47. Perlahan Menebus Rindu

Siang itu Raga sesekali curi-curi pandang pada Kirana yang tengah fokus menakar bahan-bahan yang akan mereka gunakan untuk membuat risol mayo, jika Kirana menoleh karena merasa diperhatikan maka Raga akan melengos begitu saja melihat kearah lain. Kadang Kirana tertawa kadang juga ia mencoba mengalihkan perhatian Raga pada adonan yang tengah pria itu aduk. Terkadang juga Kirana menghela nafasnya pelan ketika Raga mencicipi setiap bahan untuk membuat risol mayonya.

Seperti saat ini, Kirana tengah memotong telur menjadi beberapa bagian untuk menjadi isi dari risolnya dan Raga dengan jahilnya mengambil telur itu dan memakannya. Lalu ketika Kirana selesai memotong telur, Raga sibuk mencolek suwiran ayam dengan saus yang nantinya akan digunakan sebagai isian risolnya. Hampir semua bahan pria itu cicipi dengan penuh rasa penasaran. Ketika Kirana baru saja mengambil mayones dan saus sambal untuk diaduk menjadi satu, jari Raga ingin mencelup ke dalam mangkuknya namun Kirana pukul punggung tangan itu hingga Raga terkejut.

“Mas jangan semuanya dicobain, ini kan cuma saus ih. Mas aduk dulu yang benar itu adonan kulit nya habis itu disaring.” titah Kirana agak sedikit kesal, kalau begini caranya itu namanya Raga ngerecokin alih-alih membantunya.

“Biar apa disaring?”

“Biar gak ada tepung yang masih menggumpal.” Kirana menyiapkan mangkuk ukuran sedang dan saringan kemudian menuang adonan itu perlahan-lahan. Sementara Raga disebelahnya memperhatikan penuh dengan rasa ingin tahu, persis seperti seorang anak laki-laki yang tengah membantu Ibu nya. “Nah sekarang Mas bikin kulitnya saya kasih contoh Mas liatin ya.”

Raga mengangguk, ia mengekori Kirana ke depan kompor. Entah telfon apa yang Kirana gunakan Raga tidak tahu apa namanya yang jelas bentuknya lucu. Bagian yang tadinya Raga kira itu adalah bagian belakang teflon justru adalah bagian depannya, Kirana menyemprotkan sedikit minyak kemudian mencelupkan bagian yang tadinya Raga kira bagian belakang ke dalam adonan, kemudian dengan cekatan menaruh teflon itu ke atas kompor yang apinya sudah Kirana atur.

“Nah kaya gini gampang kan, nanti kalau matangnya udah rata nih. Mas angkat terus Mas letakin kaya gini, Ini udah pasti kelepas sendiri kok Teflonnya anti lengket.”

Adonan yang sudah menjadi kulit luar risol itu jatuh dengan sendirinya, membuat kedua mata Raga berbinar karena terlihat sangat amat mudah. Hasilnya pun mulus tanpa gosong apalagi robekan sedikit pun, pria itu tersenyum kemudian mengambil alih telfon itu dari Kirana. Tidak sabar untuk segera membuktikan kemampuannya itu dengan penuh percaya diri.

“Gampang ini sih, saya bisa kalau begini doang,” ucapnya penuh percaya diri.

“Nah coba kalo gitu lakuin, saya mau bikin adonan kue cucur dulu.” Kirana belum beralih dari sana, ia melihat Raga menirukan apa yang sudah ia ajarkan barusan. Diam-diam senyum Kirana mengembang, ketika perlahan-lahan Raga mempraktikan apa yang sudah ia ajarkan barusan. Pria itu berhasil membuat kulit risolnya sendiri. “Hebat!! Buatan Mas juga bagus.”

Entah sejak kapan kuping Raga merasa panas, ia menggaruk belakang kepalanya itu yang tidak gatal sewaktu Kirana memujinya. Ia yakin kupingnya pasti sudah sangat merah. “Ya..yaudah, kamu bikin adonan kue yang lain saya udah bisa kok.”

