29. Abstrak
Kirana berkali-kali menghela nafasnya pelan ketika ia harus di hadapkan meeting berdua dengan Raka, pria yang lebih tua darinya itu mengajaknya bicara mengenai proyek mereka di sebuah cafe tak jauh dari kantor, di jam makan siang ini sebenarnya malas sekali Kirana harus keluar gedung.
Bukan malas karena pasti setiap cafe atau restoran di dekat kantor mereka akan ramai, melainkan malas jika ia harus naik turun gedung dan menerjang matahari panas menyengat Jakarta siang itu. Begitu melihat Kirana datang Raka tersenyum, Ia mengangkat sebelah tanganya memberi isyarat pada Kirana jika dirinya berada di pojok cafe dekat dengan jendela.
Langkah gontai nya itu membawa Kirana menghampiri Raka, tidak ada semangat sama sekali hari ini untuk bekerja, Bagas sedang menemui klien bersama dengan Satya, sementara Almira tidak masuk kantor karena nyeri datang bulannya. Jadi lah hari ini ia hanya sendirian di kantor dan klayar keluyur sendiri saat jam istirahat seperti ini.
“Lemes banget, kamu mau pesan apa, Na?” Tanya Raka ramah seperti biasanya, pria itu memotret barcode untuk melihat menu di restoran itu di pojok kiri meja mereka.
Kirana jadi ingat, Bagas pernah bilang kalau proses memesan makanan di restoran atau cafe sekarang kerap kali mempersulit pelanggan, kenapa harus discan dengan ponsel? Padahal memberikan buku menu kedengarannya kan lebih mudah dan praktis, Bagas cuma prihatin aja bagaimana jika ada lansia yang kebingungan ingin memesan katanya.
“Americano aja, saya lagi malas makan.” Kirana membuka MacBook kantor yang ia bawa untuk mengalihkan perhatiannya pada Raka.
“Mau gado-gado gak? Cafe nya ada makanan juga loh, kebetulan saya belum makan siang.” Raka memang belum makan siang, pagi ia hanya absen saja ke kantor lalu bertemu dengan klien sebelumnya. Ia juga sempat mengantar anaknya itu ke daycare. Dan siangnya ia harus meeting dengan Kirana.
“Gausah, Mas Raka aja.”
Raka mengangguk, pria itu memesan 2 es americano dan satu gado-gado dengan kepedasan yang rendah untuknya dan tiramisu untuk Kirana, memang wanita itu tidak memesan namun Raka hanya sungkan saja jika harus makan sendirian.
Begitu kembali dengan minuman dan makanan di nampan yang ia bawa, Kirana menoleh ke arah Raka ketika tangan pria itu menyodorkan sebuah tiramisu di depannya. Kirana merasa tidak memesannya.
“Saya kan gak mesan tiramisu?” Ucapnya bingung.
“Gapapa, saya traktir kamu aja. Gak boleh nolak ya rezeki.” Raka tersenyum, pria itu duduk dan menyesap es americano miliknya, kemudian membuka MacBook pro miliknya untuk membicarakan desain rumah untuk klien mereka.
Klien mereka kali ini menyerahkan penuh segala desain rumah untuk anak bungsu nya pada firma arsitektur tempat Kirana dan Raka bekerja, dan memberi kebebasan untuk Raka sebagai arsitektur proyek ini berkreasi asalkan segala desain yang Raka buat berdasarkan persetujuan dengan klien mereka. Klien hanya meminta jika rumah itu harus memiliki sirkulasi udara yang bagus.
“Kayanya Pak Suryo mau bikin konsep rumahhya ini nih eco gitu deh, Na.” tiba-tiba saja Raka teringat dengan permintaan dari klien mereka kali ini, Pak Suryo hanya meminta 1 hal pada Raka agar design bangunan rumah yang akan di tempati anaknya itu memiliki sirkulasi udara yang baik, jadi meski tidak menggunakan AC nantinya akan tetap sejuk di siang hari.
“Lokasi rumahnya dimana sih?” tanya Kirana, dia belum tahu dimana proyek itu akan berdiri bahkan ikut survei pun belum, Raka pun baru bertemu sekali saja bersama dengan Raga tentunya.
“Tebet,” jawab Raka.
“Terus mau bikin rumah macam di Ubud?”
Raka ketawa, dia juga menggeleng kepalanya pelan. “Gak harus kaya di Ubud juga, Na. Nanti ya, saya udah kepikiran beberapa layout nya buat rumah di daerah Tebet.”
