30. Akhir Dan Jawaban

Samarang, 1898.

Sejak kepergian Adi, Ayu lebih sering diam merenung di depan jendela kamarnya. Hal yang selalu ia lakukan ketika menunggu Adi membawakan surat-surat dari Jayden untuknya atau membawakan melati baru yang harum untuk menjadi hiasan di rambutnya, namun bayangan akan pria pribumi berkulit kecoklatanan dan tinggi itu sirna. Tidak akan ada lagi ketukan pelan pada jendela kamarnya, tidak akan ada senyum menenangkan untuknya lagi dan tidak akan ada lagi melati-melati yang selalu Adi petikkan untuknya.

Sore itu ketika Dimas pulang, pria itu langsung masuk ke kamarnya dan Ayu. Menghela nafasnya kasar dan melepas setelan putih gading miliknya, kemudian melemparkannya ke ranjang tidurnya dan Ayu. Sontak aksi itu mengundang atensi wanita ringkih dengan tatapan kosong yang masih duduk di depan jendela kamarnya.

Ayu menatap Suaminya itu tanpa ekspresi, hanya datar saja, tidak ada rona ketakutan seperti biasanya atau pun sedih di wajahnya. Hidupnya beberapa bulan ini seperti robot yang tidak memiliki ekspresi apapun. Jiwanya seperti mati, ikut bersama sahabat dan juga kekasihnya meski raga nya masih menetap di dunia.

“Sampai kapan kau mau terus melamun seperti wanita dungu disana Ayu?! Tidakah kau lelah menangisi pria-pria bodohmu itu?” Sentak Dimas naik pitam, mata bulatnya itu seakan menghardik Ayu. Jika tatapan Dimas bisa membunuh, mungkin sejak kemarin Ayu sudah tewas hanya dengan satu tatapannya saja.

Ayu tidak menjawab, ia hanya bangun dari kursinya dan berjalan dengan gontai mengambil setelan yang di lempar Suaminya itu. Kemudian menggantungnya pada kapstok yang tak jauh dari tempat Dimas berdiri.

“Wanita dungu!! Kau tidak dengar Suamimu berbicara hah?!” Dimas naik pitam, ia tarik lengan Ayu dan ia remas lengan ringkih Istrinya itu hingga Ayu meringis.

“Sakit, Mas..”

“Mau sampai kapan kau begitu?!”

Ayu tidak menjawab, ia hanya berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas di lengannya. Namun usahanya itu sia-sia ketika Dimas melempar tubuh istrinya itu ke atas ranjang, Ayu yang memang tidak melawan dan dalam kondisi lemah itu jatuh ke ranjang. Ia meringis kesakitan, namun setelahnya Dimas menarik kembali Ayu dan melempar tubuhnya lagi ke jendela tempat Ayu termenung tadi.

Tubuh Ayu terkena kursi yang di pakainya duduk, bibirnya berdarah dan ia meringis kesakitan. Bukan hanya pada bibirnya, melainkan pada perutnya. Ia memegangi perutnya yang terasa sakit dan kencang itu.

“Aaahh...” Rintihnya begitu saja keluar dari bibir pucatnya.

“Bangun kau! Kau pikir dengan mengajakku untuk tinggal di rumah kedua orang tuamu membuatku tidak bisa mendidikmu dengan tegas?!” Dimas masih tidak memperdulikan Istrinya itu yang kesakitan, sampai akhirnya ocehannya itu berhenti ketika darah segar mengalir dari kaki Ayu.

“Mas.. Sakit..” Ayu berusaha mengontrol pernafasanya, dadanya nyeri, perutnya sakit, terasa kencang dan darah begitu saja mengalir dari bagian bawah tubuhnya.

Dimas langsung menghampiri Ayu, menggendong tubuh ringkih itu dan menidurkannya di ranjang. Ia panik bukan main, meninggalkan Ayu yang masih merintih kesakitan ia berlari keluar rumah mencari pekerja yang bisa ia suruh untuk memanggil dokter atau dukun beranak sekalipun, apapun itu untuk menolong Istrinya.

“Hai bodoh!! Kemari!” Teriak Dimas panik, tangannya bergetar. Ia bukan mengkhawatirkan Ayu, ia mengkhawatirkan bayi nya, bayi laki-laki yang kelak akan menjadi penerus keluarganya.

