Bab 2. Samarang
Pasar Djohar Samarang 1898
Adipati masih setia menemani majikannya itu menunggu seseorang, sudah kurang lebih dua jam mereka duduk di depan toko yang menjual berbagai macam biji kopi. Terkadang, Adi sibuk memayungi anak majikannya itu agar tidak terpapar teriknya matahari Samarang yang rasanya hanya berada sejengkal di atas kepala mereka.
Kedua netra gadis berumur 18 tahun itu berpendar pada penjuru pasar Djohar siang itu, mengabseni satu persatu orang yang nampak sibuk di sana. Terkadang, gadis bertubuh kecil dan ringkih itu membantu para pedagang dengan membeli dagangannya. Bibir kecilnya kadang-kadang berdecap ketika melihat para tentara Belanda melakukan pribumi dengan semena-mena nya.
“Raden Ayu, kita pulang saja. Sepertinya sir Jayden tidak akan datang. Sudah dua jam kita menunggu disini, tuan Gumilar pasti sudah menunggu Raden Ayu pulang.” Adi berusaha mengajak majikannya itu untuk pulang.
Ayu mendengus, tidak menggubris ajakan Adi ketika laki-laki itu mengajaknya pulang. Ia yakin Jayden akan datang, mereka sudah berjanji akan bertemu hari ini setelah Ayu pulang sekolah. Persetan jika Romo akan menunggunya, toh Romo tahunya ia sekolah. Ia bisa mencari alasan jika ia di ajak main oleh teman-teman sekolahnya.
“Kalau Sir Jay datang bagaimana? Kami sudah berjanji untuk bertemu. Kalau kamu mau pulang, pulang saja sana. Aku bisa pulang sendiri.” Ayu melipat kedua tangannya di dada. “Tapi aku tidak mau mengajarimu lagi.”
Adi tahu majikannya itu mengancam, ancaman yang selalu Ayu berikan padanya ketika Adi mengingatkannya. Namun, ancaman hanyalah ancaman. Ayu tetap dengan rendah hatinya mengajari Adi membaca bahkan berbahasa Belanda.
“Nduk, cah ayu, nopo kok nesu nesu? Nenggo sinten ning kono“
Bukan hanya Ayu saja yang menoleh, Adi pun juga ikut menoleh ketika pemilik toko kopi yang menjadi tempat mereka berteduh dari teriknya matahari Samarang bertanya pada Ayu, wajar saja pemiliknya bertanya, mereka sudah 2 jam duduk di sana tanpa membeli apapun.
“Kulo nenggo rencang, Pak.” Ayu menjawab pertanyaan pedagang itu dengan sopan, ia tersenyum.
“Oallah, lenggah ning njero mawon, lungguh ning ngarep panas. Mengko cah ayu kepanasan.“
“inggih, Matur suwun pak. saya disini saja.”
Adi yang dari tadi hanya berdiri di sebelah Ayu kini menoleh karena Ayu menyenggol tangannya, “ada apa Raden Ayu?”
“Bapak mu suka nya kopi apa, Di?”
Kening Adi berkerut, bingung kenapa Ayu bertanya apa kopi kesukaan Bapaknya itu. Ayu jarang sekali bertanya apa minuman kesukaan pekerja yang bekerja di rumahnya, Ayu memang baik, ramah dan sopan. Namun tidak sampai seperhatian itu.
“Kenapa Raden Ayu bertanya begitu?”
“Aku mau belikan Bapakmu kopi.”
“Jangan, Raden Ayu.”
Ayu menghela nafasnya kasar, Adi itu keras kepala sekali. Padahal Ayu hanya ingin membelikan Bapaknya kopi saja sebagai hadiah, Ayu tau kalau Adi tidak bisa ke ladang karena harus menemani nya bertemu dengan Jayden dulu. Biasanya jika Adi tidak bisa ke ladang, maka Bapaknya yang akan menggantikan pekerjaan Adi itu.
Meninggalkan Adi yang masih setia berdiri di tempatnya, Ayu berdiri dan menghampiri Bapak pemilik toko yang sedang sibuk menggiling kopi di dalam sana. Begitu melihat Ayu mendekat si pemilik toko itu meninggalkan pekerjaanya dan menyapa Ayu, Ayu perhatikan sedari tadi toko kopi itu belum memiliki pelanggan selama 2 jam Ayu menunggu Jayden.
“Cah ayu madosi nopo” sapa pemilik toko kopi itu.
“Pak e kalau biji kopi Sidikalang ada?” Ayu hanya ingat jenis kopi itu, karena romo nya sering meminum kopi Sidikalang.
