46. Cinta Masa Lalu

Bagas sama sekali tidak menyangka jika hanya dengan mandi ia bisa merasa sehidup ini, tubuh jangkungnya itu ia biarkan basah dibawah kucuran shower yang mengalir deras. Air nya sudah ia ubah menjadi lebih hangat karena cuaca akhir-akhir ini sering sekali hujan, Bagas memejamkan matanya, menyibak rambut nya yang sudah sedikit panjang itu hingga menusuk matanya. Suara lembut yang ia rindukan itu masih terdengar dikedua telinganya, ada cubitan halus dan sinar yang membawanya untuk sadar kembali bangkit dan berakhir dikamar mandi ini.

Suara Kirana yang mengatakan ia harus sembuh, orang lain mungkin tidak akan berpikir terlalu jauh tentang suara dan untaian kalimat sederhana wanita itu yang bisa mengubah Bagas setidaknya untuk perduli pada dirinya sendiri. Ia lega Kirana baik-baik saja, dan demi wanita itu ia akan terlihat setidaknya sedikit lebih baik dari pada kelihatan segan hidup seperti kemarin. Ia hanya menuruti keinginan Kirana saja sebenarnya, setelah selesai mandi Bagas membuka lemarinya, mencari pakaian terbaiknya untuk ia kenakan. Ia memilih kaus polo berwarna biru dan bawahan dengan celana pendek sedengkul.

Dari luar terdengar sebuah ketukan, ia sempat berpikir mungkin itu Bibi yang bekerja di rumahnya namun tak lama kemudian suara Kanes yang nyaring itu terdengar hingga mengejutkan Bagas. Entah apa yang ingin Kanes lakukan pagi ini dengannya.

“Mas Bagas?! Buka dong pintunya,” ucap Kanes dari depan kamar Bagas. Sang empunya kamar langsung membukakan pintunya untuk Kanes dan disambut cengiran jahil dari adiknya itu. “Widih... Udah wangi, udah ganteng gini mau kemana, Pak?”

Kanes langsung nyelonong masuk ke kamar kakaknya itu, menelisik penampilan Bagas dari atas sampai bawah. Dalam hati Kanes bersyukur karena Bagas sudah mau sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukannya. Ini semua tentunya berkat rekaman suara dari Kirana yang membuat Bagas lebih baik, Bagas sempat menangis ia benar-benar merindukan Kirana, kembali merasa bersalah pada wanita itu dan menahan semua perasaanya. Namun mendengar permintaan Kirana agar ia sembuh dan lebih perduli pada dirinya sendiri langsung saja Bagas kabulkan. Hanya dengan mendengar suara Kirana saja, Bagas merasa jika wanita itu masih sangat perduli padanya.

“Mau keluar sebentar, mau potong rambut, ikut yuk?” Bagas merangkul bahu adiknya itu dan menaik turunkan alisnya. Kanes yang melihat kakaknya sudah kembali seperti dulu terkekeh dan menyikut perut Bagas. Sontak, pria itu meringis karena sikutan adiknya itu. “Aduh!! Sakit tau. Galak bener jadi adek.”

“Ya, abisnya Mas Bagas genit banget.” Kanes terkekeh. “Tapi aku gak bisa, Mas. Aku udah ada janji sama temenku, tadinya aku ke kamar Mas aja niatnya mau pinjam charger laptop karna charger laptopku ketinggalan di kosan temen. Mas Bagas sendiri aja gapapa?”

Belum sempat menjawab tidak lama kemudian Ibu datang bersama dengan Asri dan menyela ucapan Bagas yang masih tertahan di tenggorokannya itu, “jangan sendirian, Gas. Sama Asri saja ya. Sekalian kalian jalan-jalan menghirup udara segar di luar mumpung cuacanya lagi bagus.”

Kanes yang masih dalam rangkulan Bagas itu memberi kode pada kakaknya dengan sedikit mencubit perut Bagas, awalnya Bagas diam. Berpikir jika mengajak seseorang untuk ia ajak bicara mungkin lebih baik dari pada sendiri. Tadinya ia ingin mengajak Satya, Raka atau Almira tapi ia buru-buru tersadar jika ini masih hari kerja. Teman-temannya itu pasti masih di kantor.

