangguan baginya meski dalam hati dia sendiri menuntut Bagas untuk segera menjelaskan. Kirana memang begitu.

“Iya temanku, maaf aku gak bilang kalau aku di suruh Ibu buat nemenin dia ambil snack di resto,” jelas Bagas.

“Iya, gapapa. Tapi kan sekarang kamu udah bilang.”

“Kamu marah yah?”

Kirana menggeleng, “enggak marah, Gas. Cuma jadi gak mood aja buat aku kenapa kamu gak bilang dari awal.”

Kedua bahu Bagas merosot, memang ini semua salahnya. Harusnya dia bisa bicarakan ini dari awal agar Kirana enggak berpikiran macam-macam, ya walau siapa sangka justru mereka bertemu di sana.

“Maafin aku, aku sama Asri gak ada apa-apa. Bahkan kami enggak dekat, dia cuma teman SMP ku aja dulu. Yang kebetulan orang tua nya memang kenal sama orang tuaku.”

Kirana terkekeh, meski suasana hatinya belum kunjung membaik. Setidaknya Bagas sudah menjelaskan perihal Asri padanya, ia yakin Bagas jujur dan Kirana percaya dengannya. Kirana itu dewasa dan enggak mau ambil pusing persoalan, yang terpenting baginya Bagas jujur dan ia akan percaya. Dia gak mau memperumit persoalan.

“Iya sayang, iya.”

“Udah gak marah kan?”

“Loh dari tadi aku gak marah, aku kan cuma bilang kalo gak mood aja. Bukan berarti marah kan?” Kirana menaikan satu alisnya.

“Iy..iya, tapi aku jadi enggak enak sama kamu.” wajah bersalah Bagas masih terukir disana, membuat Kirana berdiri dari kursinya dan mengajak pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Jangan di bahas lagi yah, aku bikinin teh apel mau? Tadi aku di beliin pie susu sama Pak Raga.” Kirana terkekeh, ia mengeluarkan paper bag berisi pie susu yang Raga belikan untuknya, Raga membeli pie susu awalnya untuk keponakannya namun siapa sangka jika pria itu juga membelikan Kirana.

“Kamu tadi bisa ketemu dia di klinik gimana ceritanya, sayang?” Bagas duduk di meja pantry, memperhatikan Kirana menata pie susu itu di atas piring.

“Dia pasiennya dokter Annelies juga.”

“Hah?! Serius?” pekik Bagas kaget bukan main.

Kirana mengangguk, “iya, serius. Udah dua kali aku ketemu sama dia, kebetulan hari dan jam konsul kita selalu sama.”

“Dia sakit?” Bagas menggeleng kepalanya, merasa kalimat itu kurang tepat. “Ma..maksud aku, dia ada masalah sama psikisnya juga?”

Kirana yang sedang membuatkan teh apel untuk Bagas itu berhenti, dia ingin bercerita mengenai mimpinya dan Raga yang sama dan segala hal tentang reinkarnasi yang Raga cari tahu sendiri. Tapi mungkin topik ini akan sangat sensitif bagi Bagas, mengingat Ayu dan Jayden di dalam mimpinya dan Raga adalah sepasang kekasih.

“Ak..aku kurang paham kenapa. Aku enggak tanya-tanya ke dia.”

Bagas mengangguk kecil, “hhmm.. Terus tadi kamu ke resto sama dia ngomongin apa? Kerjaan?”

Kirana mengulum bibirnya, kepalanya memutar otak bagaimana membuat alibi pada Bagas. Ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya mengenai apa saja yang ia bicarakan pada Raga di sana, selain terdengar tidak masuk akal itu mungkin akan membuat Bagas cemburu.

“Soal efek dari obat yang dokter Annelies kasih ke aku, ak..aku cuma tanya-tanya soal obatnya aja. Sama soal proyek yang di pegang Bang Satya.”

“Yang di Surabaya itu?”

“Um,” Kirana mengangguk.

“Aku kira apa.” Bagas tersenyum, ia kemudian menyesap teh yang sudah Kirana buatkan untuknya.

Bersambung...

Kanesa Kamala Sura