34. Senyum Kirana Dan Rayuan

Katakanlah Raga sudah gila kali ini, dalam seumur hidup Adel menjadi seorang Kakak untuk Adiknya itu, baru kali ini ia melihat Adik bungsunya itu merengek menginginkan sesuatu darinya. Pasalnya, sejak kecil meskipun menjadi anak bungsu Raga itu terlampau dewasa, bahkan di usianya yang dulu masih sangat muda.

Dan hal itu membuat orang tua mereka dan juga Adel sebagai anak sulung sama sekali tidak merasa kerepotan dalam membesarkan Raga, tapi hari ini Adiknya itu datang ke rumahnya, merengek pada Adel untuk membantunya mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sebuah rumah di daerah Gambir.

Rumah itu memang sudah lama di beli Adel, jauh sebelum ia menikah dengan Ethan. Bukan sebuah rumah besar yang mewah, hanya sebuah rumah sederhana yang memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dapur dan sepetak halaman kecil di depannya yang bisa di tanami tumbuhan alakadarnya.

Rumah itu memamg strategis secara letak, tidak berada di pinggir jalan persis, namun tidak jauh dari jalan besar dan halte pemberhentian bus, untuk mencapai ke stasiun juga sangat dekat. Bisa hanya dengan berjalan kaki jika ingin santai, membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk sampai stasiun.

Waktu itu Adel membelinya sebagai bentuk investasi nya, tapi sampai hari ini pun Adel belum menyewakan rumah itu bahkan enggak tau dia mau pergunakan untuk apa. Walau rumah itu masih ia rawat, ada sepasang suami istri yang selalu datang setiap pagi untuk membersihkan rumah dan juga sepetak halaman depan yang selalu di tumbuhi tanaman liar.

“Mbak, please lagian Mbak juga belum tau kan itu rumah mau di apain? Dari pada nganggur, Mbak. Mending disewain sama Kirana.” Raga mengikuti langkah kaki Adel kemanapun ia pergi, Adel ke dapur ia mengintil ke dapur, Adel ke ruang tengah untuk merapihkan tas sekolah Safira, Raga pun mengikutinya ke ruang tengah.

“Ya memang, tapi harusnya tuh kamu bilang dulu sama Mbakmu ini dari jauh-jauh hari Raga. Astaga, kan Mbak bisa bicarain sama Mas Ethan, kamu tau kan orang tua nya punya bisnis kontrakan 30 pintu? Kali aja kan ada yang kosong.”

Orang tua Ethan memang memiliki rumah dan kosan yang di sewakan, masih di daerah Jakarta juga kok. Ada yang di kawasan Johar Baru Jakarta pusat, Salemba Raya, Matraman dan juga daerah Lebak Bulus. Harganya pun masih terjangkau karena kebanyakan yang menyewa rumah dan kosannya adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.

“Ya karena Raga juga baru tahunya belum lama ini, Mbak. Mbak please..” Raga menarik-narik daster yang di pakai Mbak nya itu, Adel bersumpah jika daster itu sampai melar ia tidak akan segan-segan memukul tangan Adiknya itu.

Adel akhirnya duduk dikursi meja makan rumahnya, di ikuti oleh Raga yang juga menarik salah satu kursi meja makan tepat di sebelah Mbak nya itu. Wajahnya seperti seekor anak anjing yang tengah merayu majikannya, agar sang majikan bisa memberikannya cemilan.

“Kamu tuh beneran naksir sama pacar orang, Ga?” Cecar Adel yang membuat kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna.

“Ngaco!”

“Loh kok ngaco? Kalo kamu gak naksir sama Kirana, enggak mungkin sampai sebegininya.”

Raga masih terus menyangkal perasaanya, ia masih sadar dan sangat amat tahu diri kalau Kirana milik Bagas. Ia berulang kali menampar dirinya sendiri pada kenyataan bahwa hubungan keduanya sudah sangat serius, tapi entah kenapa. Raga hanya tidak nyaman melihat Kirana kesusahan, ya anggap saja ini karena empati Raga yang cukup tinggi dengan wanita itu.

“Raga tuh cuma kasian sama Kirana, Mbak.” Raga ogah menatap mata Mbak Adel, takut wanita itu kali-kali bisa membaca pikirannya.