“Lo gak sibuk, Sri?” tanya Bagas yang membuat kedua mata Kanes melotot kaget seketika.

Asri menggeleng pelan, “enggak kok, Gas. Ini kan masih awal bulan aku biasanya mulai agak sibuk kalau udah akhir bulan. Jadi sekarang gak masalah banget kalau cuma nemenin kamu jalan-jalan.”

Bagas mengangguk, “yaudah kalau gitu tunggu dibawah aja ya, gue mau siap-siap dulu.”

Bukan hanya senyum Asri yang mengembang mendengar ucapan Bagas itu, tetapi Ibu juga. Senyum wanita itu justru lebih lebar dari Asri yang tersenyum malu-malu, Ibu merasa ini adalah awal yang baik untuk Asri dan Bagas. Ibu berpikir jika Bagas mulai membuka pintu hatinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat, kedua wanita itu pun turun ke lantai satu untuk menunggu Bagas siap-siap. Mau kemana mereka dan mau melakukan apa Ibu serahkan saja pada keduanya.

“Ini awal yang baik, Sri. Doa Ibu didengar kalau Bagas mau membuka hati untuk kamu. Ini semua adalah buah dari kesabaran kamu, sayang.” Ibu mengusap wajah Asri penuh kasih sayang, bahagia bukan main rasanya.

“Iya, Buk. Gak sia-sia perjuangan aku selama ini buat bujuk Bagas makan, masakin dia, nemenin dia sampai nyoba ngajak ngobrol dia walau dia sering ketus ke aku.” Asri pikir Bagas mulai luluh karena perlakuannya, ia berharap dengan begini ia bisa masuk melewati celah kecil pintu yang Bagas buka untuknya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

have fun kalian berdua ya, jangan lupa foto berdua dan berikan pada Ibu.”

Di kamar Bagas setelah Asri dan Ibu turun, Kanes langsung buru-buru melepas rangkulan kakaknya itu dan menatap Bagas dengan pandangan menyalang. Tidak menyangka jika Bagas akan setuju saja dengan ucapan Ibu agar Asri menemaninya, ada sedikit tersirat pemikiran jika kakaknya itu telah membuka hati untuk Asri atau setidaknya memberikan kesempatan untuk wanita itu.

Entahlah rasanya Kanes lebih protektif pada Bagas, ia merasa Asri tidak tulus. Atau ini hanya perasaanya saja? Ah, yang jelas Kanes tidak terlalu menyukai wanita itu.

“Mas Bagas yakin mau sama Mbak Asri?” pekik Kanes tidak percaya.

“Iya, Nes. Kenapa emang?”

“Ya gapapa, aneh aja. Selama ini Mas jutek banget ke dia, atau Mas justru udah mulai suka sama dia gara-gara selama Mas sakit dia terus ya yang ngerawat Mas? Atau justru Mas mau ngasih kesempatan buat dia?!” cecar Kanes.

“Ngaco!” Bagas terkekeh, ia kembali ke meja rias kamarnya dan menyisir rambut nya. Tak lupa ia juga menyemprotkan parfum ke tubuhnya itu, “Mas cuma ngerasa butuh teman buat ngobrol aja, Nes. Gak ada ngasih kesempatan apa-apa.”

“Tapi kan bisa sama teman Mas yang lain? Sama siapa gitu? Mas Satya kek atau yang cewek itu siapa namanya?”

“Almira?”

Kanes menjentikkan jarinya, “iya, sama Almira kan bisa.”

“Kamu lupa ini masih weekday? kalau sekarang weekend Mas pasti udah ngajak mereka hangout.

