Bab 17. Tak Sepadan
Hingga pagi pun Bagas belum berbicara dengan Ibu nya, sarapan pagi di meja makan hari itu pun rasanya sangat dingin tanpa obrolan. Hanya Kanes saja terkadang yang berceloteh tentang kehidupan di kampus nya itu, Sesekali Bagas menimpali dengan anggukan atau bahkan menanggapi seperlunya saja.
Bagas tahu Adiknya itu ingin mencairkan suasana, namun sayangnya suasana hati Bagas urung membaik jika Kirana tak juga mengangkat panggilan darinya. Setelah pertengkaran kemarin, suasana pesta pun jadi tidak nyaman. banyak tamu-tamu bertanya apa yang terjadi pada Ibunya Bagas dan juga Bagas sampai harus adu mulut seperti itu.
Ayah tentu saja marah bukan main, bahkan tak segan-segan pria yang sangat Bagas hormati itu menampar sisi wajah Bagas demi menyadarkan putranya jika sikapnya itu sudah keterlaluan.
“Setelah pulang kantor, Ayah harap kamu segera pulang, Bagas,” ucap Ayah memecahkan hening ketika Kanes kembali fokus pada makananya itu.
“Bagas masih harus memantau proyek di daerah Tanggerang, Yah.” Ini hanya alibi Bagas saja, tak ada proyek yang harus ia pantau karna proyek yang ia pegang pun berada di Surabaya.
“Izin saja dulu, Ayah sudah buat janji dengan kedua orang tua Asri untuk membicarakan pertunangan kalian.”
Bagas menghela nafasnya, memejamkan keduanya matanya untuk menahan segala amarah yang sepertinya sebentar lagi akan segera membucah itu. Apa penjelasannya mengenai penolakan perjodohan itu kurang jelas di telinga orang tua nya?
“Apa Ayah dan Ibu enggak bisa membiarkan Bagas tetap pada pilihan Bagas?” Tanya Bagas pada kedua orang tua nya itu, ia abaikan saja tendangan kecil yang berasal dari kaki Kanes di bawah meja sana. Adiknya itu seperti memberi kode padanya untuk tidak berdebat di meja makan, apalagi ini masih pagi.
“Ayah dan Ibu tidak akan menentang pilihan kamu jika pilihan kamu itu baik untukmu, Bagas.”
“Yang tahu baik dan enggaknya itu Bagas, Yah. Apa Ayah dan Ibu mau bertanggung jawab kalau kalian tetap memaksa Bagas menikah dengan Asri, kehidupan pernikahan Bagas dan Asri enggak bahagia?” tanya Bagas tegas, menurutnya memaksakan kehendak kelak tidak akan mendatangkan bahagia untuk ia maupun Asri. Asri wanita baik, dan ia layak mendapatkan pria yang juga mencintainya.
“Apa kalau kamu bersama perempuan itu kamu sudah pasti bahagia? Bagaimana kalau kamu cuma di jadikan sapi perah, Bagas?” Ibu membalikan ucapan Bagas itu.
“Itu kan cuma asumsi Ibu aja.”
“Menilai perempuan itu dan keluarganya baik juga cuma asumsimu saja, bagaimana kalau selama ini mereka cuma pura-pura baik agar kamu mau menikahi anaknya?”
Bagas berdiri, ia sudah cukup sabar mendengar kedua orang tua nya selalu memaksakan kehendak mereka. Bagas tidak tahan, ia hanya ingin bersama Kirana. Bukan di paksa menikah dengan wanita yang tidak ia cintai. Menikah itu selamanya, jika bukan dengan orang yang ia sayang Bagas tidak yakin ia bisa bahagia. Ia juga tidak ingin menyakiti Asri jika ia tidak bisa membahagiakannya karena tidak ada cinta yang tumbuh untuk wanita itu.
“Perempuan itu punya nama, Buk. Kalau Ibu dan Ayah tetap tidak merestui Bagas dan Kirana untuk menikah. Bagas sudah siap untuk meninggalkan keluarga ini,” ucap Bagas penuh penekanan. Ia sudah naik pitam, tidak menghiraukan ucapan Ibunya lagi. ia ambil tas kerjanya dan melangkah dengan cepat keluar dari rumah.
