Bab 14. Calon Suami Ayu

Samarang, 1898.

Pagi itu cuitan dari burung yang hinggap di jendela kamar Ayu, serta kokokan ayam milik Romo seperti sebuah suara ternyaman bagi Ayu dari pada suara celoteh dan kekehan yang memenuhi penjuru ruang tamu rumahnya. Di temani oleh Ibu nya Adi, Ayu di dandani secantik mungkin dengan riasan sederhana yang tampak anggun di wajah dahayunya.

Rambut panjang itu di kepang, di hiasi melati-melati yang Ibu nya Adi ambil dari kebun tak jauh dari rumahnya. Tak ada senyum pada wajah dahayu itu, wajahnya temaram bagai malam yang hanya di sinari oleh sedikit cahaya dari rembulan.

Di depan sana ada keluarga dari pria yang akan melamar Ayu, anaknya Bupati Soerabaja yang bernama Dimas. Ayu agak sedikit lupa pada parasnya karena mereka hanya bertemu sekilas saat pengangkatan bupati dulu, sudah seminggu ini ia tak dapati kabar Jayden sedikit pun. Bahkan untuk bertemu dengan Adi pun sulit.

Romo melarang Adi bertemu dengan Ayu karena Adi di anggap sekongkol dengan Jayden. Pria itu di pindah kerjakan oleh Romo nya untuk berjaga di ladang yang jauh dari rumah Ayu berada, hanya sekali Ayu bertemu dengan Adi ketika malam hari. Adi hanya mengatakan jika ia baru saja di beri tugas untuk mengantarkan surat ke kediaman Asisten Residen, ya, kediaman Jayden.

Namun Adi tidak tahu apa isi surat itu, ia hanya di tugaskan untuk mengantar oleh Tuan Gumilar kemudian kembali ke ladang tanpa di perbolehkan berbincang banyak oleh Jayden.

sampun rampung, Raden Ayu,” ucap Ibu nya Adi setelah riasan pada rambut Ayu tertata dengan rapih.

Ayu mengangguk kecil, “matur suwun, Buk.”

Bisa terlihat dari raut wajah Ayu yang tidak ada senyum sedikitpun, Ibu dari Adi itu ingin sekali menyematkan kata penenang pada wanita muda yang malang itu. Namun sayangnya, Ibu dari Ayu sudah datang. Masuk ke kamar Ayu untuk menjemput Ayu dan di perkenalkan pada pihak dari keluarga laki-laki.

Wis rampung, nduk?” panggil Ibu.

Ayu tidak menjawab, hanya mengangguk kecil kemudian berdiri dan menghampiri Ibu. Sungguh pasrah dirinya, mau memberontakpun bisa apa ia? Ia hanya seorang wanita, terlebih Ayu tidak tangguh karena sakit yang di deritanya. Ayu tidak dapat hidup sendiri tanpa kedua orang tua nya jika ia memberontak.

Ayu di bawa Ibu keluar dari kamarnya, di genggam tangan kurus itu dan di pamerkan ia di depan keluarga Dimas. Ayu melirik sekilas pada wajah pria yang kelak akan menjadi Suaminya, wajahnya memanglah tampan, namun entah mengapa seperti ada yang mengganjal baginya.

“Duduk di sebelah sana, nduk.” Ibu menyuruh Ayu untuk duduk di sebelah Dimas.

Ayu menurut, ia duduk di sebelah pria itu dengan wajah menunduk tanpa senyuman. Hanya Ayu dan Ibu yang tidak tersenyum di ruangan itu.

“Cantik,” bisik Dimas tepat di sebelah Ayu. Walau Ayu tetap bergeming.

“Jadi kita segerakan saja acara pernikahannya,” ucap Ayah Dimas, dia adalah Bajradaka Dhinakara seorang Bupati Soerabaja sekaligus saudagar, ya Ayah dari Dimas itu memiliki toko kopi yang besar di Soerabaja.