Kanes menghela nafasnya pelan, ia lupa kalau sekarang masih hari kerja. Tapi tetap saja ada sedikit rasa aneh dan tidak terima jika kakaknya itu jalan berduaan dengan Asri, Kanes cuma punya firasat jika wanita itu tidak sebaik kelihatannya. Seperti menyimpan banyak rahasia yang Kanes sendiri tidak tahu itu apa, kecurigaan jika Asri memiliki banyak rahasia itu semakin kuat sewaktu Kanes tidak sengaja melihat Asri berada di sebuah play ground pusat perbelanjaan.

Wanita itu tengah mengawasi seorang anak laki-laki yang umurnya Mungkin 5 tahun, bocah itu tampak sumringah dan beberapa kali menarik tangan Asri untuk bermain bersamanya. Wajahnya pun terasa tidak asing bagi Kanes seperti seseorang yang pernah ia lihat namun ia lupa orang tersebut siapa, guratan senyum dan bentuk matanya mengingatkan Kanes pada Asri jika sedang tersenyum atau menatap seseorang. Seperti sebuah perpaduan antara perempuan dan laki-laki yang ia kenal.

Melihat Kanes yang tiba-tiba diam, membuat Bagas melambaikan tangannya ke wajah adiknya itu. Kanes melamun seperti ada sesuatu yang tengah adiknya itu pikirkan. “Heh! Kok ngelamun?”

Kanes buru-buru menggeleng kepalanya, “gapapa, Mas. Yaudah kalo Mas butuh temen ngobrol.”

“Kamu gak suka ya Mas jalan sama Asri?”

“Engg...gak gitu sih, Mas. Ya mungkin masih aneh aja buat aku.” Kanes meringis.

Jika boleh jujur. Ia lebih menyukai Kirana dari pada Asri. Kirana lebih terlihat tulus, ramah padanya dan seorang pendengar yang baik. Beberapa kali Kanes memang pernah bercerita tentang perkuliahannya yang super hectic itu. Intinya ya, memang Kanes lebih nyaman saja berbicara dengan Kirana. Asri jarang sekali bicara dengan Kanes bahkan pernah sesekali Kanes mendapati Asri tengah meliriknya dengan sinis.

Bagas mengangguk, ia paham apa yang Asri maksud. Ia sendiri pun masih merasa asing. Namun bukankah ia harus segera move on bukan untuk melupakan Kirana sepenuhnya namun untuk hidup seperti biasa lagi. “Yaudah kalau gitu Mas ke bawah yah, tolong tutup pintu kamarnya nanti.”

🍃🍃🍃

Hari itu niatnya Bagas hanya ingin potong rambut saja disebuah barber shop yang ada didalam mall, ia merasa rambutnya sudah cukup panjang dan terlihat seperti tidak terurus ya memang begitu adanya, seperti kemarin-kemarin yang ia rasakan nyawa dan raganya seperti tidak menyatu pada tempatnya. Merasa kosong, hampa dan kehilangan arah. Hari itu, Bagas ingin merangkai hidup baru. Mencoba menerima dan mengikhlaskan segala yang terjadi dihidupnya termasuk tentang kehilangan. Bagas belum berniat menerima cinta baru, menerima orang baru dalam hidupnya dan memulai hubungan baru. Ia ingin fokus pada dirinya sendiri, menyelesaikan segala masalah dalam dirinya sebelum memulai dan membangun lagi hubungan dari awal.

Karena masih agak sedikit kliyengan, hari itu Asri yang membawa mobilnya. Didalam mobil menuju perjalanan ke mall yang akan mereka tuju, Asri banyak berbicara tentang hobinya, tentang butiknya, tentang kegemarannya dalam membuat baju dan tentang kegemarannya memasak. Apapun tentang dirinya ia ceritakan, seolah Bagas harus tahu tentang apapun kesukaanya. Terkadang wanita itu juga bercerita tentang masa-masa mereka sekolah saat Bagas masih tinggal di Solo. Tak banyak yang Bagas ingat, ingatan tentang masa-masa sekolah tidak terlalu berkesan untuknya.

Bagas memang tidak terlalu banyak bicara, tapi ia tetap menimpali ucapan Asri. Dalam hati ia setuju mengenai hobi masak Asri, masakan wanita itu memang enak beberapa hari ini Asri sering membuatkannya bubur, sup, tekwan dan juga capcai. Itu semua adalah makanan yang Bagas sukai. Bagas tidak heran kenapa wanita itu bisa tahu semua makanan kesukaanya, siapa lagi kalau bukan dari Ibu.

