32. Rawon

Sejak bertemu dengan Raga di cafe kemarin hati Asri tidak pernah tenang sedikit pun, pertemuan sialan itu selalu saja membuat buncahan ketidaknyamanan di hatinya. Ada banyak pertanyaan di kepalanya kenapa bisa Raka dan Raga saling mengenal, ini bahaya. Dan apa yang di katakan Raka kemarin?

Raga adalah boss nya? Bagaimana bisa? Itu artinya Raka bekerja di firma arsitektur yang sama dengan Bagas? Pikir Asri, ini tentu saja membahayakan dirinya, rahasianya dan juga hubungnya kelak bersama Bagas dan juga keluarganya. Pagi itu, Asri mundar mandir didepan meja rias kamarnya, ia mengigiti kuku jempol tangannya dengan perasaan tidak nyaman sialan itu.

Ia harus membuat Raka bungkam, atau kalau bisa membuat Raka tidak bekerja di kantor itu lagi. Ah, tapi tidak ada yang jauh lebih sulit dari pada itu. Raga sudah melihatnya, dan bagaimana kalau Raga bercerita pada Bagas?

“AARRRRHHHHHH LAKI-LAKI SIALAN!!” Pekik Asri, ia mengobrak abrik benda-benda yang ada di atas meja riasnya seperti, body lotion, beberapa make up, hair care dan tentunya koleksi parfum mahal kesayanganya itu terjatuh berserakan ke lantai, bahkan isinya sampai keluar dan beberapa parfum pecah.

persetan dengan itu semua, ia tidak tenang. Asri bisa membelinya lagi nanti, dan sekarang otaknya terasa membeku memikirkan bagaimana bisa Raka berada satu kantor dengan Bagas atau ini adalah bagian dari rencana Raka untuk menghancurkan hidupnya? Pikir Asri. Hari ini, seharusnya Asri bertemu dengan Kirana. Tapi wanita itu bilang dia tidak bisa, ada hal yang harus Kirana kerjakan. Dan mereka mengatur pertemuan itu menjadi lusa.

Karena mendengar suara benda berjatuhan dari kamar Asri, Dwika. Papa nya Asri itu langsung mengetuk kamar Asri, sejak kemarin Asri memang tampak lebih pendiam dan lebih sering di kamar. Anak satu-satunya itu juga jauh lebih sensitif sampai-sampai beberapa karyawan di butiknya itu Asri marahi hanya karna melakukan kesalahan kecil saja.

Sejak hari itu Papa tahu jika ada yang tidak beres dengan putrinya, Papa hanya menduga jika Raka, pria sialan mantan Suami putrinya mungkin mengacam Asri kembali. Tentunya, Papa tidak akan tinggal diam jika itu terjadi. Sejak awal Asri mengenalkan Raka padanya saja ia sudah tidak menyukai pria itu, apalagi waktu mengetahui Asri hamil dan Raka meminta restu untuk menikahi putrinya.

“Asri, ada apa, Nak?” Suara Papa terdengar dari luar kamar, pria itu tampak begitu khawatir dengan putrinya.

Asri mengacak-acak rambutnya, dan kemudian lekas membukakan pintu kamarnya itu. Begitu melihat kamar Asri yang berantakan, Papa langsung menatap putrinya dengan ekspresi wajah yang bingung. Asri nampak kacau, sudah bisa Papa pastikan ada masalah yang tidak bisa Asri selesaikan sendiri.

“Ada apa? Sejak kemarin kamu jarang keluar kamar, emosi terus, ada apa?”

“Gimana Asri gak emosi, Pah. Papa tau Raka udah pindah ke Jakarta sama anak itu kan? Papa tau sekarang dia kerja dimana?” Asri berbicara dengan nada yang cukup tinggi, jika sudah mengalami tekanan. Wanita itu sulit sekali mengontrol emosinya terutama nada bicaranya.