Pekerja laki-laki di rumah Ayu itu berlari dengan kaki telanjang menghampiri Dimas, tadi ia sedang memberi makan kuda-kuda milik orang tua Ayu “ada apa, Raden Mas?”

“Panggilkan dokter! Ah, apapun itu yang tercepat saja, Istriku mau melahirkan! Cepat!!”

Di kamarnya, Ayu meraung-raung menahan sakit di perutnya. Pikirannya tak lagi melambung pada kenyataan jika ia di tinggalkan lagi, ia hanya memikirkan bayinya, bayi yang selama ini tidak pernah ia ajak bicara sedikit pun. Tapi hari itu, Ayu sadar jika ia sangat menyayangi separuh dari dirinya itu.

Celakanya nafasnya sesak, dadanya nyeri bukan main bersamaan dengan nyeri di perutnya yang cukup hebat. Rasanya seperti Ayu tengah di kuliti hidup-hidup, tidak pernah ia merasakan sakit seperti ini di sekujur tubuhnya.

“Aahh..” Ayu mengantur nafasnya, tanganya yang berkeringat itu meremas bantal yang ia kenakan.

Tak lama kemudian datanglah Dimas dengan Ibu nya Ayu, Ibu menangis mengkhawatirkan Ayu yang sudah pucat, berkeringat dan terlihat kesakitan itu. Dimas memang seperti itu ketika marah, di awal-awal hari pernikahan mereka, ketika masih tinggal di kediaman orang tua Dimas di Soerabaja.

Ayu kerap kali di pukul dan di tendang jika melakukan kesalahan, seperti menolak melayani Dimas, ketiduran ketika menunggunya pulang bekerja, masakan yang di buat Ayu tidak cocok dengan seleranya. Bahkan Ayu pernah di pukul hanya karna dia membaca buku dan menulis surat untuk keluarganya di Samarang.

Ayu tidak berani bercerita pada kedua orang tua nya, toh Romo lebih berpihak kepada Dimas dibanding anaknya sendiri. Sebelum pindah ke Soerabaja pun, Romo dan Ibu selalu mewanti-wanti jika Ayu harus patuh pada Dimas. Alih-alih merasa di perlakukan sebagai seorang Istri, Ayu lebih merasa ia hanya seorang pelayan dan pemuas nafsu untuk Dimas.

“Tarik nafas, Yu. Anak Ibu pasti kuat, sabar yah, Nduk.” Ibu mengusap pucuk kepala Ayu.

“Ayu gak kuat, Buk. Sakit.. Aaahh..”

Tubuhnya rasanya meregang, darah segar terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya hingga ranjang yang di tiduri oleh Ayu itu penuh dengan darahnya sendiri. Ketika Dimas hendak akan keluar dari kamarnya untuk memanggil pekerja di sana, dukun beranak yang tinggal di sekitar desa itu datang dengan sedikit berlari.

Wanita tua itu nampak panik, karena dalam seumur hidupnya, tak pernah ia membantu keluarga bangsawan pribumi melahirkan. Kebanyakan dari mereka memakai jasa dokter dari rumah sakit Belanda. Beliau lebih sering di minta jasa nya untuk membantu para pribumi miskin melahirkan dengan imbalan seadanya saja. Seperti di bayar dengan uang beberapa gulden, ubi atau bahkan di beri pisang.

“Ahh, cepat-cepat Istri saya mau melahirkan!!” pekik Dimas.

Wanita tua itu duduk di ranjang tempat dimana Ayu menahan seluruh rasa sakitnya, ia membuka kaki Ayu agar bisa memeriksa bagian bawah tubuhnya. Agak sedikit terkejut ketika darah terus mengalir dari bagian tubuh wanita ringkih itu.

“Aduh, Iki pendarahan, kudu enggal dilairaké. Tarik napas dhisik yo, Yu.” wanita tua itu membantu Ayu mengatur nafasnya perlahan-lahan.

Sudah sekitar dua jam Ayu berkelut dengan rasa sakit yang mendera nya, ia mengejan, mengatur nafasnya lagi kemudian mengejan seperti yang di lakukan sia-sia karna bayi yang di kandungnya tak kunjung lahir. Keringat bercampur dengan air mata sudah mengihiasi wajah Ayu yang semakin pucat dan lelah itu.