“Kasian apa naksir? Kalau naksir kamu harus buru-buru sadar loh dia pacar orang, Ga. Kalian satu kantor pula, kalau pacarnya tau apa gak makin runyam kerjaanmu? Mbak gak mau ya kamu sampai ngerusak hubungan orang, dosa loh!” Adel akan sangat mendukung Raga dengan Kirana kalau Kirana bukan kekasih pria lain, ia hanya tidak ingin adiknya itu menjadi begundal.

“Mbak, beneran cuma mau bantu aja.” Raga mempertegas kembali niat baiknya pada Kirana itu.

Mbak Adel menghela nafasnya pelan, memperhatikan wajah Adiknya itu sampai akhirnya ia mengangguk. “Yaudah, Mbak gak bisa nemenin kamu sama Kirana ke rumah Gambir, kamu sendiri aja ya, kasih berapa harga sewa nya juga terserah kamu aja. Yang penting rumah itu di rawat dengan baik.”

“Serius, Mbak?!” Pekik Raga senang bukan main, persis sekali anak kecil yang berhasil di belikan mainan oleh orang tua nya.

“Iya.”

Begitu mendapatkan kunci rumah Mbak Adel yang di Gambir, Raga langsung melesat ke rumah itu untuk bertemu dengan Kirana. Ini benar-benar hal konyol yang pernah ia lakukan dalam seumur hidupnya, membujuk Mbak Adel untuk suatu hal yang ia inginkan. Untung saja Mbak nya itu cukup baik dan bijaksana, ya.. Mengingat ini pertama kalinya Raga menyusahkan Kakak sulungnya itu.

Begitu sampai di tempat halte ia dan Kirana bertemu, keduanya langsung menuju rumah Mbak Adel. Dari depan saja rumah itu cukup rapih untuk ukuran rumah yang sudah lama tidak di huni, tidak ada rerumputan liar panjang menutupi pagar rumahnya, semua tanaman yang tampak melilit pagar depannya itu tertata rapih, di depannya ada pohon asam jawa yang tumbuh besar, seperti tidak mengenal gergaji, tak pernah di tebang sedikit pun teras nya bersih bahkan saat rumah itu di buka menyeruak wangi lavender dari dalam.

Itu karena rumah ini baru di bersihkan oleh sepasang suami istri yang Mbak Adel pekerjakan hanya untuk membersihkan rumah itu setiap pagi, Raga dan Kirana masuk ke dalam rumah itu. Masih ada beberapa barang yang memang waktu itu Mbak Adel beli, seperti lukisan, meja di ruang tamu, sofa, lemari pakaian dan tentu nya peralatan dapur yang lumayan lengkap itu semua karena Mbak Adel suka sekali memasak.

“Bagus rumahnya, Pak.” Kirana tersenyum, rumahnya memang tidak terlalu besar. Sederhana namun terasa hangat. Memikirkannya saja Kirana sudah menerka-nerka jika harga sewanya mungkin sangatlah mahal, mungkin setara dengan menyewa apartemen plus biaya maintenance nya

“Mahal ya, Pak?” Kirana sedikit mengecilkan suaranya.

Raga terkekeh pelan, sejujurnya Mbak Adel yang memberikan kepercayaan pada Raga untuk menghargai sendiri berapa harga sewa untuk rumahnya. “Lima ratus ribu perbulan, tapi buat urusan listrik dan air kamu bayar sendiri. Gimana?”

“Hah?!” pekik Kirana, matanya membulat karena kaget bukan main, yang benar saja rumah dengan barang yang cukup memadai, di dekat jalan raya dan juga bangunan yang baik dihargai semurah itu? “Yang bener, Pak.”

“Serius, Kirana.”

“Engg..gak, Maksud saya. Dengan luas bangunan yang cukup luas, nyaman, perabotan yang masih bagus dan letaknya yang strategis Bapak hargai semurah ini?”

Kirana masih enggak percaya, dia takut Raga mengasihaninya sehingga memberikan harga murah untuk rumah milik Kakaknya itu yang ingin Kirana sewa. Kirana tetaplah Kirana, wanita tangguh yang sangat enggan dikasihani. Ia tidak menolak bantuan, jika ia memang sudah tidak sanggup.

“Mbak Adel sebenarnya cuma mau rumahnya ada yang merawat saja, Na. Biar ada yang huni karna belum tau mau di apakan sama dia.” Raga berusaha untuk bicara jujur, semoga saja Kirana cocok dengan rumah kakaknya itu. Hanya ini yang bisa Raga lakukan, karena ia tahu sekali jika Kirana menolak bantuan yang layaknya mengasihani dia.

