Bab 18. Melati Untuk Ayu

Kau mengalir dari setiap tetes darahku, mengarungi rongga-rongga jantungku. Aku tidak pernah mengizinkanmu kapan kamu boleh pergi, dan jangan sekali-sekalinya bertanya seperti itu. Jangan seenaknya melupakan kisah kita dan janji yang kita buat, sampai akhir tulisan ini. Kamu yang akan tetap aku inginkan, kamu yang tetap bertanggung jawab atas setiap air mataku.

begini lah aku jadinya, di tinggal kau aku merangkak, mendengar bising kutukan yang di tujukan padaku. Aku dengan pasrah membiarkanmu pergi, tanpa pernah menahanmu untuk melihat apa yang aku buat, sesuatu yang indah yang sangat kau sukai. Biar aku yang tetap memeliharanya hingga jadi rangka.

Referensi: Tak Sepadan, Chairil Anwar

Samarang, 1898.

Malam di malam pernikahan Dimas dan Ayu.

Setelah berpisah dengan Jayden, Adi kembali mengantar Ayu kembali ke acara pernikahannya. Mereka hanya bertemu kira-kira sepuluh menit, Adi tidak bisa lama-lama membawa Ayu pergi sebelum keluarga Ayu sadar jika mempelai wanitanya tidak berada di tempat.

Ayu masih berada di belakang punggung Adi, wanita itu terlalu lemas untuk sedikit berlari apalagi melewati kebun-kebun yang luas dan gelap di malam hari. Dari punggung Adi, Ayu bisa merasakan deru nafas pria itu yang tampak kelelahan berlari sembari membawanya di punggung.

“Mas Adi?” Panggil Ayu sayup-sayup.

dalem Raden Ayu?”

Adi masih terus berjalan, tapi ia pasang telinganya itu baik-baik agar bisa mendengar ucapan Ayu dari suaranya yang halus itu.

“Kalau nanti Ayu sudah tinggal di Soerabaja, Mas Adi belajar dengan siapa?”

Adi tersenyum miris, di saat-saat seperti ini Ayu masih memikirkan dirinya. Selama ini memang Ayu yang mengajarinya membaca, menulis dan berbahasa Belanda, berhitung apapun yang Ayu dapatkan di sekolahnya akan ia ajarkan pada Adi. Waktu itu Adi pernah bertanya kenapa Ayu mau mengajarinya, wanita itu hanya menjawab jika ia ingin sekali menjadi seorang guru.

“Saya kan sudah bisa membaca, Raden Ayu tidak perlu khawatirkan saya lagi.” Yang terkadang Adi pikirkan saat ini adalah kebahagiaan Ayu, hanya itu saja.

Sebut Adi pecundang atau umpatan lainnya karena dengan beraninya menyukai anak dari majikannya sendiri. Baru-baru ini setelah mengetahui Ayu akan menikah, Adi menyadari kalau ia sangat mencintai Ayu. Adi tentu saja sangat tahu diri dengan posisinya saat ini yang hanyalah pembantu di kebun orang tua Ayu. Maka dari itu, Adi baru bisa bernafas lega dan merasa tenang jika Ayu menikah dengan Jayden.

Meski pria itu adalah pria Belanda, Adi sangat yakin jika Jayden benar-benar mencintai Ayu. Pria itu juga ramah, dan Ayu pun juga mencintai pria itu. Namun sayangnya Ayu justru di jodohkan dengan kedua orang tua nya oleh bangsawan pribumi dari Soerabaja, pria pribumi yang angkuh itu, Adi tidak menyukainya.

“Kalau Ayu kembali ke Samarang nanti, Ayu akan ajarkan Mas Adi lagi ya.”

Adi tidak menjawab, ia bungkam untuk menahan tangisnya yang nyaris saja meledak. Ia percepat langkah kakinya itu untuk sampai, begitu sampai benar saja keluarga Ayu dan juga pria yang menikahinya itu langsung menyoroti Adi. Ada Bapak dan Ibu nya juga yang bersimpuh di tanah, seperti sedang di maki.

“Oh.. Jadi jongos ini yang membawa Istriku pergi?” Teriak Dimas begitu Adi tiba.

Ayu yang berada di punggung Adi itu sedikit bergerak, ia minta untuk segera di turunkan. Dimas tampak begitu marah, Ayu tidak ingin Adi menjadi sasaran kemarahannya atau pun dari pihak keluarganya.

