36. Sendiri

Sudah satu minggu ini Bagas merasa ada yang aneh dari Kirana, wanita itu kerap kali bersikap dingin padanya. Meski mereka masih mengobrol tapi rasanya berbeda, senyum wanitanya terlampau redup, Kirana sering sekali menghindar saat Bagas hendak mengantarnya pulang. Selalu ada saja alasan agar Bagas berakhir tidak mengantarnya pulang.

Misalnya saja kemarin, saat jam kerja mereka sudah berakhir. Kirana bilang ia dan Almira ingin pergi bersama, dan Bagas akhirnya membiarkannya. Tapi alasan itu terus saja berlanjut, pernah juga Kirana sedang memantau proyeknya dengan Raka dan Bagas sudah mengatakan padanya akan menjemput wanita itu di lokasi proyeknya.

Tiba-tiba saja saat Bagas dalam perjalanan, Kirana bilang jika ia akan janjian dengan temannya. Bagas tidak berpikir macam-macam misalnya saja seperti Kirana selingkuh, Bagas lebih berpikir apa ia telah membuat kesalahan atau Kirana benar-benar sedang sibuk, atau wanita itu memang benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri.

Yang jelas perubahan sikap Kirana ini cukup membuat Bagas nyaris kelimpungan, hari ini karena lebih sering melihat wajah Bagas yang kusut, Satya berinisiatif untuk mengajak pria itu nongkorong di sebuah pagelaran musik indie yang berada di kawasan Taman Ismail Marzuki, rencananya sih Satya hanya ingin bertemu dengan temannya saja di sana. Namun Bagas justru mengajaknya menonton pagelaran itu di sana, pria itu mencoba menghalau pikiran tentang mengapa Kirana menghindarinya.

“Minum nih biar gak kusut.” Satya memberikan segelas es kelapa dengan gula merah pada Bagas dan pria itu langsung mengaduk isinya dan menyeruputnya. Seketika rasa haus dan perpaduan antara gurihnya kelapa dan manis dari gula merah itu cukup sedikit menghiburnya.

thanks ya, Mas.”

Satya mengangguk, pria itu duduk di sebelah Bagas sembari melihat pagelaran musik indie tersebut. Banyak sekali remaja dan orang-orang seumuran mereka yang datang dan memenuhi tempat itu, berlomba-lomba untuk berdiri paling depan. Mengingat band yang akan tampil itu sedang naik daun, namun Bagas dan Satya tetap asik memilih tempat di paling belakang agar bisa duduk dan sesekali berbincang dengan para seniman disana.

“Ada apa sih, Gas? Lagi ribut sama Kirana?” Mengingat di kantor pun Kirana dan Bagas jarang berbicara dan terlihat berdua, lebih tepatnya Kirana yang lebih sering bersama dengan Almira. Satya berpikir mungkin Kirana dan Bagas sedang bertengkar, hal lumrah yang di alami oleh kebanyakan pasangan.

“Enggak ngerti, Mas.” Bagas menatap lurus pada setiap punggung orang-orang disana yang mulai melambaikan tangan ke kanan dan kiri ketika band indie tersebut mulai menyanyikan lagu. “Kirana kaya lagi ngehindarin gue atau perasaan gue aja kali ya, sikapnya enggak kaya biasanya.”

“Udah coba di ajak ngobrol belum?”

Bagas menghela nafasnya kasar, “gimana mau di ajak ngobrol, kalo gue dateng ke rumahnya, dia gak ada, kadang kalo pun ada dia pasti sambil ngerjain sesuatu, ya masak lah, ya ngerjain laporan dia lah, yang nanti tiba-tiba nerima telfon lah.”

“Bisa begitu kenapa awalnya? Gak mungkin kan dia tiba-tiba begitu? Cewek begitu tuh pasti ada sebabnya, Gas.” Satya seperti seorang petuah, padahal pengalaman percintaanya pun enggak banyak. Hanya sekali berkencan lalu melamar kekasihnya itu walau sempat di tolak dengan alasan belum siap.

“Kalau gue bilang Kirana kaya gitu dengan tiba-tiba lo percaya gak, Mas?” Bagas menoleh ke arah Satya dan Satya mengangkat kedua bahu nya.

“Tapi masa iya Kirana kek bocah begitu sih, Gas? Kayanya dia bukan tipe cewek yang tiba-tiba ngediemin gak jelas deh.”