“Tapi gak lima ratus ribu juga gak sih, Pak. Bahkan rumah-rumah yang lebih kecil dari ini pun harganya sudah sampai satu juta loh.”

“Ya gimana, Mbak Adel memang mintanya segitu, Na. Saya juga gak ngerti kenapa dia hargai segitu.”

Keduanya sempat terdiam, Raga dengan doa-doa harap cemas takut kalau Kirana menolak atau bahkan merasa tidak enak atau bahkan tidak cocok dengan rumahnya, dan Kirana yang masih betah untuk melihat-lihat rumah itu. Ia menyukai lukisannya, model rumahnya dan juga sirkulasi udara serta lingkungannya yang terbilang cukup nyaman. Dekat dengan toko Ibunya bekerja dan Kirana juga hanya menaiki 1 bus untuk sampai di kantor. Sangat amat strategis.

“Jadi, gimana, Na?”

Kirana tampak menimang-nimang pikirannya sebentar, akan sangat nyaman sekali menempati rumah ini, apalagi dengan harga sewa yang cukup murah. Dan sisa gaji nya bisa ia pakai untuk mencicil kembali hutang Bapak, sukur-sukur ia bisa menambung untuk mengambil kembali rumahnya.

“Saya mau, Pak.” Kirana tersenyum, menyodorkan tangannya pada Raga yang di sambut oleh pria itu. Melihat Kirana tersenyum membuat buncahan gila di perut Raga kembali meronta, rasanya ingin ia selalu pastikan senyum itu ada menghiasi wajah dahayu Kirana.


Tiba di rumah Raka, seperti biasa Asri langsung menemani Reisaka untuk bermain. Dia sudah tidak begitu canggung dengan bocah itu, meski terkadang ia agak kesulitan karna Reisaka begitu manja padanya. Selain menemaninya, mengajak bermain Asri juga mengajari Reisaka. Perannya selayaknya seoranh Ibu saja meski terkadang dia tidak menikmati hari-hari nya bersama Reisaka.

Semua Asri lakukan hanya untuk membuat Raka tetap diam, agar Raka tidak melakukan aksinya, membocorkan tentang masa lalu mereka ke orang tua Bagas. Hari itu Raka agak sedikit siang ke kantor, Asri sempat melihat foto-foto Raka dan Reisaka yang di taruh disebuah frame dan di letakan didekat meja TV. Wajah keduanya sungguh mirip, bukan hanya perawakan Reisaka juga mewarisi kecerdasan Ayahnya.

Pintu dari kamar Raka itu terbuka, menampakan Raka yang sudah rapih dengan kemeja biru laut yang ia kenakan, menenteng tas dengan rambut yang sudah klimis ia tata hingga rapih. Wangi dari parfum yang pria itu pakai juga menyeruak memenuhi rongga hidung Asri.

“Hari ini gue agak balik malam kayanya, kalau lo mau balik duluan sebelum gue pulang gapapa, nanti ada pengasuhnya Reisaka kok, udah gue telfon barusan.” Raka masih mempekerjakan pengasuh anaknya itu, ia masih belum mempercayai Asri sepenuhnya mengingat wanita itu sangat acuh pada anak mereka.

“Lo kerja di kantor arsitektur mana sih?” Asri basa basi ia ingin tahu saja meski sebenarnya sudah tahu.

“Kenapa nanya-nanya?” Raka mengangkat sebelah alis nya, memakai kaus kaki miliknya di sofa sembari memperhatikan Reisaka yang sedang makan di meja makan sembari menonton kartun dari tablet miliknya.

“Ya nanya aja.” Asri menaikan kedua bahu nya, memasukan kedua tangannya ke dalam kantung midi dress yang ia pakai. Memilin sepuntung rokok di dalam nya, mulut nya agak sedikit asam. Ia ingin sekali segera merokok setelah Raka pergi. “Seukuran arsitektur kaya lo harusnya udah bisa punya firma sendiri, kenapa milih kerja sama orang lain?”

Raka menghela nafasnya pelan, berdiri dari sofa yang ia duduki dan kini menatap Asri dengan pandangan yang sungguh memuakkan. “Ngapain ngatur-ngatur? Lo bukan bini gue lagi.”

Raka mengatakannya dengan berbisik, membuat kemarahan Asri rasanya mencuak. Ingin sekali ia tampar wajah tampan itu atau ia pukul sesekali karena telah menekan alarm kemarahan di dalam dirinya, sebatang rokok yang tadi ia pilin diam-diam di dalam saku dress nya itu patah, hancur berkeping-keping hingga tembakau nya keluar dari lintingannya. Asri memilinnya terlalu keras demi melampiaskan emosinya pada Raka.