“Mas Adi.. Tidak membawa—”

“DIAM!” teriak Dimas pada Ayu, Ayu tentu saja kaget. Tubuhnya itu sampai bergetar saking kagetnya, meski pun Romo sudah terbiasa bicara dengan nada tinggi tiap kali marah, Ayu tetap saja tidak terbiasa dengan hal itu.

“Maafkan saya Tuan, saya tidak bermaksud untuk membawa Raden Ayu pergi saya hanya—”

“Kau bawa kemana dia?” Dimas mendekat, menelisik wajah Adi dari dekat. Seperti tengah mengintimidasi sosok pria tak berdaya di depannya itu. “Kau bawa dia pada pria Belanda itu?”

Ayu menggeleng, ia berjalan mendekat pada Dimas dan menarik pelan lengan pria yang sudah menjadi Suaminya itu. “Mas, sudah. Ini bukan salah Mas Adi.”

“Aku tidak sedang bertanya denganmu Ayu. Atau kau juga menyukai jongos ini iya?”

“Mas..”

Ayu heran dari sekian banyaknya keluarganya dan keluarga Dimas disana, kenapa tidak ada yang coba untuk melerai Dimas yang sepertinya sangat marah itu. Bahkan saat Ayu melirik Ibunya itu, wanita itu hanya terdiam sembari menggelengkan kepalanya. Seperti mencegah Ayu untuk melerai.

“Ikut aku!” sentak Dimas, ia menyeret Adi menjauh dari pesta pernikahan itu dan Adi hanya pasrah saja.

Sementara itu, Ayu yang tadinya ingin mengikuti dua pria itu justru di tahan oleh Ibu mertuanya. Ayu sudah menangis, ia tidak ingin Adi di apa-apakan oleh Dimas. Karena sepertinya Dimas benar-benar marah.

“Tolong tahan Mas Dimas, Buk. Dia marah sekali Ayu mohon..”

“Dimas marah, karena kamu pergi tiba-tiba dengan pria lain Ayu.”

Ayu terdiam, ia memperhatikan wajah Ibu mertuanya itu. Sungguh Ayu tidak mengerti keluarga itu seperti apa, katakan jika ia memanglah salah. Tapi apa pantas Dimas berbuat arogan seperti itu di depan keluarga dan tamu-tamu mereka.

Sementara itu, Dimas membawa Adi ke kebun yang berada di samping rumah Ayu itu. Begitu tiba di sana, ia langsung menghajar Adi dengan membabi butanya, padahal Adi hanya diam menerima setiap pukulan bahkan tendangan yang pria itu berikan padanya.

Dalam sakit dan hujaman yang ia dapatkan dari Dimas, Adi bisa menilai jika pria yang dinikahi Ayu itu bukanlah pria baik. Dimas kasar dan tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.

“BAJINGAN!! Pria tidak tahu diri!”

nguwun pangapunten, Tuan. Ampuni saya,” lirih Adi.

BUGH

Pada tendangan sekali lagi di wajah Adi hingga mengenai telinganya, ia benar-benar kehilangan kesadarannya. Dan Dimas sama sekali tidak merasa panik ataupun merasa bersalah. Ia justru meninggalkan Adi begitu saja di sana, berjalan santai ke pesta pernikahannya itu.

Dimas menghampiri Ayu yang masih terduduk lemas di kursi pengantin mereka, matanya sendu dan ada bekas genangan air mata di sana. Namun Dimas justru beringsut duduk di sebelah wanitanya, merangkul pinggang Ayu untuk semakin dekat dengannya.

“Kamu apakan Mas Adi, Mas?” Ucap Ayu lirih.

“Aku bisa saja membunuhnya Ayu jika aku mau, aku hanya memberinya sedikit pelajaran karena telah lancang membawa Istriku ini pergi.”

Ayu menatap kedua netra pria pribuminya itu, bukan tatapan teduh seperti yang ia lihat pada netra milik Jayden. Justru tatapan itu tampak mengerikan dengan seringaian di ujung bibirnya.


Sudah sekitar tiga hari ini Jayden sakit, kulitnya yang sudah pucat itu semakin memucat, badannya demam. Ia meriang, malam nya pun tak pernah tenang seperti malam-malam sebelumnya. Tiada henti bibirnya bergerak mengucap nama Ayu di sana, memanggil wanita itu dan menyuruhnya untuk kembali. Sudah dua dokter yang menangani Jayden namun pria itu tak kunjung sembuh juga.

