Bab 1. Setelah Dua Minggu
Jakarta, 28 Januari 2025
“panggil dokter, Bagas. Jari-jari Kirana bergerak!!“
“Kirana, ini Ibu, Nak. Ayo buka matamu.“
Hiruk piruk yang terdengar di telinga Kirana begitu terus menganggu, matanya masih terpejam, tubuhnya agak sedikit kaku dan rasa kantuk masih melingkupinya. Bising yang berasal dari suara Ibu nya itu seakan-akan memaksa Kirana harus membuka matanya, dengan mata yang masih terpejam, Kirana merasakan seseorang tengah menempelkan benda di atas dada nya, dingin, benda itu berpindah-pindah seakan-akan memeriksa detak jantungnya.
Tak lama kemudian, ia merasa ada tangan besar yang menggenggam tangannya, hangat, sungguh hangat. Tapi Kirana tidak tahu itu siapa, tangan besar dan hangat itu mengusap punggung tangannya, seolah menguatkannya untuk bisa membuka matanya. Hati Kirana menghangat, ia sungguh ingin melawan berat yang seperti menindihi dirinya.
Perlahan-lahan, Kirana berusaha untuk membuka matanya, cahaya yang berasal dari lampu itu menelisik netra nya, Kirana mengerjap namun sedetik kemudian mata kecilnya terbuka, buram.. Itu yang pertama kali Kirana lihat. Ada sosok wanita di depannya dan seorang pria dengan wangi parfum yang tidak asing baginya.
“Kirana dengar saya?”
Suara seseorang mengintrusinya, Kirana tidak mengenal itu suara siapa. Tapi tidak lama kemudian matanya seperti di buka paksa dengan cahaya dari benda panjang menyorot ke matanya secara bergantian, barulah pandangannya yang kabur itu kini nampak jelas.
“Kirana, hallo? Bisa dengar saya?”
Pria yang memakai baju scrub berwarna biru itu berbicara pada Kirana, Kirana nampak bingung, ia tengah mencerna apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Kepala nya mengangguk, kemudian wanita yang ia kenali Ibu dan pria di sebelahnya itu bernapas lega, memangnya ada apa? Pikirnya.
Pria yang berdiri di sebelah Ibu adalah Bagas, pacar Kirana. Matanya berkaca-kaca penuh haru. Seolah-olah selama ini Kirana tidak pernah bangun dari tidur nya.
“Kirana bisa di ajak bicara, Buk. Besok pagi kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.” dokter yang memeriksa Kirana tadi tersenyum pada Ibu.
Sekali lagi, Kirana melihat Ibu nya itu menyalami Dokter yang memeriksanya barusan dengan wajah penuh terima kasih. Seolah-olah Kirana bangun dari tidur panjangnya karena dokter itu. Dengan pandangan kosong serta banyaknya pertanyaan di kepalanya, Kirana menatap pria di sampingnya. Bagas, pria itu duduk di kursi sebelah ranjangnya.
“Aku senang banget kamu udah bangun.” Bagas masih menggegam tangan Kirana, mengusap nya dan kali ini mengecupnya penuh syukur.
“Bagas?” Itu adalah kalimat pertama yang di ucapkan oleh Kirana, ia merasa perlu di beri penjelasan tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ibu tadi sempat mengekori dokter yang memeriksa Kirana keluar dari ruang rawatnya.
“Ya, sayang?”
“Ak..aku kenapa?”
Senyum di wajah Bagas sedikit memudar, namun genggaman tangannya di tangan Kirana sedikit mengecang. Wajah pria dengan air wajah penuh penyesalan dan mata sedihnya itu kini menatap Kirana.
“Kamu kecelakaan,” ucap Bagas pelan. “Nanti aku ceritain kalau kamu udah pulih yah.”
Kirana mengangguk, namun kepala nya justru memaksa nya mencari ingatan tentang apa yang terjadi padanya sebelum ia bangun dari tidur panjangnya. Yang Kirana ingat, ia habis pulang dari rumah Bagas untuk makan malam, ia menaiki taksi saat hujan deras karena malam itu Bagas tidak bisa mengantarnya pulang, lalu..
“Ibu lega banget, nduk. kamu udah bangun, anak Ibu yang paling kuat..” Ingatan Kirana akan kecelakaan itu tersita ketika Ibu tiba-tiba saja datang, duduk di kursi samping kanan Kirana dan mengecupi kening Kirana penuh syukur.
