33. Swastamita

Hujan di luar dqn sesekali terdengar suara petir juga kilatan dari luar jendela itu seperti menjadi teman bagi Raga malam ini, di temani secangkir kopi yang entah sudah berapa gelas ia tenggak. Raga masih berkutat dengan MacBook di meja kerjanya di kantor. Sesekali ia melirik jam dari ponselnya, sesekali konsentrasinya teralihkan karena ingin memeriksa apakah di luar masih hujan atau tidak.

Kepalanya sudah penuh namun Raga memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaanya itu, punggung lebar dan bahu tegap itu bersandar pada kursinya, tangan kirinya menopang kepalanya dan tangan kananya sibuk memijat pelipisnya. Kepalanya tidak berdenyut, hanya sedikit mumet saja pikirannya. Sudah 2 hari Kirana tidak datang bekerja, wanita itu memang izin karena ada kepentingan keluarga yang Raga sendiri tidak tahu itu apa. Karena saat izin tidak masuk, Kirana hanya mengatakan itu saja.

Namun, dari yang Raga tau. Kirana masih menjalankan kewajibannya untuk bertemu dengan Raka dan membicarakan proyek mereka berdua di luar kantor. Pikiran Raga penuh sekali, ia jadi tidak nyaman sendiri. Memikirkan apakah Kirana menghindarinya atau memang wanita itu benar-benar ada kepentingan keluarga. Ingin rasanya Raga bertanya langsung pada wanita itu, seperti menawarkan bantuan jika Kirana kesulitan.

Namun, akal sehatnya masih jalan. Kirana bisa salah paham, ah, bukan hanya Kirana tapi Bagas juga. Antara menyesal dan tidak ia mengatakan janji Jayden dengan Ayu. Namun di kepalanya hanya ada jawaban itu saja, namun jika benar Kirana merasa tidak nyaman dengan jawaban itu. Ia akan segera meminta maaf pada wanita itu secepatnya.

Sudah beberapa hari ini ia juga mempertimbangkan dirinya untuk menetap pada kantor yang sudah memberinya pengalaman itu, atau justru berpindah dan keluar dari zona nyamannya bergabung dengan firma Mas Ethan. Entahlah, Raga belum selesai mempertimbangkannya. Kepalanya masih ramai, namun sekilas dari luar pintu kaca ruanganya Raga melihat ada Almira yang masih berada di meja nya.

Raga baru sadar jika Almira belum pulang, mungkin wanita itu masih lembur, tapi tumben sekali Almira lembur di kantor. Biasanya, Raga sering sekali bertemu Almira di cafe tak jauh dari kantor mereka. Almira biasa mengerjakan lemburannya di sana, di temani croissant dan juga hazelnut coffee kesukaan wanita itu. Jelas Raga tahu karena setiap kali bertemu Almira di sana, wanita itu selalu memesan menu yang sama.

“Apa gue samperin Almira aja, mungkin dia tau ada apa sama Kirana.” Entah mengapa malam itu rasanya Raga ngebet sekali ingin tahu kabar Kirana tanpa bertanya langsung pada wanita itu.

Dengan segenap rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, Raga keluar dari ruanganya, menghampiri Almira yang ternyata asik mengerjakan laporannya dengan dua telinga ia sumpal dengan earphone sesekali bibirnya bergumam menyanyikan lagu yang sedang di putar di sana.

Begitu sadar Raga mendekat ke arah mejanya, wanita itu terkesiap dan langsung melepas earphone yang masih memutar musik disana. Raga bisa mendengar sayup-sayup lagu yang Almira putar meski tidak terlalu jelas, sepertinya wanita itu memutar lagu dengan volume yang agak kencang. Entah menghalau rasa sepi atau menghalau rasa takut, karena di ruangan itu hanya tersisa dirinya saja.

“Malam, Pak.” Almira menganggukan sedikit kepalanya pada Raga.

“Malam.” Raga melihat masih ada setumpukan map berserta kopi yang Almira beli lewat aplikasi ojek online menemaninya, isinya sudah tinggal setengah. Bahkan es dari kopi itu sudah mencair dan membuat meja Almira basah karena embun yang berubah menjadi air dari gelas es itu. “Lembur, Mir?”

Almira mengangguk, “iya, Pak. Tadi habis ngerjain maket, terus sekarang nyelesain report. Bapak belum pulang? Saya pikir udah pulang dari tadi.”

“Belum.” Raga menarik salah satu kursi di sana, kursi milik Kirana. “Mir?”

“Ya, Pak?”

Raga menghela nafasnya pelan, “Kirana lagi ada masalah?”