Bahkan Roosevelt pun kebingungan sendiri, ia lelah dengan sakit yang di derita Adiknya itu. Ada kalanya ia mengajak Jayden untuk meninggalkan Samarang dan mencari dokter yang lebih baik di Batavia, atau mereka kembali ke Belanda saja namun Jayden bersikeras menolak. Ia tidak ingin meninggalkan Samarang.

Pagi itu Jacob kembali ke kediaman Jayden, ia masih sering bolak balik untuk merawat melati-melati yang ada di kebun milik Jayden. Melati-melati itu sudah tumbuh dengan begitu suburnya karena di tanam dari benih yang bagus.

“Belum membaik kah kesehatan meneer?” Jacob bertanya pada Roosevelt yang baru saja keluar dari kamar Jayden.

“Makin memburuk ku rasa, kau kenal wanita yang di kencaninya?” Roosevelt pikir ia ingin menemui Ayu, menyuruh wanita pribumi itu untuk setidaknya menjenguk Jayden. Mungkin saja sakitnya itu karena Jayden benar-benar merindukan Ayu.

Jacob menggeleng, “meneer Jayden tidak pernah bercerita siapa wanita yang ia kencani dengan saya.”

Verdomme¹” Roosevelt memijat pelipisnya. “Kau mungkin bisa berbicara dan membujuknya agar bisa memberitahu siapa wanita yang ia kencani, Jacob?”

“Biar saya coba.”

Jacob membungkuk dengan sopan dan kemudian masuk ke kamar asisten residen itu, di dalam kamarnya Jayden sedang terbaring lemah. Tubuh jangkungnya itu terlihat sedikit lebih kurus dari yang terakhir Jacob lihat, sungguh merana pria itu. Entah apa yang terjadi pada hubungannya dengan Ayu sampai membuat Jayden yang tangguh itu menjadi seperti ini.

“Jacob..” Sapa Jayden, ia tersenyum lemah begitu mendapati pria Indo itu yang mengurus kebun melatinya.

“Bagaimana kabarmu, meener?

“Tidak begitu baik, bagaimana dengan kabar kebunku? Apakah melatinya tumbuh dengan subur?” Jayden belum sempat membawa Ayu untuk melihat kebun melati miliknya, karena waktu itu melati-melati itu belum mekar. Dan ketika melati itu bermekaran, justru Ayu lah yang pergi meninggalkan Samarang.

“Kebun melatimu aman di tanganku, meneer. lebih baik kau pikirkan kesehatanmu dahulu.”

Jayden mengangguk kecil, “boleh aku minta bantuanmu sekali lagi, Jacob?”

“Apa?”

“Jika melati-melati itu sudah bermekaran dan siap panen, tolong rangkaikan melati-melatiku menjadi hiasan rambut yang cantik. Dan kirimkan itu ke Soerabaja bersama sajak-sajak yang aku tulis.”

“Untuk kekasihmu, meneer?

Jayden tidak menjawab, ia hanya tersenyum lemah. Masih bisakah ia menyebut Ayu sebagai kekasihnya di saat Ayu kini sudah menjadi istri dari pria lain?


Tepat satu bulan Ayu meninggalkan Samarang, Jayden sudah mulai pulih dari sakitnya. Meski tidak bisa di pungkiri jika di malam-malamnya ia masih sering memikirkan wanita itu, sajak-sajak yang ia kirimkan pada Ayu tak ada balasan. Meskipun begitu, tumbuhnya melati-mati yang begitu subur di kebun miliknya itu menjadi sumber pelipur lara nya.

Melihat bunga berwarna putih dan berwangi menyegarkan itu membuat perasaanya lebih baik, meski tidak bisa ia tepis bunga itu juga mengingatkannya pada Ayu. Bahkan, beberapa bunga ia suruh Jacob mengekstraknya untuk di jadikan wewangian di kamarnya, sebagian ia berikan juga pada residen dan jajaran pegawai di kantor keresidenanya.

Sore itu selepas dengan pekerjaanya, Jayden menyuruh kusirnya itu untuk mengantarnya ke kebun tempat Adi bekerja. Ada yang ingin ia katakan pada Adi, mungkin juga itu sebagai permintaan tolong yang terakhir kalinya pada pria pribumi malang itu.

