Bab 4. Perjodohan

Kirana dan Bagas duduk di taman rumah sakit setelah Kirana selesai konsul dengan dokternya, dokter bilang enggak ada obat dengan zat-zat tertentu yang mempengaruhi suasana hati Kirana. Tidak ada efek lain selain rasa kantuk saat meminum obat, tapi entah kenapa rasanya hati Kirana belum tenang.

Semalam ia juga masih bermimpi, tapi Kirana tetap memilih untuk tidak bercerita apapun tentang mimpinya. Anehnya adalah, mimpi itu terus berlanjut. Seperti saat Kirana tidur ia berada di alam dunia lain.

Semua terasa seperti kenyataan, ia bisa merasakan sedih ketika bangun, merasakan sentuhan ketika di mimpi itu ia bersentuhan dengan seseorang, merasa kedinginan bahkan ia bisa merasakan takut saat 'Ayah' di dalam mimpinya itu memarahinya.

“Jeruknya, Sayang.” Bagas memberikan jeruk yang sudah ia kupas ke tangan Kirana, dari tadi Kirana hanya melamun sembari melihat burung yang berterbangan di taman rumah sakit.

“Aku kok masih belum lega yah, Gas? Rasanya masih ada yang mengganjal.”

“Soal mimpi kamu lagi?” Bagas memalingkan wajahnya ke arah Kirana, tadi dia masih asik mengupas jeruk. Tapi kini ia singkirkan dulu jeruk-jeruk itu di pangkuannya.

Kirana mengangguk, “semalam mimpinya berlanjut lagi.”

“Kamu gak mau cerita ke aku mimpi kaya apa sih? Kata kamu aku ada di mimpi itu? Mimpi buruk ya?” Bagas pikir Kirana sudah tidak bermimpi lagi, karena tadi pagi Kirana enggak menunjukan gelagat aneh. Seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk.

“Enggak, Gas. Mimpinya bukan mimpi buruk. Mimpi biasa, tapi di dalam itu aku hidup di era kolonial. Kamu emang ada di sana, tapi nama kamu bukan Bagas.”

“Terus?”

Kirana mengulum bibirnya, dia jadi teringat akan Adi. Pria yang mirip sekali dengan Bagas di mimpinya itu, pria pribumi dengan mata teduh dan sorot mata yang selalu menunjukan kesedihan dan kekhawatiran.

“Adi.”

“Adi?” Bagas terkekeh. “Kok lucu sih? Aku ngapain aja di situ?”

“Gas, aku serius.” rengek Kirana, dia jadi kesal kalo Bagas tertawa seperti itu. Walau bukan meledek sih, tapi rasanya kaya Bagas enggak menganggap keseriusan atas mimpi yang membuat kekasihnya itu resah.

“Iya sayang iya, maaf ya. Coba ceritain dong, kan aku mau tau juga mimpi kamu kaya gimana.” Bagas mengusap-usap rambut Kirana.

“Kalo aku cerita kamu di mimpi aku sebagai apa, kamu bakalan marah gak?”

Bagas menggeleng, “cuma mimpi, emang aku sebagai apa?”

“Kamu cuma pribumi biasa, yang bekerja di rumah seorang priyai.” Kirana masih ingat, di mimpi itu Adi memanggil pria yang di panggilnya Romo itu dengan sebutan 'ndoro' Adi juga sangat santun dan melindungi nya.

“Terus kalau kamu?”

“Aku anak dari priyai itu.”

“Di mimpi itu aku macarin kamu juga?” Bagas senyum-senyum, namun air wajah Kirana berubah menjadi sendu. Mengingat di mimpinya ia justru berkencan dengan pria kolonial alih-alih bersama Adi yang mirip sekali dengan Bagas.

“Enggak, Gas.” Kirana menunduk, memakan jeruk di tangannya lagi. Dia gak mau cerita soal mimpinya lagi, dia gak mau membuat Adi cemburu jika tahu di mimpi itu ia justru berkencan dengan pria lain.

“Terus, sayang?”

“Gak usah di lanjut yah, aku juga lupa-lupa ingat.”