Tubuhnya kadang meregang, kepalanya sedikit naik dan mengejan lagi, meremas seprei, mengepalkan tanganya dan sesekali berteriak kesakitan bukan main. Siapapun yang mendengar jeritan dan rintihan Ayu yang seperti sedang di siksa itu tidak akan tega.

“Hhhmmm....” pada satu tarikan nafasnya sekali lagi, pandangan Ayu memudar. Wajah Dimas, Ibu nya dan wanita yang membantunya melahirkan itu sedikit demi sedikit sirna.

Nafasnya tersenggal dan pegangan tanganya pada jemari Dimas itu mengendur perlahan, Ayu seperti tengah melihat beberapa burung putih berterbangan di atas kepalanya seperti tengah memanggilnya, mengantarnya pada sebuah lorong dengan cahaya putih yang di depannya sudah ada Jayden dengan kuda putih yang seperti tengah menjemputnya.

Kantuk itu mendera, Ayu memejamkan matanya. Ia tersenyum, sakit yang mendera tubuhnya yang kurus itu perlahan menghilang, nafasnya yang semula berat itu menjadi jauh lebih ringan, ia seperti di paksa kuat untuk berjalan dan menghampiri Jayden yang tersenyum ke arahnya. Ayu merasa sangat sehat dan ringan, angin berhembus semilir menerbangkan rambut panjangnya dan mengantarkannya ke peristirahatannya.

Itu yang Ayu lihat, berbeda dengan apa yang di lihat oleh Ibu, Dimas dan wanita dukun beranak itu. Ayu tak lagi mengejan, tak lagi bernafas, darah yang keluar dari tubuhnya berhenti keluar, bahkan kepala bayi nya itu masih tertahan di ujung sana. Dengan tangan gemetar, Dimas memeriksa nadi Istrinya itu yang tak lagi berdenyut.

“A..Ayu.. Ayu meninggal, Buk,” ucapnya gemetar pada Ibu mertua nya itu.

Sontak tangis memenuhi ruangan itu, Ibu memeluk tubuh Ayu erat. Tak menyangka jika hari itu adalah hari terakhir ia akan melihat putrinya membuka mata, bicara padanya dan kaki ringkih nan kurusnya itu melangkah setapak demi setapak keluar dari kamarnya.

Bunyi nyaring dari alarm ponsel milik Kirana itu berbunyi, membuat ia terpaksa mengerjapkan matanya yang basah penuh peluh bercampur air mata. Badan Kirana sedikit bergetar, ketika ia bangun dan teringat akan mimpinya semalam. Ia menangis, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya sakit meratapi nasib Ayu yang tragis.

Di pukuli Suaminya hingga pendarahan dan terpaksa melahirkan namun nyawanya justru tidak tertolong, Kirana memeluk dirinya sendiri. Isaknya berusaha ia redam agar Ibu tidak mendengarnya.


Derap langkah kaki Raga memutari lapangan itu seakan tidak menemui titik lelah, kedua telinganya ia sumpal dengan earphone memperdengarkan lagu-lagu yang akhir-akhir ini sering ia putar di playlist lagu nya. Cuaca pagi ini cukup cerah dan rutinitas pagi Raga ia awali dengan olahraga kecil, berlari atau sekedar workout di rumah saja.

Tapi berhubung matahari nya cerah, ia memilih untuk lari. Keringat yang mengucur deras dari kening hingga turun ke leher nya itu ia usap dengan handuk kecil yang ia bawa di saku celana nya. Pria itu duduk sembarang di dekat taman, menghentikan musik yang masih mengalun dan menenggak air mineral di dalam botol minumnya itu. Sudah 10.000 ribu langkah ia mengelilingi taman itu.

Matanya menelisik ke sekitar, melihat beberapa orang yang masih berlari, bermain di taman atau sekedar membawa hewan peliharaan mereka jalan-jalan. Sampai sesuatu yang bergetar halus di saku celana nya itu mengintrupsi nya, Raga merogoh saku nya, mengambil benda persegi itu untuk melihat siapa yang menelfonnya pagi begini. Ia harap sih ini bukan soal pekerjaan, karna Raga akan sangat segan sekali jika minggu paginya di ikut campuri dengan urusan kerjaan.