Kirana mengangguk kecil saja, memang sih menurut Kirana. Raka itu sangat amat asik di ajak bicara, selama meeting membicarakan tentang scope, kondisi tapak atau site, budget dan timeline serta teknik konstruksi Raka sangat amat banyak meminta pendapat pada Kirana, jadi Kirana enggak merasa pendapatnya enggak di butuhkan lagi.
Karena selama ini dari beberapa arsitek yang satu proyek denganya pendapat Kirana jarang sekali di minta, ya terutama sama Pak Ilyas. Orang yang posisinya di gantikan oleh Raka, meski enggak bisa di pungkiri jika sering kali jawaban ketus keluar dari bibir Kirana. Mengingat wajah Raka yang sangat amat mirip dengan suami Ayu di mimpinya.
“Saya tuh sebenarnya lebih senang dapat proyek bikin rumah tinggal gini di banding proyek besar kaya bikin gedung perkantoran atau Mall,” Raka tersenyum, memperhatikan beberapa layout rumah tinggal yang pernah ia kerjakan dulu. Sangat amat puas dengan hasilnya, bahkan beberapa klien nya sempat menghubungi Raka lagi.
Raka sengaja ngasih tau hal-hal kecil tentang dirinya seperti ini pada Kirana, karena tampaknya mereka kehabisan pembahasan setelah pembahasan tentang proyek mereka selesai. Raka hanya tidak ingin mendirikan suasana tidak nyaman dengan partner kerjanya saja.
“Kenapa emangnya? Bukanya kalau dapat proyek besar tuh jadi pride sendiri buat arsitektur? Tuh contohnya kaya Pak Ilyas sama Mas Satya, atau Mas Raka ngerasa gak kuat sama pressure nya?” masih dengan nada ketus khas Kirana berbicara dengan Raka, ia menghargai pria di sampingnya itu untuk memulai topik baru obrolan mereka.
Raka tertawa, ia sejujurnya enggak tahu kenapa Kirana begitu ketus denganya, tapi wanita itu sangat asik saat di ajak diskusi soal kerjaan. “Gak juga sih, Na. Saya ngerasa kalau bikin rumah buat klien, saya bisa lebih memahami aja mau nya mereka supaya nyaman tinggal di dalam nya tuh gimana.” Raka terkekeh pelan.
“Ah, mungkin karena selama ini meski saya arsitektur saya belum punya rumah sendiri yang buat saya nyaman kayanya.”,
“Mas Raka curhat nih? Rumah sendiri dalam artian sesungguhnya atau justru rumah berbentuk lain?”
Raka terkekeh pelan, “memangnya ada rumah dalam bentuk lain selain bangunan?”
“Ya, kali aja yang Mas Raka maksud tuh. Rumah dalam bentuk manusia, kaya anak muda jaman sekarang kan gitu. Sering jadiin manusia sebagai rumahnya. Padahal manusia itu dinamis. Kalau orang yang di jadikan rumah itu pergi kita bisa jadi gelandangan nanti.”
Raka mengangguk-angguk, “kamu termasuk kaya gitu gak?”
“Ya hampir, saya selalu sandaran sama Bagas kadang. Saking lama nya bareng-bareng kadang dia lebih hangat dari pada rumah yang saya tinggali.” Kirana benar-benar berpikir seperti itu akhir-akhir ini tentunya, apalagi setelah memikirkan bagaimana cara membuat jarak pada kekasihnya itu. Seperti keinginan Ibu nya Bagas, ah, rasanya Kirana belum sanggup melakukannya.
“Enak ya kalau punya sandaran, tapi, Na. Sebaik-baiknya menjadikan orang lain sebagai sandaran untuk kamu, atau rumah atau apapun itu bahasa anak jaman sekarang. Kamu tetap harus bertumpu pada diri kamu sendiri, yang paling tahu diri kamu ya kamu sendiri. Seandainya orang itu suatu hari pergi, kalau kamu memang mengandalkan diri kamu sendiri. Kamu gak akan kehilangan arah. Kamu akan tetap kokoh, karena pada dasarnya di dunia ini yang kita punya cuma diri sendiri, Na.”
Kirana terdiam sebentar, jawaban itu seakan mengingatkan Kirana agar ia pelan-pelan mulai tegap kembali dan tidak bersandar pada Bagas. Raka benar, jika mungkin ia dan Bagas tidak bersama. Bagas bisa pergi kapan saja, entah itu bersama dengan wanita lain atau di kembali bersama penciptanya.