Begitu sampai di kantor barulah hati Bagas sedikit lega ketika melihat Kirana tengah mengobrol dengan Almira, sepertinya suasana hati wanita itu sudah sedikit membaik atau ini hanya cara Kirana untuk tetap profesional saja? Pikir Bagas. Begitu melihat Bagas datang, Kirana tersenyum seperti seolah-olah tidak terjadi apapun di antara mereka kemarin.
“Kamu bawa apa?” tanya Bagas, ia menghampiri meja Kirana.
“Martabak telur sisa semalam, kamu mau?” Kirana membuka kotak bekal miliknya dan memberikannya ke Bagas.
Terlihat ada beberapa potong martabak telur yang tebal dengan isi daging yang beberapa keluar dari kulit martabaknya, ada cabai rawit dan acar ketimun di atasnya juga. Terlihat menggoda walau Bagas belum memiliki selera makan sejak perdebatan tadi pagi.
“Nanti aja, aku udah sarapan.” Bagas tersenyum. “Ikut aku sebentar yuk?”
“Kemana?” Kirana sedikit mendongak, posisinya ia duduk di kursi dan Bagas berdiri. Bagas itu tinggi, tingginya bahkan menyentuh 181cm sangat tinggi untuk ukuran orang Indonesia.
“Ihhhh Mas Bagas, gak bisa. Gue mau minta bantuin Mbak Kirana buat cek laporan gue. Nanti aja pas jam istirahat sih, lagian dikit lagi Pak Raga dateng. Dia lagi ngomel-ngomel tau di grup gara-gara Bang Satya gak setoran progress proyeknya,” sela Almira memperingati.
“Nanti aja yah, aku mau bantuin Almira dulu.” Kirana tersenyum, ia mengambil tangan Bagas dan mengusap punggung tangan itu dengan Ibu jarinya. Berkomunikasi dengan sentuhan itu seakan ia mengatakan jika ia sudah baik-baik saja.
Bagas mengangguk, ia mengusap pucuk kepala Kirana dan kembali ke kursinya. Mungkin setelah pulang bekerja nanti ia harus meminta bantuan Satya untuk di carikan kontrakan, kosan atau apartemen sekalian untuknya tinggal.
Keputusannya untuk meninggalkan rumah dan keluarganya itu sudah mantap. Ia adalah pria dewasa berusia 27 tahun, dan Bagas tidak ingin hidupnya terus di setir oleh kedua orang tua nya. Apalagi ini menyangkut masa depannya.
Bagi Bagas, menunggu hingga jam makan siang tiba rasanya sangat lama. Ia ingin sekali cepat-cepat mengajak Kirana ke atap kantor mereka untuk berbicara sekaligus meluruskan kekacauan kemarin. Pria itu melirik Kirana yang masih fokus pada layar monitor komputernya.
Bagas benar-benar tidak bisa fokus bekerja hari ini rasanya. Namun tidak bekerja pun dia bingung harus kemana, yang ada nanti semuanya tambah kacau. Mengingat ia sudah pernah mendapatkan teguran karena absen terlalu banyak di kantor ketika Kirana sedang kritis beberapa waktu lalu. Tak lama kemudian Raga keluar dari ruangannya, seperti sedang menelfon seseorang namun tak lama kemudian pria itu menyimpan kembali ponselnya di saku.
“Bagas, progress minggu ini bagaimana?” Tanya Raga yang membuat Bagas terkesiap. Ia buru-buru membuka laman mengenai progress proyek yang ada di layar monitor PC nya.
“Agak jauh dari rencana, Pak. Mereka kekurangan personel,” jelas Bagas agak sedikit gagap. Siapa yang enggak kaget di tanya seperti itu saat sedang melamun?
“Sudah buat berita acara untuk menambah personel ke kontraktor?”
Bagas mengerjap, ia baru ingat kalau belum membuat berita acara yang seharusnya ia segera serahkan ke kontraktor agar sesegara mungkin menambah personel demi mempercepat proses pembangunan. Salahnya sendiri, akhir-akhir ini Bagas memang tidak fokus bekerja. Ia pun meruntuki kebodohannya sendiri.
“Saya akan buat, Pak.”
“Kenapa baru di buat sekarang?” Tanya Raga tegas, membuat Satya, Almira dan Kirana pun saling lirik satu sama lain.
Raga memang tegas meski terbilang santai sebagai seorang atasan, ia tidak akan segan menegur bawahannya langsung jika memang salah. Dan ketegasan itu terdengar dari bagaimana ia bicara.