Bagas mengangguk-angguk, ia menurut saja. Tidak ingin membuat Kirana merasa tidak nyaman jika ia terus mencecarinya karena rasa penasarannya, ponsel yang berada di saku celana jeans Bagas itu bergetar. Itu Kanes Adiknya ternyata, namun Bagas memilih untuk tidak mengangkat panggilan itu.

“Kok enggak di angkat, sayang?” tanya Kirana. Ia takut itu telfon penting dari kantor.

“Kanes, gapapa. Nanti biar aku chat dia aja.”

Kirana jadi ingat, bagaimana keluarga Bagas memperlakukannya saat pertama kali Bagas memperkanalkan Kirana di rumahnya. Yang menyambut baik Kirana hanyalah Kanes, adik perempuan Bagas. Ibu nampak tidak suka dengan Kirana sedangkan Ayahnya tidak banyak bicara.

“Bagas, kalau kamu mau pulang. Pulang aja gapapa, sebentar lagi juga Ibuku datang kok. Aku takut Ibu kamu nyariin kamu karna enggak pulang semalam.”

“Aku udah bilang Kanes kalo aku jagain kamu di rumah sakit, Ibuku udah tahu kok. Dia enggak nyariin aku, sayang.”

Kirana mengangguk-angguk. “Salam untuk kedua orang tua kamu yah.”

“Nanti aku salamin ya.” Bagas menunduk, ia rasa ia harus mewakili orang tua nya untuk meminta maaf pada Kirana. Terutama perlakuan Ibu nya pada Kirana. “Sayang, maafin Ibuku yah. Pertama kali aku kenalin kamu ke mereka, mereka enggak menyambut kamu dengan baik.”

“Gapapa, Gas. Aku ngerti. Latar belakang keluargaku memang bukan keluarga baik-baik.” Kirana kerap kali minder dengan latar belakang keluarganya.

Dulu sewaktu mendiang Bapaknya masih ada, Kirana adalah seorang anak pengusaha distributor lampu dari Jerman bernama City Lights. Namun, usaha yang di rintis Bapaknya dari nol itu tiba-tiba mengalami collaps karena Paman nya yang bekerja sebagai divisi keuangan ketahuan korupsi.

Usaha Bapaknya terpaksa tutup dan meninggalkan hutang dimana-mana, dan dengan kejamnya justru Paman mengambil alih kantor Bapaknya. Waktu itu, Bapak setress berat. Bapak sempat di rawat di rumah sakit jiwa sampai akhirnya Ibu dan Kirana tidak sanggup membayar seluruh tagihan rumah sakit.

Bapak terpaksa di rawat di rumah dengan perawatan seadanya, saat itu Ibu dan Kirana sedang terlelap dan hari itu adalah hari terakhir Kirana melihat Bapaknya, karena Bapak menghabisi nyawanya sendiri dengan cara menggantung dirinya. Berita ini sampai tersebar waktu itu, mengingat kantor yang didirikan Bapaknya Kirana itu cukup terkenal.

Mungkin karena latar belakang keluarganya itulah Ibu nya Bagas tidak setuju, jika Bagas menjalin hubungan dengannya. Kirana bisa mengerti itu, walau ia juga sempat sedih.

“Enggak gitu, Na. Aku gak perduli latar belakang kamu kaya gimana, aku sayang kamu, Na. Ibuku cuma perlu di beri waktu buat setuju sama hubungan kita.” Bagas yakin ia bisa menyakinkan Ayah dan Ibu nya jika Kirana adalah wanita yang baik untuknya. Keduanya hanya perlu di beri waktu saja.

“Iya, Gas. Nanti kita coba yakinin orang tua kamu lagi yah kalau aku udah sembuh.” Kirana membawa tangan besar Bagas pada genggamanya.

Kirana paham posisi Bagas sangatlah sulit, Bagas mencintai Kirana namun Bagas juga kesulitan menghadapi kedua orang tua nya yang keberatan dengan hubungan mereka. Untuk saat ini, Kirana belum mau menyerah. Ia yakin bisa mengambil hati kedua orang tua Bagas.


