31. Malam Kelam
Sepanjang perjalanan pulang sehabis bertemu dengan Kirana, Raga banyak meruntuki dirinya sendiri. Karena sejak itu suasana yang tercipta di antara mereka berdua sangatlah canggung, ia seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu. tapi di sisi lain Raga hanya teringat akan janji Jayden dan Ayu di pinggir hutan malam itu.
Karena jika benar mereka adalah reinkarnasi dari Ayu dan Jayden, sudah banyak sekali hal yang berubah. Termasuk nasib Adi dan juga Dimas, di kehidupan sebelumnya Adi hidup bersama orang tua nya yang miskin, tapi di kehidupan sekarang ini. Bagas yang menyerupai Adi itu hidup layak, ia memliki pekerjaan bahkan orang tua nya memiliki bisnis laundry. Sedangkan Raka ia sudah menikah dan memiliki anak, dan pria itu tidak menikah dengan Kirana yang mana Kirana sendiri sangat mirip dengan Ayu.
Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya belum terjawab, seperti mengapa hanya ia dan Kirana yang mendapat petunjuk mimpi seperti itu, apa keluarganya masih memiliki hubungan dengan keluarga Jayden hingga mungkin saja Jayden terlahir kembali di dalam tubuhnya. Sebenarnya, mengatakan hal ini kepada orang lain yang tak mengalami kejadian serupa dengannya, Raga mungkin hanya di cap sebagai “orang gila baru.”
Ia menghela nafasnya pelan, toh nasi sudah menjadi bubur juga ia sudah bicara seperti itu pada Kirana, soal wanita itu nantinya menjauh atau tidak akan ia pikirkan itu nanti. Begitu mobil yang Raga kendarai itu memasuki pekarangan rumah orang tua nya, ia melihat ada satu mobil terparkir disana. Itu mobil milik Mas Ethan, Suami dari Mbak Adel.
Begitu Raga keluar dari mobil, si kecil Safira dengan mata bulat dan berbinar itu berlari menghampiri Raga, “Om Aga!!!”
Raga langsung berlari kecil dan menangkap keponakannya itu dan membawanya ke gendongannya, rindu sekali rasanya ia tidak mendengar celotehan dari bibir bocah itu. Sudah ada satu bulan Mbak Adel tidak mengunjunginya dan Raga pun hanya berkabar dengan Mbak dan keponakannya itu dari telfon saja.
Safira itu mirip sekali dengan Mbak Adel ketika masih kecil, rambutnya tebal dan kecoklatan, mata bulat berbinar terang dengan warna yang sedikit kecoklatan, kulit putih bersih dan hidung yang mancung sempurna. Oh, tentu saja gen ini Mbak Adel dapat dari Papa. Karena mendiang dari orang tua Papa itu adalah kewarganegaraan Belanda. Ya, meski Papa sendiri enggak pernah menceritakan lebih lengkap tentang buyutnya itu.
“Waduh tambah berat kamu, Fir. Kaya nya keponakan Om yang cantik ini tinggian gak sih?” Raga terkekeh, ia berjalan ke dalam rumahnya sembari menggendong Safira yang nampak nyaman memeluk lehernya.
Safira cepat sekali tinggi, seingat Raga terakhir bertemi dengan bocah itu. Tinggi nya baru sepinggang Raga, dan hari ini bocah itu sudah nyaris sampai ke tengah perut Raga. Ia jadi teringat oleh anak vampir dan manusia dalam series Breaking Dawn. Namanya Renesmee, bocah itu juga cepat sekali pertumbuhannya.
“Aku kan minum susu terus, Om. Olahraga juga kata Mami susu itu bagus dan olahraga bisa bikin aku makin tinggi.” biarpun masih kecil dan baru saja masuk preschool tapi Safira ini sudah sangat pintar, bocah itu memiliki ingatan yang kuat bahkan guru nya di sekolah menyebut Safira memiliki photograpic memory yang bisa mengingat segala hal dalam sekali menyimak saja.
Namun Raga sedikit mengetahui jika anugerah yang di miliki Safira terkadang menjadikannya semacam kutukan juga, seperti jika suatu hari nanti Safira akan memiliki ingatan pahit dalam hidupnya. Mungkin ia akan sangat kesulitan melupakan ingatan itu meski bocah itu sudah menguncinya rapat pada gudang gelap di dalam kepalanya.