“Maaf, Pak.”
“Saya tanya kenapa, bukan menyuruh kamu minta maaf, Bagas.” Raga memijat pelipisnya, akhir-akhir ini urusan kantor membuat kepalanya sedikit pening. “Oke, untuk urusan interior bagaimana? Sudah berapa persen?”
“Dua puluh persen, Pak. Saya baru saja insert beberapa gambar ke laporan.”
Raga mengangguk, “oke, apapun yang kamu butuhkan minta ke Satya langsung ya, jangan masukan apapun yang enggak mereka minta, begitu juga sebaliknya.”
“Baik, Pak.”
Begitu Raga masuk kembali ke ruangannya Satya langsung memberi kode pada Bagas hingga mata keduanya bertemu. Wajah Bagas benar-benar kusut saat ini.
“Gimana sih lu,” bisik Satya walau masih bisa terdengar oleh Kirana dan Almira disana.
Bagas hanya diam saja sembari menghela nafasnya pelan, begitu jam makan siang ia langsung mengajak Kirana untuk berbicara di atap kantor. Kebetulan Kirana juga membawa bekal makan siang, jadi mereka bisa makan siang di atap saja ketimbang keluar dari kantor. Baru saja akan menekan lift menuju atap, keduanya berpapasan dengan Raga yang juga ingin keluar makan siang.
“Kirana, setelah makan siang. Kamu bisa ikut saya?” Tanya Raga, membuat Bagas yang berada di samping Kirana itu melirik kekasihnya.
“Kemana, Pak?”
“Kita mengawasi pekerja pelat untuk proyek di Tanggerang, bisa?”
Mau tidak mau Kirana mengangguk, toh ini memang pekerjaanya. Siapa yang bisa menolak? Pikirnya. “Bisa, Pak.”
“Oke, saya tunggu jam 1 ya.”
“Baik, Pak.”
Setelah mengatakan hal itu, Raga langsung berlalu dari sana dengan menepuk pundak Bagas. Keduanya pun langsung masuk ke dalam lift untuk menuju lantai paling atas gedung perkantoran mereka.
“Jangan lupa pakai APD nanti ya,” Bagas memperingati Kirana untuk setiap hal-hal kecil. Meski ia sendiri yakin kalau Kirana pasti sudah tau.
Wanita itu mengangguk kecil, begitu lift terbuka keduanya langsung berjalan menuju atap kantor. Untung saja tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak magang saja yang ada di sana. Itu pun sedang menelfon dan berada cukup jauh dari tempat mereka duduk.
“Kamu masih marah sama aku yah, Na?” Tanya Bagas to the point.
Kirana bingung harus menjawab apa, Bagas enggak salah sebenarnya. Yang salah hanya kedua orang tua nya, Kirana masih bisa sedikit memaklumi kenapa Bagas belum cerita atau bahkan enggak ingin cerita ke Kirana soal perjodohan itu.
“Kamu gak salah apa-apa kan, kenapa aku harus marah? Justru aku yang harusnya tanya, kamu sama Ibumu gimana?” semalaman sebelum tidur Kirana sempat memikirkan hubungan Bagas dengan Ibu nya, Bagas sangat membela Kirana di depan Ibu nya bahkan sampai menaikan nada bicaranya. Kirana jadi enggak enak, dia gak mau Bagas jadi pembangkang hanya demi membela nya.
Bagas menggeleng, “belum membaik. Na, soal aku dan Asri.”
Kedua mata mereka saling pertemu, hati Kirana seperti di remas dari dalam waktu Bagas menyebutkan nama wanita itu rasanya. Kirana masih ingat wajah Asri, wanita itu baik, cantik dan tentunya memiliki selera yang bagus hingga di sukai oleh kedua orang tua Bagas.
“Asri memang teman SMP aku, Na. Aku sendiri enggak tahu kalau aku di jodohin sama dia, bahkan Asri sendiri pun gak tau. Tiba-tiba aja dia ke rumah aku sama Papa nya dan orang tua kami ngomongin perjodohan, aku gak diam aja, Na. Aku jelasin ke Asri dan orang tua nya kalau aku punya kamu.”
Bagas menoleh ke arah Kirana, wanita itu sudah tidak lagi memakan bekal makan siangnya. Ia hanya memperhatikan gedung-gedung tinggi di depan mereka sembari menyimak ucapan Bagas di sebelahnya.
