35. Takdir Yang Berubah
Bagas melirik pada arloji miliknya, sudah mendekati makan siang dan Kirana belum sampai di kantor juga. Mereka memang berjanji akan makan siang bersama setelah Kirana dan Raka selesai meeting dengan klien mereka. Jam makan siang kurang 10 menit lagi dan wanita itu belum juga sampai, Bagas menyandarkan punggungnya yang sedikit pegal itu pada kursinya, merenggangkan tubuhnya yang kaku akibat terlalu banyak duduk.
Tak lama kemudian, wanita itu mengiriminya pesan. Mengatakan pada Bagas untuk makan duluan karena ia tidak yakin bisa kembali ke kantor saat jam makan siang. Kirana sudah selesai pindahan, pindahan itu berjalan dengan lancar meski Ibu masih menangis saat meninggalkan rumah, tapi Bagas cukup lega mengetahui Kirana pindah ke rumah yang cukup nyaman bagi mereka.
Rumah yang di tawarkan oleh atasan mereka dengan harga sewa yang sangat murah, meski awalnya Bagas agak sedikit cemburu karena perhatian Raga yang ia anggap sedikit berlebihan. Tapi jauh dari pada pemikiran buruknya, ia lebih percaya pada Kirana. Ia telah mengenal wanitanya lebih dulu.
“Mas Bagas?” panggil Almira yang membuat Bagas menoleh.
“Hm?”
“Makan siang gak? Mas Satya ngajakin makan nasi bebek di depan.”
Bagas mengangguk pelan, “boleh. Turun sekarang aja yuk? Udah laper nih.”
“Ihh bentar gue belum pake lipcream.” Almira mengambil lipcream dari tas miliknya, kemudian mengambil kaca di samping meja nya.
“Lama nih, keburu rame nanti.” Bagas mengeluh, ia mengambil jaket miliknya dan memakainya. Berdiri di kursi Kirana yang kosong di tinggal pemiliknya, dari kursi Kirana ia memperhatikan jika Raga keluar dari ruanganya sembari menelfon. Pria itu berjalan menuju lift, mungkin ingin makan siang juga, pikir Bagas.
“Dah, selesai. Yuk!!” Almira berdiri, keduanya langsung saja keluar dari ruangan mereka menuju lift.
Ternyata mereka bertemu dengan Raga yang juga akan makan siang di luar, pria itu sudah tidak lagi menelfon. Raga bahkan yang menahan pintu lift ketika ingin tertutup agar Almira dan Bagas bisa ikut turun ke lantai satu bersamanya. Satya sudah duluan, tadi pria itu memang sempat keluar sebentar dan saat ini pria itu sudah berada di warung nasi bebek.
“Kalian mau makan apa?” Tanya Raga memecah hening di antara mereka, hanya ada mereka bertiga di lift, tadinya ada seorang cleaning service juga yang ikut bersama mereka namun di lantai 5 orang itu turun.
“Mau makan nasi bebek, Pak,” jawab Almira.
“Kalau gitu bareng ya, saya juga mau makan nasi bebek.”
Bagas hanya diam saja, mood nya tidak terlalu baik untuk bicara dengan Raga. Katakanlah Bagas cemburu buta, memang agak sedikit kekanakan, tapi, pria mana yang tidak cemburu jika wanita yang ia sayangi seperti di beri perhatian khusus dari atasan mereka.
Di warung bebek Madura, Satya sudah menempati 4 kursi di pojok sana. Pria itu sedang merokok, begitu melihat Almira, Bagas dan Raga datang. Pria itu buru-buru mematikan rokoknya.
“Tumben makan nasi bebek, Pak?” Tanya Satya basa basi, pria itu mengambil menu di meja lain dan juga nota untuk mereka pesan. Tempatnya agak sedikit ramai karena memang jam makan siang, agak sedikit panas karena warung itu hanya memakai kipas angin. Makanya Almira langsung mengeluarkan kipas angin portabel nya.
“Di ajak Almira,” jawab Raga santai.
Satya mengangguk-angguk, “mau pesan apa nih? Bebek goreng, bebek bakar, bebek atau bumbu hitam?”
