Bab 16. Martabak Penghibur
Dalam perjalanan dari rumah Bagas yang Kirana lakukan hanyalah menangis, dadanya sampai sesak semakin ia tahan tangisnya. Ucapan dari mulut orang tua Bagas itu terus terngiang di telinganya, hatinya sakit bukan main apalagi saat ia mengetahui jika Bagas sudah di jodohkan dengan wanita lain.
Yang Kirana pikirkan saat ini adalah bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Ia sudah banyak melalui berbagai hal dengan Bagas, melepas Bagas pun tidak mudah baginya. Bagas selalu menjadi obat untuknya bahkan di hari ia kehilangan Bapaknya.
Tetapi untuk melangkah maju melanjutkan hubungan mereka pun rasanya Kirana enggak sanggup, ia sudah mendapatkan penolakan dari keluarga Bagas dan Kirana enggak terima harga diri dan keluarganya di injak-injak seperti itu. Isak dari bibir tipisnya itu semakin menyesakkan, Kirana enggak perduli jika supir ojek yang ia tumpangi itu bertanya-tanya kenapa Kirana terus menangis.
Tidak lama kemudian, ojek yang di tumpangi Kirana itu menepi di bahu jalan. Entah kenapa, Kirana juga tidak paham. Buru-buru ia elap wajahnya dengan tangannya itu, Kirana udah gak perduli pada make up nya yang sudah luntur, bergeser atau oksidasi sekalipun. Ia hanya memikirkan perasaanya saja hari ini.
“Kenapa, Pak?” tanya Kirana begitu motor yang ia tumpangi itu berhenti.
“Maaf, Mbak. Motor saja baterai nya habis, mana tempat tukar baterai nya masih jauh lagi, Mbak nya pesan ojek online yang lain saja ya?” kata Bapak itu.
Kirana mengangguk kecil, ia melepas helm yang ia pakai dan turun dari motor ojek online yang ia berhentikan secara random tadi di depan rumah Bagas.
“Gapapa, Pak.” Kirana merogoh saku nya dan memberikan uang untuk ia bayar, biarpun tidak sampai di tujuan, Bapak itu setidaknya sudah menyelamatkan Kirana untuk secepatnya pergi dari rumah Bagas. “Uangnya, Pak.”
“Gak usah, Mbak. Kan belum sampai tujuan.”
“Gapapa, Pak. Ambil aja.” Kirana tetap memberikan uang itu, ia merasa tidak enak jika tidak membayarnya.
“Makasih yah, Mbak.”
Kirana hanya mengangguk kecil, ia akhirnya berjalan untuk sampai di halte bus, mungkin ia akan menaiki bus saja untuk sampai di rumahnya. Bukan Kirana tidak sadar jika sedari tadi saku celana nya terus bergetar, getaran itu berasal dari ponselnya. Ia yakin jika Bagas yang menelfonnya tiada henti.
Kirana gak tahu apa yang harus ia ceritakan pada Ibu jika Ibu bertanya nanti, Ibu tahu persis bagaimana Kirana menyiapkan brownies dan puding untuk orang tua Bagas itu. Selama ini pun, Kirana hanya bercerita yang baik-baik tentang keluarganya Bagas. Kirana enggak pernah bercerita dengan jujur bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya. Kirana enggak ingin Ibu sedih, dan terlebih ia tidak ingin sikap Ibu berubah dengan Bagas.
Kirana telah sampai di halte bus tak jauh dari tempat ia berhenti tadi, ia duduk di halte itu. Termenung melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala dan lampu-lampu yang berasal dari kendaraan, bunyi bising dari klakson sore itu seperti satu-satunya teman untuk mengisi hampa dan sedih di hatinya.
Kepalanya sedikit pening karena terlalu banyak menangis, namun rasanya air matanya tak kunjung ingin berhenti menetes dari pelupuknya. Kirana masih ingin terus menangisi harinya saat ini, entah sampai kapan air matanya itu bisa berhenti dengan sendirinya.
Sedang tertunduk meratapi dirinya, sebuah mobil Hyundai Ioniq 5 N itu berhenti di depan halte tempat Kirana berpijak, pengendaranya keluar dari sana dan menghampiri Kirana yang bahkan belum sadar akan kehadirannya.
“Kirana?” panggil orang itu yang membuat Kirana menoleh tanpa menghapus air mata yang masih menetes dari pelupuk matanya.
“Pa..pak Raga?” gumamnya, Kirana buru-buru menghapus jejak air matanya itu dan berdiri.
“Kamu ngapain disini?”
“Saya mau pulang, Pak. Lagi nunggu bus.”
