Bab 19. Kebun Melati

“Kirana? nduk?

Mendengar suara Ibunya itu, Kirana langsung membuka kedua matanya. Nyawanya itu terasa di tarik dari dunia mimpinya untuk kembali sadar secepat mungkin. Nafasnya terengah-engah, keringat di kening Kirana itu sedikit bercucuran dan yang membuat Kirana kaget adalah. Dia menangis, bahkan sampai melihat Ibu yang duduk di sisi ranjangnya pun Kirana langsung bangkit dan memeluk Ibu.

Mimpi yang Kirana alami semalam benar-benar membuat perasaanya tidak nyaman. Begitu sadar yang di pikirkannya pertama kali adalah Bagas, ya Pria itu. Karna Adi di dalam mimpinya benar-benar mengenaskan.

“Kenapa, nduk?” tanya Ibu khawatir, Ibu berpikir mungkin Kirana hanya mimpi buruk saja. Tapi bermimpi seperti apa hingga anak satu-satunya itu menangis, bahkan ketika ia sudah bangun sekalipun.

“Kirana mimpi buruk, Buk.” Kirana masih memeluk Ibunya, tak lama kemudian ia urai pelukan itu dan mengusap wajahnya dengan gusar.

“Mimpi apa?”

Kirana terdiam, dia hanya menelisik wajah Ibu itu. Dari awal ia bermimpi tentang Ayu pun Kirana enggak pernah cerita ke Ibu, Kirana hanya cerita pada Bagas dan Raga. Bahkan Ibu sendiri enggak tahu kalau Kirana pernah berkonsultasi dengan seorang psikiater. Kirana hanya tidak ingin membebani pikiran Ibunya itu saja.

“Mimpi buruk, Buk. Gak enak pokoknya.”

“Baca doa gak sebelum tidur,nduk? atau kamu sedang banyak pikiran ya?”

Kirana senyum, walau hatinya gusar ia benci membuat Ibu khawatir. “Kayanya lupa baca doa tidur, Buk. Makanya mimpi buruk.”

Ibu menggelengkan kepalanya, di usapnya kepala putri satu-satunya itu. “Baca doa nduk kalau mau tidur. Mandi gih, sudah jam enam. Ibu sudah buatkan sarapan, Ibu pergi ke toko duluan ya.”

Kirana mengangguk, “makasih yah, Buk.”

Ibu nya Kirana itu bekerja di sebuah toko yang menjual jajanan pasar sebagai pembuat kue basah, toko itu milik temannya Ibu. Padahal Kirana sudah sering menyuruh Ibu untuk berhenti bekerja dan di rumah saja, Kirana masih sanggup untuk menanggung hidup Ibu nya.

Tapi Ibu selalu bilang kalau ia sering kali merasa bosan di rumah jika Kirana bekerja, tapi Kirana selalu bersyukur Ibu bisa bekerja di toko milik temannya itu. Ibunya kelihatan jauh lebih hidup selepas kepergian Bapak. Jadi Kirana pikir itu bukanlah ide yang buruk.

Setelah selesai bersiap-siap, Kirana mengunci pintu rumahnya. Hari ini Bagas menjemputnya, begitu ia masuk ke dalam mobil pria itu hal pertama yang di lakukan Kirana adalah memeluk erat kekasihnya itu. Bagas sendiri sampai bingung ada apa dengan Kirana, karena enggak biasanya Kirana datang dan langsung memeluknya seperti itu.

“Sayang? Kenapa?” Bagas tersenyum, dia senang Kirana memeluknya. Bagas pun membalas pelukan itu walau terselip rasa penasaran di kepalanya.

“Aku semalam mimpi buruk..” Suara Kirana berubah menjadi lirih, ia menangis. Dan memeluk Bagas semakin erat.

“Mimpi apa hm? Kamu udah gak mimpiin Ayu lagi?”

Kirana enggak menjawab, ia masih terisak dalam tangis nya setelah hatinya di rasa cukup tenang. Ia baru mengurai pelukan Bagas itu, matanya sedikit terpejam ketika Bagas menghapus jejak-jejak air mata yang ada di pelupuk mata Kirana.

“Mimpi apa, sayang?” Tanya Bagas sekali lagi.

“Adi..”

Bagas terdiam, ia memperhatikan wajah penuh kekhawatiran Kirana itu bercampur dengan ketakutan. Mimpi seperti apa yang di alami oleh wanita itu? Pikir Bagas.

“Semalam aku bermimpi Adi di pukuli sampai—” Kirana enggak bisa melanjutkan kata-katanya lagi, ia kembali terisak. Dan jatuh pada pelukan Bagas lagi.