Begitu sampai mall, tujuan utama mereka adalah ke barber shop. Asri duduk diruang tunggu sembari sesekali membaca majalah dan melihat ke arah ponselnya. sedangkan Bagas menikmati pijatan dari staff yang baru saja selesai mencukur rambutnya. Begitu selesai, Bagas menghampiri Asri. Wanita itu berdiri dan tersenyum manis ke arah Bagas, kedua netranya berbinar menampakan dua bola mata yang bening.

“Ganteng, gitu dong. Kalau kaya gini tuh kamu beneran kelihatan segeran banget,” ucapnya sembari memberikan dua ibu jari pada Bagas.

“Mau makan siang sekalian gak?” Bagas takut Asri sudah lapar, mengingat ini sudah jam makan siang.

“Boleh, kamu mau makan apa, Gas?” keduanya berjalan keluar dari barber shop itu. Melihat-lihat kesekeliling mana tau ada restoran yang menarik perhatian mereka, mall dihari kerja tidak begitu ramai.

“Lo suka ramen gak, Sri? Gue kepengen makan ramen deh. Kayanya enak makan yang pedas-pedas gitu setelah kemarin-kemarin gue jadi bayi bangkotan.” Bagas terkekeh.

Asri yang mendengar itu melepas tawanya, untuk pertama kalinya ia mendengar Bagas bercanda dan mengeluarkan celotehan asbun nya. “Kok bayi bangkotan sih? Gara-gara makannya gak pake cabe-cabean?”

Bagas mengangguk, “itu tau. Yuk, Mau gak?”

“Boleh.” Asri tersenyum, ia berjalan disamping Bagas sembari tersenyum diam-diam memandang wajah pria disebelahnya itu.

Sirat masa lalu tentang diri Bagas dan dirinya yang begitu tragis seperti mulai terobati hari ini perlahan-lahan. Asri tidak perduli mengapa Bagas tidak mengingat dirinya sebagai Adi dimasa lalu dan mengapa hanya dirinya saja, yang terpenting bagi Asri saat ini adalah ia bisa hidup kembali bertemu dengan cinta pertama dalam kehidupan terdahulunya dan melihat pria itu bahagia, hidup lebih baik dari pada kehidupan sebelumnya.

Meski terkadang terlihat arogan, rasa sayang Asri pada Bagas itu tulus. Rasa sayang yang didasari kehidupan masa lalunya itu ingin ia curahkan pada Bagas dikehidupan saat ini. Ia ingin balas dendam dengan hidup bahagia bagaimana pun caranya, keduanya duduk dan memesan ramen. Meski bisa Asri akui jika ialah yang paling banyak mencari topik pembicaraan tapi respon Bagas cukup baik, pria itu tidak ketus lagi dengannya.

“Setelah ini kamu mau ngapain, Gas?” tanya Asri setelah mereka selesai memesan makanan.

“Hhmm.. Ngapain yah? Ke toko buku mungkin?” Bagas mengangkat sebelah alisnya. Ia ingin membaca buku lagi untuk mengalihkan pikirannya dari Kirana menjadi ke cerita-cerita dari buku yang ia baca.

“Boleh, kamu suka buku apa sih?”

“Hhmm.. Banyak sih, Sri. Kalo genre sih lebih suka romance yah, tapi selama blurb nya kelihatan bagus gue pasti baca kok.”

“Oh ya?” Asri tidak terlalu suka membaca, bahkan tidak ada satu buku pun yang ia selesaikan. Kalau pun membaca, ia lebih gemar membaca majalah fashion ia tidak memiliki ketertarikan dalam dunia sastra “Kalau penulis kamu lebih suka penulis lokal atau luar?”

“Sejauh ini gue lebih sering baca penulis luar sih, lo sendiri suka baca?”