Melontar begitu saja pertanyaan yang sudah sedari tadi Raga tahan di bibirnya itu, dalam hati ia mengakui betapa kurang ajarnya menanyakan pasangan orang lain. Ah, tapi Kirana kan bawahannya, ia hanya perhatian saja pada bawahannya itu. Siapa tahu, Raga sebagai atasan bisa membantu kan jika Kirana memiliki masalah, Raga denial.

Sebelum menjawab, Almira menyandarkan punggungnya yang nampak begitu pegal ke kursinya dan memandang meja kerja Kirana di sebelahnya. “Iya, Pak. Kasian Mbak Kirana. Dia lagi nyari sewa rumah, Pak.”

Kening Raga mengekurut menampakan sebuah kebingungan di sana. “Sewa rumah? Memang kenapa sama rumahnya?”

Almira tampak menimang-nimang ingin menjawab pertanyaan dari atasannya itu atau tidak. mengingat, Kirana sudah mempercayakan untuk menceritakan tentang masalah keluarganya itu pada Kirana. Namun, di depannya ada Raga. Atasannya, dan sepertinya Raga bukan hanya penasaran tapi menaruh simpati juga pada Kirana.

Siapa tahu kan Raga bisa membantu Kirana, entah itu memberi saran rumah sewaan murah atau mungkin menaikan gaji Kirana. Ya, kira-kira seperti itu pertimbangan Almira sampai akhirnya ia memilih menceritakan pada Raga.

“Saya ceritain, tapi Bapak janji ya jangan bilang tau dari saya.” Almira mewanti-wanti, tidak ingin membuat Kirana kecewa padanya.

“Iya.” Raga mengangguk setuju.

“Mbak Kirana cerita, Pak. Rumahnya di sita buat melunasi hutang mendiang Bapaknya sama salah satu investor di perusahaanya dulu. Karena di dalam surat perjanjian itu, Mbak Kirana menyetujui bakalan melunasinya dalam waktu 6 bulan. Tapi kan, waktu itu Mbak Kirana sempat kecelakaan. Jadinya, Mbak Kirana sempat gak mencicil hutangnya. Makanya lah rumah nya disita, Pak,” jelas Almira.

Raga tidak menanggapi ucapan Almira lagi, dia termenung di kursi Kirana. Memikirkan nasib wanita itu bersama Ibu nya, Kirana tidak menjauh ternyata. Dia sedang dalam kesusahan sekarang.

“Terus dia sudah dapat rumah sewaan?”

Almira mengangkat kedua bahunya, Kirana memang belum bercerita lagi pada Almira. Wanita itu baru bercerita kalau sudah survei ke rumah-rumah yang mungkin akan ia sewa.

“Terakhir Mbak Kirana cuma cerita lagi survei rumah yang mau di sewa nya, di daerah Percetakan Negara kalau enggak salah, tapi saya gak tau sih, Pak. Dia jadi ambil rumah itu apa enggak.”

Malam itu setelah hujan reda, Raga buru-buru pulang, tapi sebelum itu ia pastikan jika. Almira telah mendapatkan taksi online dulu, setelah itu ia lajukkan mobilnya membelah dinginya kota Jakarta yang baru saja di guyur hujan. Pikirannya malam itu benar-benar tersita oleh Kirana, mungkin besok pagi, Raga akan mencoba melewati rumah Kirana yang lama.

Siapa tahu, dari sana ia bisa bertemu dengan Kirana dengan alasan tidak sengaja lewat dan bisa membantu wanita itu. Ngomong-ngomong soal rumah, Raga masih memiliki rumah di daerah Jakarta, tak jauh dari Gambir. Rumah yang memang tidak di tempati oleh Mbak Adel karena wanita itu memilih tinggal di rumah yang di beli Suaminya. Iya, rumah itu rumah Mbak Adel, Mbak Adel sempat membelinya dulu dari hasil menabungnya 8 tahun bekerja.

Mungkin ia bisa meminta izin pada Mbak Adel, untuk menyewakan rumahnya itu pada Kirana dengan harga murah, pikir Raga.


Masih ada beberapa barang yang harus di masukan ke dalam dus oleh Kirana, dan beberapa barang seperti lemari, meja makan dengan kayu jati, ranjang tidur, meja belajar dan lemari buku akan Kirana jual. Membawa semua barang itu ke rumah baru mereka yang kemungkinan lebih kecil itu sulit sekali, akan sangat pengap jika terlalu banyak barang nantinya.