Yang Bagas lakukan adalah memeluk Kirana erat, mengusap-usap punggung kecilnya yang bergetar itu. Berusaha menenangkan Kirana tanpa ada kata yang keluar sedikit pun dari mulutnya, ia yakin Kirana belum selesai bicara dan ia tidak ingin memotong ucapannya.

“Adi sampai enggak bisa dengar lagi, Gas. Dia gak bisa dengar karena di pukuli.”

“Itu cuma mimpi, sayang. Yang di alami Adi enggak akan terjadi sama aku, aku baik-baik aja kan. Aku masih bisa dengar suara kamu nih.”

Kirana mengurai pelukannya, menatap Bagas namun masih teringat akan bayang-bayang Adi seperti dalam mimpinya. Bagas benar, dia baik-baik saja. Tidak ada lebam di wajahnya, telinganya juga masih bisa mendengar suaranya dengan baik. Yang ia tangisi hanya Adi, perasaanya masih hanyut dalam mimpi sebagai dirinya yang bernama Ayu.

“Gak ada yang luka kan, Gas?” Kirana memeriksa wajah Bagas, lengan pria itu hingga telinganya.

Bagas menggeleng pelan, ia senyum untuk menenangkan hati Kirana dan memastikan dirinya baik-baik saja. “Aku baik-baik aja, Sayang.”

Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Kirana baru bisa bernafas lega. Ia kembali duduk dengan benar di kursi samping kemudi sambil menyandarkan punggungnya.

“Kamu masih ada konsul sama dokter Annelies minggu ini kan? Aku antar ya?” Tanya Bagas.

Kirana menoleh ke arah Bagas itu, dia sudah tidak lagi membuat janji pada dokter Annelies untuk konsultasi mengenai mimpinya itu sejak ia dan Raga mulai saling bertukar cerita tentang mimpi mereka. Kirana pikir berdiskusi dengan Raga sudah cukup dan ia yakin bisa memecahkan arti dari mimpi yang mereka alami.

“Aku belum buat janji sama dokter Annelies, sayang. Aku ngerasa gak ada yang berubah waktu konsul,” jelas Kirana.

“Kan kamu konsul juga baru empat kali loh.”

Kirana menggeleng, “i'm fine, aku pikir, mimpi itu udah gak terlalu aku pikirin kok.”

“Gak di pikirin gimana kalau tadi kamu nangis-nangis kaya gitu?” Bagas pikir mimpi yang di alami Kirana itu sudah cukup menganggu keseharian wanitanya, Kirana benar-benar nampak kacau saat baru masuk ke dalam mobil tadi.

“Gapapa yah, aku beneran gapapa. Cuma mimpi buruk kecil aja kok, kemarin-kemarin juga enggak.” Kirana mengusap lengan Bagas, memastikan ia baik-baik saja. Kirana enggak ingin menghabiskan waktu untuk berkonsultasi dengan psikiater kalau nyatanya mimpi itu tidak sama sekali berkaitan dengan kondisi kejiwaanya.

“Yakin?”

“Yup!!” Kirana senyum.

“Yaudah kalau gitu.” Tangan Bagas yang besar itu mengusap pucuk kepala Kirana.

Di perjalanan mereka sempat berdiskusi soal proyek yang mereka kerjakan masing-masing, Kirana juga sempat bercerita kejadian sewaktu ia dan Raga sama-sama mengawasi pengecoran minggu lalu.

“Nanti malam kamu kosong kan?” Tanya Bagas, ia ingin mengajak Kirana ke rumah yang barusaha ia sewa.

Bagas sudah pindah dari rumah kedua orang tua nya, ia juga tidak memberitahu orang tua nya ataupun Kanes dimana ia tinggal. Tentunya enggak serta merta mudah bagi Bagas meninggalkan rumah itu begitu saja, tentu saja ada drama adu argumen dahulu yang terjadi pada Ibu dan Ayahnya.

Tapi keputusan Bagas sudah bulat, ia ingin hidup mandiri berpisah dengan kedua orang tua nya. Ia sudah menentukan untuk meninggalkan keluarga yang tidak bisa menghargai pilihannya itu. Bagas juga sudah bilang dengan kedua orang tua nya, bahwa ia akan kembali setelah kedua orang tua nya itu bisa menghargai keputusannya.

“Kosong kenapa, sayang?”

“Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”

Kirana terkekeh pelan, “ih apa sih? Suatu tempat segala. Mau kemana emangnya?”

“Ada deh. Kan masih jadi rahasia.”

“Mau ngajak aku kencan?” Kirana menaikan satu alisnya penasaran.