“Kirana?” Gumamnya kecil, Raga menekan tombol hijau di layar ponselnya. Tak lama kemudian terdengar suara Kirana yang sedikit bergetar di sebrang sana.

Pak Raga?

“Ya, Na?” Kening Raga mengerut, ada apa Kirana menelfonnya sepagi ini dengan suara bergetar?

saya..” ada jeda cukup lama, terdengar Kirana sibuk menarik nafasnya kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia seperti berusaha meredam isak tangisnya sendiri.

“Na? Ada apa? Pelan-pelan ya, kamu kenapa?” Raga cukup khawatir, pasalnya Kirana enggak pernah menelfonnya sepagi ini apalagi dengan suara yang bergetar seperti sedang ketakutan.

saya sudah tau akhir hidup Ayu...” terdengar isakan Kirana yang semakin menyesakkan, sementara Raga membeku di tempatnya beberapa saat.

“Mimpi kamu sudah selesai, Na. Kalau kamu belum siap buat cerita, jangan paksain diri kamu, Na.”

saya mau secepatnya bahas ini, Pak. Kita bisa ketemu?” Kirana sudah mulai stabil, meski beberapa kali Raga sempat mendengar wanita itu menarik ingus nya karena menangis.

“Bisa, Na. Kebetulan saya juga lagi di luar. Kita ketemu 1 jam lagi ya, nanti saya share lokasinya ke kamu.”

oke, Pak.

Sebelum Kirana memutuskan sambungan telfon mereka, ada sesuatu yang ingin Raga katakan. Mungkin ini terdengar bisa membuat wanita itu sedikit lebih aman dan lega, mimpi buruk berkepanjangan mereka, yang membuat mereka bertanya-tanya sudah berakhir dan kini mereka hanya perlu mencari jawabannya saja.

“Na?”

Ya, Pak?

“Mimpi kita sudah selesai, kamu bisa tidur nyenyak mulai malam ini.”

Ditempatnya Kirana mengulum bibirnya sendiri, jemarinya yang tadi memelintir ujung baju tidurnya itu ia lepas. Kata-kata sederhana dari Raga cukup membuat perasaanya lega. Pria itu benar, Kirana bisa tidur pulas tanpa bermimpi hal-hal aneh tentang kehidupan sebelumnya.

Ya, Pak. Sampai ketemu, Pak.

Sambungan telfon itu di putus, Raga tersenyum samar. Kini ia dan Kirana harus mencaritahu jawaban akan mimpi mereka berdua, selesai dengan kegiatan berlarinya, Raga sempat pulang ke rumahnya sebentar, untuk mandi dan mengganti bajunya sebentar. Setelah itu ia langsung menemui Kirana di cafe yang tak jauh dari rumah Kirana.

Sengaja Raga mencari cafe yang dekat daerah rumah wanita itu, Kirana pasti masih sangat terkejut dengan mimpinya, di dengar dari nada bicaranya sepertinya mimpi yang Kirana alami tentang akhir hidup Ayu bukanlah suatu hal yang baik. Ketika ia membuka pintu cafe itu, Raga di kejutkan dengan kehadiran Raka dengan anak laki-lakinya. Tapi bukan itu saja yang membuat Raga terkejut, melainkan perempuan yang berdiri dan terlihat sama terkejutnya dengan Raga di belakang Raka.

“Pak Raga?” Sapa Raka, ia menyalami Raga dengan senyum ramah seperti biasanya. “Saka, salam dulu sama Om nya. Ini boss Papa di kantor.”

Raga masih mematung beberapa saat, tapi ia tetap mengulurkan tangannya pada bocah laki-laki di depannya itu dan menyunggingkan senyumnya. “Lucu, Ka. Siapa namanya?”

“Reisaka, Pak.”

Raga mengangguk kecil, “hallo, Saka.”

“Hallo, Paman.” bocah laki-laki dengan poni yang menutupi keningnya itu tersenyum malu, wajahnya benar-benar dominan Raka sekali. Dengan lesung pipi, rambut yang sedikit ikal, kulit putih bersih dan mata bulat dengan bola mata hitam bersinar itu. Menambah kesan polos khas anak-anak dengan tatapan menggemaskannya. Bocah itu kemudian berlari menghampiri wanita dengan ekspresi tegang di belakang Raka itu.