Begitu Raka pergi, Asri nyaris saja berteriak jika ia tidak sadar kalau Reisaka masih bersamanya. Jadi, yang ia lakukan adalah berdiri di balkon dan menyalakan sebatang rokok. Menghirupnya dalam dan mengepulkan seluruh asap nya ke udara, nafasnya naik turun berusaha menahan segala amarahnya.

Asri melamun, menatap pohon bonsai kecil yang Raka taruh di balkon rumahnya sebagai tanaman hias di sana. Pikiran Asri melayang pada mimpi-mimpi buruk pasca melahirkan Reisaka dulu, Asri pernah bermimpi yang sangat panjang, menyakitkan dan terus berlanjut selama beberapa episode sepanjang ia tidur malam.

Mimpinya berlanjut bagai sebuah serial drama yang tayang setiap hari, awalnya Asri bingung karena sejak ia bangun dari masa kritis nya pasca melahirkan, mimpi itu bermunculan terus. Bahkan meskipun Asri terganggu dengan mimpi itu ia enggan untuk datang ke psikiater untuk berkonsultasi untuk mengetahui ada apa dengan dirinya.

Pernah suatu ketika ia membaca dan menonton sebuah film yang menceritakan tentang kehidupan sebelumnya, ia jadi terpikirkan jika mimpi sialan yang menganggunya itu adalah sebuah kehidupan di masa lalunya 127 tahun yang lalu. Terbukti dengan itu semua, ia bertemu kembali dengan orang-orang yang ada di mimpinya.

Bagas, Raka, Raga, bahkan Kirana yang dahulu hidupnya terlampau enak namun tetap ada kemalangan. Tapi dari pada hidup Kirana yang malang karena tidak bisa menikah dengan pria yang ia cintai, kehidupaan Asri didalam mimpi itu jauh lebih malang. Dimimpi itu Asri adalah seorang wanita pribumi miskin yang malang, ia dijual orang tua nya sendiri kepada orang Belanda.

Ia telah menjadi seorang babu di rumah orang Belanda itu bahkan pernah Asri ditiduri oleh majikannya sendiri berkali-kali, jika ia melakukan kesalahan maka para Belanda itu tidak segan-segan untuk memukulnya. Suatu ketika ia tengah di perintahkan untuk bekerja di kebun, tentunya di bawah pengawasan para orang Belanda yang juga bekerja di sana.

Asri terjatuh, ia di tolong oleh seorang pria pribumi yang baik hati. Asri sempat melihat sekilas wajahnya, tampan, tinggi, berbadan kurus dan kulitnya kecoklatan. Sejak saat terbangun Asri baru menyadari jika pria pribumi yang tidak ia ketahui namanya itu dalam kehidupan saat ini adalah Bagas teman masa kecilnya dahulu.

Dalam mimpinya Asri bahkan sempat mencari tahu soal pria pribumi yang membantunya, namanya Adi ternyata. Seorang jongos yang bekerja oleh saudagar Gumilar, orang tua dari Ayu. Dalam diam, Asri jatuh cinta pada pria itu. Sampai akhirnya ia mengetahui kalau pria itu hanya mencintai majikannya sendiri.

Bahkan di hari kematian Adi, Asri datang melayat tanpa orang tua Adi dan tetangganya tahu jika selama itu pula ia sering memperhatikan Adi. Pria itu mati dengan tubuh yang begitu kurus, pucat dan begitu tenang. Soal mimpi-mimpinya Asri enggak pernah cerita dengan siapapun, ia pendam dan cari tahu semuanya sendiri.

Kini kehidupan telah berubah, suami Ayu di masalalu kini pernah menikah dan memiliki anak dengannya, sementara Ayu yang kini adalah Kirana masih berpacaran dengan Bagas yang dulunya adalah Adi. Dan Jayden.. Pria itu, pria Belanda yang katanya seorang asisten residen Samarang, yang di kenal baik pada pribumi di kehidupan sekarang ini bahkan Raga masih sendiri. Hidupnya bahkan tetap beruntung bergelimbang harta dan jabatan.

Asri menghembuskan asap dari rokok yang nyaris sudah tandas itu ke udara. Ia tidak ingin hidupnya kembali miris di kehidupan ini, bagaimana pun caranya ia harus menikah dengan pria yang ia cinta dari kehidupan sebelumnya.

Bersambung..