“Kebalap deh nanti Om tingginya sama kamu.”
Begitu kedua nya masuk, di ruang tengah rumah orang tua Raga itu sudah ada Mas Ethan yang sibuk menata beberapa kue basah yang sempat di bawa istrinya itu untuk mereka makan bersama. Kebiasaan Mbak Adel itu enggak pernah berubah, ia akan selalu memasak dan kemudian di bawa untuk Raga dan makan bersama mereka.
“Dari mana kamu, Ga?” tanya Mas Ethan setelah Raga bersalaman dengannya.
“Habis ketemu teman kantor, Mas.” Raga duduk lesehan di bawah meja ruang tamu, bermain bersama Safira dan boneka Barbie yang bocah itu bawa.
Mbak Adel yang baru saja keluar dari dapur setelah menghangatkan tekwan itu tersenyum penuh arti, kebiasaan meledek Adiknya itu tidak pernah luntur meski ia sudah dewasa dan berkeluarga. Tekwan yang sudah selesai ia hangatkan itu, memiliki harum menyeruak, wangi dari rempah-rempah yang di pakai seperti lada, bawang putih dan geprekan ebi yang berhasil memenuhi ruang tamu dan mengoyak perut Raga yang memaksa ingin melahap tekwan itu sekarang juga.
Raga bahkan sudah bisa membayangkan kuah yang hangat itu, bercampur dengan tekwan yang di padukan dengan udang, bengkuang dan jamur kuping. Akan lebiu nikmat rasanya jika di kucurkan dengan jeruk nipis dan beberapa sendok sambal hijau ini selera Raga sekali. Sejak menikah dengan Mas Ethan yang memang berasal dari Palembang, Mbak Adel jadi pandai memasak-masakan khas Sumatra Selatan itu.
“Teman apa teman nih? Habis ketemu Kirana ya?” Mbak Adel asal tebak.
“Kirana yang waktu itu nolongin Raga itu bukan sih, sayang? Yang di sebut-sebut Mama sama Papa terus?” Mas Ethan kembali mengingat-ingat wanita yang pertama kali di kenalkan Raga di keluarganya, maklumlah Raga tidak pernah mengenalkan wanita sepanjang hidupnya.
“Iya benar yang itu, jadi, serius nih, Ga. Kamu ketemu sama dia? Kok diam aja sih?” Mbak Adel duduk di samping Suaminya itu, ia mencomot pastel yang tadi sedang di susun Mas Ethan dan melahapnya.
“Iya memang ketemu dia, tapi cuma ngomongin kerjaan aja kok,” Raga ngeles.
“Gak ngomongin kerjaan juga gapapa kok, Ga. wong kamu sudah dewasa, cepat carikan Tante buat Safira masa dia cuma punya Om Doang.”
Raga meringis mendengar ucapan Mas Ethan itu, ya memang benar Safira hanya memiliki Om saja, karena di keluarga Mas Ethan. Pria itu adalah anak tunggal, jadi Safira hanya memiliki satu Om saja.
“Ya doakan saja, Mas.”
Pagi itu mereka makan bersama, berbincang banyak hal mengenai kabar orang tua mereka dan bisnis kecil-kecilan yang di dirikan oleh orang tua mereka. Mama dan Papa Raga membuka bisnis toko bunga kecil di depan rumah mereka. Halaman rumah Raga di Semarang cukup luas sehingga ada lahan sedikit yang di bangun sebuah ruko dan di jadikan toko bunga.
Mama sangat mencintai bunga, seperti lily, edelweiss, mawar putih, peony, sedap malam dan masih banyak lagi. Dan Papa mewujudkan impian Mama yang sangat ingin memiliki toko bunga sendiri dan mengelola nya, sebenarnya keinginan itu bisa saja terwujud sejak mereka masih muda.
Namun Mama pernah bilang ingin melakukannya di usia senja saja, ingin menikmati hari demi hari merangkai bunga di toko miliknya, memberitahu bunga apa saja yang cocok untuk di berikan pada pelanggan sembari sesekali menikmati sesapan teh melati dan membaca buku. Mama bahkan dengan suka rela memberikan kelas cara menanam bunga, khususnya bunga lily yang memang hanya bisa tumbuh di daerah pegunungan. Bahkan bibit yang ia dapatkan berasa dari luar.