Bagas mengusap wajahnya dengan gusar, berusaha menghalau kerisauan hatinya dengan menikmati lantunan musik indie yang sedang dibawakan. Sesekali ia memeriksa ponselnya, kali-kali Kirana telah membalas pesannya atau bahkan menelfonnya. Namun hanya ada pesan dari Asri yang tidak sama sekali Bagas berniat membalasnya dan pesan dari Kanes yang bertanya kapan ia akan segera menemuinya.

Sementara Satya asik berbincang dengan salah satu seniman yang duduk di sebelahnya, Bagas tidak menyimak apa saja yang mereka obrolkan. Pikirannya terlalu rumit, ia sudah menentukan kapan ia akan melamar Kirana dan dengan cara apa ia akan melamarnya, bahkan minggu ini ia meminta bantuan Kanes untuk menemaninya membeli cincin untuk melamar Kirana.

“Tapi lo jadi kan, Gas. Buat ngelamar Kirana? Coba deh, sebelum ngelamar dia lo ajak dia ngobrol dulu? Tanya ada apa. Atau lo coba tanya sama Almira, kali aja cewek lo cerita sesuatu ke Almira kan?” Usul Satya yang dijawab anggukan kecil oleh Bagas, ada benarnya juga ucapan Satya tersebut. Mungkin Almira tahu sesuatu.

“Nanti gue coba nemuin Almira kali ya, Mas.”

Satya menepuk bahu Bagas, mencoba menenangkan kawannya itu. Satya tidak paham bagaimana risaunya Bagas karena ia sendiri tidak pernah mengalaminya, sakit nya tentang asmaranya yang tak berjalan mulus hanya tentang penolakan lamaran kekasihnya dulu, dan itu semua beralasan yang masuk akal dan dapat Satya terima.

Perlahan satu persatu orang yang memadati Taman Ismail Marzuki telah meninggalkan tempat, hari hampir malam tapi Bagas enggan pulang. Ia sempat mengajak Satya mengitari Jakarta malam hari, membeli beberapa minuman kaleng di minimarket dan ngobrol berdua di hutan kota. Untungnya Satya mau, ya mungkin karena pria itu juga sedang senewen dengan urusan pekerjaan dan pernikahannya yang akan di selenggarakan tahun depan.

“Lo ngerasa ada yang aneh gak, Mas?” Bagas ingin melihat tentang Raga dari kacamata orang lain. Bisa saja penilaiannya tentang pria itu salah kan.

“Aneh apaan?” entah hisapan ke berapa dari rokok yang Satya pegang di sela jari nya, asapnya ia kepulkan ke udara setelah itu ia tenggak kembali kaleng minuman berisi soft drink tersebut. Satya sempat bergedik, karena sensasi dingin serta soda yang seperti meletup-letup di tenggorokannya itu.

“Soal Pak Raga.”

“Kenapa sama Raga?” Satya memang sering memanggil Raga dengan namanya saja, karena mereka memanglah seumuran. Lagi pula, ini bukan di kantor jadi ia tidak memanggilnya dengan sebutan “Pak.”

“Sikap Pak Raga ke Kirana, apa gak berlebihan ya?”

Satya mengerutkan keningnya bingung, “berlebihan gimana maksudnya?”

“Lo ingat waktu Pak Raga masuk rumah sakit gak?” Bagas menoleh ke arah Satya dan pria itu mengangguk. “Pak Raga sebelum pingsan dia telfon Kirana dulu, Kirana yang bawa dia ke rumah sakit. Maksud gue, kenapa harus cewek gue sih? Dia kan juga deket sama lo ya? Ada gue juga. Atau siapa kek temen dia yang lain, keluarga kek? Kenapa harus Kirana.”

Satya mengangguk-angguk, dalam hati ia membenarkan ucapan Bagas. “Iya juga sih, ah. Tapi bisa aja itu karena Kirana kontak terakhir yang dia hubungin? Karena setahu gue, waktu Raga di rawat kan, mereka sempat mantau proyek bareng gak sih? Ya mungkin entah Kirana atah Raga sempat telfonan, makanya Raga jadi ngehubungin nomer terakhir yang dia hubungin buat minta tolong?”

“Itu yang pertama, ya gue anggap alasan ini masih masuk akal. Yang kedua, Pak Raga yang sewain rumah Kakaknya buat Kirana, Mas. Dia kasih harga sewa yang menurut gue gak masuk akal buat rumah yang bagus kaya gitu.”

“Lu kok jadi kaya gak seneng gitu sih, Gas. Cewek lu dapet rumah sewaan bagus dan murah?”

“Bukan gitu, Mas. Gue seneng kok, tapi gue lagi tanya soal perlakuan Pak Raga ke Kirana loh.”

