38. Candala Dan Tangis Bumi

Kala Raga sedang melewati panjangnya jalan menuju rumahnya, tidak sengaja ekor matanya melihat Bagas dan Kirana tengah duduk berdua di halte bus. Entah apa yang sedang keduanya bicarakan, tampak serasi, tampak melempar senyum satu sama lain. Layaknya seorang remaja yang tengah puber dan dimabuk cinta.

Mobil yang dikendarain terhenti, entah apa yang membuat Raga menginjak rem untuk menelisik apa yang pasangan itu lakukan. Meski hatinya sendiri seperti tercabik-cabik, Raga masih menyangkal terkadang jika ia sudah jatuh cinta dengan Kirana karena mimpi sialan itu. Namun terkadang juga ia membiarkan dirinya menyerah dan mengakui jika ia memang jatuh cinta.

Boleh dikatakan ia bodoh, baper, tidak tahu malu atau umpatan apapun tentang seorang pria yang menyukai wanita milik pria lain. Tapi tidak ada keinginan lebih dari Raga selain hanya memastikan Kirana baik-baik saja, tersenyum dan memandangnya dari jauh. Ia tak ada niatan untuk merebut apalagi menghancurkan hubungan keduanya.

Ketika sebuah bus datang dan berhenti di halte, pasangan itu saling bergandeng tangan dan masuk ke dalamnya. Dan Raga masih terpaku di tempatnya, meremat setir mobilnya sembari menata kepingan hatinya yang hancur setelah diterpa rasa cemburu. Setelah bus itu sedikit menjauh, ia kemudikan lagi mobil miliknya untuk segera pulang.

Ia sudah lelah dan ingin segera istirahat, sesampainya di rumah justru rasa malas mendera Raga hingga ia hanya menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Menatap dengan pandangan kosong pada langit-langit gipsum ruang tamunya sembari mempertimbangkan keputusan besar yang akan merubah karirnya.

Ini soal tawaran Ethan, Raga masih mempertimbangkannya dan Ethan sudah meminta keputusan Raga. Dalam hati ia tidak membenarkan perasaan ini, ia harus melupakan Kirana. Tapi jika terus bertemu dengan wanita itu setiap hari di kantor apakah itu akan menjadi mudah? Katakanlah ia pindah kantor hanya demi move on dari wanita itu.

Lalu tanganya merogoh kantong celana miliknya, mengambil benda persegi itu dan mengetikkan sebuah nama di sana. Raga akan menelfon Ethan, tak lama untuk membuat Raga dapat mendengar suara iparnya dari sebrang sana. Karena pada bunyi nada sambung ketiga Ethan sudah mengangkat panggilannya.

hallo, Ga? Ada apa?

“Malam, Mas Ethan. Raga mau ngomongin soal tawaran Mas Ethan.” Raga bangkit dari tidurnya dan mengubah posisinya menjadi duduk.

ah, iya. Gimana-gimana? Sudah punya keputusan, Ga?

“Raga ambil, Mas. Raga bersedia pindah ke kantor Mas Ethan. Tapi tolong beri waktu sampai Raga menyelesaikan pekerjaan Raga di kantor yang sekarang ini, bagaimana?”

ah serius kamu?!” pekik Ethan tidak menyangka saking susahnya Raga diajak untuk bekerja di kantornya. “*boleh lah, Ga. Selesaikan saja dulu, Ga. Tidak usah buru-buru kapanpun kamu ingin pindah Mas selalu menyambut.”

Raga mengangguk kecil, meski ia yakin Ethan tidak akan melihatnya. “Tapi rahasiain dulu dari Mbak Adel ya, Mas.”

Raga hanya tidak ingin Adel mengintrogasinya dengan rentetan pertanyaan mengapa pada akhirnya ia berlabuh pada kantor iparnya itu, apalagi kalau sampai kakaknya itu menebak alasannya bukan hanya ingin keluar dari zona nya. Melainkan demi melupakan perasaanya pada Kirana, maklum lah terlampau sering Adel menebak, dan sialnya semua tebakannya adalah sebenar-benarnya diri Raga.

iya, tenang aja. Tapi, Ga. Ini kamu mau pindah kantor beneran? Haha sampe kaget Mas loh, tadinya udah pesimis banget.”

Raga terdiam, menghela nafasnya sendiri dengan kasar. Ia sendiri masih setengah hati, namun tak ada salahnya mencoba keluar dari bubble nya sendiri. Ia ingin melindungi hatinya yang sudah kalah, ia harus tahu diri untuk tidak jatuh lebih dalam pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain.

Ga?” panggil Mas Ethan karena Raga tidak kunjung menyahut.

“Gapapa, Mas. Raga mau keluar dari zona nyaman aja.”

