37. Rembulan Sendu Rawan 🔞
Pernah dengar istilah orang yang dulunya kita benci, justru jadi orang yang sekarang bisa deket dengan kita? Mungkin itulah yang dialami oleh Kirana saat ini, ia pernah membenci Raka hanya karena alasan konyol dan kekanakannya. Hanya karena Raka mirip sekali dengan suaminya Ayu di mimpi, pria kasar, arogan, suka berjudi, dan gemar menghabiskan uang milik orang tua nya.
Setiap kali bertemu dengan Raka sepanjang mereka berdua bekerja bersama, Kirana selalu menanamkan dalam dirinya jika pria di hadapannya itu Raka. Yang sangat berbeda dari Dimas, mereka berbeda kepribadian. Dan selama itu pula, Kirana bisa mengenal Raka lebih dekat.
Seperti ia yang kini tahu Raka asik sekali diajak bicara, apapun itu menurut Kirana, Raka dengan mudah menyeimbangi. Misalnya saja mereka pernah dalam situasi canggung ketika mereka berdua sedang dalam mobil Raka sehabis memantau proyek mereka, atau sedang dalam perjalanan bertemu klien mereka. Bermodalkan melihat billboard yang menampakan sebuah film romansa saja Raka sudah bisa membangun obrolan dengan Kirana.
Pria itu bertanya apa genre film kesukaan Kirana, dan siapa sangka jika mereka memiliki selera pada genre film yang sama. Raka banyak merekomendasikan film-film yang menurutnya bagus dan kemungkinan masuk ke dalam selera Kirana. Atau pernah, saat mereka meeting di luar kantor dengan klien mereka disebuah mall. Saat itu sedang ada pameran buku.
Dan dengan melihat tumpukan buku-buku itu saja, Raka tiba-tiba menceletukkan sebuah judul buku yang menurutnya bagus. Dan Kirana yang juga tertarik akhirnya bertukar judul buku yang pernah dibacanya dan menurutnya bagus, meski tidak satu selera bacaan. Raka adalah seseorang yang gemar membaca apapun yang menurutnya menarik dan terbukti, pria itu membeli 1 novel yang direkomendasikan oleh Kirana.
Dan ia lumayan menyukainya, sejak itu setiap kali keduanya bertemu untuk membicarakan perihal pekerjaan, Raka dan Kirana enggak pernah ada dalam situasi yang canggung lagi, selalu ada saja topik yang mereka bahas soal film dan buku yang mereka bagi satu sama lain. Hari ini, masa kerja sama mereka terlibat dalam satu proyek yang sama sudah selesai. Untuk merayakan kesuksesan itu semua, Raka mengajak Kirana untuk makan di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor mereka berada.
Tadinya, Kirana mengajak Almira. Namun apa daya wanita itu sudah ada janji dengan mutual dari fandom boygrup kesukaanya. Jadilah keduanya bertemu di restoran tempat mereka membuat janji, tentu saja Kirana sudah bilang ke Bagas agar pria itu tidak salah paham. Meski berniat melepas pelan-pelan pria yang ia sayangi, Kirana tidak mau membuat Bagas sakit seperti berpikir ia berselingkuh hanya karena bertemu berdua dengan Raka di luar pekerjaan, Kirana ingin Bagas paham bahwa mereka tidak bersama hanya karena Kirana tidak ingin memaksakan restu yang tidak pernah mereka berdua dapat dari keluarga Bagas.
“Pesan yang banyak, Na. Saya yang traktir ini.” Raka tersenyum begitu Kirana mengambil nampan untuk mengambil berbagai jenis daging dan juga sayuran.
Kirana yang diberi kesempatan oleh Raka untuk memilih ingin merayakan keberhasilan mereka direstoran mana, Dan Kirana memakai kesempatan itu untuk memilih All You Can Eat. Kirana sudah mengidam-idamkan makan disana, sebenarnya ia pernah kesana dengan Bagas waktu itu sebelum ia kecelakaan.
“Harus yang banyak, Mas Raka. Biar enggak rugi.” Kirana terkekeh pelan, setelah selesai mengambil apa saja yang ingin ia makan, keduanya langsung menuju meja mereka. Memasak makanan yang mereka inginkan sesuai dengan selera masing-masing.