Kirana terkekeh, ia melihat Raga dengan sangat jelas gugup. Pria itu menutupi telinga sebelah kanannya dengan tangan. Ia tidak ingin pria itu gerogi jadi Kirana hanya mengangguk saja kemudian beralih mengadoni adonan untuk membuat kue cucur.

“Kalau udah selesai kasih tau saya ya, Mas. Nanti kita masukin isian risolnya.”

“Ini saya bikin kulitnya sampe adonanya habis, Na?”

“Ya iya dong, kan mau saya bagi-bagi ke Mbak Adel sama Mas Ethan katanya mau bantuin?”

“Iya tapi nanti kalo tangan saya pegal kamu gantian ya?” pasalnya adonan yang Kirana buat cukup banyak, mungkin kalau kulit-kulit risol itu sudah jadi bisa mencapai 30 risol.

“Iya Mas Raga.”

Begitu Raga berbalik badan melanjutkan kembali pekerjaanya membuat kulit risol, Kirana terkekeh dia fokus mengadoni adonan kue cucur dan sesekali memeriksa pekerjaan Raga. Pria itu tidak mengeluh lagi justru malah konsentrasi penuh sehingga kulit-kulit risol buatannya itu tidak ada yang gagal. Setelah selesai membuat semua adonan itu, Raga mematikan kompornya duduk didepan Kirana yang tengah mengisi kulit risol itu dengan isian seperti telur yang sudah dipotong, daging kornet, suwiran ayam, mayones dan juga saus sambal.

Sesekali Raga menelan saliva nya, ingin sekali rasanya menyulap semua risol-risol itu agar cepat matang ia sudah tidak sabar sekali untuk mencicipinya. Apalagi Kirana membuatnya dengan ukuran yang agak besar, lebih besar dari ukuran risol pada biasanya. Mungkin jika mencicipinya barang dua atau tiga buah Raga sudah bisa kenyang.

“Kalo Mas ngisi risol sama gulung kulitnya bisa gak, Mas?”

“Saya takut robek itu kaya tipis gitu.” Raga tidak yakin pada kesabarannya, tangannya juga tidak setelaten tangan Kirana dalam hal menggulung. Padahal tadi dia sudah sangat percaya diri kalau dia berbakat di dapur.

“Coba dulu yah.” Kirana tersenyum, ia mengambil satu lembar kulit risol dan menaruhnya didepan Raga. Sebelumnya ia sudah menaruh nampan sebagai alasanya. “Nah sekarang Mas ambil telur dulu.”

Raga menuruti perintah Kirana ia ambil telur yang sudah diiiris itu dan menaruhnya diatas kulit risol, “habis itu?”

“Oke habis itu, daging kornetnya, terus ayam suwirnya dan yang terakhir mayo dan saus sambalnya deh.” Kirana berhenti sebentar punyanya sudah beres dan ia tengah memperhatikan Raga yang sedang sibuk menata isian risol itu diatas kulitnya.

“Oke kalau udah sekarang liatin saya cara gulungnya yah.” Kirana menunjukan cara melipat kulit risol dengan perlahan-lahan, diikuti dengan Raga walau beberapa kali pria itu sempat mendesah putus asa. Dan ketika miliknya jadi, pria itu tersenyum lebar dengan bangga memperhatikan risol pertamanya.

“Eh, gampang juga ternyata. Kayanya saya berbakat gak sih, Na?” Raga menimang-nimang risolnya itu, memperhatikan bentuknya seperti risol yang belum dibaluri tepung roti dan digoreng itu adalah satu-satunya hal yang berharga baginya.

“Yah lumayan, sekarang tugas Mas isiin kulit risolnya ya. Saya mau goreng kue cucurnya dulu. Nanti kalau risolnya udah selesai baru deh kita goreng.”