“Sebenarnya Mas kesini selain mau jenguk kamu, Ga. Mas juga mau ngasih penawaran ke kamu,” ucap Mas Ethan.
“Soal apa tuh, Mas?” Raga mengerutkan keningnya, sebenarnya sudah sering kali Mas Ethan menawari beberapa hal di bidang pekerjaan mereka. Ya tidak kaget lagi jika kali ini tebakan Raga benar jika penawaran yang akan di tawarkan pada Raga adalah soal pekerjaan.
“Kantor Mas itu lagi butuh partner. Mas pikir kamu cocok loh, Ga. Lagian kamu mau sampai kapan berkarir di sana jadi team leader terus? Mumpung masih muda, Ga.”
“Memangnya Mas Gusti udah gak kerja di kantor Mas Ethan lagi?” Karena seingat Raga, Gusti cukup di andalkan di firma itu. Raga baru hanya menduga Gusti membangun firma sendiri atau mungkin pindah ke luar negeri seperti yang Mas Ethan pernah bilang pada Raga beberapa bulan yang lalu.
“Ada konflik, Ga. Ya biasa lah, Gusti mutusin buat keluar.”
“Raga pikir-pikir dulu ya, Mas.” Menurut Raga, ini adalah kesempatan baik untuknya. Namun disisi lain, ia sangat nyaman bekerja di kantornya sekarang ini. Meski bukanlah firma besar namun firma yang sudah cukup membuatnya berdiri di kakinya sendiri sejak lulus dari perkuliahan itu, telah memberinya banyak pengalaman berharga. Katakanlah Raga belum berani keluar dari zona nyamannya.
Kirana berjalan gontai menuju rumahnya, cafe tempatnya bertemu dengan Raga memang tak jauh jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Namun saat kakinya melangkah masuk ke pekarangan rumahnya, ada 2 mobil di sana yang tidak Kirana kenali. Sebenarnya Kirana sudah curiga ada tamu yang datang sejak ia melihat pagar kayu rumahnya itu terbuka.
Terlihat ada 6 orang pria menunggu Kirana di teras rumah, pria berjaket hitam dengan kisaran umur 30-40 tahun itu dengan wajah sangar yang tampak mengintimidasi Kirana hanya dari tatapannya saja, seorang laki-laki bertubuh tambun dengan kumis tebal itu menghampiri Kirana. Air wajahnya tenang, tak seperti anak buahnya yang lain yang terlihat ingin menerkam Kirana.
“Pagi, Mbak Kirana. Saya orang suruhan dari Pak Ridwan ingin menyampaikan ini.” Si pria tambun itu memberikan sebuah map berwarna merah pada Kirana, yang kemudian langsung saja di baca oleh Kirana.
“Penyitaan aset terakhir?” Gumam Kirana. “Maksud Bapak, Pak Ridwan mau ambil rumah saya?”
“Benar, Mbak. Karena sudah lewat dari 6 bulan Mbak dan Ibu Mbak. Kami beri waktu untuk menyelesaikan urusan hutang piutang pada Pak Ridwan. Seperti yang Mbak sudah tanda tangani, rumah ini akan kami sita jika dalam waktu 6 bulan Mbak tidak bisa melunasinya.”
Kedua bahu Kirana merosot, “tapi kan Pak Ridwan tahun beberapa bulan yang lalu saya sempat kecelakaan makanya urusan hutang piutang ini agak sedikit tersendat.”
Kirana memberikan pembelaanya, Ibu nya sempat menelfon Pak Ridwan agar di beri waktu tambahan untuk menyelesaikan hutang mendiang Bapaknya Kirana pada Pak Ridwan sampai Kirana pulih dan bisa bekerja kembali, bahkan Ibu pernah menjual beberapa barang mereka demi mencicil sediki demi sedikit.
“Benar, Mbak. Tapi saya dan anak buah saya hanya menjalankan perintah dari Pak Ridwan.”
“Saya harus bicara sama Ibu saya dulu, Pak. Gak bisa langsung hari ini juga, saya minta waktunya sedikit lagi, Pak. 3 bulan lagi, saya janji bagaimanapun caranya bakalan saya lunasi.” Kirana mencoba peruntunganya, baginya rumah ini adalah satu-satunya peninggalan terakhir dari Bapak yang harus ia dan Ibunya jaga. Bukan hanya sekedar rumah, bangunan itu menyimpan banyak kenangan dan bahkan di design sendiri oleh Bapak.