“Ibu?”
“Ya, nduk?“
“Maafin Kirana udah buat Ibu khawatir.” melihat Ibu dengan wajah sedih, mata berkantung serta rambut yang tidak tertata rapih itu sedikit banyakanya menyayat hati Kirana. Ibu benar-benar merana melihatnya terkapar di ranjang rumah sakit.
“Gapapa, nduk. yang penting bagi Ibu kamu sudah sadar, Matur suwun cah ayu sudah bangun untuk Ibu..” Ibu meneteskan air matanya, selama dua minggu Kirana kritis. Yang ada di kepala Ibu hanya kalimat 'seandainya'
'Seandainya Kirana tidak pernah membuka matanya.'
'Seandainya Kirana meninggalkannya.'
'Seandainya Kirana tidak pernah pergi malam itu.'
Atau
'Seandainya malam itu Bagas tetap memaksa mengantarkan Kirana pulang, apakah ini semua akan tetap terjadi?'
Bagas yang melihat adegan haru di depannya itu berjalan mundur menjauh, perasaan gelabah merasa bersalah menghampirinya. Pria berumur 27 tahun itu duduk di kursi di depan ruang rawat Kirana, mengusap wajahnya dengan gusar untuk mengusir segala rasa bersalahnya terhadap sang kekasih.
Malam yang takan pernah Bagas lupakan dalam hidupnya, malam saat ia mengundang Kirana untuk makan malam di rumahnya. Bagas dan Kirana sudah berhubungan 6 tahun, tepatnya saat mereka berkuliah dulu. Bagas dan Kirana sepakat memberi tahu hubungan mereka dan mengenalkan diri satu sama lain pada keluarga jika sudah ke arah yang lebih serius.
Bagas di terima baik oleh Ibu nya Kirana, namun lain hal nya dengan Kirana. Wanita itu di tolak oleh Ibu nya Bagas, Ibu melarang Bagas melamar Kirana dengan alasan kematian Ayahnya Kirana, dahulu yang membuat Ibu tidak setuju Kirana kelak akan menjadi menantu di keluarga mereka.
Alasan yang sama sekali tidak bisa Bagas terima, Kirana baik, sayang dengannya, mengerti Bagas lebih dari Ibu mengertinya dan yang lebih penting adalah Bagas sangat mencintai Kirana. Bagas tidak perduli dengan masa kelam keluarganya itu. Bagas hanya mau wanitanya.
“Bagas?” suara yang berasal dari Ibu nya Kirana itu mengintrupsi kesadaran Bagas, lamunan akan malam itu buyar begitu saja.
“Ya, Buk?”
“Kirana cari kamu, masuk, Nak.” Ibu menepuk pundak Bagas dan menyuruh pria itu masuk.
Begitu Bagas masuk, Kirana tersenyum kecil dengannya. Sungguh itu adalah senyuman yang sangat Bagas rindukan, senyuman yang selalu bisa meluluh lantahkan hatinya.
“Kamu kok duduk di luar?” tanya Kirana begitu Bagas duduk kembali di kursinya.
“Kasih kamu waktu buat bicara sama Ibu.”
Bagas menunduk, berkecamuk dengan perasaan dan isi kepalanya yang tampak bising. Melihat Kirana hanya menambah perasaan bersalah dan penyesalannya, jauh dari nya juga membuat penyesalannya bertambah. Bagas bingung harus bicara apa.
“Bagas?”
“Hm?”
“Pulang..”
Kening Bagas berkerut, apa katanya? Pulang? Pikirnya, kenapa Kirana memanggilnya hanya untuk menyuruhnya pulang?
“Aku masih mau nemenin kamu sama Ibu.” sudah dua minggu pula Bagas enggak meninggalkan rumah sakit, ia mengesampingkan semua pekerjaanya, panggilan dari keluarganya dan rekan-rekan kantor nya. Yang di kepalanya hanya ada Kirana saja dan perasaan bersalahnya.
“Nanti bisa kesini lagi, Ibu kamu pasti khawatir sama kamu, Gas.” Kirana sudah ingat semuanya, semua sakit saat kecelakaan, sakit nya penolakan, dan semua kata-kata menyakitkan yang Ibu nya Bagas bicarakan diam-diam di belakangnya saat Kirana hendak ke toilet.