“Saya antar kamu pulang aja ya?” Raga tidak tega melihat Kirana menunggu bus sendirian, apalagi wanita itu juga sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Entah kenapa melihat Kirana menangis, rasanya ada separuh dalam dirinya yang tidak terima. Ia ingin menghajar orang yang membuat wanita itu menangis di jalan seperti ini.
“Gausah, Pak. Gapapa saya naik bus aja.” Kirana takut merepotkan Raga, selain itu ia juga sungkan dan sedikit malu. mungkin saja Raga melihat bagaimana ia dan Bagas bertengkar di pesta ulang tahun barusan.
“Saya mau minta bantuan kamu kebetulan, lagi enggak sibuk kan?” ini hanya alibi Raga saja agar Kirana mau ikut dengannya.
Kirana seperti menimang-nimang permintaan itu dari Raga, Raga atasannya dan pria itu baik. Tidak ada salahnya jika Kirana membantu Raga sebentar, lagi pula rasanya ia belum siap pulang jika air matanya belum kunjung berhenti dan suasana hatinya belum membaik. Ia takut menangis saat Ibu bertanya nanti.
Kirana akhirnya mengangguk, “boleh, Pak.”
“Yaudah, sekarang masuk ke mobil saya yah.” Raga memberi jalan untuk Kirana, membiarkan wanita itu masuk ke mobilnya lebih dulu baru setelah itu ia masuk ke mobil miliknya.
Di perjalanan Raga juga enggak tanya-tanya apapun itu sama Kirana, dia cukup paham jika suasana hati wanita di sebelahnya itu enggak cukup baik. Hanya ada suara dari radio yang terdengar, sang penyiar yang sedang saling berbincang mengenai berita di negeri mereka yang mulai carut marut itu. Tentang eksploitasi alam dan beberapa pulau di Sumatra yang di beritakan akan di jual.
Mobil yang di kendarai Raga itu berhenti di sebuah deretan pedagang kaki lima, berhenti di sebuah tenda yang menjual martabak manis dan martabak telur. Raga dan keluarganya sudah biasa datang kesana untuk membeli martabaknya.
“Kok kesini, Pak?” Kirana menoleh, seingatnya Raga kan butuh bantuannya.
“Iya saya mau minta tolong sama kamu pilihin martabak.” Raga melepas seatbelt nya dan mematikan mesin mobilnya itu.
“Apa?!” pekik Kirana, agak sedikit kaget karena kelakuan konyol atasannya itu. “Serius?”
“Kamu mau turun dan kehabisan nafas di mobil apa mau ikut saya liatin Mamang nya bikin martabak?”
Tentu saja opsi pertama adalah pilihan yang buruk, Kirana memang sedang gundah gulana tapi kehabisan nafas di dalam mobil atasannya itu bukan ide yang baik ia pikir. Jadi cepat-cepat ia buka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan ikut keluar dari mobil mengekori Raga.
Pria itu berdiri di depan menu yang di tempel di gerobak besar tukang martabak itu, dan Kirana ikut berdiri di belakangnya sambil membaca menu nya juga. Ternyata untuk ukuran martabak pinggir jalan, harga martabak tempat Raga berhenti ini harganya lumayan mahal juga menurut Kirana.
Tapi dia pikir bisa saja mahal karena bahan-bahan yang di pakai adalah bahan dengan kualitas terbaik, bisa Kirana rasakan sendiri jika wangi yang di sebarkan dari aroma martabak manis yang sedang di panggang itu begitu harum.
“Menurut kamu lebih enak martabak coklat kacang atau martabak telur bebek tapi telurnya 4, Na?” tanya Raga.
Kirana melirik Raga sebentar, jadi yang di maksud meminta bantuannya adalah untuk memilihkan martabak manis atau martabak telur? Pikir Kirana. Wanita itu jadi terkekeh pelan, gak nyangka kalau permintaan tolong Raga akan seabsurd ini.
“Jadi Bapak minta tolong saya pilihin martabak?”
Raga mengangguk, “kalau soal martabak saya enggak bisa milih, susah. Karna dua-dua nya enak.”
“Kenapa gak beli dua-dua nya aja?”
“Saya cuma mau beli satu macam,” jawab Raga enteng.
Kirana mengangguk-angguk, setidaknya ajakan konyol dari atasannya itu bisa sedikit membuat gundah gulana hatinya sedikit terlupakan walau mungkin hanya sebentar.
“Martabak telur aja gimana?” Kirana tertarik aja sama telur bebek nya, apalagi daging giling yang sedari tadi di depannya itu sebagai toping martabak benar-benar harum. Kirana udah bisa bayangin akan setebal apa martabak nya jika memakai empat telur bebek.