Tidak lama kemudian arah mata Kirana berpindah dari bertatap wajah dengan Raka menjadi ke arah ponsel Raka yang menyala. Ada telfon ternyata, namun Raka tidak mengangkatnya.
“Angkat aja, Mas. Gapapa.” Karena berpikir takut Raka tidak enak dengannya Kirana menyuruh Raka mengangkatnya saja, ia juga kembali lagi dengan hasil meeting hari ini yang ia catat di MacBook nya.
“Gapapa, gak penting juga.”
Melihat wallpaper dari MacBook yang Raka kenakan Kirana jadi bertanya-tanya siapa anak kecil yang ada di MacBook Raka itu. Anak laki-laki yang sedang bermain bola di taman. Kirana enggak pernah ngobrol sama Raka sepanjang ini, biasanya di kantor pun mereka hanya bicara mengenai pekerjaan saja.
Itu pun Kirana menjawabnya dengan seadanya saja, tapi hari ini ada sebagian dari diri Kirana yang penasaran bagaimana kehidupan seseorang yang mirip dengan Dimas di kehidupan sekarang, jika benar mereka adalah reinkarnasi dari kehidupan terdahulu itu artinya ada banyak sekali perubahan.
“Itu.. Anak Mas Raka?” tanya Kirana hati-hati, dia takut Raka risih di tanya seperti itu.
Raka melihat kembali ke arah MacBook nya, karena arah mata Kirana tadi tertuju pada layar MacBook miliknya. “Ahh, iya, Na. Ganteng ya? Namanya Reisaka Bumi Soerja.”
“Ahh..” Kirana mengangguk-angguk, “ganteng, mirip sama Mas Raka.”
“Untungnya mirip saya, Na. Kalo mirip Ibu nya gak banget deh.” Raka menggelengkan kepalanya sembari memasukan MacBook berserta chargernya ke dalam tas miliknya, mereka harus kembali ke kantor setelah ini.
Kirana yang mendengar itu sedikit mengerutkan keningnya, sejujurnya Kirana sendiri gak ingin mengorek lebih dalam tentang kehidupan Raka, namun ada yang ingin dia pastikan pada sosok Dimas di kehidupan ini. Karna kemungkinan itu juga yang akan memberikan jawaban pada arti dari mimpinya dan juga mimpi Raga.
“Kenapa emangnya, Mas?” Kirana menggeleng kepalanya pelan, “enggak.. Maksudnya kalo Mas gak berkenan buat cerita ya, saya juga gak akan maksa—”
Raka terkekeh pelan, “saya yang mancing kamu duluan buat kepo, Na. Santai aja.”
Pria itu menghela nafasnya pelan, kembali mengingat betapa Asri tidak perdulinya pada anak mereka. Meski akhir-akhir ini wanita itu suka datang menemui Reisaka, tapi Raka merasa itu hanya formalitas dan keterpaksaanya saja agar ia tidak membuka mulut tentang siapa Asri pada keluarga dari calon suaminya.
“Saya punya Reisaka tuh bisa di bilang di waktu yang enggak tepat, Na. Dan sayangnya, saya juga memilih perempuan yang salah buat di jadikan Ibu dari anak saya”
Ada jeda di antara cerita Raka, jika di tanya menyesal kenal dengan Asri, sejujurnya ia sangat amat menyesal. Raka tidak masalah jika hanya ia yang tersakiti, tapi dihubungan mereka bukan hanya tentang Raka dan Asri saja. Ada Reisaka di dalamnya, Raka sudah berkorban untuk anaknya. Namun Asri sama sekali tidak berusaha untuk hadir dalam hidup anaknya sama sekali, ia justru pergi dan membangun kehidupan baru.
“Dulu saya kagum banget, Na. Sama dia, sampai akhirnya anak kami lahir dan dia pergi, kami emang enggak di restui orang tua nya, menikah pun cuma sah secara agama saja, setelah itu dia lebih nurut sama ucapan orang tua nya. Pergi ninggalin saya sama Reisaka dan membangun kehidupan baru”
Kirana menyimak saja, menurutnya ia tidak pantas berkomentar apapun disini, terlalu sensitif masalahnya dan ia tidak ingin ucapannya membuat Raka sakit hati jika ia salah dalam berucap. Lagi pula, Raka tidak minta di komentari apapun.
“Tujuan saya pindah ke Jakarta, ya karena saya janji mau mengenalkan Reisaka sama Ibu nya. Saya mau dia tanggung jawab dan gak lupa sama anaknya.” Raka menoleh ke arah Kirana dan tersenyum, meski senyum itu merekah pada kedua pipinya hingga menampakan lesung pipi. Tapi kedua mata pria itu tidak pernah bisa berbohong kalau ada kekosongan di hidupnya.