“Enggak bisa, Mbak. Untuk sementara ini saya minta serifikat rumah Mbak dulu, kami beri waktu 3 hari untuk mengosongkannya. Untuk urusan Mbak yang minta jangka waktu, Mbak bisa datang ke kantor Pak Ridwan.”
Tubuh Kirana lunglai, ia benar-benar lemas mendengar ucapan pria tambun itu. Air matanya sudah tidak bisa mengalir lagi meski hatinya hancur, otaknya berputar memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan uang 1 Milyar untuk merebut kembali rumah peninggalan Bapaknya itu.
Setelah di giring ke dalam rumah oleh beberapa anak buah si pria berbadan tambun itu, Kirana menyerahkan surat rumah nya itu pada si pria berbadan tambun. Tak lama kemudian, si pria berbadan tambun itu nampak melihat isinya dahulu sebelum akhirnya berpamitan untuk pergi.
Meski perlu Kirana akui, dari sekian banyak orang yang menagih hutang ke rumahnya. Hanya si pria berbadan tambun lah yang masih bersikap sopan padanya dan Ibu, enggak ada intimidasi apapun seperti bentakan atau kekerasan fisik lainnya. Pak Ridwan memang memerintahkannya seperti itu atau memang si pria berbadan tambun saja yang masih memiliki rasa kemanusiaan.
Setelah pria-pria itu pergi, Kirana duduk di lantai rumahnya dekat ruang tamu yang dahulu terisi oleh sofa-sofa dan beberapa kursi panjang yang terbuat dari kayu jati, kursi dan sofa itu sudah tidak ada karena Ibu dan Kirana telah menjualnya untuk membayar hutang, hanya tersisa kursi plastik saja dan meja kecil untuk duduk jika ada tamu yang datang.
Kirana terisak disana, memeluk dirinya sendiri karena merasa tidak becus menjaga satu-satunya kenangan dan peninggalan terakhir dari Bapaknya, sekeras apapun ia dan Ibunya bekerja selama ini, itu semua bahkan belum bisa menutupi separuh dari hutang Bapak.
Si pria gempal memberikan waktu 3 hari agar Kirana dan Ibunya segera mengosongkan rumah mereka, tapi bukan itu saja yang menjadi bagian paling menyakitkan dalam hidupnya. Bukan hanya tentang meninggalkan rumah ini dan harus pergi kemana, tapi ini tentang bagaimana ia harus bicara pada Ibunya.
Suara mobil yang baru saja masuk ke dalam halaman rumah Kirana itu bahkan tidak menginterupsi Kirana sama sekali, ia masih menangis sembari memeluk kedua kakinya. Pintu depan memang ia buka lebar, jadi baik Kirana maupun seseorang yang baru datang itu bisa melihat satu sama lain. Itu mobil milik Bagas, pria jangkung itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah Kirana. Apalagi saat ia melihat Kirana memeluk kakinya sendiri dan menundukan kepalanya.
“Sayang?” Panggil Bagas, ia mengusap pelan bahu Kirana, Bagas sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Kirana.
Begitu Kirana menampakan wajahnya, mendongak menatap kedua manik mata milik Bagas yang hitam legam itu. Tangisnya semakin tumpah, tubuhnya reflek bersandar pada Bagas yang begitu saja pria itu sambut dengan uluran tanganya yang menyambut tubuh Kirana.
“Kenapa, sayang? Tadi aku liat ada mobil keluar dari rumah kamu, mereka siapa?”
Tangis Kirana masih menyesakkan, bahkan ia yakin baju yang di kenakan oleh Bagas pasti sudah basah karena air matanya. Tapi biarkan kali ini Kirana menangis, ia telah lelah berpura-pura tangguh sendirian. Beban yang selama ini ada di pundaknya ingin segera ia tumpahkan begitu saja, tubuhnya sakit, hatinya perlahan hancur kepingan itu berantakan dan Kirana tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Setelah dirasa cukup tenang dan tangisnya mereda, Kirana mengurai pelukan itu, membiarkan ibu jari Bagas mengusap bagian bawah matanya yang masih mengembang air mata.
“Gas?”