“Dia kerja di kantor yang sama dengan Bagas, Pah. Aku gak tau dia sengaja apa enggak, tapi ini bikin aku setress, Pah. Terlebih waktu kemarin aku sama Reisaka dan Raka ke cafe, kami sempat ketemu Raga, dia atasanya Bagas di kantor dan Raga ini kelihatanya dekat sama Kirana juga. Raga pernah lihat Asri waktu jalan sama Bagas dan pernah ketemu Asri di rumah Bagas juga, Pah. Gimana kalau Raka cerita ke Raga kalau Asri sama dia pernah menikah dan punya anak?” Asri meremas rambutnya frustasi, ia takut sekali rahasia yang selama ini ia kunci rapat dalam sebuah gudang gelap, lembab dan terkunci rapat itu di buka paksa oleh seseorang.

Ia tidak ingin rahasia sialan itu terkuak, apalagi kalau sampai Bagas dan keluarganya tahu. Bagi Asri dan Papa, ini adalah aib. Reisaka, bocah itu adalah aib sekaligus rahasia besar dalam hidup Asri yang ingin Asri singkirkan selamanya dan tidak membiarkan orang lain mengoreknya.

“Untuk sementara ini, kamu ikuti dulu saja permainan Raka, Sri. Sembarin nanti Papa pikirkan lagi bagaimana cara membuat dia tetap diam.”

Asri tahu Papa nya akan mengusahakan segala cara, namun hatinya tetap tidak tenang. Ia ingin segera menikah dengan Bagas agar Raka tidak lagi mengusik hidupnya, agar ia terikat pada Bagas. Hari itu ketika langit sudah cukup gelap, Asri kembali mengirimi Kirana pesan dan meminta janji temu mereka di majukan. Asri juga sempat membuntuti Kirana dan Bagas hari ini, keduanya sempat berkeliling seperti mencari rumah yang akan di sewa entah untuk siapa.

Asri tentu saja sudah melaporkan pada orang tua Bagas jika Kirana belum juga menjauhi Bagas, yang langsung saja membuat Ibu nya Bagas itu murka. Beliau bahkan mencoba memikirkan cara terakhir untuk membuat Kirana menjauhi Bagas. Yaitu dengan cara membantu Kirana untuk melunasi hutang-hutang Bapaknya, dan memberitahu Bagas jika Kirana memeras orang tuanya. Sebut aja ini mengadu domba Bagas dan Kirana.


Tengah bergerumul dengan aneka bumbu-bumbu yang tengah di rajangnya, Kirana mendengarkan celotehan Bagas tentang rumah-rumah yang mereka survey barusan. Hari ini Kirana memutuskan untuk izin tidak masuk bekerja, ia harus mencari rumah sewa untuknya dan Ibu. Kondisi Ibu agak sedikit drop, tekanan darahnya tinggi dan memaksa Ibu untuk tidak bekerja juga hari ini.

Setelah makan siang dengan sup jagung, dan memberinya obat untuk menurunkan tensinya. Ibu istirahat di kamarnya, Kirana dan Bagas sempat survey sebentar dan kemudian kembali ke rumah, sejujurnya ada perasaan tidak enak pada kekasihnya itu karena Bagas jadi harus berbohong pada Raga tentang pekerjaanya.

Bagas memang ada pekerjaan di luar kantor, memantau proyek milik pria itu yang sedang berjalan, sedang ada pengecoran disana dan seharusnya Bagas memantau. Tapi pria itu hanya memantau sebentar setelahnya ia serahkan semuanya pada mandor proyek tersebut, demi menemani Kirana mencari rumah sewaan.

“Kalau yang tadi aku setuju deh, sayang. Sirkulasi udaranya bagus, rumahnya juga enggak terlalu besar buat kamu sama Ibu. Gak jauh pula buat kamu ke kantor, Ibu juga cuma naik bus sekali aja kan ke toko?” Di ruang tamu, Bagas masih duduk setia di lantai. Tanganya ia tumpuhkan pada meja berbahan kayu jati sembari fokus pada MacBook di depannya, mencari-cari rumah sewaan dari internet kemudian menghubungi pemiliknya.