“Boleh,” Raga mengangguk. “Kamu duduk dulu saja, saya mau pesan dulu.”
Kirana tersenyum kecil, kemudian menarik kursi yang ada di sana. Menunggu Raga memesan martabak miliknya sembari sesekali ia melihat atraksi masak dari pedagang yang sedang membuat kulit martabak telur menjadi ukuran besar. Kirana benar-benar takjub rasanya, dari ukuran kecil bisa menjadi besar dengan ketebalan yang sempurna dan tidak sobek sedikipun.
Tidak lama kemudian Raga menyusul Kirana, duduk di samping wanita itu sembari menyaksikan pedagang itu membuat pesanan mereka. Di liriknya Kirana, Raga sedikit lega karena sorot sendu itu sudah sedikit sirna. Setidaknya Kirana sudah tidak menangis lagi.
“Bakpau yang saya kasih waktu kamu sakit itu.” Raga terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya yang membelikan Kirana banyak bakpau.
“Ya?” Kirana menoleh. “Kenapa, Pak?”
“Kamu suka bakpau nya?”
Mengingat bakpau yang di beli Raga waktu itu Kirana jadi terkekeh, pasalnya pria itu membelinya lumayan banyak. Sampai Kirana membaginya pada pasien-pasien lain yang satu kamar dengannya.
“Suka kok.”
Raga tersenyum, ada desiran hangat di hatinya mendengar Kirana menyukai bakpau yang ia belikan. “Bagus deh kalau kamu suka, kamu ingat waktu Ayu dan Jayden kencan gak?”
Kirana mengerutkan keningnya, tentu saja ia ingat. Mimpi kencan bersama Jayden sembari berkuda dengan pria itu membuat perasaan Kirana di pagi hari membaik. Pria Belanda itu benar-benar romantis dan sangat melindungi Ayu di dalam mimpinya, mana mungkin ia bisa lupa.
“Ingat, mereka makan bakpau kan?” ucap Kirana dengan kekehan dari bibir mungilnya.
“Benar.”
“Jadi itu sebab nya Bapak tanya saya ya, lebih suka bakpau atau onde-onde?” tebak Kirana, karena Raga bermimpi lebih dulu tentang pasangan itu bisa saja saat Raga menawarinya bakpau. Raga sudah bermimpi Ayu dan Jayden berkencan.
“Iya,” Raga terkekeh. “Saya juga gak nyangka kalau kamu bakalan milih bakpau.”
Kirana mengangguk-angguk kecil, mengesampingkan Ayu dan Jayden. Ia jadi ingat bagaimana tatapan Raga saat melihatnya mencuci piring di rumah Bagas barusan, mungkin saja Raga yang memberi tahu Bagas jika ia melihatnya mencuci piring.
“Pak?”
“Ya, Kirana?” Raga menoleh, ia tadi sedang membuka botol air mineral yang ada di meja tempat mereka duduk.
“Soal kejadian di rumah Bagas barusan.”
“Ya?”
“Bapak yang bilang ke Bagas ya kalau saya nyuci piring?” Kirana berbicara dengan nada penuh kehati-hatian, takut sekali pertanyaanya itu terdengar seperti tuduhan dan membuat hati atasannya itu tersinggung.
“Iya, memang saya, Na. Saya yang menegur Bagas kenapa dia membiarkan kamu mencuci piring di rumahnya.”
Kirana mengangguk kecil, sesuai dugaanya. Tapi jika Raga tidak memberi tahu pun. Kirana pasti akan tetap di hina oleh orang tua Bagas, semua sama saja. Bahkan jika Raga tidak memberi tahu Bagas, mungkin ia tidak akan tahu kebenaran jika Asri adalah wanita yang di jodohkan orang tua Bagas untuk putra mereka.
“Maaf yah, Na. Kalau kesannya saya ikut campur urusan pribadi kamu dan Bagas.” Raga ngerasa dia harus minta maaf, biar bagaimana pun ia sudah seperti mencampuri urusan keduannya. Meskipun di mata Raga, Bagas dan keluarganya tidak cukup baik memperlakukan Kirana dengan membiarkan wanita itu mencuci banyak piring bekas tamu di rumahnya.
“Gapapa, Pak. Saya juga udah capek banget sebenarnya, jadi bisa langsung pulang deh walau cucian piringnya belum selesai.” Kirana terkekeh pelan, meski hatinya sakit. Ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan atasannya itu.
Setelah martabak pesanan Raga selesai di buat, Raga langsung mengantar Kirana pulang. Hari sudah semakin larut, Raga memaksa untuk tetap mengantar Kirana pulang meski Kirana awalnya meminta di turunkan di halte bus saja. Untung saja wanita itu pada akhirnya setuju.