“Bulan depan adalah bulan yang baik untuk menikahkan keduanya, menurut perhitungan saya rezeki mereka akan lancar jika menikah di tanggal 12, Bagaimana?” Tanya Romo.

Sungguh, Ayu rasanya ingin menangis. Matanya sudah memanas dan yang bisa ia lakukan hanyalah meremat kain yang ia pakai. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

“Kau mau menemaniku melihat-lihat kebun milik Romo mu, Ayu?” Tanya Bagas. Ia menyerahkan begitu saja perihal pernikahan kepada kedua orang tua mereka.

Karena tidak tahan ingin sekali menangis, Ayu akhirnya mengangguk kecil. Setelah Dimas berpamitan kepada kedua orang tua mereka, keduanya berjalan di kebun milik orang tua Ayu.

“Kau tampak tak begitu nyaman berada di tengah obrolan orang tua kita ya?” Ucap Dimas tanpa aba-aba. Ayu berjalan di belakangnya, sementara Dimas berjalan di depan sembari kedua tangannya memangku di belakang.

“Sedikit,” cicit Ayu.

Ucapan Ayu itu membuat Dimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah Ayu, dan ini untuk pertama kalinya kedua netra milik pasangan pribumi itu saling pandang. Dimas sudah jatuh cinta pada saat Ibu nya Ayu membawa wanita itu keluar dari kamarnya.

“Cantik, kau benar-benar cantik. Suaramu lembut, tak salah aku mau di jodohkan dengamu,” gumamnya sembari tersenyum.

“Jika aku tidaklah cantik, apa kau akan tetap mau di jodohkan denganku?” Yang Ayu nilai dari Dimas adalah, Dimas selalu memuji parasnya hanya itu. Tak ada hal lain yang Dimas puji darinya.

“Tergantung, tapi mungkin tidak. Aku tidak mau di jodohkan dengan pribumi jika tidak memiliki paras cantik. Lebih baik aku menikah dengan wanita Eropa.”

Mendengar hal itu, Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak menyangka. Dimas begitu arogan, mungkin ini alasan kenapa sedari tadi Ayu merasa ada yang mengganjal saat ia pertama kali melihat Dimas di ruang tamu.

Ayu tidak lagi mengikuti langkah kaki Dimas yang masih sibuk menyusuri kebun milik Romonya, ia justru terdiam saat kakinya tak sengaja menginjak sesuatu. Melihat Dimas yang semakin jauh, Ayu justru beringsut untuk berjongkok dan mengambil benda yang ia injak barusan.

Itu adalah sebuah cincin, cincin yang di berikan Jayden tempo hari. Yang di buang oleh Romo nya dan Ayu menemukannya di kebun ini. Di ambil nya cincin itu dan Ayu bersihkan, hatinya sedikit lega karena telah menemukan benda pemberian Jayden kembali. Saking bahagianya telah menemukan kembali cincin itu, Ayu menitihkan air mata. Ia peluk cincin itu dalam genggam jemarinya.

“Kau kenapa bersimpuh, apa yang kau lakukan Ayu?”

Ayu yang masih terisak itu beringsut mendongakkan kepalanya. Itu Dimas ternyata, ia buru-buru bangun dan menyembunyikan cincin itu di belakang tubuhnya. Masih ia genggam erat cincin itu, akan ia simpan dengan baik.

“Bukan apa-apa, Mas.”

“Kau menangis? Apa yang kau sembunyikan dariku?” arca wajahnya menyatu, kening itu mengkerut menatap Ayu dengan bingung. Dimas maju selangkah, rasa penasarannya itu membuatnya membalikan tubuh Ayu, ia ingin tahu apa yang Ayu sembunyikan darinya.

“apa yang kau sembunyikan?!”

“Bukan apa-apa, Mas.” Ayu masih bersikeras untuk menyembunyikan cincin itu. Meski Dimas masih terus berusaha mengambil cincin itu darinya.