“Apa kalau kejadian kemarin gak ada, kamu tetap bakalan rahasian ini dari aku, Gas?” Kirana menoleh ke arah pria itu, mereka saling pandang. Menelisik netra masing-masing seperti tengah mencari jawaban.
“Aku gak ada niatan rahasiain ini sama kamu, aku cuma gak mau kalau aku cerita itu bakalan nyakitin kamu, Na. Mungkin memang keputusan yang aku ambil ini salah, aku minta maaf ya.”
Mata Kirana mulai memanas, mata teduh milik Bagas itu selalu menjadi tempat terlamahnya, menjadi titik dimana Kirana bisa menangis hanya dengan melihat kedua netra legam dan teduh itu. Kirana menangis, ia bingung harus bagaimana. Ia sangat mencintai Bagas sampai enggak tahu bagaimana jadinya jika mereka tidak berakhir bersama.
Sudah banyak hari, bulan dan tahun yang mereka lalui bersama. Suka dan duka mereka lalui berdua bahkan semua susunan rencana masa depan mereka sudah mereka tata sedemikian rupa, lalu untuk apa mereka menghabiskan waktu selama itu jika semesta tidak membiarkannya bersama?
“Sayang..” Bagas membawa Kirana ke dalam pelukannya, hatinya juga sakit. Ia juga bingung, anggaplah ia egois. Bagas akan memilih Kirana dan meninggalkan keluarganya. Tidak masalah tidak memiliki keluarga, toh pada nantinya ia akan membangun keluarga bersama Kirana.
“Aku bingung harus gimana, Gas. Aku gak mau kamu jadi pembangkang, aku mau tetap sama kamu, tapi aku ngerasa aku gak sanggup sama cara keluarga kamu memperlakukan aku, aku gak seburuk yang mereka pikirkan. Gak ada sedikitpun niat aku buat manfaatin kamu untuk beresin hutang-hutang Bapakku.”
Dalam isaknya di pelukan Bagas, Kirana berusaha menjelaskan pada pria itu apa yang ia rasakan, termasuk tentang tuduhan kedua orang tua Bagas ia tidak ingin Bagas juga memikirkan hal yang sama tentangnya.
“iya, Na. Iya, aku yang lebih kenal kamu, aku gak pernah mikir macam-macam tentang kamu.” Bagas mengecupi kepala Kirana, berharap tangis wanitanya itu reda.
Setelah di rasa hatinya sudah sedikit lega dan tangis nya pun sudah mereda, Kirana mengurai pelukan Bagas. Ia juga membiarkan Bagas mengusap wajah dan bagian bawah matanya yang basah karena air matanya itu.
“Jangan nangis lagi ya, maafin kedua orang tuaku ya, Na. Apapun yang mereka bilang, aku tetap di pihak kamu. Kamu masih mau bertahan sama hubungan kita kan?”
Kirana mengangguk, tentu saja Kirana belum ingin menyerah.
“Dengan ataupun tanpa restu dari kedua orang tua aku, aku akan tetap menikah sama kamu, Na.”
Mendengar ucapan Bagas itu, Kirana jadi kembali terisak. Bagas selalu berada di pihaknya, menjadi sumber kekuatannya selain Ibu. Bahkan pria itu tetap membela nya dan berada di pihaknya meski ia harus menentang keluarganya sendiri. Kirana bingung, ia gamang pada pilihannya. ia tidak ingin membuat Bagas jauh dari keluarganya tapi ia juga tidak akan pernah siap kehilangan laki-laki itu.
Setelah berbicara dengan Bagas di atap kantor, Kirana langsung pergi keluar kantor untuk memantau proyek yang berada di Tanggerang bersama dengan Raga. Hanya berdua saja memang dan itu sudah menjadi hal yang biasa, di perjalanan pun Raga enggak banyak bicara seperti kemarin-kemarin dengan Kirana.
Walau kadang Kirana berusaha mencari topik obrolan, sepertinya suasana hati Raga memang kurang baik. Urusan kantor memang sedang hectic beberapa proyek juga mengalami proses yang terlambat karena kekurangan personel, membuat Raga pastinya mendapatkan tekanan dari atasannya di kantor.