Dokar pribadi miliknya itu berhenti di sebuah kebun milik orang tua Ayu yang Adi rawat, kebun nya begitu luas di tanami pohon cabai dan juga jagung dan itu semua Adi dan Bapaknya yang mengurus.

“Permisi, Pak. Adi ten pundi?” tanya Jayden sopan pada Bapak-Bapak tua di sana yang tengah memberikan pupuk pada tanaman-tanaman itu.

Bapak tua itu tertunduk, Jayden hanya mengira Bapak tua itu mengira nya adalah pria Belanda yang jahat. Terlihat dari gestur tubuhnya yang merasa terintimidasi oleh kehadiran Jayden di sana. Jayden membacanya sebagai trauma, tidak satu dua pribumi yang mengalami perlakuan buruk oleh tentara kolonial hingga mengalami trauma.

“Biar saya panggilkan dulu, meneer.” Bapak itu sedikit berjalan cepat, sementara Jayden menunggu di tempatnya.

Tak lama kemudian Adi datang, pria pribumi yang terakhir ia lihat satu bulan lalu saat pernikahan Ayu itu nampak berbeda. Wajah Adi pucat, tubuhnya sedikit kurus. Bahkan Jayden sendiri sampai kaget melihat perubahan pada Adi.

“Adi?” Gumam Jayden.

Pria itu bergeming, namun kepalanya mengangguk. Jayden lantas membawanya untuk masuk ke dalam dokar pribadi miliknya, lebih baik mereka bicara di dalam dokar itu saja.

“Ada apa denganmu, Di?” Tanya Jayden, sungguh miris melihat Adi dalam kondisi memprihatinkan seperti ini.

Nguwun pangapunten, Sir Jayden. telinga saya tidak bisa mendengar lagi, lebih baik Sir Jayden tulis saja jika ingin berbicara dengan saya, saya bisa membacanya,” ucap Adi sopan.

Bahkan jawaban dari Adi membuat kedua bola mata Jayden itu membulat, jadi Adi tidak bisa mendengar lagi? Apa yang membuat Adi tidak bisa mendengar lagi? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Jayden mengambil kertas yang ada di dalam tas nya, menuliskan sesuatu dengan pena di sana dan memberikannya pada Adi.

“Kebun melati?” Gumam Adi, di kertas yang Jayden tulis pria itu mengatakan. Jika Ayu kembali ke Samarang, Jayden meminta tolong pada Adi untuk memberi tahu tentang kebun melati yang Jayden buatkan untuk wanita itu.

Jayden mengangguk kecil, ia kemudian menuliskan sesuatu lagi di kertas itu. Ia memberi tata letak kebun melati di kediamannya pada Adi, Adi pernah berkunjung ke kediaman Jayden saat kedua orang tua Ayu menyuruhnya memberikan surat berisi penolakan pinanganya pada Ayu untuknya. Jadi Adi pasti sudah sedikit paham, tidak sulit menemukan kebun melati itu.

“Sir Jayden, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Jayden menjawab pertanyaan Adi itu dengan kembali menuliskan pada kertas yang berada di pangkuannya. Jayden menulis, “ingin bertanya apa?

“Apa alasan Sir Jayden membuat kebun melati itu untuk Raden Ayu? Apa karena ia sangat menyukai melati?”

Jayden tersenyum, senyum hangat namun tersirat kemirisan di sana. Karena pada dasarnya ia membuat kebun itu memang karena Ayu yang sangat menyukai bunga melati, selain itu kebun itu juga ia hadiahkan untuk Ayu sebagai hadiah pernikahan mereka nantinya. Namun sayang, semesta tidak merestui mereka untuk bersama.

Membaca alasan yang Jayden tulis, Adi merasa ikut sedih melihat kisah cinta pasangan itu. Hatinya pun sampai saat ini tidaklah tenang jika memikirkan Ayu, setiap malam atau setiap ia beristirahat di kebun. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana kabar Ayu, apakah Soerabaja membuatnya nyaman? Apa Suaminya itu berlaku baik padanya?

Jayden kemudian kembali menulis pertanyaan yang harus di jawab oleh Adi, namun Adi hanya membacanya dan menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

Jayden bertanya, “kenapa kamu bisa seperti ini, Adi? Siapa yang melakukan ini padamu?”

Verdomme¹ : sialan

Bersambung...