“Mas udah cukup jadi Ayah yang keren buat Reisaka, saya yakin. Saka pasti bangga punya Ayah kaya Mas yang sayang banget sama dia.” hanya itu yang bisa Kirana ucapkan, ia tidak ingin berkomentar apapun tentang mantan istri Raka.
Mendengar apa yang Kirana ucapkan, Raka terkekeh pelan. Enggak menyangka hari ini dia bisa mendengar suara Kirana dengan nada yang tidak sinis seperti biasanya.
“thanks loh, Na. Akhirnya hari ini saya bisa dengar nada suara kamu biasa aja ke saya, enggak sinis kaya kemarin-kemarin.”
“Dih, udah lah. Balik kantor ayo, nanti Pak Raga marah-marah.” menepis ucapan Raka barusan, Kirana buru-buru memakai tas nya dan menenteng MacBook kantor yang ia bawa tanpa memasukannya ke dalam tas.
Ia jalan buru-buru meninggalkan Raka yang masih mengenakan tas dan memasukan ponselnya ke dalam saku kemeja miliknya.
“Na, tungguin, kita bareng aja, Na. Mobil saya parkir di sebelah sana,” ucap Raka yang tampak tak di hiraukan oleh Kirana itu.
Begitu bokong nya sudah menyentuh kursi mobil milik Bagas, Kirana langsung menyandarkan tubuhnya dan membiarkan Bagas menaruh MacBook dan tas milik Kirana di kursi belakang. Gadis itu menghela nafasnya berkali-kali hari yang melelahkan dan panjang menurutnya itu.
Si pria tersenyum, tangan besarnya ia letakan di atas kepala si wanita mengusapnya pelan dan tubuhnya sedikit ia condongkan ke depan, Bagas menarik seatbelt milik Kirana dan memasangkannya agar wanitanya aman saat ia memulai kemudinya.
“Kenapa sih, Buk?” tanya Bagas, ia menarik rem tanganya dan melajukan mobilnya membelah padatnya Jakarta sore itu yang tampak gelap sehabis di guyur hujan.
“Capek, kamu sih gak di kantor hari ini,” keluh Kirana ia melipat kedua tanganya di dada, sembari memalingkan wajahnya ke kiri. Melihat padatnya Jakarta sore itu dari jendela mobil kekasihnya.
“Pak Raga ngasih banyak kerjaan ke kamu? Atau ada report yang salah? Kayanya siang tadi kamu meeting sama Mas Raka ya?”
Bagas memang hanya ke kantor sebentar hari ini, karena siangnya ia meeting di luar bersama klien nya dan juga Satya. Setelahnya ia harus memeriksa lokasi proyeknya itu, dan begitu kembali ke kantor sudah mepet dengan jam pulang. Jadilah Bagas hanya absen saja sembari menjemput Kirana yang juga ingin pulang.
“Iya, males aku tuh berurusan sama dia.”
“Kenapa sih?” Bagas menoleh ke arah Kirana sebentar, kemudian matanya menelisik sepanjang jalan Cikini yang agak sedikit padat hari itu. Banyak sekali ojek online yang berhenti di sekitaran pintu masuk stasiun. Atau pun kendaraan lain yang berhenti untuk membeli street food di sepanjang jalannya.
“Ya, Mas Raka asik sih, tapi gimana yah. Aku gak nyaman aja bareng dia apalagi satu proyek gini. Pak Raga gimana sih, padahal dia kan tau alasan aku sinis banget sama Mas Raka..”
“Oh ya? Kenapa? Kok kamu gak cerita ke aku, Na?” Bagas menyadari sesuatu jika Kirana tidak menceritakan alasannya kenapa ia terlihat sangat membenci Raka, Bagas memang ingin menanyakan ini pada Kirana namun ia lupa karena hectic nya kantor akhir-akhir ini.
Mendengar pertanyaan dari Bagas itu, Kirana mengerutkan keningnya. Ia sadar jika ia keceplosan, sebenarnya tidak masalah jika ia menceritakan alasannya membenci Raka yang padahal tidak punya salah dengannya itu, hanya saja ia takut Bagas mengecapnya konyol dan kekanakan meski Kirana yakin Bagas bukan orang seperti itu.