Setelah selesai sedikit mengobrol pada Ethan, Raga melangkah masuk ke dalam kamarnya. Matanya sontak melihat bunga yang Raga bawa dari cafe, bunga yang dibawa Kirana sewaktu Kirana bertemu dengan orang tua Bagas. Saat pertama kali orang tua Bagas menyuruhnya menjauhi putra mereka secara terang-terangan. Waktu itu Raga duduk di belakang Kirana, sewaktu itu Raga sendiri kaget jika ia bertemu Kirana di sana.

Raga ambil bunga itu dan ia bawa pulang, bunga cantik yang dirangkai khusus namun justru tidak diberikan pada orang yang seharusnya menjadi pemiliknya. Bunga itu sudah layu, menghitam, mengecil dan sebentar lagi mungkin akan jatuh ke dalam vas bunga yang Raga isi air. Namun ia enggan membuangnya, biarlah bunga itu mati sendiri, jika sudah mati, mungkin Raga akan menjemurnya dan tetap menyimpan kelopak demi kelopak yang berjatuhan itu, atau tidak masalah meski ia hanya menyimpan tali yang meggabungkan setiap tangkai bunga itu.

Mimpi itu masih terngiang, tentang janji Jayden dan Ayu untuk terlahir kembali dan menikah. Tapi jika dugaan itu memang benar, mungkin Jayden dan Ayu kembali tidak berjodoh dikehidupan sekarang ini. Raga sempat menelusuri asal usulnya, tentang keluarga besar dari Papa nya yang juga berkebangsaan Belanda. Namun ia tak mencari tahu lagi lebih dalam, 127 tahun. Sangat sulit jika Raga menyelami sampai sejauh itu.

Itu pun jika benar, jika benar ia adalah keturunan dari keluarga Jayden. Atau ini semua hanya kebetulan saja, entahlah kepala Raga sudah pening rasanya. Lebih baik ia melupakan segala mimpi itu, menguburnya bersama bayang-bayang kecintaanya pada Kirana.


Minggu pagi itu Kirana bangun lebih dulu, ia merenggangkan tubuhnya dan kemudian keluar dari kamarnya. Biasanya minggu pagi seperti ini, Ibu sudah bangun lebih dulu. Entah itu untuk memasak atau menyiram tanaman, Ibu selalu bangun saat menjelang subuh. Saat ini sudah setengah enam dan Ibu belum bangun, Kirana berinsiatif untuk melihat ke kamar Ibunya itu.

Saat pintu kamar Ibu terbuka, wanita itu masih terlelap dengan wajah tenanganya. Kirana tersenyum dan kembali menutup pintu kamar Ibunya kembali. Ia mencuci muka, dan segera membuat teh dan cemilan untuk sarapan di pagi hari. Hari ini dia sudah mengagendakan untuk berbelanja ke pasar bersama Ibu.

Kirana hanya membuat pancake pisang dan teh tawar, kemudian menyiram tanaman di depan rumah mereka sembari menyapa tetangga yang melewati depan rumahnya untuk sekedar berlari pagi atau ingin berbelanja ke pasar. Setelah sudah pukul setengah tujuh, Kirana ingin membangunkan Ibu. Karena jika terlambat sedikit saja ke pasar bisa-bisa ia dan Ibu mendapat ikan yang kurang segar.

Kirana membuka kamar Ibunya lagi, melangkah mendekat ranjang Ibunya itu dan duduk di pinggir kasur Ibunya. “Buk?”

Tak ada sahutan dari Ibu, tapi ada sesuatu yang aneh saat Kirana memegang tangan Ibu untuk sedikit mengguncang tubuhnya. Tangan Ibu dingin, padahal mereka tidak memakai AC. Kening Kirana mengekerut, ada kepanikan menderanya seketika ketika ia memperhatikan tubuh Ibunya.

Tak ada gerakan pada perutnya seperti pada umumnya orang bernafas, tidak kembang kempis. Hanya diam dengan wajah tenang dan pucat serta dingin, Kirana menelan saliva nya susah payah dan kembali membangunkan Ibu nya. Ada sedikit pikiran buruk namun ia tepis dengan segera.

“Buk? Ibu? Udah setengah tujuh, Buk. Katanya mau ke pasar? Kita jadi kan masak pecak?” Sekali lagi, Kirana mengguncang kecil tubuh Ibunya. Jantungnya ingin lepas dari tempatnya ketika tubuh di depannya itu tetap bergeming.

“Buk?” Kirana menggeleng, ia mencoba mendekatkan telapak tanganya pada cuping hidung Ibu. Dan lara kini mendera Kirana ketika tak ia dapati helaan nafas berhembus disana.

“IBU!!!” Kirana panik bukan main, matanya memanas dan air matanya dengan mudahnya menguncur dari pelupuk matanya itu.