Ibu tengah mengemasi beberapa baju peninggalan mendiang suaminya itu, sembari sesekali tersenyum, seolah tengah bernostalgia dengan Suaminya itu ketika sang Suami memakai baju yang tengah ia pangku di kedua paha nya.

Kirana yang tengah mengemasi buku-buku miliknya itu meringis, sudah beberapa hari ini Ibu selalu mengukit Bapaknya lagi, seperti ketika Ibu memakan sesuatu, misalnya saja kue lumpur. Ibu pasti akan teringat Bapak dan mengatakan, “Bapakmu dulu sering banget beliin Ibu kue lumpur waktu awal-awal menikah, Na. Dia tau Ibu suka sekali sama kue ini.” Atau ketika hendak menonton siaran TV berita yang selalu Bapak tonton, Bapak itu gemar sekali membahas politik. Dan ketika Ibu menonton TV pasti ia akan berkata, “kalau Bapak nonton, pasti Bapak bakalan diskusi sama Ibu.”

Atau yang lebih memiluhkan lagi adalah, “kalau kamu menikah nanti sama Bagas, harusnya Bapak yang mendampingi kamu ya, Na. Bukan Paman, kalau Bapak masih ada, pasti dia bahagia banget karna Bagas begitu sayang sama kamu.” Kirana akan sangat tersakiti dengan kata-kata yang seharusnya menghangatkan relung hatinya itu. Ibu benar-benar merindukkan Bapak, terkadang Kirana juga suka memergoki Ibu tengah menangis di malam hari sembari menggegam arloji milik Bapak yang tali nya sudah Ibu ganti sebulan lalu karena putus.

“Na?” Panggil Ibu, membuat Kirana yang tengah mengepak bukunya itu berhenti sebentar.

“Ya, Buk?” Kirana menghampiri Ibu, duduk di sebelah wanita yang menjadi satu-satunya pusat dunia nya saat ini. “Ada apa?”

Ibu membuka lipatan dari kemeja Bapak itu, masih sangat bagus, masih wangi, tidak ada noda kekuningan di bekas lipatan baju itu karena Ibu selalu mencucinya setiap minggu. Ibu selalu merawat dengan baik barang-barang milik Bapak.

“Bapakmu kalau pakai kemeja ini dulu tuh ganteng banget, Na. Badannya gagah, apalagi kalau rambut nya di sisir ke belakang. Sudah bisa bersaing dengan Roy Marten kayanya,” Ibu terkekeh, matanya tak lekat pada kemeja Bapak. Seolah-olah sang Suami tengah memakainya.

“Tapi kalau bersaing sama Roy Marten, siapa yang menang, Buk?”

“Yah jelas Bapakmu, Na.” Ibu tersenyum dan keduanya terkekeh pelan. Ibu kemudian melipat kembali kemeja itu dan memberikannya pada Kirana, Kirana tentu saja terlihat bingung.

“Kenapa, Buk?”

“Untuk Bagas, badan Bapak dan Bagas itu enggak jauh berbeda. Anggap saja ini warisan yang bisa Bapak dan Ibu kasih untuk kalian berdua.”

Ucapan Ibu itu terdengar tulus sekaligus menyakitkan untuk Kirana. Ia tertunduk, memperhatikan kemeja itu dengan air mata yang nyaris saja tumpah dari kelopak matanya jika ia sedikit saja berkedip.

“Buk, andai Kirana sama Bagas enggak berjodoh apa Ibu bakalan sedih?” Jujur saja, ia sangat mencintai Bagas. Pria itu baik, sayang dengan Ibu nya, bertanggung jawab dan sangat mencintainya juga, tetapi karena tentangan dari keluarga pria itu. Kirana tidak bisa melihat masa depannya bersama Bagas. Ia sudah menyiapkan diri jika memang ia dan Bagas tidak bisa bersama, meski Kirana mungkin tidak ingin hari perpisahan itu akan datang lebih cepat.

nduk, bagi Ibu. Siapa jodohmu, Bagas atau bukan tolong pilih laki-laki yang sayang sama kamu, menghargai kamu dan bisa bertanggung jawab, Ibu percaya setiap pertemuan itu enggak ada yang sia-sia.”

Sore itu Kirana menangis di pangkuan Ibu nya, hatinya pilu, rasa gundah itu kembali membuncah, ia hidup dalam bayangan ketakutan kehilangan apa yang tengah ia miliki saat ini, ia sudah kehilangan Bapak, sebentar lagi rumah sebentar lagi mungkin Bagas entah kapan, dan Kirana tidak ingin kehilangan Ibu nya.