Asri menggeleng pelan, ia hanya ingin jujur. Tidak ingin dibuat-buat menyukai sesuatu toh ia tidak tahu tentang buku karena tidak ada satupun buku fiksi dan non fiksi yang pernah ia baca sepanjang hidupnya. Menurut Asri membaca adalah kegiatan yang sedikit membosankan, Asri lebih tertarik dengan majalah yang lebih memiliki visual.

“Enggak, Gas. Jujur aja aku enggak terlalu suka baca, gak ada buku yang pernah aku selesain baca sih. Mungkin kamu mau rekomendasiin satu bacaan yang menurut kamu bagus? Ya mana tau bakalan cocok buat aku kan?”

Bagas tersenyum, ia melipat tanganya didepan dada sembari memikirkan buku-buku yang pernah ia baca dan yang paling memungkinkan untuk Asri baca. Sampai ia akhirnya terpikirkan sebuah buku yang menurutnya menarik dan bisa dibilang tidak tebal cocok sekali untuk pemula seperti Asri yang ingin terjun ke dunia literasi dan sastra, Buku yang sangat mengubah cara pandang Bagas terhadap seorang wanita.

“Ada, mungkin lo bakalan suka sama buku ini. Dan lagi buku ini cuma sekitar 100 sampai 150 halaman. Tergantung edisi ya, judulnya A Room Of One's Own By Virginia Wolf.

“Oh, tentang apa tuh, Gas?” Asri jadi sedikit tertarik, ya karena buku itu direkomemdasikan oleh Bagas. Ia ingin mencoba membaca demi bisa memahami Bagas. Ya semoga saja cocok, pikirnya.

“Intinya ya dari yang gue baca, ruang pribadi untuk seorang wanita tuh dibutuhkan supaya mereka bisa berkarya, mewujudkan mimpi. ibarat kalian harus fokus ngerjain sesuatu di ruangan sendiri yang diisi oleh energi kalian. sayangnya gak semua wanita bisa punya kamar itu, si penulis ini berargumen wanita juga bisa berkarya, bukan cuma laki-laki, harusnya semua karya diperlakukan fairly not based on gender. isinya tentang persektif wanita, bagus kok. Kalo lo tertarik lo bisa baca gue ada bukunya di rumah.”

“Oh ya?! Nanti aku pinjam ya, ngomong-ngomong ada bagian yang kamu suka banget berarti dong?” Asri bisa melihat jika Bagas sudah mulai nyaman berbicara panjang dengannya. Ia pun sedikit tertarik sengan buku tersebut.

“Ada lah, bagian A woman must have money and a room of her own if she is to write fiction.

“Tapi kalo kamu sendiri setuju tuh sama bagian itu?”

Bagas sedikit menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kekiri seperti menimang-nimang peryataan itu. “Setuju cuma sekitar 70-80% sih, Wolf menyoroti kalo perempuan emang gak diberi akses pendidikan, enggak punya kendali atas uang sendiri, enggak punya ruang pribadi untuk berpikir dan berkarya. Wolf sebenernya disini bukan cuma ngomongin uang dan ruang aja sih tapi juga kebebesan.

Dan yang membuat Asri kagum sekagum kagumnya pada Bagas adalah bagaimana cara pria itu memgomentari suatu hal dengan cara berpikirnya yang idealis, Bagas memang pintar sejak dulu. Tak heran mengapa pria itu gemar mengomentari sesuatu bahkan dari sastra yang ia baca sekalipun.

“Kalau bagian yang gak kamu setuju?”

“Hhmm.. Mungkin dimana, money and a room of one’s own Itu sebenarnya syarat universal kali ya? Untuk kreativitas serius bukan khusus perempuan, cuma ya perempuan memang lebih sering kekurangan dua hal itu secara sistematik. Terutama untuk perempuan yang sudah menikah dan punya anak, kayanya nanti kita bisa diskusiin ini lebih banyak lagi kalau lo udah baca bukunya deh. Sekarang mending kita makan dulu soalnya gue udah laper banget.” Bagas tersenyum begitu seorang pelayan mengatarkan makanan mereka.

Bersambung...