“Lo cemburu?” tebak Satya. Yang sebenarnya dibenarkan oleh Raga dalam hatinya. Namun pria itu menggeleng.

“Cuma aneh aja.”

“Cemburu ini mah, fix.” Satya menjentikkan tangannya. “Tapi yah wajar juga sih Kalo elu mikirnya begini, Gas. Tapi coba kita ambil positif nya aja deh, bisa aja kan Raga cuma bersimpati sama Kirana karena Kirana bawahanya di kantor?”

“Berarti gue aja kali ya, Mas. Yang berlebihan?” Bagas merasa perasaanya belum tervalidasi, ia ingin meyakinkan sekali lagi. Tapi ia juga berpikir kalau mungkin ia saja yang menyikapinya berlebihan.

“Cemburu wajar, Gas. Elo cuma terlalu sayang aja ama Kirana.” Satya menepuk-nepuk pundak Bagas layaknya seorang kakak laki-laki kepada Adik laki-lakinya. “Balik yok, udah jangan di pikirin lagi, besok dateng ke rumahnya ajak ngomong.”

Bagas mengangguk pelan, keduanya bangun dari tempat mereka duduk dan segera meninggalkan hutan kota itu yang sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang saja di sana yang masih setia mengobrol ngalur ngidul tengah malam, menikmati semilir angin kota Jakarta dan lampu-lampu kota yang masih setia menyala.


Setelah meninggalkan Bagas di teras rumahnya, Kirana langsung masuk ke kamarnya. Ia tahu Bagas tidak akan langsung pulang, ia bisa mendengar dari balik pintu kamarnya jika ibu sempat mengajaknya masuk dan makan malam sebentar. Tentu saja Bagas akan menurut pada ibu, Kirana bahkan mendengar obrolan keduanya tentang Bagas yang bertanya pada ibu ada apa dengan Kirana dan ibu yang menjelaskan sekedarnya dengan mengatakan bahwa Kirana sedang tidak enak badan saja.

Tentu saja Bagas tidak langsung percaya karena dihari-hari berikutnya, pria itu masih bertanya pada Kirana ada apa dengannya. Sungguh, Kirana tidak marah dengan Bagas. Namun menatap wajah pria yang sangat amat ia cintai itu, selalu saja berhasil mengingatkannya pada ucapan orang tua nya siang itu. Kirana menepi, ia ingin menenangkan dirinya dulu dan berpikir jernih tentang apa yang harus ia lakukan pada hubungannya.

Jika dikatakan ia sedikit menjauhi Bagas, tentu saja bisa dibilang seperti itu. Bahkan Almira saja mengetahui itu karena Kirana meminta bantuan wanita itu untuk selalu bersamannya terus, tiap kali pulang ke rumah dan bertarung dengan sepinya malam dibalik dinding-dinding dingin rumahnya, berteman dengan hanya mendengar deting dari jam dinding kamarnya.

Kirana akan melawan sepi dan sakit dengan menangis semalaman hingga ia kelelahan, kemudian tertidur dengan memeluk erat boneka Mickey Mouse yang Bagas beri padanya saat merayakan hari jadian mereka yang ke 3 tahun. Saat mereka masih muda, masih berkuliah. Di kantor pun, Kirana mengurangi interaksinya dengan Bagas.

Jika Bagas mengajaknya untuk istirahat bersama, maka Almira akan menjadi senjatanya ia akan mengatakan “gak bisa, aku sama Almira mau makan di mall dekat sini, mau nemenin Almira beli make up.” Atau ia mengatakan, “aku bawa bekal, sayang.” Atau, “aku ada janjian sama kontraktor proyek, kamu makan duluan aja ya.”

Dan setiap kali Bagas ke rumah Kirana, jika Kirana sedang ada di rumah maka ia akan meminta tolong pada ibu untuk mengatakan pada Bagas jika ia sedang keluar. Tentunya semua perilaku Kirana menuai tanda tanya pada ibu, namun setiap kali Kirana ditanya ada apa antara dia dan Bagas, maka Kirana hanya akan menjawab “gapapa, Buk. Kirana lagi pengen sendiri dulu aja.”