Bagas terlihat membulak balikan menu di depannya, ia juga sempat memeriksa ponselnya. Siapa tahu Kirana mengiriminya pesan dan mengatakan akan menyusulnya, tapi sayangnya tidak ada satu pun pesan dari Kirana.
“Gue pesen bebek bumbu hitam aja deh, Mas.” Bagas akhirnya menetapkan pilihannya pada bebek bumbu hitam, sepertinya memakan makanan pedas akan sangat menguggah selera makannya. Apalagi dengan es jeruk di siang hari.
“Pak Raga apa?” Satya menulis satu persatu pesanan teman-teman dan atasannya itu.
“Saya bebek goreng sambal hijau, minumnya es teh tawar aja.”
“Gue, Mas. Hhhm.. Bebek goreng juga deh tapi pakai sambal bawang.”
Setelah memesan makanan, Satya kembali lagi ke kursi, mereka sempat membicarakan proyek dan beberapa kendala yang dialami pada proyek Satya. Raga cukup membantu memecahkan permasalahan itu, sedangkan Bagas sibuk dengan isi pikirannya sendiri.
Ia sebenarnya berencana melamar Kirana setelah wanita itu selesai pindahan, bahkan, Bagas sudah memiliki beberapa design cincin untuk ia pakai melamar Kirana. Untuk urusan restu kedua orang tua nya, persetan dengan itu semua. Ia mencintai Kirana dan akan tetap memilih wanita yang ia cintai itu sebagai teman hidup dan Ibu dari anak-anaknya kelak.
Menurut Bagas, ini adalah hidupnya. Ia pria dewasa berumur 27 tahun yang sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, ia pantas menentukan arah dan tujuan hidupnya, kemana ia akan berlabu dan siapa yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.
“Ye.. Mas Bagas diem aja, lagi sakit gigi?” Tanya Almira, agak sedikit aneh mengingat Bagas ini pandai sekali mencari topik obrolan.
“Enggak,” Bertepatan dengan Bagas yang berbicara, seorang pelayan datang mengantar makanan mereka. Bagas dan Raga buru-buru membantu pelayan tersebut menurunkan satu persatu piring berisi bebek dan juga minuman yang mereka pesan. Raga dan Bagas yang memang duduk di pinggir.
“Makasih yah, Mas.” Ucap Raga pada pelayan tersebut.
“Terus kenapa?” Almira kepo.
“Gue cuma kepikiran sesuatu..”
“Lagi berantem nih sama Kirana!” Tebak Satya asal-asalan. “Pantes Kirana gak makan siang bareng kita.”
“Dih, sok tau jir Mas Satya, orang Mbak Kirana lagi ada meeting sama Mas Raka yeeeee.”
“Ohhh makan siang sama Raka berarti,” Satya terkekeh.
“Gue pengen ngelamar Kirana!” Ucapan itu keluar dari mulut Bagas begitu saja, bertepatan pada kedua matanya yang bertabrakan dengan mata Raga. “Bulan ini.”
“HAH? SERIUS, MAS?” pekik Almira, wanita itu sungguh antusias.
“Iya serius.”
Raga masih terdiam di tempatnya, fokus nya hanya pada nasi bebek miliknya yang tak lagi membuatnya menginginkan bebek goreng sambal hijau itu lagi. Sebentar lagi Kirana akan di lamar, tapi apa itu artinya Bagas sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua nya? Bagas memang tidak pernah bercerita pada Raga bahwa pria itu tidak mendapatkan restu untuk menikahi Kirana.
Tetapi sewaktu pesta ulang tahun Ibu nya dan Kirana pulang, Bagas sempat mendengar Ibu nya Bagas dan Bagas bertengkar. Ibu nya menyebut-nyebut jika sampai kapanpun beliau tak akan merestui hubungan Bagas dan Kirana.
“Kapan, Mas? Kalo butuh bantuan. gue sama Mas Satya gue siap nih.”
“Kudu latihan dulu sih ini buat ngajak Kirana merried dulu gue waktu ngajak cewek gue nikah sempet tremor pernah dia tolak soalnya,” Satya curcol.
“Mungkin nanti gue juga belum tau kapan, mungkin bulan ini, soalnya Kirana baru aja pindah dan gue mau dia tenang dulu.”