“Kirana benar, Bagas. Orang tua kamu pasti mengkhawatirkan kamu, disini Kirana kan sama Ibu. Nanti, kamu bisa ke sini lagi.” Ibu sudah sering menyuruh Bagas untuk pulang, namun Bagas dengan keras kepala nya tetap tinggal di rumah sakit.
“Sebentar lagi yah.” pria itu membawa tangan kurus Kirana pada genggamannya, ia peluk tangan itu dan ia kecupi sekali lagi.
Mobil yang Bagas kendarai itu masuk ke pekarangan rumahnya, di depan sana ada Ibu yang sibuk dengan tanaman-tanaman hiasnya. Begitu melihat mobil Bagas, Ibu menyingkirkan monstera kesayangannya itu demi mengintrogasi si sulung.
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ibu begitu Bagas menutup pintu mobilnya, suaranya dingin. Bagas tau Ibu sudah kepalang naik pitam karena ia tidak setor muka ke rumah.
“assalamualaikum, Buk.” Bagas menyalami Ibu nya, walau kalimat itu tidak mendapati jawaban.
“Dari mana?” cecar Ibu sekali lagi.
“Kirana kan sakit, Buk. Dia kecelakaan.”
“Halah, perempuan itu lagi.” mendengar nama Kirana di sebut putra nya, Ibu kembali dengan monstera yang ia taruh di meja taman kecil rumah mereka. “Ibu kan sudah bilang Ibu gak suka sama dia.”
“Tapi Bagas sayang sama dia, Buk.”
“Gas, masa lalu keluarganya itu suram, Bapaknya itu meninggal karna bunuh diri, penyakit mental itu menurun ke anaknya kamu mau menikahi dia? Ibu gak mau punya menantu dengan keluarga yang suram seperti itu!”
Bagas menghela nafasnya, tubuhnya benar-benar lelah. Ia ingin meninggalkan Ibu untuk masuk segera ke kamarnya tapi Bagas merasa itu sangat tidak sopan, seumur-umur dia enggak pernah menjadi pemberontak. Ia selalu menuruti apa perintah dan keinginan orang tua nya, Ibu dan Ayah selalu mengajari Bagas jika ia menurut pada orang tua maka hidupnya akan baik-baik saja.
Dan Bagas akui, selama ini hidupnya berjalan mulus sesuai keinginanya. Tapi sayangnya kali ini keinginan Ibu nya sangat berat untuk ia turuti, ia sangat mencintai Kirana. Bahkan seandainya ia tidak berakhir bersama Kirana, Bagas enggak tahu harus bagaimana lagi dengan hidupnya.
“Bagas ngerasa bersalah, Buk. Kirana kecelakaan itu karena Bagas.”
“Karena kamu apanya?!” nada bicara Ibu meninggi. “Perempuan itu kecelakaan bukan karena kamu, karena memang dia sial aja.”
“Buk..” Bagas memperingati, menurutnya Ibu sudah keterlaluan. “Bagas yang mengundangnya makan malam di rumah kita, harusnya Bagas juga yang antar dia pulang.”
“Menurut Ibu, otakmu sudah banyak di pengaruhi dia, Bagas. Kamu udah berani melawan Ibu.”
Bagas mengusap wajah nya gusar, ia bisa menebak, setelah ia menyalakan ponselnya kemungkinan besar ia juga akan mendapatkan rentetan pesan dan telefon dari kantor nya. Ia siap di maki, Bagas pasrah. Bahkan ocehan Ibu sedari tadi tidak Bagas tanggapi lagi, begitu Ibu berhenti memarahinya, Bagas masuk ke kamarnya, menidurkan dirinya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pagi itu nampak temaram karena tidak ia nyalakan lampunya.
Pikirannya larut pada suasana temaram di sana, kepalanya ramai, hatinya berkecamuk dan perutnya bergejolak. Ah, Bagas lupa dua minggu ini dia tidak makan dengan benar. Ia bahkan lupa jika ia belum minta maaf pada Kirana saat wanita itu membuka matanya hari ini.