“Saya baru pertama kali makan kaya gini loh.” Raka itu tipe pria yang jarang sekali menjelajah kuliner, yang ia makan hanya itu-itu saja. Lebih banyak masakan rumahan, ia tidak pernah mengikuti makanan-makanan yang sedang naik daun. Ia bisa terbilang jarang menjelajah sosial media.
“Mininal sekali seumur hidup sih, Mas. Itupun kalau enggak ketagihan. Apalagi kalau Mas Raka suka daging, ini kesempatan banget sih.” Kirana memasukan satu suapan daging dan sayu-sayuran ke mulutnya, ia tersenyum senang begitu rasa gurih dan segar dari daging dan sayuran itu masuk ke dalam mulutnya.
“Kayanya saya bakalan ngajak anak saya kesini deh kapan-kapan soalnya dia suka banget juga makan daging.”
“Oh ya?”
Raka mengangguk, sambil sesekali meracik bumbu-bumbu untuk makanannya. “Iya, dari kecil suka banget sama daging, kamu sudah lihat foto anak saya kan, Na?”
“Udah kok, yang mirip banget sama Mas Raka itu kan?” Kirana jadi teringat, wajah anak itu bukan hanya mirip Raka. Namun mirip wajah seseorang yang tidak asing baginya, namun Kirana belum yakin betul orang itu siapa.
Semenjak mengalami mimpi yang terus berlanjut setiap harinya, kadang Kirana suka linglung mengenali orang. Seperti apakah orang ini ia kenal dari mimpinya atau dimasa sekarang ia hidup.
Raka terkekeh pelan, baginya juga begitu. Kirana bahkan orang kesekian yang mengatakan jika Reisaka adalah foto kopiannya. “Betul.”
“Kapan-kapan ajak main dong, Mas. Kalau ada outing kantor ajak aja. Biasanya karyawan lain juga pada ngajak anak atau istrinya.”
“Ya nanti kapan-kapan saya ajak dia.”
Kirana terkekeh saat melihat cara makan Raka yang menurutnya agak aneh, yup, pria itu justru mau memasukan daun perilla kedalam kuah tomyum. Padahal daun itu bisa menjadi wadah bungkus untuk disatukan dengan daging, jamur, bawang putih dan juga aneka toping lainnya.
“Mas Raka, bukan gitu caranya. Nih saya kasih tau ya liatin.”
Kirana mengambil satu lembar daun perilla miliknya, memasukan daging yang sudah matang dipanggang, bawang putih, sedikit nasi, dan bumbu ssamjang kemudian membungkusnya dengan rapih, dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Gitu, saya pernah diajarin sama Almira dan beberapa kali nonton dari drama juga sih, ini itu namanya 쌈 (Ssam) yang artinya bungkus. Cobain deh enak tau!” Mata Kirana bersinar sewaktu menjelaskannya membuat Raka beberapa kali tertawa karena kalau diingat tentang betapa juteknya Kirana dulu sangatlah lucu.
“Oke saya coba ya.” Raka mengambil daun perilla itu dan mempraktikannya seperti yang Kirana peragakan barusan, dalam satu kali suapan semua itu masuk ke dalam mulut Raka dan pria itu tersenyum, bahkan matanya tidak bisa berbohong jika cara makan yang ditunjukkan oleh Kirana itu begitu nikmat. “Iya benar, ini enak banget.”
“Ya kan!!”
Keduanya makan begitu lahap, seolah-oalah tidak ingin waktu yang tersisa tidak mereka manfaatkan untuk mengisi perut mereka dengan mencicipi hampir seluruh hidangan. Mereka sempat membicarakan tentang novel yang Kirana rekomendasikan pada Raka, tentang tokoh dalam novel tersebut, tentang jalan cerita dan alurnya. Sampai dimana Raka mendapati panggilan dari Reisaka, bocah itu menitip sesuatu pada Raka.
“Anak saya nitip es krim, Na.” Raka menaruh ponselnya dan kemudian memakan kembali es krim dengan toping cococruch dan sprinkle di atasnya yang Raka ambil sendiri bersama Kirana.