Kirana berlari keluar rumahnya, berteriak memanggil siapa saja yang datang atau sekedar lewat rumahnya untuk membantu memastikan Ibunya masih hidup, atau setidaknya membantunya membawa Ibu ke rumah sakit.

“Pak, Buk!! Tolongin Ibu saya!” Pekik Kirana lirih, dadanya sakit bukan main. Ia harap Ibu hanya kelelahan saja dan bukan meninggalkan dirinya.

“Ada apa, Neng?” Tanya seorang Ibu-Ibu yang sepertinya baru saja pulang dari pasar.

“Tolong.. Tolong Ibu..saya..” Kirana terisak, ia menarik tangan Ibu-Ibu itu dan mengajak beberapa warga lain untuk memeriksa keadaan Ibunya.

Meski sudah mendapati pernyataan dari warga yang membantunya jika Ibunya sudah meninggal dunia, Kirana masih enggan mempercayai itu. Ia bersikukuh membawa Ibu ke rumah sakit agar ia bisa mendapatkan peryataan yang legit dari seorang dokter. Warga membantu Kirana membawa Ibu ke rumah sakit terdekat, dalam perjalanan meski matanya buram karena air matanya yang terus mengalir. Kirana berusaha tabah, ia menelfon sanak saudaranya dan juga teman-temannya.

Namun kekecewaan dan kepedihan menerpanya kembali ketika pintu IGD terbuka dan menampakan seorang dokter, dengan wajah yang sulit Kirana artikan. Ia harap Ibunya masih ada, Ibu tidak meninggalkannya, Ibu hanya memerlukan waktu untuk beristirahat sebentar. Namun yang Kirana dengar justru sebaliknya.

“Mbak, Ibu Rahayu sudah meninggal dunia. Ibu sudah meninggal sekitar 4 jam yang lalu.”

Seorang diri Kirana di depan pintu IGD tubuhnya gemetar, seperti tengah tersengat aliran listrik puluhan volt yang siap membuatnya berpindah ke alam lain, ia merosot, menangis dan memegangi dadanya yang terasa di remas dengan kejamnya oleh takdir yang tidak pernah berpihak padanya.

Satu-satunya orang yang Kirana miliki di dunia ini, diambil paksa darinya. Membuat Kirana semakin merana hidup dalam kesendirian tanpa orang tua. Ia menangis, begitu lirih sampai beberapa penunggu pasien dan warga yang mengantarnya barusan merasa iba pada Kirana.

Kirana masih belum sanggup untuk berdiri, untuk sekedar mengurus administrasi dan membawa jenazah Ibu nya pulang. Ia masih menunggu Budhe nya untuk datang ke Jakarta dari Semarang, tak lama kemudian dari lorong rumah sakit. Terlihat seorang pria berjalan dengan langkah panjang-panjang mengarah ke padanya.

Persetan dengan siapa pria itu, Kirana masih meratapi nasibnya. Kepalanya pening bukan main, sirna sudah berbelanja ke pasar dan memasak pecak untuk makan siang minggu ini. Pria itu mendekat, tak mampu membuat Kirana menoleh sedikitpun untuk mencari tahu siapa gerangan pria di depannya itu.

“Kirana..” Panggil pria itu dengan suara beratnya, suara yang terlampau Kirana kenal betul itu milik siapa.

Kirana mengadahkan kepalanya, menatap sepasang sandal berbeda warna yang ada di hadapannya itu dan melihat wajah sang empunya. Dugaanya salah jika orang pertama yang datang ke rumah sakit menjemputnya adalah Bagas, justru pria di depannya itu adalah Raga. Dengan nafas tersenggal, kaos oblong, celana training hitam dan sandal jepit yang bahkan berbeda warna. Terlihat compang camping layaknya seorang tuna wisma jika saja Raga tidak kelihatan lebih bersih dan terurus.

Kirana masih bergeming, kemudian Raga berjongkok di depan wanita itu dan menarik kepalanya ke dalam pelukannya. Seketika Kirana luruh, kehancuran dalam dirinya ia tampakan begitu saja. Ia benar-benar membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat ini. Ia menangis, merajuk, merasa kehilangan yang teramat sangat dalam pada pelukan atasannya itu. Ah, tidak. Seharusnya tidak ada sekat lagi diantara mereka karena mereka bukan berada di kantor.

“Ibu saya sudah tidak ada, Pak. Saya yatim piatu,” lirih Kirana dengan suara paraunya.

“Kamu gak sendiri Kirana, kamu masih punya teman-temanmu. Saya juga janji enggak akan membiarkan kamu susah sendirian.”