Begitu sampai, keduanya langsung memakai APD. Raga berpamitan pada Kirana untuk berbicara sebentar pada inspektor lapangan proyek tersebut sedangkan Kirana memantau proses pengecoran yang di lakukan di lantai 3.
“Pak Asepnya mana, Mbak?” Tanya seorang mandor yang bertugas.
“Lagi ngobrol sama Pak Raga di bawah, Pak.”
Mandor itu mengangguk, sementara Kirana masih memantau proses pengecoran sembari melihat gambar yang di pegangnya dan menandai beberapa lokasi yang di lakukan pengecoran hari ini.
“Hasilbatching plant nya oke.” Kirana benar-benar puas dengan pekerjaan yang di lakukan para pekerja disana.
“Agak mahal, Mbak. Atas permintaan team leader, Mbak. Loh, kemarin Bapak ke sini marah-marah minta di ganti batching plant.“
Kirana tersenyum, sudah terbiasa mendengar orang-orang lapangan berbicara seperti itu mengenai Raga. Pria itu memang tegas, jika ada yang tidak sesuai menurutnya ia tidak akan segan-segan berkomentar pedas. Setelah selesai mengawas pun, Raga langsung mengajak Kirana kembali ke kantor.
“Saya mau beli kopi dulu, Na. Kamu mau?” Raga menghentikan mobil yang ia kemudikan itu di sebuah cofe shop.
“Gak usah, Pak.” Kirana emang jarang
“Tunggu disini sebentar ya.” Raga melepas seatbelt miliknya kemudian keluar dari dalam mobil.
Di dalam mobil Kirana hanya memperhatiakan Raga dari dalam, bagaimana punggung pria itu menjauh dan hilang di balik pintu cofe shop. Ia jadi teringat mimpinya semalam, sebenarnya ada yang ingin Kirana katakan pada Raga mengenai mimpinya, tentang teka teki yang seperti benang merah kenapa mereka bisa bermimpi hal yang sama.
Dalam mimpi Kirana, Jayden dan Ayu berjanji akan terlahir kembali jika di kehidupan mereka dahulu mereka benar-benar tidak bisa bersama. Jika ia dan Raga adalah reinkarnasi dari keduanya, apa itu artinya ia dan Raga akan bersama sebagaimana janji Jayden dan Ayu dahulu? Pikir Kirana.
Wanita itu mengerjapkan matanya, menghalau pikiran anehnya itu. Ia harus sadar jika ia sudah memiliki Bagas, lagi pula itu hanya asumsi nya saja, bisa saja bukan itu arti dari mimpinya dan Raga kan? Pikir Kirana berusaha meyakinkan dirinya.
“Maaf ya, Na. Lama antre banget soalnya di dalam.” Raga kembali, membawa kopi miliknya dan kantung berisi makanan ringan. Mungkin itu roti atau pastry karna wangi sekali butter nya.
“Gapapa, Pak.”
Raga enggak langsung melajukan mobilnya, ia justru memperhatikan kepulan asap dari kopi yang baru saja ia beli. Hati-hati Kirana melirik atasannya itu, Raga seperti tampak sedang melamun. Entah apa yang pria itu pikirkan, Kirana hanya bisa menebak mungkin ada sesuatu yang ingin Raga tanyakan padanya namun ia sungkan?
“Pak?” panggil Kirana memecahkan lamunan pria yang lebih tua itu.
“Eh—sorry saya ngalamun.” Raga menaruh gelas kopi miliknya, kemudian menoleh ke arah Kirana. “Mim..mimpi kamu semalam bagaimana, Na?”
tuh kan benar dugaanya..
“Ayu dan.. Dimas sudah menikah, Pak.”
Raga mengangguk-angguk, “Jayden meminta bantuan Adi untuk membawa Ayu?”
Kali ini Kirana yang mengangguk, “Bapak tau kan janji yang mereka buat?”
Raga terdiam, ia menghela nafasnya pelan kemudian mengangguk kecil. “Kamu kepikiran soal jawaban dari mimpi kita itu adalah janji mereka, Na?”
Pertanyaan sederhana itu membuat bibir Kirana terasa kaku, Raga seperti bisa membaca pikirannya. Atau Raga juga berpikiran hal yang sama dengannya?
“Sejujurnya iya, Pak. Tapi kita masih harus nunggu kelanjutanya saya pikir, karna rasanya semua masih menggantung.”
“Saya pikir juga begitu.”
Bersambung...