Kedua bola mata Raga membulat dengan sempurna, tapi tidak menyangka pekerjaan sulit mengisi dan melipat ini akan menjadi pekerjaanya lagi padahal pekerjaan yang sedari tadi Raga tunggu itu adalah memakan kue-kue buatan Kirana.

“Na, masa sebanyak ini saya yang isi semua, yang bener aja kalau ada yang robek gimana?” protes Raga.

“Udah ada yang robek belum?”

“Belum, tapi kalo nanti ada gimana?”

“Yaudah kerjain dulu aja, Mas. Katanya Mas mau bantuin.” Kirana diam-diam mengulum senyum, ia terkekeh walau banyak mengeluh dan sering kali meragukan dirinya tapi semua yang Kirana suruh Raga lakukan dan hasilnya selalu membuat Kirana puas.

Setelah hampir 40 menit melipat kulit risol Raga bangun dari kursinya, menghampiri Kirana yang sudah hampir selesai membuat kue cucur. Pria itu tampak begitu penasaran. “Saya boleh cobain, Na?”

“Boleh, tunggu sebentar saya cariin yang minyaknya udah tiris dan enggak panas.” Kirana mengambil beberapa cucur miliknya dan menaruhnya dipiring kecil, kemudian memberikannya ke Raga yang disambut dengan senyuman oleh pria itu.

“Wangi banget. Saya cobain ya!”

Kirana mengangguk, ia melihat Raga mencicipi kue nya. Pria itu tampak mengunyah dengan seulas senyum hingga matanya menghilang. Wajahnya terlihat bahagia hanya karena mencicipi sebuah makanan. Hal itu juga yang membuat Kirana tersenyum, ia merasa puas dan bahagia hanya karena ekspresi wajah Raga saja.

“Enak!!” pekik pria itu. “Gak kemanisan, enggak keras, gak menyerap banyak minyak, empuk, legit pokoknya enak banget.”

“Beneran?”

Raga mengangguk, ia tidak menjawab lagi karena mulutnya sudah terisi penuh dengan kue cucur yang diberikan Kirana barusan. Ia jadi semakin tidak sabar untuk mencicipi risol, pastel dan juga pisang bolen buatan Kirana. Cukup lama keduanya bergulat di dapur dengan berbagai adonan dan selama itu juga Raga selalu mencicipi kue yang sudah matang, perut pria itu sudah cukup kenyang bahkan. Waktu Kirana menyuruhnya makan lagi karena Kirana memasak sup ayam Raga tetap makan, walau tadinya dia menolak karena memang sudah kenyang. Tapi begitu Kirana mengaduk sup itu yang aromanya menyeruak ke seluruh penjuru dapur, perutnya kembali meronta ingin segera mencicipi sup itu.

“Ini kalo saya tinggal di rumah kamu kayanya badan saya bisa ngebang banget deh, Na.” Raga bersandar pada kursi meja makan dan menatap piring didepannya yang sudah kosong itu.

“Ya gapapa, nanti kapan-kapan saya bikinin Mas makanan deh buat makan siang di kantor.”

Kedua mata Raga membulat, tubuhnya ia majukan sedikit. “Serius, Na? Maksud kamu bikinin saya bekal makan siang?”

Kirana mengangguk, “iya, serius. Kalau saya shift siang atau pas libur aja ya, Mas.”

“Iya kapan aja boleh kok saya siap banget malahan.” hari ini sepertinya Raga tidak terlalu jaim didepan Kirana, ia benar-benar menjadi dirinya sendiri karena terlalu nyaman bersama wanita itu.

Setelah makan siang keduanya langsung bergegas ke rumah Adel dan Ethan, Kirana terlalu tidak sabar untuk segera memberi kue-kue nya pada kakak Raga itu. Ia juga tidak sabar untuk bertemu dengan Safira, keponakan Raga yang selalu Raga ceritakan hampir sepanjang Kirana menyusun kue-kue nya. Raga bilang, Safira suka banget sama risol dan juga pastel. Apalagi yang isinya ayam bocah itu suka sekali, Safira enggak terlalu menyukai makanan manis. Kalau makanan manis itu targetnya adalah Ethan.