“Ini buat Ibu kamu, Na.” Raga mengambil 3 kotak martabak dari 4 yang ia beli barusan.
“Hah? Kok jadi buat Ibu saya, Pak?” Tanya Kirana bingung.
“Iya, saya emang beli buat kamu sama Ibu kamu.”
“Ma..makasih, Pak. Tapi ini banyak banget.” Kirana menganga melihat tiga kotak martabak telur itu. Dia hanya berdua dengan Ibu bagaimana caranya menghabiskan makanan sebanyak itu.
“Kamu kasih ke tetangga kamu juga gapapa sisa nya.”
Kirana menggeleng kepalanya pelan, ia benar-benar di buat heran oleh kelakuan atasannya itu. “Terima kasih sekali lagi yah, Pak.”
“Sama-sama Kirana.”
“Saya turun dulu kalau gitu, Bapak hati-hati di jalan.” Kirana melepas seatbelt nya dan hendak membuka pintu mobil Raga sampai akhirnya gerakannya itu tertahan karena Raga memanggilnya.
“Kirana?”
“Ya, Pak?” Ia kembali menoleh.
“Jangan nangis di pinggir jalan lagi,” ucap Raga tak di sangka-sangka.
Samarang, 1898.
Dimas dan Ayu melangsungkan pernikahan yang di gelar begitu mewah di Samarang, ada banyak tamu dari para petinggi pribumi, saudagar dan juga para petinggi kolonial yang juga datang untuk memberi ucapan selamat pada keduanya. Meskipun begitu, Ayu tak mengizinkan Jayden datang untuk menemuinya di pesta pernikahannya ia tidak akan sanggup melihat kedua netra kecoklatan itu menampakan sebuah kesedihan.
Pesta yang di gelar hingga malam itu membuat Ayu sedikit kelelahan, ia lebih banyak diam dan jarang sekali tersenyum jika Romo tidak menegurnya. Terkadang, Dimas mengajaknya untuk ikut menari bersama para penari yang memang di panggil untuk menghibur para tamu undangan.
Ketika Dimas sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya, Adi yang sedari tadi berdiri lumayan jauh dari tempat mempelai itu akhirnya menghampiri Ayu. Membuat Ayu yang sedang duduk bersandar itu menoleh pada Adi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.
“Raden Ayu?” panggil Adi, mata pria itu juga menampakan kesenduhan.
Sehari sebelum pesta pernikahan itu di gelar, Ayu sempat bercerita pada Adi jika ia sama sekali tidak menginginkan sebuah pernikahan bersama Dimas. Bahkan ada kala nya Ayu berpikiran nekat untuk meminta Adi membawanya pergi ke kediaman Jayden berada.
“Mas Adi? Ada apa?” tanya Ayu, ia sontak berdiri.
“Sir Jayden datang, ia menunggu Raden Ayu di kebun belakang,” bisik Adi, dekat telinga Ayu namun tetap ia beri jarak. Adi masih tahu diri untuk tidak terlalu dekat jika berbicara dengan Ayu.
Mendengar ucapan Adi, hati Ayu seperti di buat gundah gulana. Ia memendarkan pandangannya ke sekitarnya, berharap tidak ada orang lain yang menyadari jika ia meninggalkan kursinya sebentar saja demi bertemu Jayden. Ia tidak bisa membiarkan Jayden dan Dimas berhadapan lagi seperti kemarin.
Karena nyatanya, setelah ia berbicara sebentar dengan Jayden. Dimas langsung menuturkan ucapan yang membuat Jayden tersinggung, menurut pria itu, Dimas telah merendahkan Ayu sebagai seorang wanita dan Jayden tidak terima, mereka nyaris saja berkelahi jika Ayu tidak segera menengahi dengan kedua tangan yang bergetar bukan main.
“Antarkan Ayu pada Sir Jayden, Mas Adi.”
Adi mengangguk, ia memberikan tangannya untuk Ayu pegang. Sebagai tumpuhan agar Ayu bisa mengikuti langkahnya menuju tempat Jayden berada. Beruntungnya, keramaian yang ada membuat Adi dan Ayu dengan cepat keluar dari tempat pesta itu berada, para tamu dan keluarga yang datang sedang sibuk menonton para penari. Dan itu di jadikan kesempatan bagi Adi untuk membawa Ayu pergi.
Langkah kaki Adi yang panjang-panjang itu membuat Ayu sedikit kelimpungan, ia hampir saja oleng jika saja Adi tidak menggenggam tangannya dengan erat. Nafasnya juga sedikit tersenggal karena Ayu benar-benar kelelahan.