“wonten toh“
“Saya mau yah, Pak e.”
“Mau bubuk atau biji saja, cah ayu?“
“Bubuk saja, Pak e.“
Ayu memberikan beberapa gulden untuk membayar kopi yang ia beli, sambil menunggu biji kopi Sidikalang di giling. Ayu kembali lagi duduk di tempatnya, Adi masih berdiri di sana dengan gestur salah tingkahnya.
“Saya senang nemenin Raden Ayu, seharusnya Raden Ayu tidak perlu repot-repot membelikan Bapak saya kopi.” Adi menunduk, sungkan rasanya Ayu harus repot-repot membelikan Bapaknya itu kopi.
Apalagi kopi adalah suatu minuman mewah, Adi saja belum pernah melihat Bapaknya itu meminum kopi. Bapak lebih suka meminum teh tanpa gula, gula juga menjadi salah satu barang mewah yang tidak pernah Bapak beli. Hanya kalangan bangsawan saja yang bisa menikmati gula.
“Aku tidak merasa di repotkan, Di. Asal kamu tidak bercerita sama Romo kalau kamu menemaniku bertemu Sir Jayden.”
“Baik, Raden Ayu.”
Tidak lama kemudian, sebuah dokar terlihat dari keramaian pasar Djohar siang itu. Beberapa pedagang dan pribumi menyingkir ketika melihat dokar itu membelah lautan manusia, beberapa ada yang menyapa tapi beberapa lainnya memilih untuk menyingkir. Apalagi saat melihat dokar itu membawa seorang pria Belanda.
Melihat dokar itu berhenti di depan toko kopi yang Ayu duduki, senyum di wajah khas gadis Jawa itu mengembang saat melihat pria kolonial itu turun dari dokar yang mengantarkannya. Itu Jayden, dengan senyum di wajah ramahnya menghampiri Ayu yang masih setia menunggunya di depan toko kopi.
“liefje¹ maaf aku terlambat, kau pasti sudah menunggu sangat lama.” Pria kolonial itu berdiri di sebelah Ayu, menggantikan Adi.
Tubuhnya yang tinggi tegap dengan rambut pirang yang ia tata rapih serta topi fedora yang selalu ia kenakan membuat Ayu selalu terpanah. Seolah-olah yang bisa ia lihat dari ribuan orang yang berada di sana hanyalah sang pujaan hati.
“Tidak apa-apa, Sir Jeff. Anda sibuk, lagi pula saya juga tadi mampir untuk membeli sesuatu dulu.” Ayu beralasan agar Jayden tidak harus merasa tidak enak dengannya, Ayu tahu Jayden adalah orang yang sibuk. Ia adalah seorang Afdeling² di Samarang.
“Membeli apa?”
“Kopi.”
“Untuk Romo mu?“
Ayu mengangguk pelan, lagi-lagi ia berbohong. Kedua anak manusia itu berjalan mengitari pasar Djohar siang itu, Ayu berjalan di samping tubuh Jayden yang tinggi menjulang menjadikannya tidak harus terkena paparan matari yang terik siang itu, sementara Adi berjalan di belakang keduanya.
Mengitari pasar, Jayden di sapa oleh beberapa pedagang yang sudah mengenalnya dan beberapa pribumi yang kebetulan lewat, kerendahan hati Jayden, jiwa nya yang tulus dan sikap nya yang lembut itu membuat hati Ayu terbuai dengannya selain paras elok pria itu.
Terlebih, Jayden bukan seorang perokok dan peminum seperti kebanyakan pria kolonial lainnya. Ia sangat menjauhi kedua hal itu, Jayden dengan gaya hidup yang sehat. Terlebih Jayden sangat menghormati wanita dan menghormati kalangan pribumi.
Kedua nya masuk ke tenda yang menjual berbagai macam jajanan pasar yang ada di sana, sementara Adi enggan masuk ke dalam tenda itu. Ia merasa tahu diri untuk tidak duduk di kursi yang sama dengan Jayden dan juga Ayu.
“Adi Ten pundi, Raden Ayu?” Jayden bertanya dengan Ayu dengan logat medhok nya, Jayden memang bisa berbahasa Jawa karena dia sudah berada lama di tanah Jawa. Sekitar 15 tahun, saat Ayahnya masih menjabat sebagai seorang residen di Soerabaja.
Ayu yang di tanya seperti itu menoleh ke kanan dan kirinya, ia tidak mendapati Adi masuk ke tenda yang sama dengannya dan Jayden.
