Bab 15. Sisa Masa Lalu

Raga dan Kirana akhirnya sepakat untuk bicara berdua di rooftop kantor, untungnya di sana cukup sepi hanya ada mereka berdua saja. Karena karyawan-karyawan yang berada di gedung ini memang di sibukan di pagi hari di ruang kerja mereka masing-masing. Waktu mereka berdua tidaklah banyak, karena setelah ini Raga harus meeting dengan para petinggi kantor.

Setelah itu pun ia masih harus memantau proyek yang berada di daerah Tanggerang, makanya waktunya untuk bertemu dengan Kirana hanya di pagi hari ini saja. Keduanya berdiri menatap gedung-gedung tinggi perkantoran sembari di temani udara yang masih cukup sejuk untuk kota Jakarta pagi itu, semilir angin seperti menjadi saksi bisu keduanya membahas sisa masa lalu dari isyrat mimpi yang keduanya alami.

“Mimpimu sudah sampai mana, Na?” Tanya Raga to the point memang itu yang ingin ia tanyakan sedari tadi.

“Bapak ajak saya ke sini untuk bertanya kelanjutan mimpi kita dan mencocokannya?”

Raga mengangguk.

Kirana menghela nafas, memang itu kesepakatan mereka. Memecahkan misteri mimpi yang mereka berdua alami, “semalam saya bermimpi Ayu bertemu dengan calon Suaminya.”

“Anak dari Bupati Surabaya itu?” Tebak Raga.

Kirana mengangguk, wajahnya berubah menjadi sendu. Teringat akan wajah pria dalam mimpinya, pria pribumi angkuh yang akan segera menikahi Ayu. Mengingatnya saja membuat Kirana bergedik, memikirkan nasib Ayu kelak jika menikah dengan pria yang lebih banyak main-main seperti itu.

“Dimas namanya, Pak.”

“Mereka akan menikah bulan depan, Bukan?”

“Bapak tahu?”

Raga menghela nafasnya, “Kirana, di mimpi saya kamu dan Dimas datang ke kantor Residen. Dimas memamerkan kamu sebagai calon Istrinya, apa kamu juga sudah mimpi sejauh itu?”

“Iya, dalam mimpi saya pun saya bertemu Bapak.” Kirana masih ingat jika Dimas membawa Ayu ke kantor Residen dengan sedikit paksaan, bahkan pria itu tidak segan-segan menyeret Ayu.

“Kalau begitu kita berada di bagian mimpi yang sama, Pak,” lanjut Kirana.

“Kamu sudah cari tahu tentang Ayu?”

Mendengar pertanyaan Raga, Kirana justru terdiam. Ia meremat tali tas yang ia kenakan, mengingat semalaman suntuk ia mencari tahu tentang Ayu. Meskipun agak sedikit sulit tapi setidaknya Kirana menemukan titik terang tentang Djenar Ayu Astutiningtyas.

Ayu bukanlah tokoh penting di negeri ini, jadi tidak banyak orang yang membuat biografi mengenainya dan membahasnya. ia hanya di kenal sebagai Istri dari anak Bupati Surabaya dan anak dari seorang saudagar pemilik toko distribusi roti pada zaman kolonial.

“Tapi enggak banyak yang bahas mengenai Ayu, Pak. Karena dia bukan tokoh penting di negeri ini, enggak seperti Jayden.”

“Apa yang kamu tahu tentang dia, Na?” Raga hanya ingin mencocokannya dengan hal-hal yang ia temukan tentang Jayden. Ia pikir itu adalah satu-satunya cara agar mereka tahu isyarat tentang mimpi mereka.

“Yang saya tahu, Ayu hanya anak dari saudagar pemilik toko yang mendistribusikan roti untuk para tentara Kolonial. Dan Istri dari Dimas, waktu itu Dimas di gadang-gadang akan menggantikan posisi Ayahnya. Hanya itu saja,” jelas Kirana.

“Yakin cuma itu aja, Na?”

Kirana menunduk, ia mengulum bibirnya. Ada hal lain yang membuatnya ingin bercerita tentang Ayu pada Raga. Namun entah kenapa rasanya dadanya bergemuruh, merasakan sedikit sesak tentang apa yang ia ketahui akhir dari kehidupan wanita bernama Ayu di masa lampaunya.