Begitu sampai di rumah Adel, Raga membantu Kirana membawakan kotak berisi kue yang sudah mereka buat hari ini. Rumah Adel di dominasi warna putih gading yang memiliki halaman cukup luas untuk menaruh mobil Raga disana, ada taman yang cukup luas yang Adel tanami dengan tanaman-tanaman hias, disamping pagar tadi ada pohon mangga juga yang berbuah, tentu saja bukan Adel yang mengurusnya melainkan tukang kebun yang ia pekerjakan di rumahnya.

Rumah Adel bisa terbilang cukup luas, diantara rumah-rumah yang ada dikanan dan kirinya. Rumah Adel dan Ethan yang cukup terlihat luas dan mewah, Safira bahkan memiliki perosotan, ayunan dan kolam kecil untuknya memilihara ikan disana. Satu hal yang membuat Kirana merasa tidak asing dengan bangunan itu adalah, bangunan itu mengingatkannya dengan kediaman asisten residen. Ya, apalagi kalau bukan kediaman Jayden dikehidupannya terdahulu.

“Yuk, masuk? Liat apa sih?” Raga melihat ke arah mata Kirana tertuju, wanita disebelahnya itu tersenyum.

“Aku cuma ingat sesuatu aja sebenarnya.”

“Rumah Mbak Adel mirip rumah Jayden ya?” tebak Raga, bukan hanya Kirana saja yang merasa begitu tapi ia pun juga merasakannya.

“Iya, ternyata bukan saya aja yang ngerasa.”

“Yaudah, masuk yuk. Mbak Adel sama Mas Ethan udah nunggu didalam.”

Kirana mengangguk, ia mengikuti Raga dari belakang sembari sesekali mengangguk kecil pada pekerja yang bekerja di rumah Adel dan Ethan. Kedua suami istri itu ternyata tengah menonton TV di ruang tengah, begitu Safira melihat Raga. Bocah itu langsung berlari menghampiri Om nya itu dan disambut oleh rentangan tangan Raga setelah ia menaruh kotak-kotak berisi kue buatan Kirana ke meja makan.

“OM RAGAAAAA....” pekik Safira, bocah itu ditangkap oleh Raga dan masuk dalam dekapannya.

“Aduh pake lari-lari segala kamu, Ra. Nanti kalau jatuh gimana?”

“Tapi kan enggak jatuh.” bocah itu tersenyum dan menunjukan rentetan giginya yang rapih, putih dan bersih.

“Dasar, oh iya, kenalin ini Tante Kirana temannya Om, cantik gak?” Raga memperkenalkan Kirana pada keponakannya itu, Kirana tersenyum melihat Safira. Bocah itu cantik dan sangat mirip sekali dengan Adel.

“Cantik sekali, hai Tante, namaku Safira.”

“Hallo, Safira. Kamu juga cantik banget loh.” mendengar pujian dari Kirana, Safira tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya diceruk leher Raga. Membuat pria itu terkekeh karena itu adalah area sensitifnya yang mudah sekali membuatnya geli.

“Hai, Na.” Adel menghampiri Kirana, memeluk wanita yang lebih muda darinya itu. “Astaga udah lama banget kita gak ketemu yah, Mbak kangen lagi sama kamu, Na. Gimana kabar kamu, baik?”

Kirana mengangguk kecil, “baik, Mbak. Aku juga kangen banget sama Mbak Adel. Maaf yah, Mbak. Aku baru bisa main ke rumah Mbak.”

“Gapapa, Na. Santai aja, tapi ini ngomong-ngomong Raga bilang kamu bikinin kue buat Mbak sama Mas Ethan? Ini banyak banget loh, Na.” Adel enggak nyangka jika Kirana membawakannya kue buatannya itu begitu banyak, ada 4 kotak yang terisi oleh risol mayo, kue cucur, pisang bolen dan juga pastel dan semua itu Kirana yang membuatnya.