“Tapi kayanya budget aku yang gak cukup, sayang. Sewa segitu bisa aku cicil buat hutang Bapak,” Kirana meringis.

Ia kupas 3 buah kluwek dan menggabungkannya dengan bawang merah, bawang putih, laos, kunyit, lada, kemiri dan jahe. Semua bumbu-bumbu yang harumnya sudah semerbak memenuhi dapurnya itu ia haluskan. Bunyi deru mesin dari blender yang sedang menghaluskan bumbu itu sedikit menyamarkan suara Bagas yang masih berceloteh di depan sana.

“Hhmm.. Atau yang di daerah Percetakan Negara tadi aja ya, sayang? Tapi agak jauh kalau mau ke kantor? Tapi kondisi rumahnya rapih sih bangunan baru.” Bagas geregetan sekali, ingin membantu Kirana. Tapi berkali-kali Kirana hanya meminta bantuannya untuk di temani mencari rumah sewa dan pindahan saja, semua yang berhubungan dengan financial wanita itu di tolak olehnya.

“Boleh, tapi tadi kamu sempat lihat airnya bagus gak, sayang?” Tanpa menoleh ke arah Bagas, langsung saja Kirana menumis semua bumbu halus itu. Sembari sesekali ia tinggal untuk memotong sisa daging sapi yang ada di kulkasnya, rawon daging sapi, masakan otentik yang selalu Bagas sukai dengan bawang goreng dan kecambah di atasnya, di hidangkan dengan nasi panas. Kesukaan Bagas sekali, pria itu bisa nambah berpiring-piring seperti ketika makan gultik di daerah Barito atau BlokM. Kirana sampai berpikir jika tangki perut pria itu memanglah besar.

“Bagus kok, cuma minus nya agak ramai sih lingkungannya, mungkin akan enggak nyaman buat Ibu istirahat.”

Wangi dari semerbak bumbu rawon yang tengah di tumis oleh Kirana itu menyeruak memenuhi ruang tamu, memasuki rongga hidung Bagas hingga cuping hidungnya kembang kempis. Arona itu seolah memanggilnya untuk menghampiri Kirana ke dapur, melihat apa yang tengah wanita itu kerjakan di sana meski mungkin kehadirannya sama sekali tidak membantunya.

Dengan telaten seolah pisau dapur dan segala bumbu sudah berkawan baik dengannya, Kirana satukan semua bumbu itu dalam satu panci bersamaan dengan daging yang sudah ia iris dengan potongan yang sangat pas sekali untuk satu kali suapan, aroma itu semakin semerbak, bunyi “ces” dari daging ketika di masukan membuat perut Bagas semakin meronta-ronta ingin segera di isi.

“Yang itu aja kayanya gapapa, sayang. Satu-satunya rumah yang murah, yang aku sanggup bayar dan sebagian gajiku dan Ibu masih bisa di pakai buat cicil hutang Bapak.” Kirana berbalik, menatap pria nya itu dengan senyum setelah ia selesai mencuci tanganya.

“Kamu yakin?”

Kirana mengangguk, “nanti bantuin lagi pas pindahan ya.”

“Pasti.” Bibir itu, bibir yang tersenyum dengan manis namun tersirat sebuah kemalangan dan kepedihan wanita itu suguhkan pada Bagas.

Membuat jantung Bagas berdetak tak seperti biasanya, aroma bunga melati dan bedak yang Kirana pakai sepertinya tidak sirna karena terpaan asap yang mengepul dari panci rawon yang tinggal menunggu matang saja. Bibir halus berwarna pink itu seolah memanggil Bagas untuk menjatuhkan bibirnya di atas bibir Kirana.

Bagas rindu, sudah lama rasanya bibirnya tak berkelana di atas bibir Kirana. Entah sejak kapan Bagas sudah menaruh kedua lengannya itu pada pinggang ramping sang wanita, mengusapnya pelan dan membawa Kirana pada dekapnya semakin dekat dengan benda berwarna merah muda itu.