Hari ini, Kirana memang memantau proyek bersama dengan Raka. Ia menyuruh Raka pulang duluan saja tanpa mengantarnya ke halte bus, karena Almira akan menjemput Kirana. Ia sengaja pulang agak sedikit malam agar jika Bagas ke rumahnya, pria itu tidak akan bertemu dengannya. Dan sejujurnya, Kirana menghalau sepi dengan cara lebih banyak di luar dibanding di rumah, kebetulan Ibu sedang menginap di rumah temannya untuk mengurus pesanan yang jumlahnya enggak sedikit.

sorry ya, Mbak. Aku belum beres-beres kamar kost.” Almira membuka pintu kamar kostnya, menampakan kamar yang berukuran 4x5 itu agak sedikit berantakan.

Kirana masuk ke dalamnya, terlihat dengan jelas jika ranjang gadis itu sedikit berantakan memang. Ada baju-baju yang belum sempat Almira bawa ke laundry dan baju dari laundry yang Almira belum sempat susun di lemari, ada poster-poster dari boygrup dan girl grup yang sering dibicarakan oleh wanita itu juga. Dan tak lupa perintilan Almira tentang dunia fangirl nya.

Seperti gelang konser yang memang ia pajang di meja belajarnya. Kirana tersenyum, ia menyingkirkan novel-novel yang bekas Almira baca di atas sofa wanita itu dan duduk di sana. Cukup nyaman, ukuran kosan itu terbilang besar bisa di sebut semi studio apartement bahkan letaknya ada di lantai 2.

Jika Kirana hidup sendiri seperti Almira, mungkin ia berminat untuk sewa kamar kost seperti ini yang terlentak di lantai 2. Tapi sayangnya, Kirana masih hidup berdua dengan ibunya. Kaki ibu sudah tidak sekokoh dulu yang mampu naik turun tangga, ibu bahkan sering mengeluhkan kakinya sakit.

“Gapapa, Mir.”

“Mbak mau minum apa? Aku pesenin go food deh ya kita makan berdua?” Almira mengambil ponselnya dan nampak menggulir layar ponselnya tersebut.

“Gausah repot-repot, Mir. Aku cuma mau ngaso aja kok.”

“Gak kok, Mbak suka pasta kan?” Almira sedang ingin makan pasta, ah makanan western gitu sepertinya menguggah selera nya setelah tadi siang perutnya panas sehabis makan ayam geprek.

“Apa aja, Mir.” Kirana melihat-lihat gelang-gelang bekas Almira konseran, rata-rata VIP. Mungkin jika Kirana iseng untuk menghitung total berapa uang yang di keluarkan wanita itu, bisa jadi Almira sudah menghabiskan 60jt hanya untuk konser saja. Itu pun belum termasuk merch yang ia simpan di kotak bawah meja nya.

“Mbak, Mas Bagas chat aku nih.” Almira menghampiri Kirana yang masih duduk di sofa dan menunjukan pesan yang dikirimkan oleh Bagas. Pria itu bertanya apakah Kirana sedang bersamanya atau tidak.

“Duh.. Bilang aja gak ya, Mir. Aku lagi gak pengen diganggu dia.”

“Oke.” Almira mengangguk-angguk.

Sesudahnya ia menyimpan ponselnya dan duduk di ranjangnya, ranjang itu bersebrangan dengan sofa tempat Kirana duduk. Dan Almira memperhatikan Kirana, wajah wanita itu nampak risau. Bingung apa yang sedang di lakukannya, kemudian sempat mengintip keluar jendela. Kemudian, begitu sadar Almira memperhatikannya Kirana menatap wanita itu dengan wajah bingungnya.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Harusnya aku loh yang tanya, Mbak. Kamu tuh aneh tau akhir-akhir ini, kenapa sih? Lagi berantem sama Mas Bagas?” Karena sudah tidak tahan sebab selalu dilibatkan dalam pelarian Kirana demi menghindari Bagas, akhirnya Almira bertanya pada wanita di depannya itu.

“Aku sebenarnya sama Bagas baik-baik aja, Mir.” Kirana menghela nafasnya, kembali teringat akan segala penolakan keluarga Bagas dan juga Asri padannya. Kirana rasa ia perlu bercerita dengan seseorang.

“Terus?”

“aku yang menghindari Bagas.”

“Tapi pasti ada alasannya dong, Mbak?”

Kirana mengangguk pelan, “Mir, apa yang akan kamu lakuin seandainya keluarga pacarmu gak merestui hubungan kalian?”

“Hhmm..” Ditanya seperti itu, Almira berpikir dulu sejenak. Pasalnya ia pun belum pernah mengalami hal seperti itu. “Mungkin aku liat dulu kali ya, Mbak. Cowokku gimana, dan tanya ke dia gimana sama hubungan kami. Um, gini loh Mbak. Kan aku menjalin hubungan sama cowokku bukan sama keluarganya, kalo dia mau mempertahankan hubungan kami ya, why not?