“Na?” Panggil Raga sekali lagi, waktu mereka tidak banyak dan Kirana seperti sedang mengulur waktu mereka berdua, Raga yakin Kirana menemukan sesuatu tentang Ayu yang membuatnya enggan bicara.

“Pernikahannya dengan Dimas tidak bertahan lama, Pak. Karna satu tahun kemudian Ayu meninggal. Di artikel itu juga enggak di ceritakan Ayu meninggal karena apa, tapi bisa jadi karna sakit yang dia derita dari kecil,” ucap Ayu pada akhirnya.

“TBC..” gumam Raga yang di jawab anggukan oleh Kirana. Ayu memang menderita penyakit itu.

Kedua bahu Raga turun, Dan ia pun sudah mengetahui akhir dari hidup Jayden, setelah ini Raga akan mencari tahu apa yang membuat mereka bermimpi tentang kehidupan sebelumnya. Ya anggap saja begitu sekarang meski itu tidak terbukti.

“Pak, apa Bapak juga tahu kalau Adi—”

Raga mengangguk kecil, “iya saya tahu, Bagas kan?”

Kirana mengangguk, “selain Bagas apa ada orang lain di masa lalu kita yang hadir di kehidupan sekarang ini?”

“Kakak saya, Na. Mbak Adel, Jayden punya Kakak perempuan bernama Roosevelt Van Den Dijk. Dan Mbak Adel adalah reinkarnasi dari Roosevelt, tapi dia pun enggak bermimpi apa-apa, mungkin sama hal nya dengan Bagas yang juga gak bermimpi apa-apa.”

Kalau begitu kemungkinan besar ada orang lain dari masa lalu mereka yang kemungkinan ada di kehidupan mereka yang sekarang, orang tua Kirana saat ini bukanlah orang tua dari Ayu di masa lalu. Kirana dan Ayu lahir dari orang tua yang tidak reinkarnasi di masa lalu.

“Itu artinya Jayden dan Ayu benar-benar tidak menikah di kehidupan itu, Na.”

“Saya baca-baca sedikit tentang kehidupan di zaman itu, menikah bagi bangsa kolonial dan pribumi itu sulit, Pak. Kita masih harus menunggu kelanjutan cerita mereka kalau kita mau cari tahu apa maksud dari mimpi yang kita berdua alami,” jelas Kirana, menurutnya memang begitu karena mimpi mereka berdua masih sangat menggantung.

“Kamu jangan segan-segan untuk bertanya kelanjutanya pada saya, Na. Termasuk hal-hal yang kamu cari tahu. Sekecil apapun itu mungkin bisa jadi pentunjuk.”


“Disini aja, Pak.”

Taksi online yang Kirana tumpangi itu berhenti di belakang mobil yang terparkir di depan rumahnya Bagas, ternyata acara ulang tahun Ibu nya Bagas itu lumayan meriah juga. Kirana sempat berpikir mungkin hanya syukuran biasa saja tadinya, sebelum turun dari mobil. Dia memastikan dulu rambut dan riasan rambutnya masih rapih. Setelah itu barulah ia turun membawa kotak berisi brownies dan juga puding cokelat yang ia buat sendiri.

Bagas bilang dia enggak bisa menjemput Kirana karena ia harus membantu acaranya di rumah, tentu saja Kirana sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Begitu Kirana masuk ia langsung di sambut dengan senyuman hangat oleh Kanes Adiknya Bagas.

“Mbak Kirana..” sapa Kanes, wanita itu memeluk Kirana dengan hangat.

“Hai, Nes. Apa kabar?”

“Baik, Mbak. Ya ampun, Mbak. Maaf yah waktu Mbak sakit aku gak sempat jenguk karena lagi sibuk banget kuliah.” Kanes jadi merasa bersalah kalau ingat ia tidak bisa menjenguk Kirana di rumah sakit waktu wanita itu kecelakaan, Kanes itu kuliah kedokteran yang mana kegiatan di kampusnya tentu banyak menyita waktu bahkan untuk sedikit bersantai sekalipun.

“Iya gapapa, Bagas udah cerita kalau kamu lagi hectic banget di kampus.”

Kanes mengangguk, sedikit lega karena Kirana cukup mengerti dirinya. “Oh yah, masuk yuk, Mbak. Mas Bagas, Ibu sama Ayah ada di dalam.”