Kirana tidak menjawab lagi, ia masih terus menangis, menggerung dan meratapi setelah ini ia harus hidup seperti apa karena ia merasa hidupnya sudahlah selesai. 30 menit kemudian datanglah Satya dan Almira, keduanya menemani Kirana di ruang tunggu sementara Raga mengurus administrasi untuk kepulangan jenazah Ibunya Kirana. Ia juga telah meminta bantuan orang suruhannya untuk menyiapkan pemakaman.

Kirana masih melamun dalam pelukan Almira, wanita itu terus mengusap-usap bahu Kirana agar wanita itu tetaplah tabah. Sedangkan Satya, ia sibuk menelfon Bagas. Pria itu bahkan belum datang dan mengangkat telefonnya.

“Gimana, Mas?” Tanya Almira.

“HP nya gak aktif.” Satya berbisik agar Kirana tidak mendengarnya.

Almira menghela nafasnya pelan dan mengigit bibir terdalamnya, bagaimana bisa di saat-saat Kirana membutuhkannya justru Bagas tidak ada. Bahkan Almira dan Satya tidak menyangka jika Raga lah orang pertama yang menyusul Kirana ke rumah sakit setelah Satya mengabarinnya.

Jenazah Ibunya Kirana di bawa pulang, di rumahnya sudah ramai oleh para pelayat, dan orang yang akan memandikan serta mengkafani jenazah. Kirana sempat cuci muka dan berganti baju dahulu ditemani Almira. Ia masih menangis kala menatap cermin dan menampakan dirinya yang mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk berkabung.

“Setelah ini hidupku gimana yah, Mir. Aku gak bisa hidup tanpa Ibu..” Air mata Kirana kembali jatuh, ia menutup wajahnya dengan jilbab yang ia kenakan.

“Mbak, aku tahu ini gak mudah, tapi Mbak masih punya aku Mbak, masih ada Mas Bagas, Mas Satya dan Pak Raga. Kami disini buatmu, Mbak.”

Kata Raga, penyebab kematian Ibunya Kirana adalah cardiac arrest atau henti jantung. Rencananya setelah adzan dzuhur, jenazahnya akan dimakamkan di TPU Karet Bivak. Dan sampai saat ini, Bagas belumlah datang. Dan Satya memutuskan untuk menjemput pria itu ke rumahnya.

Kirana didampingi oleh Almira yang terus menerus berada di sampingnya itu menyalami satu persatu pelayat yang datang, sementara Raga membantu mengurus berkas-berkas untuk pemakaman. Ada Adel dan Ethan juga kakak dari Raga yang turut melayat.

Setelah adzan dzuhur dan di shalatkan, jenazah Ibunya Kirana akhirnya di kebumikan. Kirana sempat nyaris pingsan kalau saja Almira tidak memeganginya, ia sempat berdoa dan masih menangis ketika para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman.

Kirana sempat mengusap nisan Ibunya, bertuliskan nama Ibunya di sana. Mengaduh terakhir kalinya karena Ibu telah meninggalaknya seorang diri demi bersatu kembali dengan Bapak. Makam kedua orang tua Kirana bersebelahan.

“Kirana sendirian, Buk. Kenapa Ibu gak sempat pamit sama Kirana, Buk.” hari itu langit seperti ikut berdua, mendung, rintih hujan bagai air mata yang jatuh dari pelupuk mata Kirana. Langit ikut menangis mengantar kepergian wanita yang sudah melahirkannya itu.

Dan ketika Kirana, Almira dan Raga ingin pulang. Dari kejauhan Kirana melihat Bagas yang berlari ke arahnya di ikuti Satya di belakangnya, wajahnya panik setengah mati dan matanya memerah. Ia juga merasakan kehilangan sosok Ibu yang bahkan belum sempat ia sebut sebagai 'Ibu Mertua.'

“Na..” Ucap Bagas, pria ingin memeluk Kirana namun Kirana menjauhkan tangan Bagas dari tubuhnya.

“Aku mau pulang, Gas. Nanti malam ada pengajian untuk Ibu.” Kirana kemudian berjalan lebih dulu melewati Bagas yang masih terpaku di tempatnya dan juga Satya yang berada di belakangnya.

Bagas mengepalkan tangannya, ketika ia melihat Raga justru melangkah menyusul Kirana. Namun ia harus menyingkirkan perasaan cemburunya itu, sangat tidak pantas membahasnya sekarang ini.

“Lo dari mana sih, Mas? Kita semua nungguin elo, Mbak Kirana hancur banget tau gak?” Ucap Almira ikut kesal.

“Mir, gue.. Gue rencana mau bikin kejutan buat Kirana, Mir. Gue. Sengaja matiin HP gue karena lagi nyiapin itu semua, gue mau melamar dia malam ini, Mir. Gur gatau kalau akhirnya kaya gini,” jelas Bagas dengan suaranya yang bergetar.

Bersambung...