Ah, sebenarnya. Kirana bercerita dengan Raga pun karena mereka saling terhubung di mimpi itu sedangkan Bagas tidak, kadang Kirana menyesali ini. Kenapa tidak terhubung dengan Bagas saja di mimpi itu? Kenapa harus dengan pria lain. Jadi kan ia bisa dengan leluasa berdiskusi dan mencari jawaban.
“Na?” panggil Bagas yang menghamburkan lamunan Kirana itu.
“Hm?” Kirana menoleh ke arah Bagas dengan wajah kikuknya, “kenapa?”
“Ya, aku tadi tanya. Apa alasan kamu kelihatan benci? Sinis?” Bagas memincingkan matanya, berusaha meyakini kata-mata itu terlihat pantas menggambarkan sifat Kirana pada Raka. “Sama Mas raka, kalian pernah ketemu sebelumnya? Atau dia pernah bikin salah ke kamu? Kok kamu ceritanya ke Pak Raga aja?”
Bagas terkekeh pelan, mengenyampingkan rasa cemburunya karna Raga di bagi rahasia Kirana sedangkan ia tidak. Bagas hanya ingin melerai rasa lelah dan bad mood yang sedang melanda kekasihnya itu saja.
“Kalo aku cerita ke kamu, janji ya kamu gak akan ngatain aku konyol?” Kirana memberikan kelingking sebelah kananya pada Bagas.
Tentu saja pria itu terkekeh dan menautkan kelingking besarnya itu pada kelingking kecil kekasihnya, “iya janji, kenapa sih?”
“Kamu masih ingat Ayu dalam mimpiku kan? Dan Dimas.”
“Dimas suaminya?” Bagas mengerutkan keningnya, agak sedikit lupa saking lama nya Kirana bercerita tentang Dimas suaminya Ayu dalam mimpinya.
“Um, Mas Raka itu mirip banget sama Dimas.”
Selanjutnya baik Kirana maupun Bagas memekik ketika mobil yang di kemudikan Bagas itu, tiba-tiba saja mengerem mendadak hingga Kirana nyaris saja terpental jika Bagas tidak memakaikan seatbelt tadi.
“Gas, kenapa sih?” pekik Kirana kaget bukan main.
“Ma..maf sayang, tadi ada kucing nyebrang.” Bagas mencondongkan tubuhnya agak kedepan, memeriksa jika kucing yang nyaris di tabraknya itu sudah berlari ketepi jalan.
Di belakang kendaraan lain sudah mengklaksoni mereka, jadi Bagas melajukan mobilnya kembali dan melanjutkan perjalanan mereka. Degub jantungnya dan Kirana masih belum beraturan rasanya.
Kirana mengangguk dan mengusap-usap lengan Bagas, walau dia kaget tapi Kirana tahu Bagas bukan sengaja seperti itu. “Iya gapapa, yuk jalan lagi.”
Mereka berhenti di sebuah warung di pinggir jalan di kawasan Cikini, tak jauh sebenarnya dari Stasiun Cikini. Bagas menemukan tempat makan yang menurutnya akan sangat cocok di lidahnya dan juga Kirana, tengkleng kambing dengan acar timun, wortel, cabe rawit iris dan juga nanas yang kemudian di siram dengan cuka. Menurut Bagas akan lebih nikmat makan di tempat dengan nasi hangat dan taburan bawang goreng di atasnya.
“Wihh.. Tau dari mana kamu disini ada tengkleng yang enak?” Tanya Kirana begitu mereka sudah dapat kursi untuk dua orang, mereka makan di pinggir jalan kok.
“Dari Mas Satya, waktu itu sempat makan disini habis tinjau proyek. Terus mau ngajakin kamu makan, eh aku keburu ke Surabaya.”
Kirana terkekeh, “masih yah, kalo nemu tempat makan enak terus pas balik lagi ngajak aku.”
“Harus lah, kan aku juga kepengen kamu makan enak. Kalo makan enak gak ada kamu aja aku inget kamu.” Bagas memang seperti itu, setiap kali dia pergi meeting atau bahkan hangout bersama kawannya tanpa Kirana, jika menemukan tempat makan yang enak dan menurutnya akan cocok dengan lidah Kirana, kembali ke tempat itu lagi pun ia akan mengajak wanitanya itu.
Sementara Bagas memesan makan malam untuk mereka berdua, Kirana sempat memeriksa ponselnya dahulu. Ada pesan masuk dari nomer tak di kenal, ia sempat mengerutkan keningnya sebentar sampai akhirnya ia menerka-nerka siapa gerangan yang mengiriminya pesan.
“Asri?” Gumam nya pelan, bahkan tanpa suara.
Bersambung...