“Hhmm, Nes. Tapi make up aku gak berlebihan kan?” Kirana jadi enggak percaya diri tiba-tiba, apalagi sedari tadi banyak pasang mata yang melirik ke arahnya. Kirana sadar, warna dusty pink yang ia pakai sebagai dresscode yang di tentukan itu agak sedikit berbeda dengan yang tamu lain pakai.

“Kamu tuh cantik, Mbak. Udah yuk masuk.” Kanes menggandeng tangan Kirana yang bebas dari kotak berisi kue itu.

Begitu melihat Bagas yang sedang sibuk berbicara dengan tamu dari keluarganya, Kirana tersenyum apalagi Bagas juga dengan sigap langsung menghampirinya. Pacarnya itu tampak semakin tampan dengan kemeja dusty pink yang ia pakai, rambutnya pun di bentuk hair coma style yang membuat Bagas terlihat semakin kharismatik.

“Tuh udah ada Mas Bagas, aku ambilin Mbak minum dulu yah,” kata Kanes, ia berpamitan pada Kirana untuk mengambilkan wanita itu minum.

“Iya, makasih yah, Nes.”

Begitu Kanes pergi, Bagas langsung mengajak Kirana ke dalam rumahnya. Ibunya ada di dalam, sedang menjamu teman-temannya dan ada beberapa sanak saudara yang datang dari Surakarta.

“Buk, ada Kirana,” ucap Bagas.

Kirana berusaha menyunggingkan senyum terbaiknya, walau ada desiran ketidaknyamanan saat calon mertuanya itu menatapnya dengan tatapan sedikit sinis. Tidak, Kirana tidak terlalu perasa. Bagi siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berpikiran sama dengannya.

happy birthday, Buk.” Kirana menyalami tangan Ibunya Bagas, walau uluran salaman itu di sambut dengan rasa acuh tak acuh.

“Iya, terima kasih yah, Kirana.”

Kirana mengangguk pelan, “Kirana bawain Ibu brownies sama puding cokelat yang Kirana bikin sendiri, Buk. Cobain ya.”

“Repot-repot kamu bikin, tapi nanti saja yah. Saya sudah kenyang, tadi habis nyobain lapis legit yang di buat sama Asri.”

Bagas menggeleng kepalanya samar, sungguh kecewa bukan main ia melihat perlakuan Ibu nya itu pada Kirana. Namun Bagas hanya bungkam, ia tidak ingin merusak suasana apalagi di keramaian seperti ini dan di hari ulang tahun Ibunya.

“Iya gapapa, Buk.”

“Bi, bawa kue-kue nya ke belakang ya.” Ibu nya Bagas itu memanggil pekerja yang berkerja di rumahnya, menyuruh mereka membawa kotak berisi kue-kue itu untuk di bawa ke dapur tanpa di suguhkan disana.

Kirana menunduk, dalam hati ia meringis. Namun ia merasa tidak bisa menyerah begitu saja, ia masih mencoba untuk berpikir positif jika mungkin saja brownies dan pudingnya tidak di suguhkan untuk tamu melainkan untuk mereka makan sendiri, Ia sangat mencintai Bagas, dan ia juga ingin dapat cinta dari keluarga laki-laki itu juga.

“Kita ke depan yuk?” bisik Bagas, ia tidak tega melihat Kirana di acuhkan oleh Ibunya. Ibu bahkan tidak mengajak Kirana bicara lagi dan sibuk berbicara dengan teman-temannya.

“Aku belum ngobrol banyak sama Ibu..” bisik Kirana, ia pikir ia harus lebih banyak bicara sama Ibunya Bagas. Dengan begitu mereka bisa mengenal lebih dalam satu sama lain bukan, yah siapa tahu saja di saat-saat seperti ini hati orang tua Bagas itu luluh.

“Yakin?” Bagas cuma mau memastikan aja, dia gak mau Kirana berada di situasi yang tidak membuat wanita itu nyaman.

“Iya sayang, sana kamu ke depan aja. Nanti kalau udah selesai ngobrol sama Ibu, aku susul kamu ke depan.”

“Beneran yah?”

Kirana mengangguk.

“Yaudah aku ke depan yah, nanti kalau aku lihat Kanes. Aku suruh dia nemenin kamu.”