“Ini Mbak Kirana kalau tahu pasti seneng banget nih!” Almira jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.
“Jangan ngember lu, Cil. Ntar gagal lagi ini kejutannya,” timpal Satya, pasalnya Almira kerap kali kelepasan maklumlah wanita itu sedikit oversharing kalau kata anak jaman sekarang.
“Almira, Bagas, Satya. Saya duluan ya, makanan kalian biar saya yang bayar.” Raga berdiri dari kursinya duduk, menumpuk bekas piring makannya dengan gelas dan wadah berisi air untuk membasuh tangan menjadi satu.
“Lah udahan makannya, Pak?” Satya melihat piring Raga ternyata sudah licin dan bersih.
“Iya, masih banyak kerjaan, saya duluan ya.”
Bagas yang melihat itu hanya mendapati wajah Raga yang sedikit masam menurutnya, pria itu seperti tidak begitu nyaman dengan pembicaraan mereka yang sedang membahas niatnya untuk melamar Kirana.
Mengabaikan deting pada ponsel miliknya yang terus berbunyi didalam tas yang ia bawa Kirana berusaha membuat dirinya terus tegar di depan kedua wanita yang saat ini mendelik memandangnya penuh dengan perasaan tidak suka, ia tidak tahu salahnya apa sehingga kedua nya tampak membenci Kirana dan keluarganya.
Terkadang, Kirana berpikir jika apa yang Bapak lakukan pada hidupnya kini menjadi dosa mengalir yang terus menimpa Kirana dan Ibu sebagai hukumannya, Kirana menatap minuman yang sudah di pesankan oleh Ibu nya Bagas, meremas cardigan miliknya Kirana terus menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Ia harua tampak tegar.
“Saya pikir setelah pembicaraan kita kemarin kamu sudah paham apa yang harus di lakukan olehmu, Kirana.” Wajah wanita itu terangkat memandang Kirana di depannya dengan penuh keangkuhan, seolah-olah kasta nya lebih tinggi dari wanita muda di hadapannya saat ini.
“Saya sayang sama Bagas, Buk.” Dengan nada yang sedikit bergetar, Kirana menekan ucapannya ia benar-benar mencintai Bagas. Banyak hari berat yang sudah ia lalui bersama pria itu.
“Justru karena kamu sayang dia, harusnya kamu bisa melepas dia, Kirana. Kamu kayanya lebih suka melihat Bagas bertengkar dengan keluarganya ya?”
Asri mengangguk kecil pada Ibu nya Bagas itu agar memberinya kesempatan padanya untuk berbicara dengan Kirana, sedari tadi Asri hanya menatap Kirana. Menelisiki wajahnya, mencari tahu kenapa wanita ini dari kehidupan terdahulunya hingga saat ini bisa selalu memikat hati pria didekatnya. Kadang, ada kalanya pada malam hari, ketika isi kepalanya bercampur baur dengan banyaknya hal yang ia pikirkan, terselip alasan mengapa Kirana begitu menarik banyak orang terutama pria hingga bertekuk lutut mencintainya.
“Kirana, kita kan sesama perempuan yah. Mungkin Bagas enggak cerita ini ke kamu karena takut menyakiti kamu, tapi, Na. Aku dan Bagas itu sudah di jodohkan sejak lama. Bahkan sejak kamu dan Bagas mungkin belum bertemu, kami teman kecil, Na.”
Asri menekan kata “sesama perempuan” agar Kirana ingat bahwa tidak baik menyakiti sesama perempuan, namun wanita itu keliru jika disinilah ia menjadi pihak yang menyakiti hati perempuan lain.
Kirana tentu saja sudah mengetahui hal ini, Bagas sudah bercerita dengannya dan Ibu nya Bagas sudah memberitahu hal ini berulang kali padanya. Dengan segenap harga diri yang ia miliki, Kirana menatap Asri yang duduk persis di hadapannya. Menelisik wanita sebagaimana kedua netra Asri menelisiknya.