“Kalau bukan apa-apa, biarkan aku melihatnya,” ujarnya teguh pada pendiriannya.

Ayu menggeleng, karena sedikit jengkel dengan cepat Dimas menarik Ayu membalikan tubuh wanita kurus itu dan mengambil cincin yang ada pada genggaman Ayu. Tenaga Dimas itu besar, Ayu yang tidak sekuat itu langsung kalah darinya.

“Mas, kembalikan!” Ayu berusaha menggapai cincin itu dari tangan Dimas.

“Cincin ini?” Dimas seperti mengenali cincin itu, tidak asing baginya seperti ia pernah melihat seseorang membeli cincin itu. “Jayden?”

Mendengar nama Jayden di sebut, Ayu terdiam. Tangannya tak lagi berusaha meraih cincin yang ada pada genggaman Dimas lagi, kedua matanya membulat. Ia tidak salah dengar, Dimas benar-benar menyebut nama Jayden bukan?

“Kau kenal Jayden?” tanya Dimas.

Ayu tidak menjawab, bibirnya bergetar. Seharusnya ia tidak sekaget itu ketika Dimas menyebut nama Jayden. Biar bagaimana pun orang tua Dimas adalah Bupati Soerabaja dan Jayden turut di undang dalam rangka hari pengakatannya. Tentu saja harusnya mereka saling mengenal.

“Kembalikan cincin miliku, Mas.” Ayu memegang lengan Dimas, memohon pada calon Suaminya itu agar di kembalikannya cincin miliknya itu.

“Kau kekasihnya Jayden?” ucap Dimas tanpa di sangka-sangka, ada seringai jahil di sudut bibirnya.


Sudah dua hari ini pria Belanda itu masih termenung ketika selesai dengan pekerjaanya, memandangi surat yang di tulis tangan oleh orang tua dari wanita yang ia cintai. Otaknya membeku mendapati penolakan, padahal harusnya ia sudah siap jika mendapatkan penolakan.

Karna pada dasarnya tidaklah mudah menikahi pribumi dari kalangan bangsawan, bahkan jika keluarga besarnya tahu pun Jayden bisa menebak ia pasti akan mendapatkan penolakan. Bahkan ia pun bisa di pulangkan ke negaranya.

Jayden kembali menarik laci di meja kerjanya, menyimpan surat itu di sana kemudian menguncinya. Tubuh tegap nan tinggi itu menelusuri lorong kantor keresidenan, ia hendak pulang ke kediamannya. Kalau ingatannya tidak salah, hari ini seharusnya Jacob kembali untuk memeriksa bibit-bibit bunga melati yang di tanam di taman samping kediamannya.

“Kita kembali ke rumah, meneer?” tanya kusir pribadinya ketika Jayden keluar dari kantor keresidenanya. Pria yang hanya berbeda 5 tahun darinya itu sudah menjadi kusir yang setia bagi Jayden.

“Iya, Pak. Langsung kembali ke rumah saja,” jawabnya lesu.

Di bukakan pintu dokar itu dan Jayden masuk ke dalamnya, begitu dokar itu hendak akan meninggalkan kantor keresidenan Samarang. Ada dokar lain yang berlawanan arah dengannya, kusir yang mengendarai dokar milik Jayden itu menarik tali kuda miliknya agar dokar itu berhenti.

wonten menapa, Pak?” tanya Jayden dengan sopan sewaktu dokar mereka berhenti.

“*Nguwun pangapunten, meneer. ada dokar lain yang berhenti di depan kita.”

Jaydan tak menanggapi lagi ucapan kusir nya itu, ia membuka pintu dokarnya dan keluar dari dalam dokar mewah yang ia tunggangi. Ternyata dokar yang berhenti di depan dokarnya adalah dokar milik Dimas, kawan Jayden sekaligus anak Bupati Soerabaja itu sudah tiba di Samarang rupannya.

