Bab 11. Sesak

Samarang, 1898.

“Benar-benar membuat malu keluarga, kamu berkencan dengan pria Belanda itu, Ayu?”

Teriakan dari Romo nya itu menggelegar memenuhi indra pendengaran Ayu, Ayu hanya bisa menangis, memangku wajahnya pada pangkuan sang Ibu. Sungguh sesak dadanya mendengar Romo memarahinya habis-habisan. Bahkan cincin pemberian dari Jayden tadi siang di renggut paksa dan di buang entah kemana.

uwis Pak, Mesakne Ayu.” Sang Ibu menengahi, tidak tega melihat putrinya menangis tersedu-sedu seperti itu.

“Minggu depan, calon suamimu akan datang ke Samarang. Romo akan mempercepat pernikahan kalian, tidak akan Romo biarkan kamu keluar dari rumah meski itu bersekolah sekalipun.”

Ayu tidak menjawab, ia hanya terus menangis. Melawan Romo nya pun Ayu tidak sanggup, ia takut. Setelah Romo pergi dari kamar Ayu. Barulah Ayu berani mengangkat kepalanya dan memeluk Ibu. Kedua wanita itu menangis, nasib Ayu tidak berbeda jauh seperti dirinya dahulu.

“Buk, Ayu harus bagaimana? Ayu sangat mencintai Sir Jayden. Dia bukan pria Belanda yang jahat, dia pria yang baik.” Ayu merengek seperti anak kecil, memohon pada sang Ibu yang selalu berada di pihaknya.

“Ibu tau, nduk. bertemu dulu saja dengan calon suamimu yah. Ibu saja tidak bisa melawan Romo.”

Tangis Ayu semakin menyesakkan, ia melepaskan pelukan pada tubuh Ibu nya itu dan menidurkan dirinya di ranjang. Menangis sejadi-jadinya, memikirkan kelak ia akan segera menikah dengan pria yang tidak ia cintai.


Jakarta, 2025.

Kirana terbangun pagi itu dengan dada yang cukup sesak, ia menyadari jika ia menangis, bahkan bantal yang ia pakai itu basah oleh air matanya sendiri. Mimpinya semalam bukan hanya membuat perasaanya tidak nyaman, ia juga menangis bahkan merasakan sesak. Seperti ada yang menibani dadanya hingga nafasnya pun sedikit tersenggal.

Kirana enggak tahu kenapa, tapi pagi itu setelah bangun dari tidur ia merasa sedih. Ia menangis sama seperti Ayu yang ada di dalam mimpinya, sampai akhirnya ponsel nya berdering dan menampakan nama Bagas di sana. Ayu buru-buru menghapus air matanya itu.

“Hallo, sayang?”

sayang, aku udah jalan yah, kamu udah siap kan?

Kirana melihat jam yang ada di atas dinding tempat tidurnya, saat ini sudah jam 6:30 dan hari ini adalah hari pertama Kirana kembali ke kantor setelah mengalami kecelakaan. Dan ia nyaris saja terlambat karena mimpi menyedihkan itu.

“Sayang, ak..aku kesiangan. Belum mandi, baru banget bangun. Ibu juga enggak bangunin, kayanya udah ke pasar duluan deh. Gimana yah? Kamu jalan duluan aja gapapa, kamu ada meeting kan?”

meetingnya masih jam 10 kok, gapapa. Aku juga udah dekat rumah kamu. Mandi dulu aja yah, gak usah sarapan. Aku beliin kamu sarapan kok.

“Beneran?”

iya sayangku, sana mandi.

“Yaudah, aku mandi dulu yah.”

Setelah panggilan itu berakhir, Kirana menyibak rambut panjangnya. Jantungnya masih berdebar mengingat mimpi mirisnya semalam, namun buru-buru ia singkirkan itu. Tidak ada cukup waktu untuk memikirkan mimpi sialan yang menganggunya setiap malam itu. Ia harus segera mandi dan siap-siap ke kantor sebelum Bagas datang.