Dalam diri Bagas seperti riuhan akan ada Pesta, di buncahi kebahagiaan dan kupu-kupu yang sibuk berterbangan di dalam perutnya. Sementara Kirana, ada duka dan gumpalan ketika ia sadar jika banyak sekali pihak yang keberatan dengan hubunganya dengan Bagas.

Tetapi, persetan dengan itu semua. Ia ingin pria nya siang itu, maka, Kirana tarik begitu saja leher Bagas dengan kakinya yang sedikit berjinjit menyamai tingginya dengan pria itu, di bungkamnya bibir Bagas dengan bibirnya, kedua mata anak manusia itu terpejam. Menikmati decapan manis pada rasa yang tengah mereka berdua bagi, seperti tidak pernah puas, seperti hari esok akan segera berakhir, seperti mereka sudah tidak lama bertemu. Begitu intim hingga bukan hanya bunyi dari gelembung kuah rawon yang tengah di masak saja yang mendidih, tapi dapur itu juga di dominasi oleh suara decapan Bagas dan Kirana siang itu.

Seperti di paksa melepas, bunyi “nging” dari panci presto itu menghamburkan segala bunyi decap kedua anak manusia yang tadi seperti tengah kesetanan itu, Kirana buru-buru mengeluarkan kepulan asap dan membuka panci presto nya. Begitu saja wangi rawon itu menyeruak, membuat Dimas sontak mengambil piring dan mengambil nasi untuk makan siang mereka berdua.

Denting dari garpu dan sendok yang beradu di meja makan siang itu terdengar, Bagas tak bisa menahan senyum ketika mencicipi rawon buatan Kirana yang terasa pas di lidahnya, gurih, dagingnya empuk dan hangat, meski siang itu cuaca Jakarta cukup panas. Pria itu makan dengan lahap, beberapa kali menyendok nasi lagi dan taburan bawang goreng yang harum itu ke atasnya.

Kecambah yang Kirana tawarkan di tolak olehnya karena Bagas lebih menikmatinya tanpa ada tambahan kecambah di atasnya, keringatnya berkucuran di keningnya menandakan ia sangat menikmati makanan itu.

“Kalau kita udah nikah nanti, kayanya aku bisa gemuk deh. Soalnya makan masakan kamu gak bisa gak nambah,” celotehnya di tengah-tengah makan siangnya itu.

Alih-alih bahagia mendengar ucapan Bagas, Kirana justru merasa kegundahan di hatinya itu bertambah. Ia menghentikan makannya sebentar, menenggak air putih yang ada di sebelahnya demi meluruhkan gumpalan ketidaknyamanan itu yang ada di tenggorakannya.

Apakah suatu hari nanti ia bisa menikah dengan Bagas? Membangun rumah, memasakannya makanan kesukaan pria itu, menatap wajahnya yang selalu membuat Kirana tenang kala gundah mendera, dan melahirkan anak-anak dari pria yang sangat ia cintai itu.

“Atau kita buka restoran aja ya sayang? Aku yakin pasti yang beli banyak, nanti aku bantuin kamu.”

Bagas masih saja berceloteh dengan andai-andainya itu tanpa timpalan ucapan dari Kirana. Ia bingung harus menanggapinya dengan apa, Kirana bukan tidak bisa melihat masa depannya bersama Bagas, tapi menurutnya ini sulit sekali. Mengingat orang tua Bagas sendiri sudah mengingatkan Kirana berkali-kali untuk menjauhkan putra sulung mereka.

“Gas?”

“Ya, sayang?” Bagas menatap Kirana, mulutnya masih mengunyah namun sanggup menampakan senyum.

Kirana senyum, ia menggeleng dan memilih untuk menahan ucapannya saja. Tidak tepat rasanya, pikirannya masih berkecamuk pada rumah kesehatan dan Ibu, urusan orang tua Bagas dan Asri yang ngotot ingin bertemu dengannya lebih baik ia urus sendiri saja.

Bersambung...