Bagas agak sedikit bingung sewaktu sampai di rumah dan mendapati mobil lain terparkir di rumahnya, entah itu milik siapa. Sepertinya memang sedang ada tamu Ayah atau Ibu nya, Bagas melangkah masuk ke dalam rumahnya dan benar saja. Di ruang tamu ada tamu, ada seorang pria seusia dengan Ayahnya dan seorang wanita muda mengangguk sopan ketika melihat Bagas masuk.

“Bagas, salam dulu sama Om Dwika. Kamu masih ingat kan, Om Dwika ini kawan lama Ayah sewaktu kita masih tinggal di Solo,” jelas Ayah.

Bagas menyalami pria yang di kenalkan sebagai teman Ayahnya itu, Bagas belum ingat. Mereka dulu memang pernah tinggal di Solo sewaktu Bagas masih duduk di bangku SMP, setelah itu Ayah dan Ibu memutuskan untuk menjual rumah mereka di Solo untuk membuka usaha laundry dan pergi merantau ke Jakarta.

“Sudah besar yah kamu, Bagas. Tambah ganteng saja, persis sekali Ayahmu waktu masih muda.” Om Dwika basa basi, yah walau ucapannya itu benar. Bagas memang sangat mirip dengan Ayahnya sewaktu muda.

“Bagas memang terlalu meniru wajah mudaku, Wi.” Ayah tertawa, kedua bahunya itu bergetar. Bangga karena Bagas sangat mirip dengannya, bahkan jauh lebih tampan menurut Ayah.

“Nah, Gas. Kamu ingat gak dia ini?” Ibu menaruh tangannya di atas tangan wanita muda yang duduk di samping Om Dwika. Entah siapa, Bagas sama sekali tidak mengiangtnya.

“Lupa, Buk.” balas Bagas.

“Ini Asri, Gas. Calandra Asri Bentari, anak cewek yang suka kamu anter pulang sewaktu sekolah dulu. Kalian satu SMP loh, kamu ini, masa lupa?”

Bagas memperhatikan wajah wanita bernama Asri itu, ia baru mengingat jika itu Asri. Anak perempuan yang pernah ia tolong sewaktu di bully, Asri banyak berubah ternyata.

“Bagas lupa, Buk.” Bagas nyengir, ia kemudian duduk di sebelah Ibu nya. Tidak enak jika ia langsung meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamarnya.

Pertemuan antar keluarga itu berlangsung begitu cukup lama, sekitar 2 jam mereka berbincang simpang siur, tentang mereka dulu di Solo, tentang anak-anak mereka sampai membicarakan bisnis yang keduanya bangun. Sebenarnya Bagas ingin sekali pergi dari ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya, ia sudah lelah. Ingin segera merebahkan dirinya di kasur namun Ibu terus-terusan melarangnya.

“Bagas, Asri. Jadi begini, Om dan Papa mu ini memang pernah bicara omong kosong tentang perjodohan.”

Mendengar ucapan Ayahnya itu, Bagas seperti tersambar petir rasanya. Perjodohan apa? Siapa yang di jodohkan? Pikirnya.

“Perjodohan, Om?” tanya Asri sama bingungnya dengan Bagas.

“Benar, sayang. Sewaktu itu masih ada mendiang Ibumu. Kami memang pernah merencanakan perjodohan kalian saat kalian SMP. Dan sepertinya sekarang waktu yang tepat bagi kami untuk membicarakan hal ini lagi,” jelas Ibu.

“Buk, tapi Bagas sudah punya pacar, Buk. Bagas serius sama dia.”

Ucapan Bagas itu berhasil membuat Ibu, Ayah, Om Dwika dan Asri menoleh ke arah Bagas. Bagas harus menjelaskan ini pada Om Dwika dan Asri agar mereka tidak salah kaprah, Bagas tidak ingin di jodohkan, ia ingin menikah dengan Kirana bukan dengan wanita lain.

Lagi pula ia dan Asri baru bertemu lagi, mereka tidak dekat. Rasanya aneh jika tiba-tiba saja ia harus menikahi wanita asing yang baru bertemu dengannya lagi.

“Bagas!” Ayah memperingati.