Ik wilde je eigenlijk op kantoor ontmoeten, maar blijkbaar hebben we elkaar hier ontmoet.” (aku sebenarnya ingin menemuimu di kantor, tapi kita malah bertemu disini.) Dimas tersenyum pada Jayden, wajah khas angkuhnya itu menatap Jayden penuh percaya diri.

“Kau sudah di Samarang rupanya,” ucap Jayden.

Dimas mengangguk, “sejak kemarin. Mungkin besok aku akan segera kembali ke Soerabaja untuk mengurus pernikahanku.”

“Kapan kau akan menikah?”

Dimas menyeringai, “bulan depan, akan ku pastikan kau datang. Ah, tunggu sebentar ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.” Dimas menunjuk dokarnya sendiri.

Jayden memang melihat ada siluwet wanita dengan kebaya berwarna putih duduk di kursi dokar Dimas, wajahnya menunduk jadi Jayden tidak bisa melihat jelas siapa wanita yang duduk dengan tidak nyaman disana.

“calon istrimu?” Jayden menaikan satu arca wajahnya dan menebak.

“benar,” Dimas menjentikkan tangannya, ia taruh satu telunjuknya itu tepat di dada Jayden. “Kau pasti akan terkejut saat tahu siapa calon Istriku, meneer.

Tak ada pikiran apapun dalam kepala Jayden, seluruh pemikirannya sudah tersita bagaimana ia bisa mendapatkan hati orang tua Ayu dan dapat menikahi wanita itu. Ia bahkan tidak berminat menebak siapa wanita yang di jodohkan oleh orang tua Dimas itu.

Pria pribumi angkuh itu menjauh dari Jayden, membuka pintu dokar miliknya dan menarik tangan wanita yang ia bilang akan menjadi calon Istrinya itu. Dan betapa terkejutnya Jayden ketika ia melihat siapa wanita yang keluar dari dalam dokar itu, matanya membulat dan kedua kakinya begitu saja melangkah mendekat ke arah wanita itu.

“Raden Ayu?” gumam Jayden.

Namun belum sempat Jayden mendekat ke arah Ayu, Dimas sudah langsung menempatkan Ayu tepat di belakang tubuhnya. Menghalangi Jayden dan Ayu untuk saling bertatapan secara langsung.

“Wah.. Kalian langsung saling mengenal?” Dimas geleng-geleng kepala. “Is hij jouw minnaar?” (apakah dia kekasihmu?)

Jayden tidak menjawab, kedua bahu tegapnya itu naik turun menahan amarahnya. Ia bukan marah dengan Ayu tapi dengan keadaan yang sungguh tak adil baginya, Jayden bukan merasa pria yang lebih baik dari pada Dimas. Tapi setidaknya ia bukan penjudi, pemabuk dan perokok berat.

Dan lagi pula, Jayden mengenal betul bagaimana Dimas memperlakukan seorang wanita. Ia tidak bisa bayangkan seperti apa nanti jika Ayu akan menikah dengan pria pribumi angkuh itu.

“Dia kekasihku,” ucap Jayden penuh penekanan.

Dimas terkekeh, ia menatap Jayden dan Ayu yang masih terus menunduk secara bergantian. “Kau kekasihnya, Ayu?”

Ayu hanya diam, ia masih bergeming. Ia menahan dirinya untuk tidak menangis atau berlari ke pelukan Jayden. Ah, tidak. Menatap pria Belanda itu pun Ayu tidak sanggup. Jayden pasti sudah membaca isi surat penolakan peninanganya yang Romo tulis.

“Dimas, biarkan Aku dan Raden Ayu berbicara sebentar saja,” Jayden memohon. Ia ingin sekali bicara sebentar dengan Ayu, mengatakan pada wanita itu jika Ayu hanya perlu bersabar dan Jayden akan mengusahakan segala cara agar mereka bisa bersama.

“Biarkan aku dan Sir Jayden bicara sebentar, Mas.” gumam Ayu.