“Termasuk!” Bagas menjentikkan jarinya. “Tapi bukan itu point nya.”

“Terus?”

“Ada deh, penasaran ya?” Bagas melirik Kirana di kursi sebelahnya.

“Iyalah, kamu ngomongnya sok misterius gitu,” pekik Kirana tidak terima, dia sudah kepalang penasaran dan Bagas malah menggodanya.

“Sukurin!!”

“Ihhhhh Bagass!!” Karena kesal, Kirana nyubit pipi Bagas dengan gemas sampai pria itu mengaduh. Pagi itu benar-benar hanya ada tawa saja untuk keduanya, pergi bekerja pun terasa lebih menyenangkan walau mereka benar-benar sedang bekerja dalam tekanan.

Sesampainya di kantor pun keduanya masih memasang wajah cerah, kadang ada saja celotehan dari mulut Bagas yang membuat Kirana tertawa. Sebelum masuk ke kantor pun mereka sempat mampir ke mini market, membeli cemilan untuk mereka makan di atap saat jam istirahat nanti.

“Cie cie cie sumringah banget nih di liat-liat dua sejoli ini, bikin iri aja!” goda Almira saat melihat Bagas dan Kirana yang sedang menunggu pintu lift terbuka.

“Makanya punya pacar, jangan ngehalu sama Oppa Korea lo terus, Mir.” ledek Bagas, Kirana sampai ikut terkekeh.

“Dih, asal lo tau yah nih Mas Bagas, gue gak punya cowok tuh bukan karena gak ada yang naksir. Tapi karena lagi menyeleksi,” jawab Almira ngeles, sebenarnya enggak ngeles juga. Itu adalah sebuah fakta karna memang nyatanya yang naksir sama Almira tuh banyak, sayangnya wanita itu sangat pemilih dan mudah sekali ilfeel dengan cowok-cowok yang ngejar dia.

“Gaya amat bocil pake seleksi-seleksi segala!” Satya yang baru saja tiba ikut menimpali, pria itu ikut terkekeh.

“Dih ini juga lagi Bang Satya bukannya belain gue. Emang yah yang sayang sama gue tuh cuma Mbak Kirana,” Almira merengut.

Kirana yang di bilang seperti itu cuma terkekeh pelan, “udah-udah nanti nangis adek gue.”

Begitu pintu lift terbuka, tawa mereka sedikit mereda ketika melihat siapa yang berada di dalam lift. Itu adalah Raga, tatapan mata itu sempat bertemu dengan Kirana. Sebelum akhirnya Bagas, Almira dan Satya menyapa atasan mereka itu. Hanya Kirana saja yang diam, namun pada akhirnya dia mengangguk kecil dan tersenyum pada Raga.

“Pagi, Pak.” gumam Kirana.

“Pagi,” jawab Raga.

Di dalam lift pun tidak ada obrolan sama sekali, apalagi saat pintu lift terbuka di setiap lantai karena ada karyawan lain yang juga ingin menggunakan lift. Dan sialnya, posisi Kirana saat ini terhimpit, ia jadi berdiri sangat dekat dengan Raga sampai-sampai rasanya Kirana enggan menatap Raga saking sungkan nya.

“Kirana?” bisik Raga, yang membuat Kirana mendongak demi bisa melihat wajah atasannya itu.

Bagas berada sedikit jauh dari keduannya, Bagas terhalang oleh karyawan-karyawan lain di sisi kiri. Sementara Kirana dan Raga ada di sisi kanan dan di pojok belakang.

“Ada apa, Pak?”

“Soal mimpi kamu..”

“Mungkin setelah jam makan siang, Pak. Saya baru bisa bicarakan soal itu sama Bapak.”

Raga mengangguk, “saya tunggu Kirana.”


Setelah selesai dengan jam makan siang, Kirana dan Bagas langsung bergegas kembali ke ruang bekerja mereka. Kirana juga mulai menyalakan PC nya lagi sambil sesekali ia melirik ke ruangan Raga, masih ada tamu nya ternyata, jadi Kirana mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Raga.

“Mbak, nanti malam free gak?” bisik Almira.

“Aku ada janji, Mir.”

“Yah...” kedua bahu Almira merosot. “Padahal aku tuh pengen minta temenin.”

“Kemana?” sambil menyelesaikan laporannya, Kirana sembari menimpali ucapan Almira itu.

“Beli baju,” jawabnya dengan cengiran, setelah itu wanita itu menggeser kursinya menjadi lebih dekat dengan Kirana. “Aku mau ngedate sama PDKTan ku tau, Mbak.”