“Oh ya? Gara-gara Mas Raka kirim foto es krim ini ke dia ya?”
Raka mengangguk, “kalau saya ajak jalan-jalan nih, yang dia minta pertama pasti es krim. Suka banget dia sama makanan manis dan dingin.”
“Khas anak-anak banget yah, Mas. Ah, tapi saya udah segede ini juga masih suka es krim sih.” Kirana tersenyum dan kembali menyendok es krim rasa strawberry miliknya itu.
Getar pada ponsel yang ia taruh di mejanya itu menyita lirikan Kirana, ada pesan singkat dari Bagas, pria itu bilang ia menunggunya di halte bus dekat dengan restoran tempat Kirana dan Raka makan-makan. Kirana hanya menghela nafasnya pelan, hampir 2 minggu tidak bicara banyak dengan pria itu membuatnya rindu. Rindu akan berceloteh dengan Bagas, mencari makanan setelah pulang bekerja, menemani pria itu mencari buku kesukaanya atau memasakan sesuatu untuknya.
Melihat perubahan wajahnya membuat kening Raka mengkerut bingung, karena sedrastis itu perubahan wajah Kirana, wanita itu yang tadinya tersenyum menjadi sedikit murung dan tatapannya kosong sembari mengaduk-aduk es krim yang mereka ambil tadi. Seperti tengah mengisi kekosongan hatinya dengan mengaduk isi es krim tersebut menjadi satu tanpa ia berniat menyendokan lagi makanan dingin itu ke dalam mulutnya.
“Kenapa, Na? Kok BT gitu?” Tak lama kemudian Kirana mengadahkan wajahnya menatap Raka, wanita itu tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan agar ia terlihat baik-baik saja.
“Gapapa, Mas. by the way saya balik duluan boleh? Bagas udah nunggu.”
“Oh boleh dong boleh.” Raka mengangguk-angguk. “Kita juga udah selesai makannya kan, sana kamu samperin kasian cowokmu sering galau akhir-akhir ini kayanya.”
Kirana yang tadi hendak memakai tas itu jadi menghentikan geraknya, ia menoleh pada Raka dan membuat Raka menaikan sebelah alisnya.
“Gimana, Mas?”
“Apanya?” Raka bingung.
“Bagas suka galau?”
Raka mengangguk pelan, “iya kelihatannya.”
Benarkah? Kirana menghela nafasnya dengan kasar, kalau benar apa yang dikatakan Raka barusan jika Bagas sering kelihatan galau itu artinya ia sudah menyakiti hati pria itu dengan sengaja. Selama berkencan dengan Bagas, sebenarnya hubungan mereka terbilang sehat jauh dari kata toxic, Bagas adalah pria yang mendukung penuh apa yang di lakukan oleh Kirana.
Begitu pun sebaliknya, saat sedang tertimpa masalah mereka akan saling bantu, menyelesaikannya bersama dengan banyak mengobrol. Isi kepalanya tak selalu sama, tapi keduanya mau belajar untuk saling menghargai. Malam itu, Kirana berjalan keluar restoran setelah mengucapkan terima kasih pada Raka, jalan gontai yang diselingi dengan keresahan hatinya, tanganya sibuk memilin cardigan kuning yang ia kenakan.
Ia biarkan angin malam itu meniup sedang rambutnya yang mulai panjang, isi kepalanya penuh, ramai, gaduh. Seperti isi jalanan Jakarta yang sampai jam tujuh malam pun masih begitu padat. Langkahnya membawa Kirana pada halte bus tempat Bagas menunggu, pria itu ada di sana, duduk menunggu dengan buku di pangkuannya. Tidak Kirana dapati mobil Bagas di sana, naik apakah pria itu untuk sampai di sini?
“Hai?” Sapa nya ketika ia sudah berada di halte bus itu, tidak begitu ramai. Hanya ada pekerja kantoran yang duduk agak jauh dari tempat Bagas duduk, memakai earphone dan nampak fokus pada ponsel digenggamannya seperti tidak tertarik pada hal-hal lain di sekitarnya selain ponsel yang terus menyita perhatiannya.