Dimas menoleh ke arah wanita itu, karena sudah di jodohkan dan hendak menikah dalam waktu dekat, Dimas merasa Ayu adalah miliknya. Ada rasa egois dan desiran kecemburuan ketika ia mengetahui jika kekasih yang di maksud Jayden adalah Ayu. Niatnya pun datang menemui Jayden dengan membawa Ayu adalah untuk memamerkan Ayu pada Jayden, bahwa ia menang atas wanita pribumi yang di cintai pria Belanda itu.

Kalau boleh jujur, Dimas tidaklah begitu tulus berteman dengan Jayden. Terkadang ada saat-saat dimana ia membenci sikap Jayden yang menurutnya naif dan sok ramah terhadap pribumi, dan saat ini adalah saat yang paling tepat menurut Dimas untuk bisa melihat Jayden terluka atas miliknya yang Dimas rebut.

“Bicaralah di belakang dokar ini. Aku tidak mengizinkan kalian bicara terlalu lama.”


Jakarta, 2025.

Raga mengerjapkan matanya, masih terasa mengantuk namun alarm yang sudah ia atur di ponselnya itu terus berdering. Setelah mematikan alarm miliknya, pria itu bangkit dari ranjangnya. Raga menghela nafas, mimpinya semalam menggantung karena alarm yang sudah berdering.

“Apa Kirana juga mimpi di tempat yang sama?” gumam Raga, maksudnya adalah apakah Ayu dalam mimpi Kirana juga bertemu dengan Jayden di kantor keresidenan.

Pria itu mengusap wajahnya gusar, ia bangun dari ranjangnya dan segera bergegas ke kamar mandi. Ada meeting hari ini dengan para petinggi untuk membicarakan proyek besar yang akan di garap oleh kantor tempat Raga bekerja.

Setelah selesai dengan sarapannya pagi ini, Raga langsung bergegas menuju kantor nya. Untung nya pagi ini jalanan tidak begitu padat, maklum saja kantor tempat Raga bekerja dengan rumahnya adalah kawasan perkantoran jadi Raga sudah tidak kaget jika ia kerap kali terjebak kepadatan Jakarta di jam masuk kerja dan pulang kerja.

“Pagi, Pak.”

“Pagi.” sapa Raga pada bawahan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Ia sedang menunggu lift untuk sampai ke ruangannya berada.

“Pagi Pak Raga!” sapa Almira, Bagas dan Kirana bersamaan. Membuat Bagas yang sedang melihat surel yang masuk di ponselnya itu menoleh.

“pagi,” Raga menoleh ke arah bawahan-bawahannya, tidak sengaja netra nya bertemu dengan Kirana yang juga tengah menatapnya. “Kirana?”

“Ya, Pak?”

“Bisa bicara sebentar?” bukan hanya Kirana saja yang bingung, Bagas dan Almira pun sama bingungnya.

Kirana menoleh, “bisa, Pak.”

Raga mengangguk pelan, kebetulan sekali lift terbuka bersamaan dengan karyawan-karyawan lain yang juga keluar dari dalam lift. “Bagas, Almira. Saya pinjam Kirana sebentar yah, kalian naik duluan saja.”

Bagas mengangguk kecil, meski dalam hati ia sangat penasaran apa yang akan Raga bicarakan dengan wanitanya itu. Bagas bukan cemburu kok, hanya saja dia penasaran. Begitu Kirana mengikuti langkah kaki Raga menuju loby kantor mata Bagas masih terus menatap punggung keduanya, di kepalanya terus bertanya-tanya tentang apa yang keduanya bicarakan.

Bahkan saat lift nya hampir tertutup pun Bagas sempat mengeluarkan sedikit kepalanya, membuat Almira harus menarik pria itu agar kepalanya tidak terjepit pintu lift.

“Udah gak usah cemburu gitu ah, sama Pak Raga doang. Paling juga ngomongin kerjaan, Mas,” ucap Almira menenangkan hati Bagas. Ya siapa tahu saja seniornya itu cemburu kan.