Ucapan dari Almira itu juga yang membuat Kirana menoleh, dia senang banget dengarnya kalau Almira bisa mulai dekat sama pria lagi. Selama ini tuh Almira benar-benar menyeleksi pria mana yang bisa mengajaknya berkencan, itu artinya pria yang sedang dekat dengannya ini bisa lulus seleksinya.

“Aduhhh, pengen banget nemenin. Tapi aku tuh beneran gak bisa, video call aja nanti ya.” Kirana senyum-senyum menggoda Almira.

“Beneran? Yes!!” pekiknya girang. “Mau kemana sih emang, Mbak?”

Almira tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat dengan sedikit memajukan dagunya ke arah Bagas yang sedang sibuk itu.

“Mau pacaran?” tebak Almira yang langsung di jawab dengan anggukan oleh Kirana. “Tunggu ya, Mbak. Nanti ada agenda dimana kita double date kok.”

Obrolan kecil Kirana dan Almira itu terhenti ketika pintu ruangan Raga terbuka, pria itu keluar bersama dengan dua pria lainnya. Raga mengantar keduanya sampai keluar dari ruangan, setelah itu ia kembali lagi.

“Aku ke ruangan Pak Raga dulu ya.” Kirana bangun dari duduknya.

“Mau ngapain, Mbak?”

“Ngasih laporan,” alibi Kirana, ia mengambil map di atas mejanya secara random kemudian masuk ke dalam ruangan Raga.

“Siang, Pak.” sapa Kirana begitu ia masuk ke dalam ruangan Raga.

“Siang, Na. Duduk.”

Kirana mengangguk, ia menarik kursi di depan meja Raga kemudian duduk di sana. Satu hal yang Kirana sadari jika berbicara dengan Raga di dalam kantor dan di luar kantor, jika berada di kantor dengan Raga rasanya sangat canggung. Tapi berbeda dengan di luar kantor rasanya ia lebih nyaman untuk bicara banyak hal dengan pria itu.

“Kita mau mulai dari mana dulu, Pak?” tanya Kiran sedikit canggung.

“Dari kamu saja dulu, mungkin ada hal yang saya tidak tahu.”

Kirana mengangguk, “semalam saya masih bermimpi di pesta pernikahan Ayu dan Dimas.”

Raga mengangguk, ternyata mimpi Raga sudah berada satu bulan setelah pesta pernikahan itu berlangsung.

“Dan Adi..”

“Adi tidak bisa mendengar lagi?” tanya Raga, yang membuat Kirana mengangguk. Raga sempat melirik ke arah luar ruangannya, melihat Bagas yang sedang fokus pada pekerjaanya. “Ayu tahu kenapa Adi bisa jadi seperti itu, Na?”

“Dimas, Pak. Dimas yang memukuli Adi sampai tidak bisa mendengar lagi.”

Raga tidak menjawab, ia menunduk. Tapi pikirannya langsung terlintas kenapa hanya ia dan Kirana yang bermimpi hal-hal semacam itu tetapi Bagas tidak Mbak Adel pun juga tidak bermimpi hal yang sama. Padahal kedua orang itu adalah wujud yang sama dari Roosevelt dan Adi pada 127 tahun yang lalu.

“Gimana sama, Bapak? Sudah sejauh apa mimpinya, Pak?” Kirana balik bertanya, ia ingin mencocokan dengan mimpinya.

“Mimpi saya sudah satu bulan setelah pesta pernikahan itu, Na. Jayden menemui Adi dan menitipkan pesan pada dia jika Ayu kembali ke Semarang.”

“Pesan apa?”

“Kebun melati yang di buat Jayden khusus untuk Ayu.”

“Kebun melati?” tanya Kirana.

Raga mengangguk, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukannya itu pada Kirana. Sebuah perkebunan melati yang cukup luas di daerah Semarang. Tentu saja Kirana tahu, karena letak perkebunan itu tak jauh dari desa tempat tinggal Mbahnya dulu.

“kebun melati ini masih ada sampai sekarang, Na.”

Kirana tidak menyahut lagi, dia juga enggak tanya-tanya sama Raga bagaimana bisa Raga tahu jika kebun melati yang ia tunjukan di ponselnya itu sama dengan kebun melati yang di buat Jayden untuk Ayu. Ia terlalu terpaku pada kenyataan jika kebun itu dahulu adalah milik keluarga dari Ibu nya.

Kebun melati itu di jual oleh Mbah untuk membantu Ibu melunasi separuh dari hutang-hutang Bapak. Pikiran Ayu kini hanya tersita bagaimana bisa kebun yang di persembahkan untuk Ayu itu bisa menjadi kebun milik Mbah nya? Pikir Kirana.

Bersambung...