Kirana tersenyum tipis mendapati atasannya itu datang berkunjung menjenguknya, pria berumur 31 tahun yang tampak cuek namun perhatian dengan karyawan nya itu kini menatap Kirana dengan kikuk. Entah kenapa, ah Kirana hampir lupa kalau Jagaraga bisa sangat menyebalkan ketika bertanya bagaimana progeress proyek mereka berjalan.
Sampai-sampai, Kirana membenci kata 'progress' jika ia di beri kesempatan, ingin ia hapus kata itu dari dunia ini saking muaknya. Raga selalu bertanya seperti itu setiap pagi, atau bahkan saat pria itu tidak datang ke kantor. Ia akan bertanya melalui pesan singkat.
“Bapak, sendiri?” Tanya Kirana memecahkan hening di antara mereka, ah tidak hening sebenarnya. Bangsal kirana di rawat itu ada beberapa pasien, sedang jam besuk jadi lumayan ada orang lain selain ia dan Raga, Ibu sedang ke kafetaria membeli makan.
“Iya, saya dengar kabar kamu sudah siuman dari Bagas, ngomong-ngomong Ibumu kemana?”
“Ke kafetaria, Pak.”
Raga mengangguk-angguk, “Kirana?”
“Ya?”
Raga menarik nafasnya pelan, ia pikir Kirana lebih membutuhkan waktu untuk istirahat, mengingat tangan wanita itu juga di gips. “Setelah sembuh nanti, kamu boleh habiskan cuti kamu selama satu tahun. Masuk ke kantor jika kamu sudah benar-benar pulih aja.”
“Enggak, Pak. Dokter bilang, gak ada yang harus di khawatirkan sama kondisi saya, semua organ vital saya baik, setelah lepas gips nanti saya juga bisa langsung kerja kok.” Kirana sungkan tidak masuk kerja selama itu, pekerjaanya pasti mangkrak, atau di ambil alih oleh Bang Satya.
“Kalau gitu ini perintah dari saya, fokus saja pada kesembuhan kamu dulu. Lagi pula ada Satya yang handle pekerjaan kamu.”
Mendengar nama Satya di sebut, Kirana terkekeh pelan. Benar dugaanya, Bang Satya memang senior nya yang paling baik. “Bapak enggak ajak Bang Satya buat jenguk saya?”
Kirana bisa bicara sesantai ini pada Raga karena Raga adalah seniornya dulu di kampus, Kirana juga baru tau dari Bagas karena kehidupan selama perkuliahannya Kirana tidak pernah mementingkan siapa senior-senior nya di sana, bahkan Kirana pernah kaget karena dulunya Ragaa adalah presiden mahasiswa di kampus mereka.
Bisa di bilang kehidupan perkuliahan Kirana sedikit membosankan, ia hanya sibuk dengan belajar, tugas kelompok, membantu Ibu jualan dan mungkin sedikit berkencan dengan Bagas. Kirana bukan mahasiswa yang berprestasi banget dan menjadi sorotan di kampus nya, dia sangat menghindari hal itu.
“Dia lagi di Surabaya, nanti bisa jenguk kamu sendiri.”
“Proyek baru, Pak?”
Raga mengangguk, “pembangunan rumah sakit. Proyek itu harusnya punyamu, tapi dia yang handle sekarang.”
Kirana agak sedikit menyayangkan kecelakaanya, jika tidak berakhir menyedihkan seperti ini dia kan bisa ke Surabaya, bekerja sambil jalan-jalan walau mungkin bagian jalan-jalannya hanya sebentar saja.
“Kamu ini, saya jenguk malah ngomongin kerjaan. Kesan nya kan saya lagi nagih kamu kerja.”
Kirana terkekeh, “kita gak banyak ngobrol, Pak. Jadi saya juga bingung mau ngobrol apa sama Bapak,” ucap Kirana to the point. memang benar adanya begitu, selama ini obrolannya dengan Raga hanya sebatas membicarakan pekerjaan, Bahkan saat sedang istirahat sekalipun.
Raga juga merasa ucapan Kirana benar, selama ini mereka hanya membicarakan pekerjaan saja. Jadi kepalanya kali ini memutar ide mencari topik pembicaraan agar ia tidak mati kutu, sungkah menjenguk karyawannya hanya sebentar. “Kamu lebih suka onde-onde atau bakpau?”
Bersambung...
(Banyu Bumi Bagaskara)
(Jagaraga Suhartono)