“Adi sepertinya di luar, Sir Jayden tunggu disini sebentar yah, biar saya yang panggilkan Adi.”
Sebelum Ayu berdiri, Jayden menahan tangan kurus Ayu untuk menyuruhnya tetap duduk di kursinya. “Biar saya saja, kau duduk disini saja.”
Ayu hanya mengangguk samar, hatinya menghangat. Setiap kali pergi berkencan dengan pria kolonial itu tidak ada habisnya Ayu di buat kagum dengan kebaikan hatinya, Jayden tidak pernah membeda-bedakan manusia. Ia akan tetap menyuruh pekerjanya untuk duduk di kursi yang sama dengannya, membelikan makanan ketika ia juga hendak makan. Dan berbicara dengan sopan pada mereka.
“Pak'e pecel telu dan teh telu.“
“nggih.“
Jakarta, 30 Januari 2025.
“Untuk power plant main engineer nya elo ya, Sat.” Raga menoleh pada Satya yang duduk di sebelah kanan nya, pria itu hanya mengangguk dan mendengus sedikit pasrah. “Tetap bantu Bagas untuk tahap kontruksinya, Sat, bantu Bagas ya.”
“Oke, Pak.”
“Dua minggu lagi powet plant udah bisa berangkat ke Surabaya.”
Mendengar Surabaya di sebut kedua mata Bagas membulat, seharusnya ia tidak kaget lagi ketika Raga menyuruhnya ke Surabaya guna memantau proyek mereka. Bagas hanya tidak menyangka jika akan secepat itu saja.
“Dua minggu lagi, Pak?” Tanya Bagas memastikan, mana tau telinganya salah dengar.
Raga mengangguk, keningnya berkerut. Ia menangkap ketidaksiapan Bagas ketika ia memerintahkannya ke Surabaya untuk memantau proyek mereka di sana. Bagas dan Kirana itu bekerja di sebuah kantor konsultan yang bergerak di bidang konstruksi.
Enggak heran tiap kali mereka mendapatkan proyek di luar kota, maka Bagas atau pun Kirana harus siap memantau nya ke sana. Tapi sebenarnya lebih banyak Bagas yang mendapatkan proyek di luar kota, sementara Kirana lebih sering mendapatkan proyek di kisaran Jabodetabek saja.
“Iya, ada apa Bagas? Enggak siap?”
“Bu..kan, Pak. Cuma kaget aja, di lanjut, Pak.” Bagas tersenyum kikuk, gak ada pilihan lain selain menurut pada atasannya itu.
Sebenarnya Jagaraga termasuk atasannya yang baik, bahkan setelah dua minggu Bagas tidak bekerja. Raga masih memaafkannya dan memakluminya, walau tetap saja Raga memberikan beberapa pekerjaan tambahan untuknya.
Istirahat makan siang hari itu Bagas gunakan untuk menjenguk Kirana di rumah sakit, keadaan Kirana sudah membaik. Wanita itu belum tahu kapan bisa pulang dari rumah sakit, kata Ibu. Masih ada beberapa pemeriksaan dan terapi yang masih harus di lakukan oleh Kirana.
Waktu Bagas sampai di bangsal Kirana, wanitanya itu sedang makan sembari melamun menatap ke arah jendela kamarnya. Ibu sedang pulang sebentar untuk mengambil pakaian.
“Kamu ngalamun terus dari tadi, mikirin apa?” tanya Bagas, dia selesai memotong daging makan siang Kirana menjadi ukuran kecil-kecil.
“Bagas?”
“Ya, sayang?”
Kirana menoleh ke arahnya, perasaanya berkecamuk tentang mimpi yang ia alami semalam. Kirana bermimpi sesuatu, tentang dirinya dan pria lain. Ah, ada pria mirip Bagas juga di dalam mimpinya, tapi entah kenapa pria itu mengenalkan dirinya sebagai orang lain alih-alih Bagas.
Kirana belum pernah bermimpi seperti itu, mimpi yang menurutnya terasa nyata. Seperti Kirana benar-benar ada di masa itu, masa di mana Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Di era kolonial, saat bangun pun rasanya Kirana linglung.
“Aku semalam mimpi.”
“Mimpi apa?” Bagas menopang dagu nya, bersiap mendengarkan wanitanya itu bercerita tentang mimpinya semalam.
“Aku ada di era kolonial, ada kamu di sana. Tapi bukan sebagai Bagas yang aku kenal.” Kirana menundukan wajahnya, Kirana menimang pikirannya. Ia gamang, ingin bercerita lugas namun takut Bagas bingung karena ia sendiri pun bingung.