“Hm?” Bagas berdaham, tersenyum kecil seperti memastikan pada Kirana jika ia tetap ada untuknya.
“Tadi orang-orangnya Pak Ridwan kesini, mereka bilang Pak Ridwan mau sita rumah ini karena aku gak menyanggupi pembayaran hutang Bapak dalam waktu 6 bulan. Ini udah lewat dari tenggatnya,” jelas Kirana meski terbata-bata, entah sejak kapan air mata itu kembali merembas dari pelupuk matanya dan begitu saja terjun ke wajahnya.
“Aku harus gimana ya, Gas? Gimana caranya aku ngasih tau Ibu?”
Bagas terdiam, hatinya juga ikut sakit mengetahui jika rumah yang menjadi satu-satunya kenangan untuk keluarga Kirana itu harus di sita. Sebenarnya, Bagas sudah sering kali menawarkan pada Kirana bantuan. Bagas memiliki tabungan, memang tidak banyak hingga bisa melunasi seluruh hutang mendiang Bapaknya Kirana kepada Pak Ridwan, tapi setidaknya Bagas bisa membantu separuhnya.
“Nanti aku bantu bicara sama Ibu ya? Sementara waktu, kalau emang rumah ini harus di kosongin. Kamu sama Ibu bisa tinggal di rumahku dulu, Na.”
Rumah yang Bagas sewa memang cukup besar, memiliki 2 kamar tidur. Bagas hanya memakai 1 kamar, ia pikir Kirana dan Ibu nya bisa tidur di kamarnya yang satu lagi. Atau kalau pun Kirana enggan menerima tawaran ini, mengingat kekasihnya itu sulit sekali menerima bantuannya. Ia bisa bantu Kirana untuk mencarikan rumah yang bisa mereka sewa.
“Enggak, Gas. Aku gak mau ngerepotin kamu,” ucap Kirana lirih, suaranya serak. Ia menyibak rambutnya itu yang nampak sedikit berantakan.
“Kenapa, Na? Aku gak pernah ngerasa kamu repotin sama sekali. Aku senang kalau bisa bantu kamu.”
Kirana mengangguk pelan, “bantuin aku cari rumah yang bisa aku sewa aja ya? Pak Ridwan ngasih waktu aku 3 hari buat ngosongin rumah ini.”
“Aku pasti bantu, tapi, Na.” Bagas membawa kedua tangan Kirana dan menggenggam tangan itu erat, ia usap punggung tanganya dengan ibu jarinya itu, “jangan pernah sungkan buat minta bantuan aku ya, Na. Aku enggak mau kamu kesusahan sendirian. Aku senang banget kalau bisa bantu kamu dan Ibu.”
Kirana tidak menjawab, ia menunduk dan hanya mengangguk kecil. Baginya kehadiran Bagas saja sudah cukup untuknya. Untuk ia jadikan sandaran, Kirana enggak pernah mau menyeret-nyeret Bagas atau siapapun itu ke dalam persoalan hutang piutang Bapaknya. Bagi Kirana ini adalah tanggung jawabnya.
Malam itu setelah Ibu pulang dari toko, sudah makan malam dengan soto Lamongan yang di buat Kirana dan Bagas, keduanya berusaha perlahan-lahan memberitahu Ibu tentang kabar tidak baik ini. Ibu sangat sedih, Ibu menangis karena merasa rumah itu begitu penting baginya.
Kirana tidak bisa banyak berjanji pada Ibu, seperti suatu hari ia akan berusaha mengambil alih rumah mereka lagi, karena Kirana sendiri tidak yakin. Hutang Bapak bukan hanya pada Pak Ridwan saja, masih ada hutang lain yang perlu Kirana lunasi. Melihat Kirana dan Ibunya yang cukup piluh dan tidak bisa di tinggal, akhirnya Bagas memutuskan untuk menginap di rumah Kirana, membantu Kirana mengepak beberapa barang yang akan mereka bawa nanti.
Wanitanya tidak banyak bicara, raut wajahnya yang cerah seperti matahari di pagi hari itu kini nampak mendung seperti ada awan kumulonimbus di sana yang siap menyambar petir dan badai kapan saja.
“Besok pagi, setelah sarapan. Kita cari-cari rumah ya?” Bagas mengusap kepala Kirana dan wanita itu mengangguk kecil.
Bersambung...