“Asri, kita kan sesama perempuan yah. Saya gak tau sejak kapan kamu di jodohkan sama Bagas, tapi, disini saya yang lebih dulu menjalin hubungan dengan Bagas. Saya rasa kamu enggak bodoh buat tahu kalau apa yang sedang kamu lakukan ini sama saja dengan merebut, merusak kebahagiaan wanita lain.” Kirana menahan isaknya, ia tidak boleh nangis maka ia meremas kuat ujung cardigan yang ia sedang kenakan itu, seolah benda itu sebagai pelampiasannya agar bisa menahan tangisnya sendiri.
“Seharusnya, kamu bisa menempatkan diri kamu. Seandainya kamu berada di posisi saya, apa kamu gak kepikiran itu sama saja kamu merebut pasangan orang lain?”
“Kirana!!” Pekik Ibu nya Bagas, wanita itu mendelik emosi dengan apa yang Kirana katakan pada calon menantunya yang ia bangga-banggakan itu.
Sementara Asri, ia terkekeh dengan hampa, seperti menertawakan ucapan Kirana yang menurutnya terlalu klise itu. Baginya, ia dulu lah yang kenal dan di jodohkan oleh Bagas, tidak perduli seberapa lama Bagas dan Asri menjalin hubungan, ia lah wanita yang sudah di pilih oleh orang tua Bagas itu.
“Walau itu membuat Bagas mungkin membenci keluarga dan meninggalkan keluarganya? Egois kamu, Kirana.” Kali ini Asri terang-terangan mendirikan bendera perang pada Kirana, jika biasanya ia berusaha terlihat ramah. Kali ini ia memperlihatkan wajah ketidaksukaanya pada Kirana.
“Yang egois saya atau kamu, Asri. Kamu yang memaksakan diri untuk menikah dengan Bagas—”
PLAKKK
Baik Kirana maupun Asri sama-sama kaget, kala Ibu nya Bagas itu mengangkat tangan kanannya dan menampar wajah Kirana hingga wajah wanita itu terhuyung ke samping. Pedih dan panas, kupingnya berdengung nyaring dan separuh wajahnya tertutup oleh rambut miliknya itu.
Kirana menunduk, seperti tengah memunguti sisa-sisa harga dirinya yang telah dilucuti oleh kedua wanita itu. Air matanya jatuh, ia kalah. Kirana tidak bisa membendung kesedihannya itu demi tidak terlihat lemah di hadapan Asri dan orang tua Bagas itu.
“Lancang kamu, Kirana.” Ibu nya Bagas merogoh tas miliknya, melemparkan sebuah cek kosong yang memang di niatkan untuk Kirana, agar wanita itu bisa mengisi nominalnya sendiri sesuai yang ia inginkan demi menjauhi putra sulungnya itu. “Ambil itu, kamu bisa mengisinya sendiri sesukamu. Tapi jauhi anak saya!”
klise dalam hati Kirana bergumam, seperti komedi, wanita itu menyeringai. Seringaian yang membuat Asri dan Ibu nya bagas membatin jika Kirana mungkin sudah tidak waras, padahal Kirana hanya merasa de javu saja jika adegan seperti ini ternyata terjadi dalam hidupnya, ia pikir hanya ada di dalam drama-drama saja yang pernah ia tonton.
Kirana bangkit dari duduknya, mengambil kertas kosong itu, melipatnya jadi dua dan memberikannya kembali pada orang tua Bagas. “Saya permisi dulu, Buk. Terima kasih atas minumannya siang ini.”
Setelah mengatakan itu, Kirana pergi dari sana. Berjalan secepat mungkin, menghalau beberapa pasang mata di cafe itu yang tengah melihat ke arahnya. Semua orang di cafe itu mungkin sudah tahu apa yang terjadi padanya, mengingat obrolan mereka saja sudah mengundang banyak kepala menoleh ke mejanya untuk mengetahui perselisihan itu.
Kirana mempercepat langkahnya, mengelap wajahnya dengan jemarinya sendiri dengan kecang sebagaimana kakinya terus berjalan menuju halte bus. Begitu sampai di halte bus, ia langsung masuk ke dalam bus dengan rute berlawanan dengan arah kantornya berada. Dia akan segera pulang ke rumah dan mengirimkan pesan pada Raga untuk mengatakan jika ia tidak enak badan, sehingga tidak dapat kembali ke kantor.