Selepas kepergian Bagas, Kirana berusaha untuk berbicara dengan Ibunya Bagas meski hanya mendapatkan balasan sekedarnya saja. Kirana enggak mau menyerah, apalagi saat wanita bernama Asri itu datang. Kalau dari yang Kirana lihat, Ibu benar-benar menyukai Asri bahkan Asri yang di kenalkan ke saudara-saudara Bagas dan juga teman-teman Ibu yang datang.

“Ohhh.. Asri ini temannya Bagas waktu SMP? Yang rumahnya dulu sebelahan sama rumahmu di Surakarta itu bukan, Jeng?”

“Betul,” Ibu nya Bagas itu tersenyum. “Cantik kan, calon menantu idaman sekali dia ini. Bahkan Asri yang milih warna yang cocok untuk dresscode ulang tahun saya loh.”

Mendengar hal itu, Kirana menunduk. Jadi Asri lah yang banyak membantu untuk acara ulang tahun Ibu. Meski hatinya sedikit perih, Kirana masih terus berusaha tersenyum ramah, Kirana enggak minder sama sekali sama Asri meski ia pun tidak menangkis jika wanita itu benar-benar cantik dan memiliki selera yang bagus.

“Kalau yang di sebelah sana siapa, Jeng?” Teman dari Ibunya Bagas itu melirik Kirana yang duduk tak jauh dari tempat Asri duduk, Asri duduk benar-benar bersebelahan dengan Ibunya Bagas sedangkan Kirana agak sedikit berjarak beberapa senti.

“Ahh... Itu Kirana, pacarnya Bagas,” cicit Ibu pelan.

Asri menoleh ke arah Kirana, wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kirana untuk duduk di dekatnya saja. “Sini, Na!”

Begitu Kirana mendekat, Ibu yang tadinya sedang duduk di sofa itu berdiri dan menghampiri Kirana. Kirana yang melihat itu sudah senang apalagi Ibu tersenyum ke arahnya, ada sirat kepercayaan diri yang membuncah di dadanya jika ia akan di kenalkan sebagai calon menantu di keluarga itu. Namun itu semua hanya ada dalam benak kepala Kirana tanpa terwujud jadi nyata, karena Ibu justru mengatakan hal di luar dugaanya.

“Na, kamu mau bantuin Ibu gak?” tanya Ibu.

Tentu saja Kirana dengan senang hati akan membantunya, baginya ini adalah kesempatan. “Mau, Buk. Apa yang Kirana bisa bantu?”

“Ini, Na. Si bibi kan kayanya kerepotan cuci piring di belakang, yah. Maklum lah udah tua juga, kamu bantu-bantu yah. Dari pada kamu di sini enggak ngapa-ngapain juga kan.”

Mendengar ucapan itu, senyum di wajah Kirana sedikit memudar. Ia hanya di minta bantuan untuk mencuci piring ternyata, walau agak sedikit kecewa tetapi Kirana mengangguk, ia suguhkan senyum manisnya itu. Ia hanya berpikir mungkin dengan cara seperti ini hati orang tua Bagas itu bisa luluh dan bisa menerima nya.

“Iya, Buk. Kalo gitu Kirana ke belakang yah,” pamitnya, setelah mendapatkan anggukan kecil dari Ibunya Bagas, cepat-cepat ia ke dapur rumah keluarga itu.

Kirana pikir bibi yang bekerja di rumah Bagas itu hanya satu orang, ternyata ada dua orang dengan rentang umur yang sama. Keduanya sedang menikmati brownies yang Kirana bawa, Kirana sendiri gak tau kenapa makanan yang ia bawa justru pekerja di rumah Bagas yang memakannya. Ia hanya berpikir itu semua pasti sudah mendapatkan izin dari sang pemilik rumah.

Ia bukan tidak senang makananya itu di makan orang lain selain Ibunya Bagas, hanya saja ia buatkan itu semua khusus untuk Ibunya Bagas di hari ulang tahunnya.

“Eh, neng Kirana. Mau ngapain, Neng?” tanya Bibi yang berbadan gempal itu, wanita paruh baya itu tersenyum.

“Mau bantu-bantu, Bi.”

“Ih udah, gak usah ini kan udah jadi kerjaan Bibi.”

Kirana menggeleng pelan, “gapapa, Bi. Biar cepat selesai.”

Kirana mengambil kain lap untuk mengeringkan beberapa piring yang sudah selesai di cuci, Bibi yang sedang makan brownies buatan Kirana tadi tampaknya agak sedikit tidak enak. Terlihat dari gelagatnya yang canggung dan langsung menghentikan makannya begitu Kirana datang.