“Sebagai siapa?”
Kirana menggeleng, ia mencoba mengalihkan kembali perhatian Bagas dengan kembali memakan, makan siangnya yang sudah hampir dingin itu. “Lupa..”
Bagas terkekeh, “kok lupa sih? Padahal aku udah penasaran banget.”
Lebih baik ia simpan sendiri dulu, toh ini hanya mimpi biasa. Kirana memang suka bermimpi aneh-aneh sejak dulu, mungkin juga efek obat-obatan yang sedang ia konsumsi akhir-akhir ini. Semua bisa saja terjadi kan?
“Kamu di marahi Pak Raga yah, Gas?” Satya sempat bercerita pada Kirana sewaktu pria itu menjenguk Kirana kemarin sore. Mendengar itu Kirana jadi enggak enak sama Bagas, karena menunggunya di rumah sakit dia sampai harus bolos bekerja.
“Enggak, sayang. Cuma teguran kecil aja, buktinya aku sekarang di kasih proyek yang di Surabaya.”
“Bareng Bang Satya ya?”
Bagas mengangguk, “aku tinggal sebentar gapapa yah? Nanti aku rajin-rajin face time sama kamu.”
“Gapapa.”
Malamnya Kirana masih termenung di ranjangnya, dia sudah beberapa kali membulak balikan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman. Tapi bukan itu masalahnya, kepalanya penuh bukan lagi tentang penolakan Ibu nya Bagas seperti kemarin-marin yang ia pikirkan. Ini soal mimpi kemarin malam yang ia rasakan begitu nyata, seperti ia benar-benar berada di era itu.
Netra berwarna coklat legam layaknya topaz itu menelisik langit-langit di bangsal rawatnya, kembali mengingat-ingat akan pria kolonial yang ada dalam mimpinya. Laki-laki itu seperti tidak asing baginya tapi ia sendiri juga tidak mengenalnya.
Dengan susah payah Kirana berusaha untuk bangun dari ranjangnya dan duduk, Ibu tidur di ranjang penunggu pasien di sebelah kiri Kirana, jadi Kirana bisa menghadap ke arah jendela untuk memikirkan mimpi itu.
“nduk? kok belum tidur?”
Kirana menoleh, ternyata Ibu terbangun. Mungkin karena decitan dari ranjang Kirana saat ia bergerak untuk duduk. Ranjangnya memang sudah agak lama, namun untuk ranjang seukuran di bangsal yang berisi 6 orang ini lumayan nyaman kok.
“Belum, Buk. Enggak bisa tidur, maaf yah Kirana bangunin Ibu.” Kirana tersenyum, jadi sungkan rasanya. Tau begitu ia tetap tiduran saja.
“Enggak papa, tidur, nduk. Besok pagi kan kamu harus terapi lagi, perawat menjemputnya pagi loh, kalau mengantuk gimana?” Kirana memang masih terapi untuk memulihkan otot-otot kaki nya, kakinya sempat sulit di gerakan. Tidak ada cidera kata dokter, hanya saja sedikit kaku karena Kirana lumayan lama berbaring di ranjang.
“Iya nanti, Buk. Ibu tidur aja gapapa.”
Melihat anaknya itu duduk menghadap ke arah jendela, Ibu jadi beranjak dari ranjangnya dan duduk di samping Kirana. Mengusap-usap rambut panjang putri sematawayangnya itu, Ibu hanya berpikir ada yang Kirana pikirkan.
“Mikirin kerjaan, nduk?” biasanya Kirana memang suka bercerita tentang pekerjaanya di kantor, mungkin saja karena tidak masuk kerja lama Kirana jadi memikirkan pekerjaanya yang mangkrak.
Kirana menggeleng, “bukan, Buk.”
“Lalu?”
Kirana menoleh ke arah Ibu, Ibu dengan senyuman manis yang selalu membuat Kirana tenang. Ngomong-ngomong soal orang tua Bagas, Kirana belum cerita apa-apa sama Ibu. Ia akan pendam itu sendirian saja sambil memikirkan bagaimana hubungannya dengan Bagas.
“Mau di usap-usap aja deh punggungnya sama Ibu, siapa tau Kirana cepat ngantuk.” Kirana berbaring, dia masih menyimpan tentang mimpinya itu.
“dasar manja, sini. Ibu usap-usap punggungnya.”
Bersambung...
liefje¹ : sayangku. Afdeling² : asisten residen. (Asisten residen adalah pegawai negeri tertinggi di suatu afdeling pada masa penjajahan Belanda.)
(Adipathi Baswara)