“Lagi jalan-jalan, Ka?” Tanya Raga basa basi.

“Iya, Pak. Saka ngajak jalan-jalan terus sekalian mampir buat sarapan.”

“Ahhh.” Raga mengangguk-angguk.

“Kita ke depan, Saka.” wanita yang berdiri di belakang Raka itu begitu saja melewati Raga dan Raka sembari menggandeng Saka. Terlihat dari mimik wajahnya ia kurang nyaman dengan kehadiran Raka di sana.

“Yang tadi itu, Istrimu, Ka?” tanya Raga hati-hati. Ia tidak salah lihat, ingatanya juga tidak salah. Itu adalah perempuan yang beberapa waktu lalu ia lihat bersama dengan Bagas. Ia bahkan melihatnya beberapa kali, di restaurant dan juga di rumah Bagas.

“Bukan, Pak. Dia cuma Ibu nya anak saya aja.” Raka senyum, sama sekali pertanyaan itu tidak menganggunya.

“Ahh, Maaf, Ka. Saya enggak tahu.” Raga jadi tidak enak sendiri.

“Gapapa, Pak. Kalau gitu saya duluan, Pak.”

Raga masih berdiri di depan pintu masuk berbahan dasar kaca itu, ia melihat dari kejauhan bagaimana wanita itu masuk ke dalam mobil Raka bersama dengan anak laki-laki mereka. Raka enggak cerita dia bercerai sama Istrinya atau apapun itu, pria itu hanya bercerita jika ia sudah memiliki anak. Semua tanya di kepala Raga rasanya menuntut sebuah jawaban, yang entah ia harus mendapatkan jawaban itu dari siapa.

Setelah mobil Raka menjauh pergi, barulah Raga memesan minuman untuknya dan memilih untuk duduk di pojok cafe. pagi itu, cafe nya belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orang saja yang sedang membaca buku atau mengerjakan pekerjaan kantornya.

Raga sempat memeriksa surel miliknya, sampai akhirnya ia merasa ada seseorang berjalan kearahnya. Itu adalah Kirana, wanita dengan wajah suram pagi itu membuat Raga bertanya-tanya mimpi macam apa yang di alami olehnya.

Rambut sebahunya ia biarkan terurai, ia hanya mengenakan sendal crocks, celana training hitam dan juga kaos putih polos. Baju khas rumahan sekali, mungkin karena cafe ini berada dekat rumahnya. Dan suasana hati wanita itu sedang tidak baik, makanya Kirana hanya mengenakan pakaian seadanya saja, Raga menebak-nebak dalam hati.

“Pagi, Pak,” sapa Kirana, ia menarik kursi di depan Raga dan duduk di sana.

“Pagi, Na. Mau pesan apa?” Raga menawari, ia menebak jika Kirana mungkin belum sarapan namun seketika tebakan dalam hatinya itu di tangkis begitu saja oleh jawaban Kirana.

“Nanti aja, Pak. Saya kebetulan sudah sarapan sebelum kesini.” Kirana memang sempat sarapan dulu, Ibu membuat roti bakar srikaya dan coklat keju untuknya.

“Yasudah, ngomong-ngomong, kamu baik-baik saja, Na? Mata kamu kelihatan sembab.”

Kirana memang tidak mengenakan make up apapun, ia hanya memakai sunscreen saja dan tone up cream, setelah itu ia langsung pergi ke cafe tempat ia dan Raga bertemu. Jadi, Raga bisa melihat betapa sembab dan lelahnya mata Kirana itu. Tidak seperti biasanya jika Kirana ke kantor, baju yang selalu rapih, rambut sebahu yang selalu ia kuncir atau di jepit dan riasan tipis yang membuat wajah Kirana terlihat segar.

“Um.” Kirana mengangguk, “saya boleh cerita sekarang, Pak?”

“Silahkan, Na.” Raga mempersilahkan, dia sendiri juga sudah penasaran sekali dengan cerita Kirana.

“Semalam saya bermimpi tentang Ayu, kejadian setelah Adi meninggal.” Kirana menahan nafasnya, entah kenapa seperti ada buncahan ketidaknyamanan di sana yang menyeruak keluar dari dada nya. Kirana tidak ingin ketidaknyamanan ini menguasainya, jadilah ia melawan dengan terus menceritakan tentang mimpinya.