“Gapapa, Mbak. Aku tadi dibantuin sama Mas Raga kok.”

Mendengar Kirana menyebut nama adiknya itu dengan kata 'Mas' membuat Adel melirik Raga dengan lirikan meledek, enggak menyangka jika Raga akan secepat itu mengubah panggilan Kirana yang tadinya 'Pak' menjadi 'Mas' dan kelihatannya mereka sudah cukup akrab, tidak ada sekat batasan antara atasan dan bawahan, terlebih Adel sudah tahu jika Kirana sudah tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Dari sini saja Adel sudah bisa menebak jika Raga percaya diri mendekati Kirana.

“Oww...oww... Oww.. Sekarang manggilnya udah bukan Pak Raga lagi nih? Cepet juga, Ga.” sekarang giliran Ethan yang ikut nimbrung meledek Raga, habislah pria disamping Kirana itu dengan kupingnya yang memerah. Bahkan ucapan Ethan tadi berhasil membuat Kirana salah tingkah.

“Ya, gapapa dong, Mas. Kan sekarang Kirana sama Raga udah gak satu kantor, ya kan, Na.”

Kirana hanya mengangguk saja, Adel dan Ethan sempat mencicipi kue-kue buatan Kirana. Bahkan Safira pun sangat menyukai pastel buatannya, membuat hati Kirana rasanya dipenuhi oleh bunga-bunga saking bahagianya. Kue-kue itu tidak hanya dinikmati sendiri oleh Adel dan Ethan, keduanya membagi secara sama rata untuk pekerja di rumah mereka termasuk tukang kebun yang hari itu memang datang untuk mengurus taman. Dan semua komentar dari pekerja disana membuat Kirana bahagia, mereka bilang kue buatan Kirana sangat enak.

“Kapan-kapan kamu ke sini lagi dong, Na. Kita bikin kue bareng sama masak bareng. Oh iya, Raga sudah bilang ke kamu kalau Mbak bolehin kamu pakai alat-alat dapur termasuk alat bakingnya?”

“Udah kok, Mbak. Mas Raga sudah bilang ke Kirana, sekali lagi makasih ya, Mbak.”

“Sama-sama, Na.” Adel tersenyum, sedikit berterima kasih pada Kirana karena sejak mengenal Kirana, Raga menjadi lebih sering tersenyum. Dunia adiknya itu tidak lagi hanya mengenal hitam dan putih saja tapi juga warna-warna lain.

Sore itu Raga sedang asik bermain dengan Safira di taman depan dan Kirana sedang membantu Adel merangkai bunga di terasnya. Sedangkan Ethan sedang berbicara dengan tukang kebun mereka, rumah yang megah itu tidak terasa dingin. Justru lebih hangat karena yang tinggal didalamnya senang menebar kebahagiaan ke banyak orang.

“Kamu tau gak, Na. Bunga ini kiriman dari Mama loh. Mama sekarang punya toko bunga sendiri.”

“Oh ya, Mbak? Keren banget, dikelola sendiri atau ada karyawan nya, Mbak?” sesekali Kirana menoleh ke arah Adel, ia baru pertama kali merangkai bunga jadi agak sedikit kikuk.

“Dikelola sendiri, ya kesibukan Mama sekarang itu. Bahagia banget dia, apalagi kalau banyak anak muda yang datang ke toko nya. Kapan-kapan Mbak ajak kamu ke sana mau ya?”

Kedua mata Kirana berbinar, ini pertama kalinya dia diajak seperti ini oleh orang yang bukan keluarganya. Bahkan ia dan Raga hanya teman, ya untuk saat ini bisa dikatakan status mereka hanya teman dekat. “Mau, Mbak. Mau banget malahan.”

Adel tersenyum, senang sekali melihat Kirana tersenyum seperti itu. Pasalnya beberapa kali bertemu Kirana. Wanita itu selalu lihat wajah Kirana yang menampakan kesedihan seperti tengah membawa beban di kedua pundaknya tanpa tahu akan berbagi ke siapa, sekarang yang Adel lihat. Beban-beban itu seperti berkurang satu persatu.