Di perjalanan menuju kantor, Kirana lebih banyak terdiam. Dia masih memikirkan mimpinya semalam, bahkan celotehan Bagas saja terdengar samar-samar di telinga Kirana. Kepalanya terlalu bising dengan tangisan Ayu, pinangan Jayden dan kemarahan Romo dalam mimpinya.

“Sayang?” panggil Bagas, mobilnya berhenti karena di depan sana ada sedikit kemacetan, ah ini lumrah karena mereka tinggal di Jakarta.

“Hm?” Kirana menoleh, tersenyum kikuk pada Bagas. Kayanya Bagas sadar dari tadi Kirana cuma diam saja. “Kenapa, sayang?”

“Kamu kenapa? Gak enak badan?”

Kirana menggeleng, “enggak kok.”

“Terus kenapa diem aja, hm?”

“Gapapa, badan aku cuma pegal-pegal aja.”

“Kamu belum sehat banget? Ak..aku anterin pulang aja kalau gitu yah?”

“Oh.. Enggak-enggak, ma..ksud aku. Badan aku tuh pegal-pegal kayanya karna aku semalem tidur gak ngubah posisi deh, sayang. Gapapa kok, nanti di pakein minyak angin juga ilang.” alibi Kirana, dia gak mau cerita soal mimpinya pada Bagas, enggak bercerita dan hanya memikirkannya sendiri saja membuat seluruh energinya rasanya terkuras.

“Beneran?” Bagas menelisik wajah Kirana, khawatir jika Kirana memang kurang sehat tapi wanita itu menyembunyikannya.

Kirana mengangguk, “i'm fine, sayang. Aku justru seneng banget bisa balik ke kantor lagi.”

Kirana senyum, dia benar-benar senang bisa kembali bekerja lagi. Selain karena bosan di rumah saja, Kirana juga harus segera bekerja karena ia masih harus melunasi seluruh hutang Bapaknya di bank. Tanggung jawabnya sebesar itu, untung saja di kantor tempatnya bekerja Kirana memiliki teman-teman serta atasan yang selalu mendukung dan baik padanya.

Begitu sampai di kantor, nyaris semua karyawan yang mengenal Kirana menyapa nya. Mereka bersyukur Kirana dapat kembali bekerja, dan yang paling terlihat bahagia tak lain dan tak bukan adalah Almira. Waktu Kirana mengabari jika ia akan kembali bekerja besok saja, Almira sudah kegirangan. Bahkan wanita itu rela masak agak banyak untuk bekal makan siangnya yang akan ia bagi juga ke Kirana.

“Mbakkkk....” pekik Almira, wanita itu baru datang 10 menit setelah Kirana datang. Kebiasaan Almira tuh sebelum masuk kantor selalu mampir ke cafe buat beli kopi.

Almira langsug menghampiri meja kerja Kirana dan memeluk wanita itu, ia bahkan memberikan gelas kopinya pada Satya yang datang bersamanya. Untung saja Satya adalah senior yang santai sama junior-juniornya. Pria itu cuma geleng-geleng kepala berjalan ke meja nya dan menaruh kopi milik Almira di meja wanita itu.

“Aku seneng banget Mbak udah kerja lagi!! Pokoknya gak boleh sakit-sakit lagi loh!” Ancam Almira, memangnya siapa yang mau sakit?

“Iya enggak, gak enak juga sakit. Di rumah mulu, enakan kerja.” Kirana terkekeh.

“Kerja mah enak pas gajian doang, Na.” Samber Satya sembari menyalakan komputer miliknya.

“Sama pas bonus cair, Bang. Jangan lupa. Oh sama outing deh.” Bagas ikut menimpali, mereka memang satu ruangan. Meja mereka hanya berjarak sedikit saja.

Posisinya seperti ini, Almira, Kirana, Satya. Sedangkan di depan meja Almira ada meja milik Bagas, dan dua karyawan lain nya yang berhadapan dengan Satya dan Almira. Di dekat ruangan mereka ada ruangan Raga yang hanya di batasi oleh kaca tebal, jadi apapun yang di lakukan oleh mereka dapat selalu di awasi oleh Raga di dalam ruangannya.