Om Dwika memegang tangan Ayah, memberi peringtan pada kawannya itu bahwa ia ingin bicara dengan Bagas. “Hubunyan kalian sudah sangat jauh, Bagas? Apa kamu sudah melamar dia?”

“Saya enggak setuju sama perempuan yang di kenalkan Bagas ke saya, Mas Dwika. Perempuan itu bukan berasal dari keluarga baik-baik.” Ibu menyela, membuat kedua bahu Bagas turun.

“Buk—”

“Hhmm.. Maaf Om, Tante. Sebaiknya kita bicarakan hal ini nanti, lagi pula. Bagas dan Asri baru bertemu lagi. Kami belum banyak mengobrol, Bagas pasti bingung jika tiba-tiba pembicaraan kita langsung menuju perjodohan, Asri pun sama bingungnya seperti Bagas.” Asri menengahi, ia tidak ingin ada keributan. Meski rasanya ia merasa di permalukan oleh Bagas.

“Maafkan Bagas yah, Asri.”

Begitu Om Dwika dan Asri pulang, Ibu dan Ayah langsung memarahi Bagas habis-habisan. Ayah merasa sikap Bagas sudah kelewatan, Bagas seperti tidak menghargai Kedua orang tuanya dan juga Om Dwika.

“Kelewatan kamu, Gas. Bisa-bisa nya kamu bicara seperti itu di depan Asri?” sentak Ayah.

“Demi perempuan itu kamu sampai rela menginjak-injak harga diri kedua orang tuamu, Gas. Kamu tau? Asri ini anak yang baik, terlebih kita sudah mengenal keluarganya.”

“Buk, Yah, Bagas gak bermaksud menginjak-injak harga diri Ibu dan Ayah. Bagas hanya menjelaskan kalau Bagas sudah punya Kirana, Bagas serius sama dia, Buk, Yah. Bagas sayang sama dia,” jelas Bagas. Ia tidak ingin kedua orang tua nya itu mengambil keputusan sendiri seperti tadi, ini tentang hidup dan masa depannya.

“Perempuan itu memang sudah mencuci otakmu, Gas.” Ibu melirik Bagas sinis, benar-benar merasa muak setiap kali Bagas membangkang demi Kirana.

“Selesaikan hubunganmu dengan perempuan itu, Bagas. Ayah tidak bisa menerima dia menjadi menantu Ayah. Asri yang Ayah dan Ibu harapkan menjadi Istrimu dan menantu di keluarga kita.” Ayah mengatakan itu dengan tegas, sebelum Ayah melangkah pergi meninggalkan ruang tamu bersama dengan Ibu.

Bagas termenung, ia mengusap wajahnya gusar. Ia tidak akan menyerah, dia akan tetap mempertahankan Kirana bagaimanapun caranya, ia sendiri yakin bahwa Kirana pasti bisa mengambil hati kedua orang tua nya.


Samarang 1898

Sudah tiga hari ini Ayu tidak datang ke sekolahnya, ia juga tidak keluar dari kamarnya. Setelah hujan-hujanan kemarin badannya demam, Ayu juga kembali batuk darah seperti waktu itu. Romo nya sudah memanggil dokter dan memberikan beberapa obat-obatan herbal.

Baru hari ini Ayu memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya, dia merasa badanya sudah jauh lebih baik walau masih saja tubuhnya begitu lemas. Ayu pikir tidak ada orang lain di ruang tamu selain Romo nya, Romo memang paling sering berada di ruang tamu. Sekedar membaca berita atau menikmati teh di sana.

Ayu bersembunyi di balik tembok dekat dapur, ketika telinganya mendengar sayu-sayup suara yang berasal dari ruang tamu, ternyata ada tamu, Ayu jadi mengurungkan niatnya untuk keluar rumah, tadinya ia ingin ke kebun untuk mencari Adi lewat pintu depan rumahnya.

Nggih saenipun Ayu dinikahaken mawon, Pak. Supados wonten ingkang jagi. Lare lare seyuswone nggih mpun sami nikah, mboten?

Kulo sampun ngerancanakaken iku, badhe kulo bekto Ayu dumateng Soerabaja, badhe kulo tepangaken kaleh yoganipun Bupati Daka. Asmanipun Dimas, kito nate rembug bab niki sederengipun. Nanging wekdal semeniko, Ayu tesih alit.