“Hai, sini duduk.” Bagas bergeser, menaruh pembatas buku dibuku miliknya dan tersenyum manis menatap Kirana. Ia rindu, wanita itu sangat amat merindukannya. “Udah selesai ditraktirnya?”
“Um.” Kirana mengangguk, “kamu baca apa?”
Bagas tersenyum, ia memberikan buku yang sedang ia baca pada Kirana. “The Daily Stoic.”
Kirana tersenyum, membaca cover depan pada buku yang diberikan oleh pria itu. Buku khas yang Bagas sukai sekali. “Kamu udah selesai baca The Stranger dari Albert Camus?”
“Udah, sayang. Mau pinjam?”
Kirana tersenyum dan mengangguk kecil, selera bacaan keduanya berbeda. Kirana yang gemar membaca dari penulis-penulis lokal dan Bagas yang menyukai penulis-penulis Prancis. Namun walaupun begitu, setiap kali membaca buku mereka akan bercerita satu sama lain, saling meracuni siapa salah satu di antara mereka terpikat.
“Tumben, biasanya kamu suka penulis-penulis lokal.” Tangan Bagas terulur mengusap kepala Kirana.
“Lagi kepengen aja, boleh ya? Kita ambil sekarang?”
“Um, tapi kita ke rumahku naik bus gapapa ya? Mobilku lagi di bengkel.”
“Gapapa,” Kirana menautkan jemari tangannya pada Bagas, keduanya berdiri dan masuk ke dalam bus yang akan membawanya ke rumah yang Bagas sewa, sembari mendengarkan Bagas berceloteh tentang buku yang ia baca barusan. Kirana tidak banyak berkomentar, ia hanya mengangguk dan terus mendengar suara yang sangat ia rindukan itu.
Berceloteh, berpegangan tangan, saling memandang. Itu yang dilakukan Kirana dan Bagas malam itu, setelah turun dari bus yang membawa mereka sampai daerah rumah Bagas keduanya turun dan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Bagas masih menceritakan tentang buku yang tengah ia baca, sambil sesekali Kirana menimpali buku yang ingin ia beli segera.
Terkadang mereka tertawa, tidak lepas namun tawa itu cukup mengisi ruang kosong setelah beberapa hari Kirana menghindar. Mengisi ruang rindu yang tersisa, biarkan kali ini Kirana egois, biarkan malam ini wanita itu bersama pria yang ia cintai. Kirana hanya ingin menghabiskan waktu bersama Bagas saja malam ini, melakukan apa saja bahkan Kirana bersedia jika mereka tidak melakukan apa-apa.
Begitu sampai di rumah, Kirana duduk di kursi ruang tamu yang di belakangnya terdapat rak buku besar milik Bagas. Ada banyak sekali koleksi buku milik pria itu, mulai dari buku mereka jaman kuliah, buku filsafat, novel-novel terjemahan karya penulis-penulis Prancis yang selalu Bagas sukai, buku berisi cerpen milik penulis lokal ataupun buku-buku kumpulan puisi.
“Sayang, mau makan gak?” teriak Bagas dari dalam dapurnya, ia sedikit menoleh ke arah ruang tamu demi melihat apa yang wanitanya sedang lakukan. Kirana tengah berjongkok dihadapan rak-rak besar disana, mencari buku yang ingin ia pinjam.
“Gausah, aku masih kenyang.”
“Cemilan mau?”
“Apa?”
“Aku punya bolu kukus.” Bagas membuka kulkas miliknya, memastikan persediaan bolu yang kemarin ia beli masih ada.
“Iya boleh.”
Kirana masih terpanah akan rak buku dan koleksi buku-buku milik pria itu, Bagas sangat menyukai novel-novel romantis. Mungkin itu adalah alasan mengapa ia selalu mempunya sejuta cara memperlakukan Kirana dengan sangat manis, Kirana pernah berpikir jika pria itu terinspirasi dari tokoh-tokoh yang ia baca bagaimana mereka memperlakukan wanita. Namun pernyataan itu ditepis oleh prianya karna pada dasarnya sikap alami Bagas memanglah seperti itu.