“Udah mendingan banget kan, Mbak?”

Kirana mengangguk, “udah kok, oiya kamu bawa apa? Katanya masak buat makan siang kita berdua? Repot-repot banget sih.”

“Oh iya, aku tuh bikin—”

“Kirana?”

Belum saja Almira menjawab, Raga sudah datang menghampiri meja Kirana. Membuat Almira yang tadinya menggeser kursi miliknya ke dekat Kirana itu, jadi mengembalikannya ke tempat semula. Satya dan Bagas juga langsung mulai sibuk dengan berkas-berkas yang ada di meja mereka.

“Ya, Pak?”

“Sudah masuk, sudah sehat kamu?”

Kirana enggak menjawab, dia justru menatap Raga lekat. Teringat akan mimpinya semalam, Jayden yang sangat mirip dengan Raga itu meminangnya, sebelumnya bahkan mereka berkencan dan datang ke banyak tempat.

“Kirana?” Raga melambaikan tangannya di depan wajah Kirana, memecah lamun wanita itu yang terus menatap Raga lekat.

“Ya, Pak?”

“Sudah sehat?”

Kirana mengangguk kikuk, ia ketahuan melamun. Sial, mimpinya semalam membuat hari pertamanya bekerja kacau. “Sudah, Pak.”

“Syukurlah kalau begitu, pelan-pelan saja kerja nya. Saya juga enggak akan menunggaskan kamu buat ngecek proyek, untuk sementara kamu stay di kantor saja, ya.”

“Terima kasih, Pak.”

Selepas kepergian Raga, Satya dan Almira terkekeh pelan. Raga memang baik, tapi bahasanya yang kaku itu kerap kali membuat mereka semua cekikikan. Apalagi soal lelucon yang kadang suka di lontarkan pria itu, benar-benar mirip jokes Bapak-Bapak kalau kata Almira.

“Pelan-pelan saja kerjanya Kirana~” ucap Satya meniru ucapan Raga.

Kirana terkekeh, “apaan sih lo, Bang.”

“Pak Raga tuh kalau sama Mbak Kirana emang lembut banget kaya lagi ngomong sama bayi.” selama Almira bekerja di kantor kontruksi ini, Raga memang ramah pada semua bawahannya tapi berbeda jika sudah berbicara pada Kirana. Almira sih mikirnya karna mereka satu almamater, sama Bagas pun lebih santai.

“Heh! Kaya bayi kaya bayi, Kirana bayi nya gue.” Bagas cemburu.

“Apasih Mas Bagas orang cuma bercanda,” Almira merengut, ia kembali memeriksa laporan hariannya kembali.


“Jadi kegiatan kamu akhir-akhir ini lagi sibuk ngurus butik aja ya, Asri?”

Asri mengangguk pelan, “iya, Tante. Ya kadang masih bantu-bantu buat audit di toko punya Papa juga sih.”

Ibu dari Bagas itu tersenyum, menatap Asri dengan bangga. Hari ini orang tua Bagas mengundang Asri ke rumah mereka, Ibu nya Bagas minta di bantu untuk menyiapkan pesta ulang tahunnya yang akan di adakan minggu depan. Asri yang kebetulan tidak sibuk tentu saja mau, apalagi orang tua Bagas itu juga membeli beberapa baju dari butiknya.

“Hebat kamu, Yah. Masih muda, sudah berani buat bisnis sendiri, masih bantu-bantu orang tua pula. Salut loh Tante sama kamu, Sri.”

Asri tersenyum kikuk, dia enggan terbiasa dengan pujian seperti itu. Pasalnya ia pun banyak di bantu oleh orang tua nya, tidak semerta-merta ia membangun bisnis nya dari nol. Makanya Asri belum bisa bangga pada dirinya sendiri meski orang lain memujinya.

“Iya, Tante. Tapi kan tetap aja, Asri bisa bangun bisnis seperti ini karna Papa juga.”