Alasan Almira ada benarnya juga, tapi biar bagaimanapun tidak semudah itu bagi Kirana. Ini bukan hanya masalah hanya ia dan Bagas yang menjalani hubungan ini, ia tidak ingin hubungan Bagas dan keluarganya rusak hanya karena Bagas membelanya. Hubungan tanpa restu pihak keluarga itu berat menurut Kirana.

Karena Kirana diam dan hanya menunduk saja, akhirnya Almira pindah duduk ke sebelah wanita itu. “Mbak? Ini bukan tentang hubungan kamu sama Mas Bagas kan?”

“Iya, Mir.” Kirana mengadahkan kepalanya dan menatap Almira dengan air mata yang mengembang di pelupuk matanya. “Ini tentang aku sama Bagas.”

“Mbak...” Almira yang melihat mata Kirana berkaca-maca itu langsung berhambur memeluk temannya itu. “Kenapa kamu gak cerita, Mbak?”

“Aku bingung, Mir. Bagas membelaku di depan keluarganya, dia mempertahankan hubungan kami yang rumit. Tapi seminggu yang lalu orang tua nya bertemu denganku dan meminta aku menjauhi anak mereka, bahkan Bagas sudah dijodohkan dengan perempuan lain, Mir. Yang mungkin jauh lebih baik dariku.”

Tangis Kirana tumpah, ia memeluk Almira erat. Menangis di pundak wanita itu seperti menumpahkan seluru gundahnya, berharap perasaanya sedikit lega dan ia bisa kembali pulang tanpa membawa beban banyak di pundaknya.

“Tapi Mas Bagas tahu soal ini, Mbak?”

Kirana mengurai pelukan Almira dan mengambil tissue yang diberikan Almira padanya. “Bagian dijodohkan Bagas tahu, Mir. Dia menolak, tapi bagian aku bertemu beberapa kali dengan Ibu dan perempuan yang dijodohkan dengannya dia gak tau.”

Almira menatap prihatin pada wanita di depannya itu, Almira gak tau ternyata dibalik sikap aneh Kirana akhir-akhir ini. Wanita itu tengah memendam masalah yang menyulitkannya hingga fokus nya terpecah, beberapa kali Almira mendapati Kirana tengah melamun atau menjadi lebih pendiam dari pada biasanya.

“Kamu gak coba cerita ini ke Mas Bagas, Mbak?”

“Aku gak mau bikin hubungan Bagas dan orang tua nya makin hancur, Mir. Bagas bahkan udah meninggalkan rumah orang tua nya dan gak pernah berkunjung lagi ke sana.”

“Kalau kamu gak cerita, gimana masalah ini mau selesai, Mbak? Kalian menjalani hubungan ini berdua loh. Aku gak kenal kalian lebih lama, tapi Mas Bagas kelihatan bingung banget Mbak dengan perubahan sikap kamu.”

Kirana mengangguk, ia setuju dengan itu. “Aku berniat untuk menjauhi Bagas, Mir. Mungkin, pilihan terberatku adalah melepaskan dia.”

“Mbak..” Kedua bahu Kirana merosot, teringat akan niat Bagas yang akan segera melamar Kirana bulan ini Almira ingin mengatakan niat Bagas itu, bermaksud mungkin Kirana akan mengurungkan niatnya. Namun disisi lain ia sudah berjanji tidak akan membocorkan hal itu pada siapapun, lagi pula, Almira tidak bisa ikut mengurusi hubungan kedua temannya itu lebih jauh, ia hanya bisa mendengarkan cerita keduanya.

“Mas Bagas mau mempertahankan hubungan mu loh, Mbak. Kamu yakin?”

“Aku udah yakin, Mir. Aku udah pikirin ini, aku mungkin gak masalah mereka hina aku, tapi mereka juga hina keluargaku dan kematian Bapakku, Mir. Sulit menjalani hubungan tanpa restu keluarga, memaksakan cuma bakalan nyakitin aku dan Bagas dikemudian hari. Aku gak mau sumpah serapah mereka mungkin buatku terkabul dan makin bikin hidupku susah, Mir. Lebih baik Bagas kembali pada keluarganya.”

Almira sangat amat prihatin pada Kirana, ia kembali memeluk wanita itu dan ikut menangis bersamanya. Hatinya juga sakit, entah hinaan apa yang diucapkan oleh keluarga Bagas sampai-sampai Kirana memilih untuk mundur dalam hubungannya.

Bersambung...