“Brownies buatan Neng Kirana enak banget,” ucapnya tiba-tiba.

“Oh ya?” Kirana menoleh, ia tersenyum. Senang rasanya mendapatkan pujian jika brownies buatannya enak meski itu bukan berasal dari Ibunya Bagas. “Kemanisan gak, Bi?”

Bibi gempal itu menggeleng, “enggak, Neng. Rasanya pas, manisnya pas enggak amis juga enak pokoknya mah.”

“Syukur deh kalau begitu.”

Kirana lega, meski sedikit sedih namun itu bukan masalah untuknya. Setidaknya makanan yang ia bawa tidak di buang saja rasanya Kirana sudah bersyukur. Sementara itu di teras rumah Bagas yang masih di padati banyak tamu, Raga menikmati setiap hidangan yang di sediakan di sana. Ia datang bersama Satya.

Bagas memang mengundang Raga dan Satya untuk datang ke acara pesta ulang tahun Ibunya, mereka sempat berbincang sebentar. Bagas juga sempat mengenalkan Kanes pada dua temannya itu, Almira bukan tidak Bagas undang hanya saja wanita itu sudah memiliki janji lain dengan teman kencan butanya itu, Almira hanya menitipkan kado untuk Ibunya Bagas oada Satya.

“Gas, toilet dimana ya?” tanya Raga.

“Kebelet, Pak?” tanya Satya cengengesan.

“Enggak!” jawab Raga dengan ekspresi wajah yang bad mood. “ya iyalah pake nanya lagi.”

Bagas yang mendengar itu sedikit terkekeh, “di belakang, Pak. Lewat samping aja, dekat dapur kok lurus aja.”

“Yaudah, saya ke belakang dulu yah.” Raga buru-buru meninggalkan Bagas dan Satya yang masih asik berbincang di taman rumah Bagas.

Ia masuk ke dalam rumah Bagas lewat pintu samping yang kata Bagas nantinya akan langsung menuju ke dapur kotor rumahnya, di sana ada toilet khusus untuk tamu. Begitu Raga ingin masuk ke dalam toiletnya, tidak sengaja netranya menangkap seorang wanita yang tengah sibuk mencuci piring di dapur.

Wanita itu berambut panjang dan memakai dresscode yang sama dengan tamu lainnya meski tone nya agak sedikit berbeda, Raga mengerutkan keningnya. Dan begitu wanita itu memperlihatkan wajahnya dari samping, Raga langsung mengenalinya. Itu adalah Kirana, kenapa ia justru malah sibuk mencuci piring di dapur? Itu adalah pertanyaan yang terlintas di kepala Raga saat ini.

“Na?” Panggil Raga, ia mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

Kirana menoleh, ia sedikit terkejut karena Raga justru turut di undang dalam pesta ulang tahun Ibu nya Bagas. Kirana pikir Bagas hanya mengundang Satya dan Almira saja.

“Pak Raga?” Ucap Kirana kaget, ia membasuh tangannya yang kotor karena sabun cuci piring kemudian menghampiri Raga. “Bapak ngapain disini?”

“Saya yang harusnya tanya, kamu ngapain cuci piring? Kamu itu tamu, Na.” Kedua bahu Raga naik turun, entah kenapa rasanya ada perasaan tidak nyaman melihat Kirana mencuci piring sendirian di dapur.

“Sa..saya cuma bantu-bantu Ibu nya Bagas aja, Pak.”

“Gak gitu, Na. Kamu ini tamu. Kalau kamu mau membantu bisa dengan hal lain,” ucap Raga sedikit kesal. “Bagas tahu kamu cuci piring?”

Kirana menggeleng, “ini saya yang mau kok, Pak.”

Raga enggak menjawab ucapan Kirana lagi, ia hanya menatap wanita itu dengan sorot mata yang menunjukkan kekecewaan sekaligus sedih melihat Kirana di perlakukan seperti itu. Raga enggak paham kenapa Kirana mau dengan sukarela nya mengerjakan setumpuk cucian piring yang tidak ada hentinya masuk ke dapur, mengingat tamu yang di undang oleh Ibunya Bagas cukup banyak.