Sesampainya di rumah kecil yang ia sewa dari Kakaknya Raga, ia masuk ke dalam kamarnya. Ibu tentu saja belum pulang karena ini masih siang menjelang sore, biasanya Ibu akan pulang sehabis magrib. Kesempatan itu Kirana pakai untuk menangis sampai puas, sampai tenggorokannya sakit, sampai kepalanya pening, sampai matanya sembab dan sampai ia lelah dan akhirnya tertidur di ranjang sempit miliknya.
Ketika adzan magrib berkumandang dan Ibunya telah pulang, Ibu menyalakan lampu-lampu rumah mereka dan betapa kagetnya ketika mendapati Kirana tertidur di ranjangnya, nyaris saja Ibu mengambil sapu untuk memukul seseorang yang sedang tertidur di ranjang putrinya itu dengan gagang sapu.
“Kirana?” Panggil Ibu, wanita menghampiri Kirana dan sedikit mengguncangkan badannya.
“Um?” Kirana menggeliat, mereggangkan sedikit tubuhnya yang masih terbalut dengan baju yang ia pakai untuk bekerja hari itu. “Ibu udah pulang?”
“Sudah, kamu pulang duluan apa gimana? Kaget Ibu tiba-tiba kamu tergeletak di tempat tidur.”
Kirana beranjak dari ranjangnya untuk duduk dan memeriksa ponselnya, selama ia tidur ternyata Bagas terus menelfonnya, ada sederet pesan singkat juga dari Bagas, Almira, Mas Raka dan juga Raga. Namun, Kirana enggan membalas dan menaruh ponselnya itu di laci samping ranjangnya.
“Iya, Buk. Kebetulan tadi habis meeting dan jam nya mepet sama pulang kantor, jadi selesai meeting Kirana langsung pulang ke rumah,” alibinya.
“Yasudah, ganti baju, nduk.” Ibu tersenyum dan mengusap-usap kepala Kirana sebelum akhirnya keluar dari kamar putrinya itu.
Sehabis makan malam, Kirana mendapati pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Tadinya Ibu yang berniat membukakanya, namun Kirana menghalangi Ibu dan membiarkan dirinya membukakan pintu untuk tamu tersebut. Begitu pintu di buka, ia mendapati Bagas dengan wajah khawatir khas pria itu.
“Na, dari mana aja? Aku telfon kamu loh, kenapa gak di angkat? Mas Raka bilang setelah meeting kamu langsung pergi, dia pikir kamu mau langsung ke kantor lagi karena dia harus antar anaknya dulu, tapi ternyata kamu gak balik ke kantor,” cecar Bagas khawatir setengah mati.
Kirana berjalan dan duduk di teras depan rumahnya, memperhatikan lampu jalan malam itu yang begitu remang di depan rumahnya persis. “Gak habis dari mana-mana, Gas.”
Bagas menghampiri Kirana dan duduk di sebelahnya, “langsung pulang ke rumah?”
Kirana mengangguk, kini ia menatap pria di sampingnya itu. Ia tersenyum kecil, tanganya terulur mengusap wajah lelah Bagas malam itu. Hati kecilnya merasa bersalah telah membuat pria yang ia cintai itu khawatir padanya.
“Kabari aku ya, biar aku gak nyariin kamu. Kenapa gak balik ke kantor? Kata Pak Raga kamu gak enak badan?” Entah bertanya langsung pada Raga atau Raga memanglah yang membocorkannya hingga Bagas tahu, entahlah Kirana enggan bertanya hal itu pada Bagas.
Pikiran wanita itu terlalu penuh pada kata-kata, perlakuan dan tamparan siang itu yang di dapatkannya, bahkan pipinya masih agak sedikit kebas, jika ucapan menyakitkan itu adalah belati, mungkin tubuh Kirana sudah penuh darah dan luka disana sini.
“Iya gak enak badan, Gas.”
“Mau aku antar ke dokter?”
Kirana menggeleng, “gak usah, kamu pulang aja ya, aku cuma perlu istirahat.” Kirana kembali mengusap wajah pria itu, kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya, membuat Bagas kian bertanya-tanya kenapa sikap Kirana sebegitu dinginya malam itu.
Bersambung...