“Setelah Adi meninggal, Ayu seperti kehilangan separuh dari dirinya. Dia sudah trauma di tinggalkan Jayden tanpa salam perpisahan, bahkan surat terakhir yang di tulis Jayden dan di titipkan pada Adi itu hilang, setelah kepergian Adi, dia sering sekali melamun. Tatapannya kosong, hatinya merana seperti tidak pernah menemukan ketenangan meski di rumahnya sendiri. Ia takut di tinggalkan, dan ternyata hal itu pula yang memancing amarah Dimas. Ayu di pukulin, di tendang, bahkan di lempar sampai dia pendarahan.”

Kirana menangis, ia masih sangat ingat bagaimana nasib wanita ringkih dalam mimpinya itu di pukuli habis-habisan, laki-laki sialan bernama Dimas itu bahkan hanya memperdulikan anak yang di kandung Ayu hanya karena bayi itu adalah penerus tahta di keluarganya.

Kirana masih ingat rasa sakit dan teriakan Ayu yang menggema di telinganya bagaikan lolongan macan di tengah hutan. Bahkan saat ia mengucurkan kepalanya dengan air saat mandi, memejamkan matanya karena air yang membasahi tubuhnya justru ia bisa mengingat jelas bagaimana Ayu berjuang menahan sakit melahirkan anaknya.

“Ayu melahirkan, Pak. Tapi sayangnya tubuh ringkihnya itu tidak kuat, dia meninggal dunia dengan kepala bayi nya yang masih tertahan di tubuhnya. Bayi itu juga meninggal.” tubuh Kirana bergetar, ia menutupi wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.

Raga sedikit bersyukur suara dan isakan Kirana kecil dan suaranya tersamarkan dengan lagu dari cafe yang memutar lagu The Beatles yang berjudul Yesterday. Raga menggeser kursinya dan menepuk pelan pundak Kirana agar wanita itu merasa lega.

Raga enggak mengatakan sepatah katapun, ia mau Kirana melepaskan dulu segala keresahannya tentang mimpi yang mungkin mejadi kisah terakhir di mimpinya itu. Ia juga tidak tahu harus memberikan ucapan seperti apa agar Kirana tenang, Setelah Kirana tenang, ia menawarkan tissue yang kemudian langsung di sambar Kirana beberapa lembar untuk mengelap air mata dan wajahnya.

“Ayu sudah meninggal, Pak. Apa mungkin ini menjadi akhir dari perjalanan hidupnya?” Kirana menatap Raga dengan pandangan penuh harap dan menuntut jawaban, padahal, Raga sendiri tidak bisa menjamin apakah itu benar-benar mimpi terakhirnya atau bukan, namun mengingat Raga yang sudah mengetahui akhir hidup Jayden dan tidak pernah bermimpi lagi tentang Jayden pun seperti jawaban yang sama untuknya.

“Saya harap begitu, Na.”

“Menurut Bapak, kenapa kita bisa bermimpi seperti itu?”

Raga menghela nafasnya pelan, dia sendiri masih mencocokkan beberapa kemungkinan. “Ada banyak hal yang berubah, jika benar itu adalah perjalanan kehidupan kita yang sebelumnya.”

“Tapi kenapa hanya kita yang bermimpi seperti itu?”

Raga menelan saliva nya susah payah, hanya ada satu jawaban yang terpikirkan di kepala Raga saat itu. Tentang janji Jayden dan Ayu di tengah pelarian sementara sewaktu Adi mengantarkan Ayu ke dekat hutan untuk bertemu Jayden. “Kamu ingat janji Jayden dan Ayu, Na?”

“soal apa?”

“Jayden pernah bilang, dia pernah berjanji kalau di kehidupan saat itu mereka tidak berjodoh, mereka harus terlahir kembali di kehidupan yang lain. Dan Jayden akan mengusahakan mereka untuk tetap bersama di kehidupan itu,” jelas Raga yang membuat Kirana tergegun beberapa saat.

Penjelasan itu pula yang menciptakan hening dan suasana canggung tak mengenakan yang berada di tengah-tengah mereka berdua.

Bersambung...