“Kalau gitu, saya lanjutin cuci piringnya, Pak.” Kirana mengangguk sopan, ia kembali dengan tumpukan cucian piring yang baru saja tiba. Bibi yang bekerja di rumah Bagas juga turut membantunya.

Niat Raga untuk buang air kecil ia urungkan, alih-alih masuk ke dalam toilet. Ia justru keluar dari sana dengan langkah besar-besar menuju taman rumah Bagas, ternyata pria itu masih di sana asik berbincang dengan Satya dan juga rekan kantor mereka yang lain.

“Gas, lo nyuruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Raga to the point bahkan ia melupakan panggilan 'kamu dan saya' yang biasa ia gunakan ketikan hendak berbicara dengan bawahannya itu.

“Hah? Maksud, Bapak?” Bagas mengerutkan keningnya bingung, karna setahunya Kirana sedang asik berbincang dengan Ibu dan juga Asri di ruang tamu rumahnya. “Cuci piring gimana, Pak.”

“Mending lo liat sendiri dia lagi ngapain di dapur kotor lo itu,” ucap Raga tegas.

Bagas akhirnya menuruti ucapan Raga, ia buru-buru berlari kecil menuju dapur kotor rumahnya dari samping taman depan seperti yang di lakukan Raga barusan, ternyata benar, Kirana benar-benar sedang mencuci piring, bahkan baju bagian bawah nya sudah basah karena terciprat air saking banyaknya piring yang ia cuci.

“Sayang, kamu ngapain?” Tanya Bagas, ia menghampiri Kirana dan mematikan keran yang masih terus menyala di washtaffel dapurnya.

“Sayang, aku cuma mau bantu-bantu Ibu kamu aja.”

“Gak gini, Na. Kamu di suruh Ibu?”

Kirana sempat meragu untuk mengatakan jika ia memang di suruh oleh Ibunya Bagas, ia justru menggeleng kecil. “Enggak, Sayang. Ini insiatif aku sendiri, aku benar-benar mau bantu-bantu acara ulang tahun Ibu kamu.”

“Enggak, aku gak mau liat kamu cuci piring.” Bagas menarik pergelangan tangan Kirana, membawa wanita itu keluar dari dapur rumahnya.

Kebetulan sekali mereka berpapasan dengan Kanes yang juga hendak ke dapur, ia mau mengambil beberapa makanan untuk mengisi piring snack yang kosong di ruang tamu. Wanita itu juga sama kagetnya seperti Bagas barusan, apalagi saat melihat baju bagian bawah Kirana basah dan sedikit terkena noda dari piring kotor yang ia cuci.

“Mas, Mbak Kirana kenapa?” Tanya Kanes kaget.

“Nes, kamu pinjemin baju kamu dulu ya, nanti Mas ceritain. Kamu bawa Mbak Kirana ke kamar kamu dulu ya.”

“Iya-iya,” Kanes mengangguk-angguk, wanita itu menggandeng tangan Kirana menuju lantai 2 dan mengajaknya masuk ke dalam kamar Kanes.

Sementara itu Bagas buru-buru menghampiri Ibu nya, kebetulan sekali Ibu tidak sedang menerima tamu. Ibu sedang asik mencicipi cake yang di bawa tamunya bersama dengan Asri.

“Buk, Ibu suruh Kirana cuci piring di dapur?” Tanya Bagas.

Ibu yang tadinya sedang menikmati cake itu langsung menaruh piring yang berisi cake yang ada di pangkuannya ke atas meja, wanita itu berdiri dan menatap Bagas tak kalah nyalangnya dengan si sulungnya itu.

“Perempuan itu mengadu sama kamu, Bagas?” Hardik Ibu.

“Kirana gak ngadu, Buk. Bagas yang lihat sendiri Kirana cuci piring, kenapa Ibu tega banget sih, Buk?”

“Biar dia lebih berguna sedikit, dari pada dia harus duduk disini sama Ibu lebih baik Ibu suruh dia cuci piring kan? Toh dia juga mau kok.” Ibu kembali duduk, seolah-olah hal yang tengah di bicarakan Bagas bukanlah persoalan yang penting.

“Kirana itu tamu, Buk. Pacarnya Bagas, calon Istrinya Bagas, Buk. Tolong perlakuin dia lebih baik. Bagas sangat di terima baik di keluarganya, Buk.”