Sore itu, ketika Ibu sedang mandi, Kirana keluar dari rumahnya, berdiri di teras depan. Mencoba menyapa pada tanaman-tanaman yang di pelihara Ibu sejak ia kecil, seperti ia tengah berpamitan pada tumbuhan itu jika ia dan Ibu tidak bisa menyiraminya lagi setiap pagi dan setiap minggu sore.

Entah akan di buat apa rumah ini kelak, tapi Kirana berharap siapapun tuan nya nanti. Orang itu bisa menjaga rumahnya, menjaga kenangan yang memeluknya hangat, matahari sore itu menerpa wajah Kirana. Ia tersenyum, mencoba menikmati detik demi detik yang tersisa di rumahnya.

Tak lama kemudian, sinar matahari yang menyorot wajahnya itu tiba-tiba saja sirna. Kirana membuka matanya, di depannya telah berdiri seorang pria yang lebih tinggi darinya menghalau sinar matahari itu. Ia tersenyum, dan Kirana membalasnya dengan senyuman canggung.

“Pak Raga? Ada apa?” Kirana terkesiap.

“Cu..ma lewat, gak sengaja lewat, tadi saya habis ke cafe tempat kita bertemu waktu itu, terus lewat sini. Gak sengaja liat pagar rumahmu terbuka, dan kamu lagi diteras,” jelas Raga sedikit terbata-bata, ia merasa seperti orang bodoh saat ini.

Kirana mengangguk, “duduk, Pak.”

Ia menyuruh Raga untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya, dan Raga mengekori wanita itu dari belakang dan duduk di sana. Agak sedikit canggung suasananya. namun, Kirana segera mengatasi hal itu dengan menawarkan Raga minuman.

“Pak Raga mau minum apa?”

“Ah, gak usah, Na. Saya cuma mampir sebentar.”

“Gapapa, Pak. Kebetulan di dalam Ibu bikin es kelapa, saya ambilin dulu ya.” Belum sempat Kirana pergi untuk mengambilkan Raga minum, namun Raga berdiri dan menahan pergelangan tangan wanita itu. Tak lama kemudian saat Kirana melihat tangan Raga melingkari pergelangannya, pria itu melepaskannya.

“Ah, sorry, Na. Tapi beneran gak usah. Saya kesini cuma mau tahu kabar kamu aja, karna sudah 2 hari ini kamu enggak masuk.”

Kirana duduk di kursi sebelah Raga, “iya, Pak. Saya memang sedang ada masalah keluarga. Tapi biarpun begitu, saya tetap bertemu Mas Raka untuk meeting soal proyek yang kami kerjakan berdua, Pak.”

“Oh.. Enggak-enggak, Kirana. Saya bukan nuntut kamu untuk secepatnya bekerja. Saya sebagai atasan kamu cuma mau mastiin kamu baik-baik saja,” Raga buru-buru menjelaskannya sebelum Kirana salah paham, ah sejujurnya posisi nya di kantor menyulitkannya untuk banyak berterus terang pada Kirana. Terlalu banyak dinding dan Raga susah mencari celahnya.

Kirana tersenyum kikuk, “iya, Pak. Terima kasih sudah perduli sama saya.”

Kirana menghela nafas, ia sangat menghargai kebaikan atasannya itu. “Saya harus pindah dari rumah saya, Pak.”

“Kenapa Kirana?” Raga pura-pura tidak tahu.

“Untuk melunasi sebagaian hutang Bapak saya, Pak.” Kirana tertunduk, sedetik kemudian ia menyunggingkan senyumnya. Senyum yang ia paksakan.

Raga sudah tahu sedikit tentang cerita keluarga Kirana, karena dulu Kirana pernah kasbon ke perusahaan untuk membayar hutang Bapaknya. Ya, di negeri ini siapapun sudah tahu tentang kebangkrutan seorang Damar Endra Wicaksana tak terlepas dari kematiannya yang sangat menggemparkan seluruh saluran televisi saat itu.

“Sudah dapat rumah sewaanya?”

Kirana menggeleng pelan, “sudah ada beberapa yang cocok, tapi masih saya pertimbangkan, Pak.”

“Kalau kamu mau, kakak saya menyewakan rumahnya. saya bisa antarkan kamu ke rumah itu dan bicara sama kakak saya.” Raga tahu ini bodoh, ia belum sempat berbicara dengan Mbak Adel soal ini, tapi melihat sorot mata Kirana yang kosong dan menampakan kesedihan itu cukup meluluhlantahkan hati dan pertahannya.

“Daerah mana, Pak?”

“Gambir, Kirana. Besok pagi, saya kirimkan alamatnya ya, kita lihat rumahnya dan bertemu dengan kakak saya.”

Bersambung...