“Mas Adi, Mlayune alon-alon,” keluh Ayu dengan nafas yang tersenggal-senggal.
Adi berhenti sebentar, ia menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Ayu yang tangannya ia genggam. Wanita itu berkeringat, jika tidak mengenakan riasan mungkin wajah Ayu sudah pucat. Nafasnya juga tersenggal-senggal terlihat dari dua bahu kecil itu naik turun.
“Jika Raden Ayu mengizinkan, saya bisa menggendong Raden Ayu.” Adi menawarkan Ayu untuk ia gendong, ia tidak tega melihat Ayu seperti kehabisan oksigen seperti itu.
Ayu yang sudah sedikit lemas itu mengangguk, membiarkan Adi bersimpuh membelakanginya. Membiarkan tubuh kurusnya itu jatuh dalam punggung lebarnya, Ayu memeluk leher Adi. Ia benar-benar sudah pasrah Adi akan membawanya kemana, ia percayakan saja pada pria itu.
Bagi Adi, Ayu tidaklah berat. Jadi ia bisa sedikit berlari agar bisa sampai pada kebun belakang yang sedikit lagi sampai itu. Di ujung sana ada sebuah gubuk kecil dengan penerangan minim, cahaya itu berasal dari obor yang di pegang oleh seseorang pria disana. Itu adalah Jayden, dengan raut wajah penuh kekhawatiran melihat dari ujung tempatnya berdiri, seorang pria menggendong wanita yang tampak tidak begitu berdaya di punggungnya.
Begitu pria itu mendekat, barulah Jayden tahu jika mereka adalah Adi dan Ayu. Adi menurunkan Ayu di atas amben yang ada di gubuk kecil itu, setelah memastikan jika Ayu duduk disana, Adi sedikit menjauh dari pasangan itu. Membiarkan Jayden dan Ayu berbicara meski waktu keduanya tidaklah banyak.
“Ayu..” Gumam Jayden, matanya berbinar dengan sedikit genangan air mata di pelupuk matanya.
Jayden kagum karena Ayu dan riasan sederhana nya itu membuat wajah yang sudah dahayu itu semakin indah, sedangkan genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya itu menginsyaratkan sebuah kehancuran di hati Jayden. Dua minggu sudah perjuangannya untuk mendapatkan restu dari keluarganya dan Ayu tidak mendapatkan hasil.
Saat berbicara jujur jika ia mengencani seorang pribumi yang mana adalah seorang anak priyai, Jayden tentu saja mendapat penolakan dari orang tua nya di Belanda. Bahkan dari Kakak perempuannya, bahkan Jayden kerap di ancam jika jabatannya sebagai Asiten Residen Samarang akan di berhentikan dan memulangkannya ke Belanda jika tetap nekat menikahi Ayu.
Ayu yang sudah lemas itu tidak menjawab, ia hanya berdiri dan berhambur ke pelukan pria yang sangat ia rindukan itu. Ayu tidak perduli statusnya saat ini sudah menjadi istri dari pria lain.
“Bawa aku bersamamu, Sir Jayden,” ucap Ayu dalam isaknya.
Di rengkuhnya tubuh mungil itu, berkali-kali Jayden mengecupi kepala Ayu, mengusap punggung kecilnya demi meredam tangis itu.
“Aku tidak akan kemana-mana, liefj. aku akan tetap di tanah Samarang ini meski tidak bersamamu.”
Ayu sudah tahu perihal ancaman keluarga Jayden pada pria itu, Jayden menitipkan surat melalui Adi untuk di baca Ayu.
“Mas Dimas akan membawaku ke Soerabaja, jika aku pergi ke sana. Kita akan sulit bertemu, ini kesempatan terakhir yang kita miliki jadi aku mohon padamu bawaku pergi sekarang.” ucapan Ayu itu terdengar seperti sebuah permohonan.
Jayden tahu Ayu sedang tidak berpikir jernih, jabatan Jayden sebagai asisten Residen dan keluarga Ayu yang berasal dari keluarga terpandang itu akan menyulitkan keduanya untuk melarikan diri. Akan ada seyembara nantinya jika mereka berdua kabur.
“Kau mau berjanji satu hal padaku, sayang?” Jayden merenggangkan pelukan itu, sedikit memberi jarak pada Ayu demi bisa menghapus jejak air matanya itu.
“Ap..apa?”
“Berjanjilah untuk terlahir kembali, aku akan berusaha menemukanmu dan mengusahakan kita untuk bisa bersama jika di kehidupan saat ini kita benar-benar tidak berjodoh.”
Bersambung...