Mendengar itu tubuh Ayu gemetar, ternyata selama ini Romo nya ingin menjodohkannya dengan anak dari Bupati itu. Pantas saja Romo mengajaknya ke Soerabaja sewaktu acara pengangkatan Bupati itu. Meski harus ia syukuri, dari situlah ia bisa bertemu dengan Jayden.

Selanjutnya, Ayu tidak berani mendengarkan obrolan kedua orang tua itu. Ayu keluar dari rumahnya lewat pintu belakang, beruntung saja Ibu nya sedang tidak ada di rumah. Di kebun, beberapa orang yang bekerja menyapa Ayu, namun Ayu hanya mengangguk sekena nya.

ngapunten, Mbok, Mas Adi ten pundi?” Ayu bertanya dengan seorang wanita yang tengah merapihkan hasil panen bawang di kebun milik Romo nya. Hari ini pun Ibu dari Adi tidak datang.

mboten ndugi, Raden Ayu.”

“Kemana, Mbok?”

sampun izin ke Tuan Gumilar, bilangnya dia sakit, Raden Ayu.”

Ayu terpaku di tempatnya, dia mengangguk kecil pada pekerja Romo nya itu dan kembali ke rumahnya. Kakinya tidaklah kuat untung menyambangi Adi di rumahnya, rumah Adi lumayan jauh dari rumah Ayu dan ia masih lemas.

Begitu sampai di rumah, ada Pak Pradipta. Beliau adalah kusir Romo nya sekaligus Ayah dari Adi. Adi dan orang tua nya bekerja di rumah Ayu, Ayahnya sebagai kusir sedangkan Ibu nya sebagai pembantu rumah tangga.

Raden Ayu, kenapa mlampah-mlampah piyambak? Raden Ayu kan tesih gerah.

Pak, Mas Adi gerah?

Pak Pradipta mengangguk, “Sampun izin kalih Tuan, Raden Ayu.

Gerah nopo, Pak?

Awake benter.

Ayu menunduk dia jadi merasa bersalah karena sudah membuat Adi sakit, meski itu juga bukan kehendaknya. Andai Adi tidak melepaskan pakaianya pasti pria itu tidak akan sakit, ya mungkin saja begitu. Ayu masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai. Ia masih terbayang akan perjodohan yang Romo nya rencanakan.

Ia tidak ingin di jodohkan oleh pria lain, ia hanya mencintai Jayden. Hanya Jayden yang Ayu inginkan, laki-laki itu dengan segala kerendahan hatinya. Ayu menangis di ranjangnya, menatap jendela kamarnya. Kidung jiwa nya merasa gamang, ingin rasanya Ayu lari dan menemu Jayden, mengadu pada pria itu jika ia sedang tidak baik-baik saja.

Tidak lama kemudian pintu kamarnya terbuka, itu Ibu. Mengantarkan makan siang untuk Ayu karena ia harus segera minum obat, Ayu buru-buru menghapus jejak-jejak air mata di pelupuk mata dan wajahnya.

nduk, kenapa?” Ibu duduk di sisi ranjang Ayu, sudah tahu jika Ayu menangis karena matanya sangatlah merah.

Buk, mangkeniki wonten tamunipun Romo nggih?

Ibu mengangguk. “Rencangipun saking Solo, rawuh kangge mriksani kebone Romo.

Mangkeniki Romo matur babagan polokromo, Buk.

Ibu menghela nafas, Ayu sudah tahu lebih dulu. Sejujurnya Ibu juga tidak begitu setuju jika Ayu harus di jodohkan, Ayu masih muda. Terlebih, Ibu tidak ingin Ayu menikah dengan pria yang tidak anak itu cintai seperti dirinya dahulu.

Jere sinten, nduk?

Ayu mireng piyambak, Buk. Romo badhe jodohaken Ayu kalian yoga Bupati Soerabaja niku.” Ayu memberanikan diri menggengam tangan Ibu nya, “Ayu mboten purun dijodohaken, Buk. Ayu mboten purun nikah.

Bersambung..

(Calandra Asri Bentari)