Pria itu menata bolu ketan hitam di piring kecil dan menyajikannya bersama teh hangat dalam satu nampan, ia kemudian berjalan ke ruang tamu dan menaruh nampan itu di meja. Langkahnya kemudian terhenti tepat di belakang Kirana yang masih asik membaca bagian belakang buku miliknya.
“Udah ketemu buku yang kamu mau?” tanyanya, tangannya yang panjang itu menghalau bagian samping Kirana. Seperti tengah mengurung tubuh kecil itu di sana tanpa mengintimidasinya.
Kirana tersenyum dan mengangguk, “tapi kamu naruhnya di atas situ. Aku gak sampe, ambilin ya?”
Bagas mengangguk, tubuhnya yang jangkung serta tanganya yang panjang itu dengan mudahnya mengambil buku miliknya. Tanpa drama harus berjinjit, berpegangan apalagi harus naik ke kursi. Semudah itu dan ia memberikannya pada Kirana.
“Mau baca sekarang?”
Kirana menggeleng, “aku mau baca di rumah.”
Keduanya saling menatap, Bagas jatuh pada kubangan rindu didadanya. Mata teduh yang terlihat sendu itu kini menatapnya, seperti berharap entah apa yang wanitanya itu harapkan. Tangan Bagas terbebas, tidak ada benda digenggamannya maka ia dengan leluasa mengusap lembut pipi kekasihnya itu.
“Aku kangen kamu, Na,” bisiknya, terdengar lirih di telinga Kirana. Hatinya sakit dengan buncahan belati yang seperti tengah menghunus hatinya. Ia ingin sekali memeluk Bagas erat tanpa melepaskannya dan mengatakan dengan lantang jika ia jauh lebih merindukan pria itu.
“Bagas?”
“Hm?”
“Aku mau ciuman.” entah hasutan dari mana sampai-sampai Kirana yang dikenal lugu di usianya yang 27 tahun itu dengan percaya dirinya meminta sebuah ciuman pada pria di depannya itu.
Bagas tersipu, bibirnya tertarik kecil membentuk sebuah senyuman dan kepalanya mengangguk kecil. Dengan mudahnya ia sedikit membungkukkan tubuhnya, demi mensejajarkan wajahnya dengan bibir Kirana. Semakin dekat, hingga nafas Bagas behasil menyapu wajah Kirana.
Dua anak manusia itu saling memejamkan mata, kedua bibir mereka bertemu. Saling mengecup, melumat sesekali dengan kepala yang saling miring secara berlawanan. Buku yang tadinya ada di tangan Kirana itu jatuh begitu saja, tangannya kini dengan leluasa bertengger di bahu Bagas, mengusapnya pelan hingga kebelakang punggung lebar pria itu.
Kedua pipi Kirana merah padam menahan gairahnya, tangannya dengan lantang membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Bagas, pria itu tentulah kaget dalam ciuman penuh menuntutnya, bagaimana bisa tangan kecil, putih dengan kuku-kuku bersih itu yang selalu terbungkus dalam rasa segan dan sopan bisa diluar imajinasinya.
Kemaja Bagas terlepas, menampakan tubuh gagah pria itu. Keduanya saling melucuti, menelanjangi hingga Bagas berani menghimpit tubuh mungil itu ke rak penuh buku. Jauh dari bayangan Kirana jika Bagas memiliki daya ledak yang cukup tinggi, sehingga pria itu terlalu paham bagian mana dari tubuhnya yang membuatnya selalu menyeruhkan nama Bagas dengan nada terputus-putus penuh keputus asaan dan penekanan itu.
Bagas dengan leluasanya mengangkat tubuh mungil itu, membawanya ke kamar dan menjatuhkan tubuh Kirana ke ranjangnya penuh kehati-hatian seoalah-olah Kirana adalah sebuah porselen yang bisa saja hancur jika ia mengguncangnya agak keras. Ketika tubuh Bagas memasuki tubuhnya, memasuki diri Kirana. Barulah Kirana sadar jika ia telah meninggalkan dunia yang terlalu kejam padanya.
Bersambung