“Ya gapapa dong, itu artinya kamu memanfaatkan fasilitas yang mereka kasih dengan baik. Tante benar-benar bangga sama kamu!” Ibu nya Bagas itu menjawil hidung Asri dengan gemas.

Dari dulu orang tua Bagas itu memang sudah menyukai Asri, anak itu memang terlihat sedikit pendiam. Reputasi keluarganya yang baik dan memang berkerabat dekat dengan kedua orang tua nya. Menjadikan kedua orang tua Bagas ingin sekali menjodohkan Asri dengan Bagas.

Tidak lama kemudian, mobil milik Bagas itu memasuki pekarangan rumah. Membuat senyum di wajah Ibu nya Bagas itu merekah, pasalnya memang itulah rencananya mendatangkan Asri di jam pulang kantor agar wanita itu bisa berbicara lebih banyak pada putra nya.

“Tuh, Bagas pulang,” ucap Ibunya Bagas.

Di kursinya Asri agak sedikit salah tingkah, dia bukan tidak nyaman dengan Bagas hanya saja ia tidak tahu harus seperti apa. Dulu memang mereka dekat, namun setelah Bagas pindah mereka putus komunikasi begitu saja.

Begitu Bagas masuk, kedua mata mereka bertemu. Namun Bagas buru-buru melihat ke arah Ibunya. “Ada tamu.”

“Kok tamu sih, Gas. Ini Asri loh.” Ibu melambaikan tangannya, menepuk pada tengah sofa yang berada di sampingnya, menyuruh Bagas untuk duduk di sana.

Sejujurnya Bagas lelah, namun mau tak mau ia menuruti keinginan Ibunya. Berdebat dengan Ibu jauh lebih melelahkan dari pada ia harus menghadapi kemacetan kota Jakarta di setiap sore nya.

“Ba..baru pulang, Gas?” Sapa Asri canggung, Bagas hanya mengangguk kecil.

“Asri ini Ibu suruh datang ke rumah, Gas. Ibu minta bantuan dia buat urus pesta ulang tahun Ibu.”

“Uumm..” Bagas mengangguk-angguk, ia sudah tau mengenai pesta itu.

“Kok gitu doang?”

Bagas menghela nafasnya pelan, “ya, Bagas harus apa, Buk?”

“Ck!” Ibu berdecak, suasana hatinya berubah karena respon dari putra sulungnya itu. “Besok kan, weekend Ibu mau minta tolong sama kamu buat nemenin Asri.”

“Buk... Besok Bagas ada janji.”

“Janji sama siapa sih? Ibu kan baru kali ini minta tolong kamu, Bagas.”

“Iya, Buk. Bagas tau tapi kan—”

“Ehm.. Tante, gapapa. Mungkin janji yang di bikin Bagas gak bisa di cancel Asri gak masalah kok kalo harus pesan kue sendiri.” Asri kembali menengahi, tidak enak Bagas jadi berdebat dengan Ibunya hanya perkara tidak ingin mengatarnya.

“Enggak, Bagas tetap harus nemenin kamu, Sri. Itu jauh loh.”

Bagas menghela nafasnya pelan, “yaudah, Bagas temenin, jam berapa ke toko kue nya?”

“Jam 10 pagi, Gas. Kalo kamu gak bisa gapapa aku bisa pergi sendiri—”

“Gapapa-gapapa, gue temenin aja ya, tapi gue gak bisa lama-lama.” besok Bagas sudah janji dengan Kirana akan mengantar wanitanya itu untuk kembali konsul kedua dengan psikiaternya. Mungkin setelah mengantar Asri, Bagas bisa langsung menemani Kirana.

“Iya, gapapa.”

Di sisi lain, sang Ibu tersenyum. Rencana nya untuk membuat Asri dan Bagas dekat berhasil, Ibu dan Ayahnya Bagas hanya bisa berharap Bagas akan jatuh cinta dengan Asri karena sering sekali bersama.

Bersambung...