“Kamu tau gak, Na. Kamu tuh perempuan pertama yang Raga ajak ke rumah Mbak dan dikenalin ke orang tua kami tau sama Raga.”

“Hm, maksud, Mbak?” entah apa yang Kirana rasa ia masih terlalu bimbang untuk menyimpulkannya, tapi ucapan Adel barusan membuat Kirana terasa gugup dan sedikit salah tingkah.

“Iya, Raga itu susah banget buat dekat sama perempuan, kaya punya teman perempuan yang dekat banget kaya kamu gini tuh baru kamu aja. Bahkan pernah tuh sekali Mas Ethan kenalin Raga ke kenalannya tapi ya gitu deh, berakhir mundur alon-alon.

“Mas Raga enggak pernah dekat sama perempuan, Mbak? Kaya punya pacar gitu dia belum pernah?”

Adel terdiam sebentar, sepertinya Kirana sudah mulai penasaran dengan adiknya itu. Umpan yang Adel tebar ke Kirana sepertinya berhasil, ia memang ingin sedikit membantu usaha Raga untuk lebih dekat dengan Kirana. Sekalian Adel mencari tahu bagaimana Kirana memandang Raga selama ini, setelah Raga sudah tidak menjadi atasanya dan Kirana tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa Adel mendukung sekali jika Raga ingin berkencan atau bahkan melamar Kirana.

“Kalo aku bilang belum kamu percaya gak, Na?” Tanya Adel.

Kirana sempat melirik ke arah Raga, pria itu masih asik bermain dengan keponakannya diatas ayunan. “Percaya, Mbak.”

“Kenapa percaya?”

“Hhmm.. Gimana ya, ak..aku bingung jelasinnya.” sebenarnya Kirana ingin menjelaskan sesuatu tentang sikap Raga yang terkadang agak kaku jika sedang bicara dengan wanita, tapi ia tahan. Ia tidak ingin membuat Adel tersinggung dengan ucapannya tentang Raga, dan lagi ia masih takut menilai seseorang terlalu dini.

“Kaku yah?” Tebak Adel dan Kirana mengangguk. “Jujur aja lagi, Na. Gapapa, aku nih Mbaknya aku kenal dia dari dia kecil. Emang Raga itu agak kaku. Sejak kecil dia lebih dewasa dari anak seusianya ambis banget kalo soal urusan belajar, sampe kuliah pun juga begitu. Aku udah pernah bilang ke dia kalo urusan pendidikan, karir sama urusan hati tuh dia bisa imbangin tapi dia gak pernah dengar”

Kirana baru tau soal ini, Raga memang tidak pernah cerita tentang asmaranya, tentang dirinya sendiri selain soal kehidupan mereka terdahulu. Kirana baru sadar, setiap kali mereka bersama yang sering kali Raga tanyakan adalah diri Kirana. Mungkin lain kali Kirana akan bertanya lebih banyak tentang diri Raga.

“pernah waktu itu sekali aku tanya, apa sih tipe ideal dia. Tapi dia bilang.” Adel menoleh ke arah Kirana dan pandangan mata keduanya bertemu. “Dia bilang yang penting baik aja, dia gak punya tipe ideal apapun.” Adel tersenyum.

Katakanlah jika Kirana terlalu percaya diri, tapi dengan semua bahasa tubuh dan kata-kata Adel barusan seperti menunjukan ada rasa yang tidak biasa dari Raga padanya. Kirana seperti sebuah pengecualian bagi Raga, wanita pertama yang dikenalkan ke keluarganya, wanita pertama yang mengajarinya memasak, wanita pertama yang membuatnya gugup dan wanita pertama yang membuat perut Raga seperti dipenuhi kupu-kupu.

“Na?”

“Ya, Mbak?” Kirana menoleh ke arah Adel.

“Aku senang sekali Raga bisa mengenal kamu.”

Bersambung...