“Dih, siapa yang cemburu. Justru gue kepo mereka tuh mau ngomongin apa sampe harus ngomong di luar gak di kantor gitu.” Bagas memang gak cemburu, dia cuma heran aja kenapa Raga harus membawa Kirana untuk bicara di luar kantor. Bicara mengenai apa? Personal kah? Atau urusan pekerjaan? Pikir Bagas campur aduk.

“Yah paling urusan kantor, kan Mbak Kirana sekarang tuh lagi bantu handle proyek yang di Surabaya juga. Yah emang di pegang sama Bang Satya sih, tapi kan itu proyek aslinya di pegang Mbak Kirana.”

“Ck, Bukan gitu, Ra.” Bagas berdecak, Almira ini enggak mengerti menurutnya. Ya memang bisa saja mereka membicarakan urusan proyek, tapi kenapa harus di luar kantor?

“Terus apa?”

Bersamaan dengan pertanyaan Almira, pintu lift terbuka. Mereka buru-buru keluar dari sana dan berjalan ke meja mereka bersamaan, kebetulan Bang Satya juga belum datang jadi keduanya bisa berdiskusi soal Raga dan Kirana.

“Mereka tuh sempat ngobrol juga di luar jam kantor, Kirana bilang alasannya juga ngomongin proyek yang di Surabaya sih. Tapi maksud gue kenapa harus di luar jam kerja dan pas weekend? dan sekarang mereka kaya lagi meeting berdua.”

“Ck ck ck ck,” Almira berdecak, wanita itu juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia udah bisa baca kalau seniornya itu benar-benar cemburu buta, tapi yang bikin Almira enggak nyangka tuh kenapa cemburunya harus sama atasan merereka?

“Lo tuh cemburu boleh-boleh aja, Mas. Kata gue tapi liat-liat orangnya juga lah. Masa iya sama Pak Raga sih? Gila banget.”

“Astaga, Almira Kusuma Djayanti berapa kali gue bilang gue gak cemburu,” Bagas mengoreksi.

“Cemburu itu pasti cemburu.”

“Terserah lu dah bocil.” Bagas menghela nafasnya putus asa, ia buru-buru menyalakan monitor miliknya. Ada file yang harus ia kirim pagi ini ke TL nya yang baru.

“Mas, serius deh. Mbak Kirana tuh sayang banget tau sama lo, lo jangan curiga-curiga gitu ah gak baik,” Almira menasihati.

“Udah tau, udah kerja bocil. Dikit lagi Pak boss dateng,” Bagas masih fokus pada deretan file di monitor miliknya tanpa menoleh ke arah Almira, wanita itu lagi mencatok rambutnya. Kebiasaan Almira setiap pagi.

“Ih serius gue ini mah, tau gak semalam Mbak Kirana tuh telfon gue tau.”

“Paling lo curhat kan sama dia? Tentang cowok dari hasil main Tinder lo itu ya?” Tebak Bagas acuh tak acuh.

“Sok tau!!” Almira mendengus. “Dia tuh tanya enakan bikin brownies atau bikin blackforest buat di bawa ke pesta ulang tahun Ibu nya Mas Bagas.”

Ucapan dari Almira itu berhasil membuat atensi Bagas yang tadinya fokus pada layar monitornya kini berpindah pada Almira yang masih sibuk berkaca sembari mencatok rambutnya.

“Serius?”

Almira mengangguk kecil, “dia bilang dia tuh udah nyiapin hadiah buat Ibu lo juga, terus mau bikin kue sendiri karna dia ngerasa ini tuh buat orang yang spesial. Jadi harus di buat sendiri, effort banget kan dia tuh demi calon mertua.”

Di kursinya Bagas tersenyum kecil, Kirana benar-benar sedang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Mengambil hati orang tuanya agar mereka mendapatkan restu.

Bersambung...