“Gak ada calon istri, Bagas. Ibu dan Ayah enggak akan pernah merestui hubungan kalian! Sampai mati sekalipun, calon istri kamu itu cuma Asri! Kamu di terima baik di keluarganya karena perempuan itu dan keluarganya cuma mau memanfaatkan kamu untuk membayar hutang-hutang keluarga mereka!”

“Kata siapa, Buk? Kirana gak pernah punya niat kaya gitu ke Bagas.”

Sekarang anak dan Ibu itu saling bicara dengan nada tinggi, bahkan tamu-tamu yang ada di sana sampai sedikit menoleh. Sementara Asri hanya terdiam di tempatnya, ia bingung harus melakukan apa. Keduanya sama-sama tengah di landa kemarahan.

“Kata Ibu, mungkin sekarang belum terbukti tapi suatu saat kamu akan sadar itu, Bagas.”

Tanpa Bagas sadari, Kirana dan Kanes sudah selesai berganti pakaian dan turun ke lantai satu. Bahkan Kirana mendengar semua ucapan menyakitkan dari orang tua Bagas lagi, hatinya sudah tidak kuat, ia tak masalah di hina jika ia tidak pantas bersama Bagas tapi tidak dengan keluarganya, Ibunya Bagas bahkan enggak tahu bagaimana perjuangan Kirana dan Ibu untuk menbayar hutang-hutang itu tanpa mengandalkan orang lain.

“Kirana..” Setelahnya Bagas barulah sadar jika Kirana mendengar semua perdebatannya dengan Ibu.

Tanpa berpamitan pada Ibu dan keluarga Bagas yang lain, Kirana langsung keluar dari rumah Bagas dengan sedikit berlari. Ia abaikan beberapa pasang mata yang memperhatikannya berlari sembari di ikuti Bagas di belakangnya.

“Na..Na.. Tunggu sebentar,” Bagas berhasil meraih tangan Kirana, namun wanita itu menghentakkannya sedikit keras hingga tangan Bagas terlepas dari pergelangan tangannya.

“Lepas!!” Kedua bahu Kirana naik turun, ia menangis. Hatinya sungguh sakit. “Aku gak pernah ngadalin kamu buat bantu keluargaku bayar hutang, Gas. Gak pernah.”

“Iya Kirana iya, aku tau. Maafin Ibuku yah.” Bagas hendak memeluk Kirana, namun wanita itu buru-buru mendorongnya menjauh.

“Kamu di jodohin sama Asri, Gas? Iya?”

Bagas yang di tanya seperti itu tidak menjawab, ia hanya diam menunduk. Ia tidak ingin sebuah kejujuran menyakiti hati Kirana lagi. Hari ini sudah cukup wanitanya itu tersakiti karena ucapan Ibu.

“JAWAB AKU BAGAS!!” Kirana sedikit berteriak.

“Iya, iya aku di jodohin sama Asri, tapi aku gak mau, Na. Aku cuma mau nikah sama kamu, aku cuma mau bertahan sama hubungan kita karna aku sayang kamu, Na.”

Kedua tangan Kirana itu menutupi wajahnya, isaknya itu semakin menyesakan ketika sebuah kejujuran dari bibir Bagas lagi-lagi menyakitinya. Ia bingung harus bagaimana menyikapi hal ini, Kirana pikir ia hanya perlu di beri waktu sendiri. Jadi, buru-buru ia berhentikan ojek yang kebetulan melintas di depan rumah Bagas.

“Na.. Kamu mau kemana? Biar aku antar, Na.” Bagas menahan pergelangan tangan Kirana agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya.

“Lepasin, Bagas. Aku butuh waktu sendiri.”

“Aku anterin.”

Perlahan-lahan, Kirana memegang tangan Bagas yang menahan pergelangan tangannya ia lepaskan tautan mereka dan menggeleng pelan. “Aku mau sendiri, tolong..” Ucapnya lirih.

Tak ada yang bisa Bagas lakukan, ia pada akhirnya membiarkan Kirana pergi dengan ojek yang tadi ia berhentikan. Membiarkan punggung kecil itu semakin menjauh, Bagas bingung, hatinya juga sakit dan pikirannya kacau. Jika di suruh memilih, ia sendiri juga bingung. Bagimana pun orang tuanya dan Kirana sama pentingnya dan memilih salah satu dari mereka bukanlah sebuah jawaban.

Bersambung...